#5 [Awal Masalah]
"Tidak baik terus menunda."
GH
"Lepasin!" Teriak Ine. Entah sudah terhitung berapa kali sejak cowok asing ini menarik Ine dari keramaian. Dan membawanya secara paksa ke belakang sekolah.
Bukan nya menjawab. Cowok itu melepaskan tangan ine dengan hentakan pelan. Lalu berjalan kedepan mengambil kursi, dan menariknya kedepan Ine. Bukan kedepan Ine, melainkan meja yang ada didepan nya.
Meja yang penuh umpatan kotor dan janji maksiat itu di coret dengan spidol.
"...yang menyenangkan." Bodohnya Ine membaca dalam hati kalimat tiap kalimat yang tertera di sana.
Lidah Ine terasa kelu saat tangan besar mendominasi urat nadi yang menyembul itu mengetuk tiga kali.
Memecah keheningan yang sempat terjadi diantara mereka berdua.
Ine mendongak. Menatap lurus kedepan dengan kepala yang saling sejajar.
Helaian rambut yang basah dan jatuh di jidatnya menghalangi Ine untuk melihat kedua mata yang pasti dingin dan tajam itu. Serta tulang selangka yang terlihat ketika dua kancing teratas terbuka.
Ya, karena kebanyakan komik yang Ine baca kurang lebih menggambarkan cowok idaman, seperti ini, kan?
Tapi itu hanya di komik berbeda jauh dengan dunia nyata nya, Begitu isi hati nya.
Ine berdeham menetralisir tenggorokan nya yang tercekat akibat diam tanpa kata beberapa menit sebelumnya. "Maaf ini. Ine mau tanya ke..."
Cowok itu tidak melihat Ine. Sibuk mengobati dirinya sendiri, dan menjawab. "Kalau soal kenapa gue tiba-tiba tarik lo. Gue cuma iseng."
"Loh?" Ine tersedak dengan salivanya sendiri.
"Lo budek? Perlu gue ulangi lagi?"
"Gak!" Cowok itu mengangkat kedua sudut bibir nya sebentar, sebelum sesaat dia kembali berbicara.
Ine kesal! Tahu begitu tadi dia tidak usah menerima ajakan atau tarikkan paksa cowok ini.
Ine melengos pergi, sebelum sesudah menendang kaki meja dengan ujung sepatunya kuat hingga bunyi decitan halus.
"Hati-hati,"
Ine menulikan pendengaran nya. Ia berlari cepat, seakan cowok itu akan mengejar nya.
Hari mulai menggelap dan Ine belum juga sampai di rumah. Mulutnya komat-kamit berharap ia yang lebih dahulu tiba di rumah sebelum Ibu nya.
Karena ia pasti akan mendengarkan ceramah gratis, apabila rumah yang ditinggalkan saat pagi sama dengan keadaan saat Ibunya pulang. Berantakan.
Seperti nasi yang belum ia masak, piring kotor yang menumpuk.
Ah! Ia terus berlari menjauh sampai akhirnya Ine spontan berbalik badan dan lari kearah Cowok itu dengan langkah kaku dan tangan yang mengepal, gugup. "Hei!" Panggilnya berlomba dengan kedua lelaki berbadan besar dan bertato yang ikut mengejarnya dibelakang.
Ini kenapa ikut lari sih, woi?
"Udah gue bilang hati-hati kan?" Kalimat inibyang terdengar saat kedua kaki Ine sampai dan berdiri tegap dihadapannya.
Cowok itu menggeser meja yang menghalangi keduanya ke samping cukup keras hingga menimbulkan suara berisik.
Layaknya robot yang diperintahkan oleh si pemilik, Ine bergerak sendiri kebelakang tubuh cowok itu saat mendengar langkahan kaki dari belakang terdengar jelas semakin mendekat.
"Udah berani ya ternyata?" ucap Lelaki bertubuh besar yang memakai kaus oblong itu.
"Sembunyi dimana saja. Terserah. Gue mohon." Pinta nya tiba-tiba tanpa melihat kebelakang. Dan lagi-lagi, Ine menuruti jika itu memang untuk keselamatannya sendiri.
"Kenapa? Kurang senang dia pulang dengan keadaan babak belur?" Cowok itu berjalan dengan kedua tangan tenggelam di saku celana.
"Banyak bacot!" Kini sebelah lelaki berkaus oblong, angkat bicara.
"Cowok itu enggak akan memulai sebuah masalah kalau enggak ada yang pancing emosi dia." Dia berdecih di akhir kalimat.
"Gilang! Kita disuruh kesini cuma mau ambil hak dia!" Lelaki berkaus oblong maju dua langkah ke depan.
"Oh. Dan dia juga kasih tahu siapa nama gue, ya." kata Gilang santai.
