Bab 7 - Saran

Ruangan bercat abu-abu gelap yang terletak di lantai dua dipenuhi oleh poster pahlawan super. Lampu berwarna jingga yang menyala di dekat lemari kaca itu terlihat elok berpadu padan dengan semaraknya action figure yang tertata rapi berjejer di dalam lemari tersebut.

Aku dan Angga kini sedang duduk berhadapan menatap fokus foto Allegra yang berada di tengah-tengah kami berdua. Tempat tidur berseprai putih polos milik pemuda di depanku menjadi alas duduk untuk kami meneliti keanehan yang terjadi dengan foto yang kujepret.

Lampu kamar Angga yang dimatikan menemani cahaya matahari siang di hari Minggu yang berawan ini. Tirai hitam gelap yang terletak tak jauh dari lemari kaca berada sudah tersingkap lebih dulu sebelum aku mendatangi rumah pemuda itu.

"Jadi, menurut lo kamera ini bisa ngelihat masa lalu orang itu?" tanya Angga. Sambil kedua matanya melirik kamera milikku yang terletak berdekatan dengan cetakan foto di atas kasur.

Aku mengangguk. "Itu masih persepsiku aja, sih, belum jelas kebenarannya."

Kulihat Angga sedang mencoba berpikir. Tangannya beberapa kali menggaruk dagu sebelum akhirnya ia mengembuskan napas kasar. Kemudian, pemuda itu bergerak pelan mengambil foto Allegra. Ditatapnya dengan saksama seolah dia mencari kebenaran dari apa yang kuceritakan beberapa saat yang lalu. Meski kutahu, dari ekspresinya kali ini menunjukkan bahwa dia tak percaya dengan apa yang kukatakan.

"Tapi lo yakin kalau foto ini dipotret kemarin, bukan kemarin lusa?"

Aku mengangguk lagi pada saat mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh mulutnya dengan tujuan untuk meyakinkan kembali bahwa apa yang aku ucapkan bukanlah bualan semata.

Mata Angga sedikit terbelalak kaget ketika diriku memperlihatkan layar kamera yang menyala menampilkan foto-foto kemarin dengan format waktu yang tertera di dalamnya. Deretan foto terakhir dengan wajah Allegra terpampang nyata sebelum akhirnya aku benar-benar menghentikan kegiatan memotret karena telepon asing kemarin yang langsung membuatku ketakutan.

Dia berusaha terlihat normal kembali meski sesekali kepalanya ia pijat. Deru napas pemuda itu terdengar samar, memperlihatkan raut wajah bingung dengan kedua alis saling bertaut.

"Aku enggak tahu sebenarnya apa yang telah terjadi. Tapi, alangkah baiknya lo tanyain dulu di mana ayah lo dapet kamera ini. Supaya kita berdua bisa tahu titik terang yang sebenarnya." Dia menyandarkan tubuhnya ke dekat kepala tempat tidur. Kedua mata bermanik hitam gelap itu menatapku dengan mendetail.

Aku menghela napas kasar. Kubaringkan tubuhku di atas kasur sambil menatap langit-langit kamar Angga untuk mencari cara terperinci keluar dari jeruji misteri yang mengurungku dengan kamera ini. Apalagi ancaman kemarin yang sudah membuat hidupku sedikit terganggu.

Mengenai kejadian penelepon misterius, aku belum sempat menceritakannya kepada Angga. Mungkin tidak akan, karena kutahu anak itu sering kali melupakan dirinya sendiri jika masalah kerap kali menimpaku. Aku tak ingin memberikannya beban tambahan, apalagi soal foto Allegra kali ini yang sepertinya di luar nalar manusia, belum menemukan secercah titik terang sedikit pun.

Lagipula, aku tahu kamera yang kini menjadi favoritku ini hanyalah sebatas barang usang yang dibeli oleh Ayah melalui teman lamanya. Pun jika sedikit aneh tak mengapa, karena aku telah mencintai kamera ini.

Apalagi dengan sukarelanya tersihir begitu saja untuk terus memotret apa yang kulihat. Meski memang obsesiku untuk memotret sudah lama tumbuh dari usiaku beranjak menjadi delapan tahun, menyukai dunia fotografi dengan tujuan untuk terus mengingat apa yang kulihat.

