#1 [Gilang Hardika]

"Setinggi-tingginya derajat seseorang. Masih tinggian derajat Yang Maha Kuasa."

GH

🌹🌹🌹

Suasana yang gelap dan dingin karena AC menambah hawa plus dan menyenangkan bagi seorang cowok yang tengah asyik menonton film pendek di laptopnya. Laptop yang berada di atas pahanya karena posisi cowok itu saat ini selonjoran di sudut ruangan dengan headset yang menempel dikedua telinganya.

Mendesah pelan lalu mengerang nikmat, entah sudah berapa kali Gilang lakukan.

Melupakan sebentar kewajibannya untuk datang ke sekolah pagi ini. Melupakan status barunya menjadi anak baru, dimana setelah seminggu lalu dia menjalani MOS.

Berinteraksi adalah hal yang membosankan bagi nya, terlebih kepada senior sekolah yang menurutnya suka memerintah, sok memiliki kekuasaan tertinggi agar bisa menyuruh-nyuruh anak baru melakukan apa yang dia perintahkan.

Segala kata sok akan mewakili semua tingkah senior-nya itu.

Dia ingat ketika salah satu seniornya mengatakan untuk membeli apa yang dia perintahkan; Bunga Sepatu.

Gilang sudah menjadi anak baik menurutinya, membeli Bunga Sepatu yang letaknya di antah berantah.
Namun setelah Bunga itu dia letakkan di depan kaki Bunglon, nama senior nya itu.
Dia malah menendang dan hampir mengenai kaki Gilang jika tidak cepat menghindar.

"Gue bilang apa sama lo?" ucap Bunglon.

Gilang menatap malas orang yang di depannya. Kalau dibandingkan dengan postur tubuh. Bunglon akan tampak lebih pendek jika harus berhadapan seperti ini. Hanya sebatas dagu Gilang.

"Bunga sepatu, kan?" Gilang menekan kalimat pada kata kan.

Mengangguk. "Itu lo tau."

Belum sempat Bunglon melanjutkan omongannya Gilang lebih dulu berbicara dengan nada spontan.

"Bos, kata lo kemarin Bunga Sepatu. Gue udah bawain apa yang lo mau, itu pas gue beli Bunga Sepatu di Toko Mom Flowers, Harganya 50.000 satu tangkai, pakai pot jadi 80.000 Terus, dimana letak kesalahan gue?!" ledaknya.

Ini Bunglon sengaja mengerjainya, ya?

"Bisa santai gak lo?" mata Bunglon menyipit dengan dagu terangkat ke atas.

"Udah lah, nggak enak diliatin adik kelas yang lain." Suara yang terdengar sangat jelas dipelankan agar terdengar imut, memecah keributan yang sempat terjadi di antara mereka berdua. Suara itu berasal dari belakang tubuh Bunglon, menyembulkan kepalanya sesekali untuk melihat ke arah depan.

Rasa ingin tau siapa yang berbicara membuat Gilang sedikit memiringkan kepalanya kesamping agar dapat melihat dengan jelas siapa pemilik suara itu.

Di balik bahu tegap Bunglon tengah  berdiri seorang siswi dengan rambut sepundak dan topi merah beludru, serta setelan baju putih melekat ditubuh rampingnya. Tampak jelas ia anak Paskibra.

Cewek itu terkejut dengan kontak mata Gilang yang mematikan. Tapi itu hanya sekilas, lalu berbicara kembali pada Bunglon dengan suara yang dia kecilkan lagi, seperti berbisik.

Gue nggak akan kepo sama perbincangan kalian, begitu kata hati Gilang berkata.

Gilang mendengus kasar, tatapannya beredar ke sejuruh arah, sesuatu yang baru saja dia sadari jika sebenarnya dia sudah menjadi bahan tontonan publik.

Bagaimana tidak saat matanya menatap ribuan tatapan tak menyangka menghujat dirinya. Seolah perlakuan tadi tak seharusnya dia lakukan.

Ya, dia akui dengan berat hati.

Udahlah, lagian dia cuma senior, bukannya Tuhan yang harus ditakuti, begitu isi hati Gilang berusaha menguatkan.

Detik berikutnya, dia kembali menatap ke depan dimana Bunglon yang masih setia berdiri dan cewek di belakangnya yang masih menyembulkan kepala untuk melihat ke arahnya.
Tangan Gilang bergerak ke atas, lalu jatuh kerambut atasnya untuk menyisir. "Gue bisa santai, kalau lo santai. Dan apa lo gak pernah diajarkan untuk lebih menghargai perbuatan orang? Apa hal itu harus lo buat biar keliatan keren?" Gilang mengangkat dagunya lebih tinggi seolah menantang.

Tergugu. Bunglon terdiam sejenak seolah berfikir kalimat apa yang akan dia lontarkan.

Terlihat jelas jika Bunglon sedang mati kata.

Gilang berdeham untuk meluruskan tenggorokan yang sempat tersumbat karena menunggu jawaban Bunglon yang kelamaan.
"Gue tahu lo senior. Tapi, nggak usah menghakimi gue seperti sampah." Tangan Gilang Menepuk pundak kiri Bunglon berkali-kali.

Gilang bukan ingin mencari sensasi, mencari perhatian semua orang saat  berdebat dengan Bunglon, atau kata apapun untuk menjuluki sikap nya.