Tanpa banyak basa-basi. Seperti apa yang sudah tergambarkan di pikiran Gilang, dia lebih dulu maju dan mendaratkan kakinya pada dinding dengan berjalan cepat kearah mereka, dan langsung menendang bawah perut keduanya dengan ganas.
Gilang melakukan itu sembari menyimpan kedua tangan di dalam saku celananya.
🐾🐾🐾
Kalian pasti tahu apa yang sedang Ine lakukan saat ini. Terjebak disebuah situasi yang tidak ia ketahui. Terjebak diantara sebuah ketidakpastian. Membuatnya sulit mengungkapkan kata-kata, padahal ada banyak kalimat yang terngiang di kepalanya.
Hanya bisa mengintip dari balik meja yang jauh dari jarak mereka berkelahi. Ine melihat semua kejadiannya, dan tidak lupa, saat telinga Ine mendengar siapa nama cowok itu dipanggil.
Dan sudah dipastikan, hanya kepada cowok itu mata Ine terpusatkan. Melihat bagaimana tangannya meninju lawan, dan saat...
Mengapa Ine terpesona! Padahal baru kali ini ia berjumpa pada Gilang.
Ine segera membekap mulutnya kaget saat melihat Gilang kewalahan melawan kedua lelaki bertubuh besar itu. Ia ingin menolong namun di satu sisi bingung apa yang akan ia lakukan.
Tidak lama terdengar sebuah irama nyaring yang mengganggu pendengaran Ine selain perkelahian di depan nya. Yang Ine yakini itu pasti nada panggilan, dan bukan dari handphone nya sendiri.
Ia mengedarkan pandangan. Jatuh kepada ransel hitam yang tidak jauh dari posisinya berjongkok. Segera Ine ambil dan menaruh di pangkuannya. Ini pasti ransel milik Gilang.
Tapi, tidak pantas jika dia sembarangan melihat isi ransel milik orang lain tanpa ada izin. Apalagi ini sama sekali belum Ine kenal!
"Gilang. Ada panggilan masuk. Ine angkat ya?" Ine berbicara seolah Gilang mendengar nya. Dan tidak lama untuk menunggu jawaban, cewek ini mengubah suaranya menjadi cowok yang ia anggap adalah suara Gilang. "Iya, angkat aja."
Ok! Dengan gerakan cepat Ine membuka resleting ransel Gilang, dan belum sampai benda pipih itu keluar dari dalam, nada panggilan telah terhenti bersamaan sisi kepala Ine bertabrakan pada meja yang di hadapannya tadi cukup keras, membuat kepala Ine oleng ke samping.
Ine meringis menyentuh sisi kepalanya yang berbenturan dengan meja.
"Apa enggak ada tempat lain persembunyian nya selain di belakang meja?" Gilang berjongkok di depan Ine. Mengangkat tangan kanan nya yang terbuka, dan menaruh di atas tangan Ine yang masih menempel di sisi kepala nya.
Ine tersentak kaget bersamaan dengan tarikan tiba-tiba Gilang ke belakang punggung nya. Dan ia harus bersyukur karena tidak lama, meja tadi telah terlempar ke depan.
"Kita enggak punya banyak waktu lama. Serahkan saja, lang. Setelah itu kita pulang." pinta salah satu dari kedua lelaki berbadan besar itu.
"Dan enggak harus dengan cara berkelahi seperti ini," sambung nya dengan nafas terengah.
"Kalau gue enggak mau. Gimana? Atau, lo berdua takut kelahi?" tebak Gilang. Membuat kedua lelaki di hadapannya semakin panas.
Ine yang sudah mulai ketakutan, jaga-jaga apabila mereka ingin berkelahi lagi akhirnya bersuara kecil dari balik pundak Gilang, padahal dia sendiri tidak tau apa yang sedang dipermasalahkan.
"Enggak bisa di kasih aja?" Gilang menoleh ke samping tanpa harus membalikkan badan nya.
"Biar cepat selesai. Ine mau pulang. Ine enggak peduli apa yang kalian bahas. Tapi, yang Ine inginkan adalah, Ine pulang. Itu aja." lanjut nya dengan penuh penekanan di tiap kalimat.
Gilang kembali melihat ke depan. "Tau apa yang di lakukan Upin dan Ipin saat kakaknya marah?" Tangan yang bebas bergerak ke belakang memberi ransel hitam itu kepada Ine untuk dipegang.
"Apa?"
Rasanya seperti naik rolercoster dengan kecepatan tinggi tanpa pengaman. Takut!
Gilang untuk ketiga kalinya menarik Ine dengan tiba-tiba. Untung saja kaki nya refleks mengikuti langkah besar Gilang, bukan nya terjerembab.
Bersama melewati koridor sekolah dengan kedua tangan yang masih bertaut dan mendekap erat ransel hitam itu.
"Yang dilakukan adalah lari!"
🐾🐾🐾
EHEHEHEHEHEHEHEHE
TBC!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top