Bab 3 - Anak Baru
Hiruk pikuk suara puluhan orang yang berada di dalam kelas yang kutuju terdengar dari kejauhan. Aku memberhentikan langkah ketika melihat mading terakhir yang berada tepat di samping jejeran kelas sebelas IPA.
Lembaran banner terakhir kutempelkan di sana. Sambil tergesa, tanganku menepuk-tepuk pelan mading tersebut supaya banner yang kupasang dapat menempel dengan sempurna.
Buru-buru kuselesaikan tugasku ketika melihat seorang wanita bertubuh tinggi semampai dengan tumpukan buku biologi di tangannya sedang berjalan mendekat ke arah kelas yang ingin aku tuju.
Aku berlari pelan.
Suasana berubah ketika aku melangkah masuk melewati palang pintu yang menjadi pembatas antara kelas dengan koridor sekolah. Sangat gaduh, bahkan hanya dengan melihatnya saja sudah dipastikan jika tempat yang kumasuki ini telah bertransformasi menjadi begitu kacau.
Aku segera melangkah melewati deretan meja yang sedang dijadikan sebagai ajang konser mendadak oleh para siwa di kelasku. Beberapa siswi bahkan kulihat tengah berkumpul di pojok ruangan, entah sedang melakukan kegiatan apa, tapi sepertinya itu semua sangat tidak penting untuk kupedulikan.
Sinar mentari pagi di luar ruangan masih sedikit terlihat samar, meski jendela kaca yang terhubung dengan taman di belakang kelas itu tertutup oleh tirai hijau yang ada di dalam kelas. Aku mendudukkan diri, tepat di kursi ketiga dari belakang yang berada di dekat jendela.
Guru yang tadi membawa buku biologi itu mengucapkan sapaannya ketika dia baru saja melangkah masuk ke dalam kelas. Seketika, semua murid di kelasku kalang kabut merapikan kekacauan yang diperbuat.
Senyumku mengembang, tatkala kulihat seluruh teman sekelasku berlari kocar-kacir menuju kursinya masing-masing. Guru perempuan yang sedang berdiri di depan sana hanya menepuk pelan papan tulis untuk menghentikan kericuhan yang terjadi karenanya. Bibirnya tersenyum semringah hingga membuat lesung pipit di kedua pipi wanita itu terlihat sempurna. Guru tersebut mulai mengucapkan sepenggal kalimat.
"Kali ini, kalian akan kedatangan teman baru," kata orang yang berdiri di depan sana, dengan nada antusias. Kulihat beberapa teman perempuanku di kelas ini saling bertanya-tanya seperti apa rupa fisik anak baru yang akan ikut menetap di kelas yang kacau ini.
Aku menopang dagu, mengalihkan tatapanku untuk menatap tembok putih di samping yang sebagian warnanya terdapat noda-noda bekas tinta. Hingga kemudian mengingatkanku kembali dengan dia yang perlahan memudar di kepala, orang asing yang kulihat tempo hari di dalam mobil, yang menurutku terlihat begitu suram.
"Silakan masuk, Nak."
Kelas riuh kembali, sorak semarai teman kelasku terdengar nyaring bersahutan. Bahkan, aku dapat mendengar teriakan kegirangan terlontar begitu saja dari mulut beberapa kaum hawa di kelasku.
Aku melirik sekilas ke depan, bermaksud untuk mengetahui dalang di balik teriakan barusan. Tubuhku mematung pada saat melihat orang yang berdiri di dekat guru biologi itu. Dengan rambut hitam gelap yang menutupi sebagian dahinya juga mata elang yang sangat familier, serupa mentari ketika datang di tengah kegelapan dengan cahayanya. Aku tidak begitu yakin, tetapi aku merasa laki-laki itu adalah orang yang kemarin bertatapan langsung denganku.
"Perkenalkan namamu dulu, Nak."
Pemuda di depan sana melirik sekeliling. Dengan tarikan napas pelan, untuk pertama kalinya aku mendengar langsung suara remaja laki-laki itu.
"Namaku, Allegra Reinaldi," ucapnya datar dengan wajah tanpa ekspresi.
Suara sedikit bsrat yang indah, bibir merah merona itu bergerak memaksa senyum meski kulihat yang keluar hanyalah senyuman hambar. Rahang tegasnya sedikit mengeras pada saat mendengar para murid perempuan mulai menggoda pemuda di depan sana. Seperti kemarin, kuyakin ia memang sangat benci dengan keramaian.
Guru di samping Allegra kembali menghentikan kekacauan yang berusan terjadi. Ditatapnya seisi kelas dengan tatapan mengintimidasi seperti guru itu ingin semuanya benar-benar menjadi tenang kembali seperti sediakala.
"Allegra adalah anak dari salah satu investor paling berpengaruh di sekolah ini. Yang sudah membiayai seluruh fasilitas dan infrastruktur untuk dinikmati oleh seluruh warga sekolah." Guru itu menarik napas. "Jadi ... mohon bantuannya, ya."
