Bab 25 - "Semua akan baik-baik saja."
Seharian ini isak tangis tak ada hentinya menggema hingga memenuhi seisi koridor rumah sakit. Kami duduk berjejeran di atas bangku sembari mendengar raungan nestapa dari sekeliling, memanjatkan beribu-ribu doa agar sang Kuasa mendengar harapan yang sekiranya mulai terasa sia-sia.
Berita duka tentang kekerasan fisik dan mental terhadap Allegra membuat kepiluan semakin meledak. Beberapa jam berlalu setelah terungkap, pemuda di dalam ruang inap sana belum juga membuka mata.
Kak Elen sudah lebih dulu kembali ke rumah diantar oleh Angga sebelum pemuda itu kembali menemuiku. Sementara itu, Kak Raya berada di dalam sana, menemani Allegra bersama sanak saudaranya hingga hanya menyisakan aku dan Kak Dean yang diam terbelenggu dengan dunia masing-masing.
Air mata ini belum juga terhenti menetes keluar dari pelupuk mata. Tubuhku masih bergetar, dirundung pilu nan menyesakkan.
Tepukan pelan terasa di bahu, setelah berbalik aku dapat melihat Kak Dean dengan ekspresi duka bekas tangisan tengah menatapku sambil memaksa senyum.
Bibirnya bergerak, mengucapkan beberapa kata. "Ayo kita makan dulu."
Aku menggeleng pelan sebelum tangannya beranjak menarik pergeralangan tanganku untuk ikut berdiri.
"Menangis boleh, tapi jangan melupakan semuanya. Perutmu butuh makan, Allegra juga mau melihatmu selalu sehat."
Aku mengangguk tanpa suara, Kak Dean pun mulai berjalan menuntunku meninggalkan lorong yang terhubung dengan ruangan Allegra.
Kami berdua berjalan melewati tiap keadaan manusia yang suaranya memenuhi tiap sudut rumah sakit. Ada yang menangis sesenggukan, ada pula yang melambungkan tawa renyah berusaha memasang topeng meski hawa duka terasa menelusuk di sekitar.
Sesampainya di kafetaria, aku dan Kak Dean memilih duduk di kursi yang terletak paling ujung, berada di sudut ruangan dengan sebuah meja yang berwarna senada.
Setelah melakukan pemesanan serta membeli makanan bungkusan yang telah tersedia. Kami berdua mendudukkan diri, saling berhadapan menatap lawan bicara masing-masing.
Suapan pertama terasa setelah nasi goreng memasuki tenggorokan. Kami membisu untuk sesaat sebelum akhirnya Kak Dean mengucapkan beberapa kata.
"Maafkan aku," ucapnya parau.
"Maaf karena apa?"
"Karena ... aku dan Raya yang menelepon dan mengancammu untuk menghapus foto Allegra."
Aku diam mematung, mencerna kenbali tiap kata yang keluar dari pemuda di depanku. Nomor Kak Raya, ponsel QWERTY yang ditemukan, dan keberadaan Kak Dean dekat dengan tempat penyerangan Angga. Menguatkan bukti jika mereka adalah dalang utama dalam kasus peneror misterius.
Baru ingin menimpali perkatannya, tiba-tiba Kak Dean kembali bersuara.
"Percaya, Le. Aku tidak bermaksud menyakitimu, hanya saja ingin melindungi Allegra supaya dia tidak terikat dan merasa tersakiti setelah melihat kamera itu." Dia menatapku dalam. "Kamu sudah berhasil mengingat semuanya, 'kan?"
Aku mengangguk. Berusaha menerima kebenaran membuat hati ini semakin sesak. Mengingat seberapa jauh pengungkapan yang menyatukan memori telah bertemu denganku hanya dalam jangka waktu dua hari.
"Allegra setelah mengetahui kecelakaan yang menimpamu merasa bersalah hingga dia benar-benar takut dan benci dengan kamera. Terus-menerus meraung ke Ayah hingga media mengetahui dan berita tentang dia gila telah beredar di kalangan paparazi.
"Waktu itu Ayah mengurungnya di dalam kamar, hingga terus-menerus membuat Allegra tidak bisa bertemu dengan dunia luar dan menyapa kamu untuk hanya sekadar mengucapkan permintaan maaf."
Segala pengetahuan membuatku semakin terperosok jatuh ke dalam lubang penyesalan yang mendalam. Menggores luka di hati serta rasa sesak yang semakin lama kian bertambah.