Karena, aku memang sering melupakan apa yang kuingat semenjak kecelakaan yang menimpaku pada saat berada di kelas lima sekolah dasar. Setelah melihat foto yang menampilkan diriku berada di depan sebuah toko lama--awal mula aku tertarik dengan dunia fotografi, aku jadi menyadari jika foto yang kulihat dapat membangkitkan memoriku yang menghilang untuk terus dapat kuingat. Meski kutahu, sebagian orang yang tidak berada di dalam foto itu tak dapat sekali pun kuingat.

Setelah itu, banyak orang memanggilku sebagai pecandu potret. Menyudutkanku, hingga pada akhirnya aku benar-benar takut untuk kembali membawa kamera semasa SMP.

Aku tersadar dari lamunan tanpa akhir setelah Angga menepuk-nepuk pelan pipiku. Dia terlihat sebal dengan bibir bawah sedikit maju ke depan.

"Lo dengerin apa yang gue ucapin, 'kan?"

Aku memandangnya dengan saksama. Kepalaku menggeleng sebelum akhirnya bangun dari tempatku tadi berbaring.

Angga mencibir. Kemudian, dia pun mulai melempar sebuah bantal yang ia pegang ke arahku meski bantal itu berhasil kuelak.

"Coba saja besok kamu potret kembali teman kelasmu yang namanya Allegra itu," katanya. Dengan menunjuk foto laki-laki bermata tajam sambil memasang raut kesal di wajahnya.

Buru-buru aku mengambil foto Allegra dengan cepat sebelum Angga benar-benar menggenggamnya hingga kucel. Kali pertama ketika foto Allegra telah berada di tanganku adalah penolakan dari Angga. Pemuda di depanku, seolah tak ingin jika foto laki-laki itu kembali kepadaku.

Dia kemudian beranjak bangun dari kasur yang tadi sempat dijadikan sebagai tempat meneliti kejanggalan di kameraku. Aku pun menatapnya, mengikuti ke mana arah dia akan berjalan. Pemuda itu, terlihat melangkah memasuki kamar mandi yang ada di dalam kamarnya tanpa bersuara sama sekali.

Sebelum akhirnya suara gemercik air terdengar. Angga berteriak kencang menyuruhku untuk keluar dari kamar beraroma kopi bubuk itu.

Ketika aku baru saja melalui palang pintu kamarnya. Suara pemuda yang kini sedang berada di kamar mandi terdengar kembali.

"Lo tunggu di bawah. Nanti gue ajak beli es krim yang ada di depan sekolah." Dia berteriak.

Aku menutup pintu. Mendengar itu, dengan riang gembira aku mulai melangkah pelan menuju lantai satu. Guratan senyum mulai mengembang di bibirku. Sepertinya sifat Angga yang suka mentraktir tak pernah menghilang sedikit pun. Aku bersyukur, sebagai teman, laki-laki itu sering kali memberikan hal tak terduka kepadaku.

Memang benar persahabatan yang sudah kami bangun sejak masuk taman kanak-kanak tak dapat terlekang oleh waktu. Bahkan pemuda itu sepertinya sudah menjadi ketergantungan untukku.

Meski orang lain sering kali melihat kami dari sudut pandang yang berbeda. Namun, tetap saja aku dan Angga hanyalah sebatas sahabat masa kecil yang terlihat seperti bersaudara.

Angga, semenjak aku terbangun dari koma ia selalu berada di sisiku. Membantuku kembali mengingat apa yang telah aku lupakan. Meski hanya samar hingga saat ini, namun kutahu jika pemuda itu adalah satu-satunya teman masa kecilku. Toh, ia tak pernah menceritakan orang lain selain dirinya. Hingga aku dapat menyimpulkan bahwa hanya dialah sahabat yang kupunya.

Setelah aku menuruni setiap anak tangga, otakku membawaku kembali mengingat apa yang tadi Angga katakan.

Apa esok aku harus kembali memotret Allegra?

***

A/N:

Nanti malam aku akan merevisi keseluruhan cerita ini. Dari prolog hingga bab 7.

Tenang, gak akan mengubah keseluruhan cerita. Hanya saja memperbaiki typo juga hal-hal tidak perlu yang harus kuhapus. Oh, ada beberapa tambahan detail juga.

rifuriqi 👽🐙

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top