Bab 5 - Seminar

Suara gema langkah kaki kian terdengar, saat aku berjalan dengan cepat menyusuri koridor sambil menggenggam erat kamera di tangan. Berharap jika sesuatu terjadi tak akan ada yang dapat menjatuhkan kameraku di hari yang sangat penting ini.

Sangat kencang terdengar speaker di dalam aula mengeluarkan suara seseorang yang sedang menerangkan sesuatu. Hinga akhirnya, membuatku dengan cepat berlari menuju tempat tersebut.

Tak ada yang boleh mengacaukan hari pertamaku sebagai fotografer di dalam event resmi ini. Beberapa kali diriku mengembuskan napas letih setelah berlari cepat dari gerbang depan menuju aula yang kini jaraknya mulai menipis.

Salahku memang tadi pagi ketika berangkat sekolah tiba-tiba meninggalkan begitu saja kamera yang sudah kusiapkan di atas meja belajar. Karena terlalu bersemangat. Sehingga, secara tak sadar langsung melupakan hal penting yang seharusnya aku bawa untuk tugasku di seminar kali ini.

Selepas tiba di depan gerbang, sekelebat ingatan tentang kamera mulai menyeruak masuk. Membuatku dengan cepat langsung kembali menggunakan ojek online yang telah mengantarku sebelumnya. Tentu saja dengan tambahan ongkos yang kuberikan.

Pintu besar yang terlihat menjulang di depan sana menghentikan aktivitas yang sedang kulakukan. Untuk sesaat, aku menarik napas panjang. Seluruh keputusan telah bulat dipikirkan, sebelum akhirnya pintu cokelat penghubung dengan aula sekolah kubuka dengan sungguh-sungguh.

Dalam sekejap, seluruh mata yang berada di dalam ruangan tersebut beralih menatapku. Dengan hening suara yang hanya menyisakan dersik angin, orang-orang di sini terdiam. Aku hanya dapat menahan malu sambil berjalan pelan mendekati Angga yang kutahu berada di sisi panggung besar dengan jajaran kepengurusan yang lainnya.

Kulihat raut wajah pemuda di sampingku terlihat kesal. Bahkan jas OSIS yang ia kenakan sedikit kucel karena kuyakin dia harus bekerja ekstra untuk membantu mengarahkan beberapa murid sekolah yang sedang luang dari ekstrakurikuler untuk mengikuti seminar tersebut.

Melalui tempatku berdiri, aku dapat melihat kumpulan anggota OSIS yang sudah tersebar memantau dari tempatnya masing-masing. Mereka semua ikut menatapku dengan tatapan bertanya juga bingung. Seolah belum puas dengan kesalahan yang kusebabkan ini.

Suasana aula seketika canggung. Psikolog yang tadi sempat menjelaskan sesuatu ketika aku berada di luar aula sedikit menengok ke arah seorang moderator di atas panggung seperti sedang bertukar kode yang tidak aku mengerti.

Setelah waktu yang seolah berhenti dalam sepuluh detik, suara penyampai materi bimbingan kesehatan mental itu mulai terdengar kembali. Fokus utama seluruh orang yang ada di aula ini akhirnya mulai mengarah kepada psikolog yang ada di atas panggung itu.

"Kemana aja lo?"

Angga bertanya kepadaku, meski tubuhnya tetap menghadap ke arah kerumunan murid yang sedang duduk di kursinya masing-masing. Kepala pemuda itu tak berpaling sedikit pun, walau kutahu nada pertanyaan yang ia tanyakan sedikit mengintimidasi.

Dengan memain-mainkan ujung jas yang belum sempat kulepaskan, aku mencoba menahan gugup sembari memikirkan alasan yang tepat untuk jawaban yang ditanyakan oleh pemuda di sampingku.

"Aku tadi lupa bawa kamera," ucapku.

Dia kulihat hanya mengangguk. Aku bersyukur setelah jawaban yang tadi kuberikan dengan pelan psikolog yang berada di tengah-tengah panggung itu mulai melanjutkan kembali penjelasannya yang sempat tertunda.

Dengan berpegang kepada pengalaman juga pelajaran yang telah diajarkan oleh Kak Elen di Minggu sebelumnya. Aku pun mulai meyakinkan diri untuk berkeliling memotret kegiatan seminar yang sedang berlangsung.

Kamera yang kupegang menjepret mereka yang sedang fokus memperhatikan arahan yang diberikan oleh psikolog di depan sana. Bahkan ketika hasilnya terlihat pun kurasa sangat menakjubkan. Dengan beragam ekspresi mereka yang menurutku terlihat sangat mempesona, wajah candid semua orang di sini menghasilkan seni unik yang akan menjadi bukti jika anggota OSIS di angkatanku pernah menggarap seminar menarik seperti ini, tak akan dapat dilupakan meski hanya sebatas waktu.

Sesaat aku menyimak materi yang sedang dijelaskan. Ke mana arah pembahasan mengarah mengenai peranan penting orang tua dalam membangun karakteristik anaknya. Membuatku sedikit menentang, karena orang tuaku yang terlihat kurang tegas denganku pun dapat menghasilkan anak yang sangat menurut untuk mereka.