Kak Dean mengungkapkan segalanya, segala sesuatu yang menjadi pertanyaan dan alasan kenapa di tiap fotonya hanya terlihat gelap yang selalu menerpa pemuda yang kini sedang terbaring tak sadarkan diri.
"Aku dan Raya tidak bisa melawan perkataan Ayah. Bahkan sekadar melapor ke pihak berwajib rasanya sulit ketika Ayah terus mengawasi kami tanpa henti dengan semua bawahannya." Pemuda di depanku menghela napas sejenak. "Oleh karena itu aku berusaha untuk menjaga Allegra sebisa mungkin setelah dia memutuskan masuk ke SMA dengan bantuan relasi Ayah, agar adik terakhirku itu dapat terhindar dari segala macam orang-orang itu. Dan aku ingin melindungimu juga ...."
Sekali lagi, aku berusaha menahan tangisan yang siap keluar dari pelupuk mata. Mencoba terlihat tenang walau pikiran ini bergemuruh untuk menangis sederas-derasnya.
Penjelasan dari Kak Dean mengerikanku sedikit pencerahan dengan deretan kejadian yang menimpaku setelah Allegra datang ke sekolah.
Penyebab pemuda itu berada di mal bertepatan dengan hari di mana wali kota sedang mengumpulkan masa dengan pakaian yang dikenakan berwarna serupa. Bagaimana panggilan aneh itu muncul setelah aku memotret Allegra ketika seminar kesehatan mental telah berhasil dilaksanakan. Bagaimana Allegra berusaha menjauh dari keramaian dan diam tanpa bahasa menyapa banyak orang.
Aku tau itu upaya yang kamu lakukan untuk bertahan diri, Allegra.
Terlintas di kepala, kejadian bertepatan dengan penyerangan Angga. "Jadi, yang menyerang Angga juga Kak Dean?"
Hening, pemuda di depanku hanya menatap sekotak nasi di atas meja sebelum akhirnya dia menganggukkan kepala beberapa kali. "Aku sangat menyayangi Allegra. Dia satu-satunya anak yang tidak bahagia, apalagi jeruji gelap yang mengurungnya tak pernah mau terlepas ... bahkan hingga saat ini."
Mata Kak Dean kini kembali menatapku, memasang raut pilu sebelum akhirnya ia mengungkapkan lagi semua yang terjadi.
"Jika kamu pernah melihat sedan hitam yang selalu mengantarkan Allegra, perbuatan Ayah menaruh banyak sekali besi di dalamnya. Agar Allegra tidak melarikan diri."
Dari sekian banyak perkataan yang keluar dari mulut Kak Dean, kali ini tentang sedan hitam yang juga mengurung Allegra lah membuatku benar-benar meneteskan air mata.
Allegra ... seberapa jauh rasa sakit yang kamu derita? Apa kamu lelah hingga beristirahat sangat lama?
Langkah kaki terdengar bergema di tengah kafetaria rumah sakit yang lumayan sepi ini. Seseorang terasa mendekat ke arahku dan Kak Dean. Hingga berhenti, napas orang itu tersengal-sengal.
Aku menoleh ke samping, melihat ada Kak Raya yang telah berdiri sambil menghirup udara dalam-dalam.
"Tadi aku mencari kalian-" Kak Raya menghentikan ucapannya sesaat. "A-allegra ... dia telah sadar."
Aku terlonjak dengan rasa syukur yang terus terucap di dalam hati. Pemuda di depanku malah lebih dulu mengubah ekspresi sebelum kami bertiga pergi menemui orang yang telah lama kutunggu.
***
Suasana kamar rawat inap ini sama dengan kamar rawat inap yang lainnya. Aroma obat-obatan menyeruak masuk ke hidung, peralatan medis yang bekerja dengan sendirinya, ruangan berukuran sedang dengan tembok sekeliling semuanya berwarna putih cerah, semua ini terlihat sama. Yang membedakan hanya pasien di atas ranjang sana, dengan tubuh tinggi dipenuhi luka yang terlihat rapuh. Ia menatap atap ruangan dengan tatapan kosong.
Semua orang yang ada di dalam berpaling melihat ke arahku. Aku hanya mematung di tempat setelah Kak Raya dan Kak Dean pergi lebih dulu menghampiri sisian ranjang untuk melihat keadaan Allegra.
Kaki ini terasa berat, untuk melangkah dan kembali menyapanya setelah tak bertemu hampir seminggu lamanya.
"A-aleana?"
Suara Allegra menjelma dengan tenang yang menyapa. Terdengar jelas di telinga bagaimana suaranya bergetar seolah sulit untuk mengucapkan beberapa kata setelahnya.