Tapi, jelas cowok itu yang memulai.
Salah atau tidaknya menjalani sebuah perintah, akan lebih baik jika dia memberitahu terlebih dahulu.

Memberitahu sebenarnya bahwa yang Bunglon maksud dengan Bunga Sepatu adalah;

Bunga.

Lalu, Sepatu.

Bunga-Sepatu.

Oke, Bunga yang di Sepatu.
Bukannya Bunga Sepatu!

Gilang benar-benar menahan diri untuk tidak memukul Bunglon.

Bagaimana bisa Senior seperti dia di tugaskan saat MOS? Entah hanya untuk mencari lawakan atau sengaja mengerjainya?

Ingatan itu seolah seperti tembok air yang pecah karena getaran hebat, saat tiba-tiba matanya kembali fokus pada film pendek yang sekarang durasi waktunya sudah setengah jalan.

Matanya terus menatap film itu dengan fokus sampai lupa untuk berkedip.
Tangan Gilang bergerak ke sisi kiri laptop, menggapai-gapai benda kecil  panjang dengan ujungnya sudah mengeluarkan asap.

Menyulut benda itu dengan mengapit di jari kiri dan kanan, tidak lupa mata yang tetap fokus ke layar laptop, menghembuskan asapnya keatas dengan tenang. Luas kamar yang cukup besar, dan semua jendela ditutup membuat ruangan benar-benar pengap dan penuh asap yang memabukkan.

Dua menit kemudian terdengar suara gebrakan pintu dari luar, "Gilang buka pintunya!"

"Gilang!" Teriakan sekali lagi terdengar cukup lantang, bersamaan dengan tendangan kaki yang kuat. Siapa pun akan tahu jika di luar sana ada yang akan menerkam Gilang habis-habisan jika tidak segera membuka pintu.

Acuh. Dan tidak peduli. Gilang kembali menyulut rokok nya dengan lama lalu menghembuskan asap dari kedua telinga, kali ini hisapan nya panjang bersamaan wanita yang dia tonton menggeliat di atas ranjang dengan seorang pria tua.

Suara beradu kunci terdengar dari luar kamar dan sudah terbuka dengan tidak santai oleh Charlie, Ayahnya.

"Sampai kapan kamu akan seperti ini terus, Gilang! Berhenti membuat masalah yang selalu saja terjadi." Charlie bersidekap dada. Rahangnya mengeras dan wajah yang memerah.

Gilang tahu kenapa Ayahnya bisa marah seperti ini. Tadi malam Gilang menarik uang tunai yang cukup banyak dari kartu ATM Ayahnya.
Salah sendiri, kenapa kartu ATM itu bisa tertinggal. Jadi Gilang gunakan. "Cuma 5 juta, Yah. Uang segitu akan mudah Ayah dapatkan kembali, bukan?"

Salah ya pakai uang Orang tua nya, sendiri?

Charlie murka. "Cuma kata kamu? Cuma?!" Menyentakkan kepalanya kesal. "Mana uang itu sekarang?" Tangannya terulur. Suaranya merendah, hanya pelan, namun menusuk.

Gilang menghembuskan nafas jengah. Jemari tangannya bergerak pada Touchpad, terarah ke sudut laptop dan menghilangkan video itu. Menekan Alt+F4 untuk meng-shut down. Melepaskan headset dari telinganya bersamaan dengan putung rokok yang sudah dia matikan di bawah tempat tidur.

"Ayah butuh uang itu sekarang juga. Kamu dengar nggak?!"

"Yah, jangan teriak terus." Suara itu milik Cicha, Bunda Gilang. "Ada Alif," Cicha mengingatkan. Bahwa ada anak di bawah umur yang tak harus mendengar bentakan seperti ini. Charlie melihat ke belakang di mana anak bungsunya berada tepat di samping Cicha dengan memeluk mobil mainan.

Kalau dia tahu akan memarahkan anak tertuanya. Kenapa dia harus mengajak Alif segala?

Charlie melonggarkan dasi nya kasar dengan menggerakkan kepalanya kekiri dan kanan.

Dasar wanita.

Seakan tahu apa arti tatapan itu, Cicha kembali bersuara. "Alif datang sendiri kesini."

Charlie mengangguk, rasanya dia tak ingin membahas itu sekarang.
Gilang berjalan ke arah pintu dengan ransel hitam yang menyampir di pundak kirinya. Memakai topi bebas berwarna hitam, berjalan tegap seakan dia tak menyadari sebuah kesalahan.

"Ayah, uang itu untuk di gunakan. Bukan untuk di simpan saja. Memangnya Ayah kira, uang nggak nangis jika di simpan terus menerus? Maka dari itu, Gilang dengan baik hati memakai nya. Dan jika Ayah ingin tahu kemana uang itu aku pakai untuk membeli yang menyenangkan dan pastinya Ayah akan membenci jika mendengarnya. " Ucap Gilang.

Gilang berdecih. Tersenyum miring sebelum menabrak pundak Ayahnya kasar lalu berlari kencang menuruni anak tangga. Meninggalkan rumah yang menyekapnya dari kemarin.

"Gue muak!"

🌹🌹🌹

Yashhh!!!

Akhirnya bisa publish karya pertama di akun Wattpad yang dibuat setelah sekian lama.

Hwhw.
Gue senang.

Pasti masih banyak kesalahan dari cerita ini. Di otak gue ya ini doang.
Author yang masih dididik orangtua dan butuh bimbingan:v

Bunga yang di sepatu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top