Meski itu hanya dilihat dari sudut pandangku sendiri, tapi tetap saja setiap orang tua yang memiliki peranan penting untuk anaknya pun sering kali lalai dalam memanusiakan manusia. Hingga mempekerjakan buah hatinya selayaknya budak yang harus terus menuruti semua keinginan mereka.

Tak lama, seminar kemudian selesai dengan para murid yang duduk di kursi penonton lebih dulu keluar meninggalkan aula. Kami--para anggota OSIS--berkumpul terlebih dahulu untuk mengabadikan kebersamaan, berfoto bersama dengan pemateri seminar pada sabtu hari ini.

Awalnya aku berniat menjadi juru kamera mereka, namun setelah Angga menarikku untuk bergabung dengan anggota OSIS yang lain membuatku harus menurutinya saja. Lagipula, kamera kini dipegang oleh salah satu murid sekolah yang masih tersisa di dalam aula.

Setelah sesi foto berakhir, aku memutuskan keluar sesaat untuk mengambil gambar keadaan sekitar di sekolah. Meninggalkan para anggota OSIS di dalam yang sedang merapikan aula bekas seminar tadi.

Kulihat dari kejauhan sana para anggota ekstrakurikuler atau club yang tadi tidak mengikuti seminar karena jam latihannya bertepatan langsung dengan jam seminar yang dilakukan pada pagi hari ini mulai berjalan keluar meninggalkan tempat kegiatannya masing-masing.

Rentetan bunga anggrek tertanam di depan aula, sangat indah bertepatan langsung dengan cahaya matahari yang tepat. Sekali jepretan, foto cantik bunga berkelopak putih itu terlihat sangat indah dengan bagian belakang terlihat ikut blur menambahkan kesan menonjol pada bunga itu terlihat dengan jelas.

Aku berjalan lebih cepat menyusuri seisi sekolah untuk mencari beragam pemandangan lagi yang sesuai. Kufoto beberapa orang yang sedang melakukan aktivitas, terlihat sangat bagus hingga membuatku ketagihan untuk terus memotret orang-orang yang berada di sekitarku.

Aku memperhatikan kembali jumlah foto yang sudah kuambil pagi tadi. Di tengah kegiatanku, orang dengan seragam olahraga yang tengah membawa setumpuk buku bersampul biru di tangannya seketika langsung menarik perhatian. Diriku melihat sekilas sebelum akhirnya menyadari jika orang di depanku adalah laki-laki yang kemarin bertemu denganku di mal.

Allegra dengan sangat tenang berjalan menuju ke arahku tanpa menghiraukan satu pun orang-orang di sekitarnya. Terbesit di dalam pikiran untuk memotret pemuda itu sesaat sebelum dia benar-benar menyadari kebaradaanku kali ini.

Kamera yang kupegang terangkat memperlihatkan layar kecil yang menampilkan pemuda dingin di sana ketika salah satu mataku tertutup. Suara shutter kamera berbunyi. Menjepret gambar Allegra yang berjalan seolah tak sedikit pun memperhatikanku.

Aku tersenyum semringah dengan apa yang kudapatkan. Foto candid pemuda itu telah berhasil dijepret meski diriku belum sepenuhnya melihat hasil yang di dapat.

Setelah pemuda itu mendekat, dia melihat ke arahku sambil tubuhnya sedikit menegang. Peluh di tubuhnya semakin banyak menetes keluar. Aku melihat wajah Allegra pucat pasi, pupil mata cokelat gelap itu melihatku dengan tatapan seperti membenci.

Dia bergetar hebat. Dadanya mulai kembali tersenggal-sengal. Pemuda itu kesusahan meraup napas dengan tenang.

Dia berlari kencang. Sambil memegangi tangannya ke arah jantung, Allegra melangkah sempoyongan bagaikan ia akan terjatuh.

Aku panik. Mulai berjalan mengejarnya meski kini tubuh pemuda itu telah lebih jauh menghilang di hadapanku.

Semua pertanyaan kembali muncul di kepala, seolah berupaya untuk membuatku tak keluar seinci pun dari zona teritorial remaja laki-laki itu. Aku pun bingung alasan sesungguhnya kenapa Allegra selalu menghindariku di saat sedang membawa kamera. Apa dia takut sama aku?

Tatapanku beralih kembali ke kamera yang sedang aku pegang. Sebuah foto Allegra dengan jas biru dongker sedang memegangi dadanya sambil bersandar di belakang sebuah pintu.

Aku mengenali setelan yang ia pakai. Itu dirinya kemarin, yang kutemui di mal pada saat dia berusaha berlari menghindariku.

Seolah duniaku mulai berputar tanpa henti. Membawa beragam pertanyaan hingga saat ini.

Kenapa Allegra penuh tanda tanya?

Kenapa foto yang tadi kujepret malah menampilkan kegiatan pemuda itu sehari yang lalu?

Ada apa dengan kamera yang sedang kupegang ini?

***

A/N:

Aku nulis ini ngebut. Hari ini sedikit sibuk banyak banget kegiatanku.

Jangan lupa kritik dan saran yang membangun. Ini terlalu cepat bagiku untuk membuka konflik penggerak.

rifuriqi 👽🐙

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top