"Iya?"
Tangan kanan Allegra menepuk-nepuk pelan kasur putih yang menjadi alasnya terbaring. Ia memberikan tanda untukku mendekat, berbarengan dengan beberapa orang di ruangan ini yang mulai pergi. Hingga hanya menyisakan aku, Allegra, Kak Dean, juga Kak Raya yang masih mengelilingi tempatnya beristirahat barang sejenak.
Aku mengambil kursi yang terletak tak jauh dari sisi kasur. Duduk menatap Allegra dengan air mata yang kian menggumpal di dalam pelupuk mata.
Dia terdiam membisu, memaksa senyum dengan wajah pucat pasi yang terdapat banyak lebam biru.
"A-apa kamu telah me-mengingatku sebagai Allegra?" Nada teduh terdengar, walau ucapannya sedikit terbata karena pemasok oksigen yang menghalangi pergerakan mulutnya.
"Maafkan aku, Gra," ucapku lihir tanpa berhasil membendung tangisan yang keluar. "Maafkan aku telah melupakanmu."
Senyum kecil terlihat tersungging di bibirnya. Mengindahkan wajah tampan hingga membuat kedua iris mata cokelat gelap itu terbenam karena kelopak mata yang membentuk seperti bulan sabit.
Terlihat menenangkan, rasa rindu mendalam telah memohon untuk keluar. Senyum tulus itu terasa sama seperti dulu, saat dia masih selalu tersenyum setelah menyapaku ketika kami berdua bertemu.
"Aku merindukanmu." Nada suaraku terdengar semakin sendu.
Ternyata kamu masih mirip dengan yang dulu. Tak ada yang berubah.
Senyum menenangkan itu berganti menjadi helaan napas sesaat. Terdengar lirih dengan getir ikut menohok setiap detik yang berlalu.
"A-aku lelah." Allegra merapikan posisi terbaringnya. "Le-leherku semakin s-sakit."
Dia menatap atap ruangan ini dengan sorot berbinar. Membuatku merekam dengan saksama segala macam tingkahnya yang terjadi sebelum tau bahwa detak jantung di hatiku terdengar lebih cepat dari biasanya.
Waktu seolah berhenti setelah manik cokelat gelap itu beralih menatapku. Dengan tatapan mendalam, segalanya berlalu tanpa perkataan. Membuat berbagai macam rasa yang dulu bersarang kini kembali untuk sendirinya, memasang memori lama yang sempat terpendam agar dapat kembali dinikmati walau itu hanya sesaat.
"Apa kamu baik-baik saja kalau aku mengistirahatkan diri sebentar?" Allegra mulai memejamkan matanya, memasang senyum paling sempurna dengan deru napas yang kian menipis.
"Tetap bahagia, Le," ujarnya singkat sembari mencoba memegang salah satu tanganku dengan erat.
"Aku menyayangimu."
Aku merapatkan bibir. Mencoba menahan sesak di dada meskipun mata ini bergetar mengeluarkan air mata yang sudah lama tertahan, menetes di sela-sela tautan tangan kami berdua hingga melebur menjadi satu dengan tangan lembut yang sedang aku genggam.
Isak tangis terdengar keluar dari dua orang lainnya yang ada di dalam ruangan ini. Menyaksikan sang Empunya mata seindah rembulan sedang terpejam mengistirahatkan diri untuk waktu yang tak akan pernah bisa ditentukan.
Merekam kenangan terakhir sebelum pemuda itu tiada, membiarkan iris mata cokelat gelap miliknya tertutup.
Iya, Gra. Semua akan baik-baik saja, istirahat yang damai. Aku pun menyayangimu.
***
A/N (Wajib baca):
Aloha.
Akhirnya tamat, huhuhu. (゚ε゚)
Masih ada epilog. Btw aku rasa ini enggak ada feelnya :'
Oh, aku lupa menambahkan epilog.
Setelah lomba ini selesai aku bakalan revisi bertahap dari prolog. Perbaiki kaidah kepenulisan yang selama ini enggak pernah aku perhatikan selama nulis EWBF dalam satu bulan. Kembali menambahkan detail juga supaya bisa dapet feelnya. Part Allegra bakalan dibanyakin:'
Sebenarnya di outlije ada 40 bab lebih, banyak banget hal penting yang tidak kucantumkan. Bahkan beberapa scene yang seharusnya ada malah kukasih alternatif lain.
rifuriqi 👽🐙
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top