Guru di depan sana tersenyum lembut. Tatapan ketidaksukaan terlihat dari beberapa murid yang lain ketika aku memalingkan wajah mencoba untuk memperhatikan keadaan kelas kali ini.
Bahkan kudengar ada suara yang berucap tak segan untuk memprotes lebih lanjut seolah tak suka dengan perlakuan khusus yang diberikan oleh guru tersebut kepada Allegra. Meski kuanggap sama saja. Itu semua bagaikan guru yang menginginkan muridnya untuk saling mengakrabkan diri tanpa membuat satu pun keributan.
Kemudian, aku mulai ikut melirik sekilas untuk sedikit menatap wajah tampan kepunyaan remaja laki-laki yang ada di depan sana. Seketika, mata kami saling bertemu untuk waktu yang cukup lama.
Tatapan datar yang diberikan oleh Allegra masih sama seperti terakhir kali yang kulihat. Deru napas terdengar keluar dari hidungku, dengan ritme sedikit lebih cepat begitu melihat mimik wajah pucat pasi penuh peluh menghiasi wajah tampan kepunyaan lelaki di depan sana.
Dalam diam, kulihat laki-laki itu mulai bernapas sangat cepat, hingga memperlihatkan dada kembang-kempis sambil sedikit memain-mainkan tali tas ransel yang menggantung di sampingnya.
Mata berpupil cokelat gelap kepunyaan Allegra menatapku dengan lebih dalam lagi. Tubuh tinggi tegapnya mulai bergoncang pelan sebelum akhirnya dia hampir jatuh jika saja guru yang ada di sampingnya tak sigap menangkap pemuda itu. Seketika, waktu berhenti. Aku melihat orang-orang mulai panik karena menyaksikan langsung kejadian tersebut. Allegra menatapku kembali dengan mata yang berbinar seperti mengharapkan sesuatu dariku. Meski, aku tak tahu keseluruhan isi pikirannya kali ini.
Seolah tersihir dengan pancaran binar dari mata indah itu, tubuhku semakin condong untuk memperhatikannya lebih detail. Hidung mancung dengan alis mata tebal membuatku terperdaya. Allegra kesusahan menyesuaikan tubuhnya, kulihat deru napas laki-laki itu semakin melemah ketika dia terus-menerus meraup napas untuk mengembalikan kesadaran.
Aku panik. Belum sempat berdiri untuk mendekatinya, guru yang ada di samping Allegra kemudian memberikan aba-aba kepada seluruh murid yang berada di dalam kelas ini untuk tetap tenang dan diam di tempat dengan cara melupakan kejadian barusan.
Setelah tenang, Allegra di depan sana saling bercakap pelan dengan guru itu, meski terlihat tengah berbisik. Tidak begitu lama, pemuda itu mengangguk patuh. Seruan sedikit kencang dari guru biologi untuk menyuruhnya duduk di bangku paling belakang membuatku sedikit lebih tenang.
Allegra berjalan mendekat ke arahku. Wajahnya tak sedikit pun berpaling menatap ke sekitar. Atmosfer kelas tiba-tiba berubah di setiap langkahnya yang hampir menipis dari tempat duduk di dekat barisanku. Hawa dingin terasa ketika pemuda tersebut mulai berjalan. Seolah kami tak pernah bertemu sekali pun, Allegra melangkah pelan melewatiku tanpa menghiraukan keberadaanku di sampingnya. Hingga, membuat raut wajah menusuk pemuda beralis tebal itu terlihat lebih menyeramkan.
Beberapa teman sekelasku pun sepertinya menyadari hal itu, meski kini sebagian siswi kulihat sudah terbuai dengan paras tampan yang dimiliki oleh Allegra.
Sejak kedatangan pemuda itu di kelasku, selama jam pelajaran berlangsung semua pemikiran yang kusimpan hanya berporos kepadanya. Hingga pada akhirnya membuat banyak pertanyaan retoris yang tak bisa kumengerti timbul karena pemikiran itu. Tapi, satu yang harus kuyakini. Aku tak boleh lebih jauh berurusan dengannya meski keingintahuanku mungkin akan bergejolak lebih dalam setelah apa yang kulihat kemarin.
Lebam biru di lehernya hanya dalam hitungan hari tiba-tiba menghilang. Entah kemarin aku yang salah melihat atau memang semua itu merupakan skenario yang sudah dia susun. Aku berani bersumpah, kemarin sepertinya memang terlihat sangat jelas. Bahkan bentuknya masih beterbangan di ingatan, sangat besar hingga menutupi seisi leher.
Untungnya, sejauh apa yang kutahu tak ada satu pun orang yang mengetahui hal itu di kelas ini selain diriku. Aku bersyukur, entah apa yang telah dia lakukan dengan lehernya, jika skenario itu telah disusun hanya untuk terlihat sempurna ....
Allegra sangat keterlaluan.
***
A/N:
Bab tiga masih terlalu hambar buatku. Aku perdana nulis teenlit di cerita ini. Nikmatin aja alurnya yang sedikit mengalir lebih lambat.
Tapi kuusahakan lebih baik lagi ke depannya. Okey! ;D
rifuriqi 👽🐙
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top