Bab 24 - Penyebab Dia yang Menghilang

Aku terbangun dengan deru napas tersengal-sengal. Menatap diam ke depan yang menampilkan beberapa perabot rumah tangga. Melihat satu sisi paling gelap, seolah segala kecemasan mulai menghilang seketika setelah nyaman menerpa.

Melambungkan harapan pada keyakinan yang seolah tak akan memiliki kepastian hanyalah sebatas mimpi indah.

Bahkan sudah sehari berlalu sejak pertama kali semua kebohongan itu terkuak. Allegra masih menghilang, tak menyisakan sedikit pun kenangan panjang untuk ditinggal dan hanya beberapa lembar foto yang masih tersimpan indah setelah kamera itu benar-benar sudah lagi tak dapat dipakai.

Segala pilu telah kusimpan, untuk terbuka bersama jawaban terakhir jika nanti saatnya aku dapat kembali mempersiapkan diri dengan segala macam rasa sesak di dada setelah pertemuan singkat yang memakan perasaan.

Dunia kembali hampa. Bahkan ketika semua berlalu seperti beberapa tahun terakhir rasa nyaman ini tak pernah terasa kembali. Meninggalkan satu pertanyaan yang ingin selalu kutanyakan setelah kebenaran terungkap. Allegra di mana?

Aku melirik ke arah nakas yang penuh dengan gunungan foto yang belum tersusun rapi. Awalnya niat di hati berusaha untuk merapikan segalanya, namun setelah melihat beberapa potret menarik, rasa keingintahuan menyelusup di dada agar semua pertanyaan yang telah menemukan jawaban itu memiliki penguatan.

Aku mengambil foto masa kecil Allegra yang sempat terpotret, ribuan bintang di belakang anak itu terlihat jumawa bersama cahaya cemerlang dengan rembulan yang juga ikut bersinar meramaikan malam cerah hasil lukisan Yang Maha Kuasa.

Anak itu duduk melipat lutut sambil menghadap pepohonan rindang di depannya. Di atas tebing curam yang memiliki bebatuan tajam, Allegra diam tak berkutik di dalam foto itu. Mengingatkanku dengan kepingan kenangan yang tersimpan untuk kali pertama setelah bertemu dengannya, mimpiku ketika pingsan dahulu dan juga tempatku memagut janji bersama sang Wajah Kelam sebelum kecelakaan itu terjadi.

Beberapa foto setelahnya hanyalah gambar gelap memantulkan cahaya. Tak ada yang menarik kecuali selembar obat kapsul yang memiliki nama sulpiride yang dipegang oleh Allegra di foto close up saat pemuda itu menatap ke depan dengan binar air mata.

Satu hal lagi yang menarik minat. Permintaan tolong tertulis dengan darah di balik dinding, ada Allegra yang berdiri diam di bawah lampu temaram tak jauh dari tembok itu dengan banyak lebam biru di wajahnya.

Jadi, sesuatu apa yang menimpa Allegra sebenarnya?

Aku tidak tau seberapa berat ia menahan semuanya. Tapi jika sakit, aku berharap pemuda itu mau mengistirahatkan diri barang sejenak. Karena dengan hanya melihat iris cokelat gelap itu aku jadi tahu jika Allegra benar-benar kelelahan.

Pagi hari langit masih berwarna kelabu setelah menyapa malam dengan hujan yang turun tak ada hentinya. Membawa hawa sejuk terus-menerus sebelum berganti hangat karena selimut masih terbalut di tubuh.

Aku beranjak dari tempat tidur, memasukan ribuan foto tersebut ke dalam laci nakas yang isinya memang sedikit kosong. Ketika baru membukanya, aku dikejutkan oleh ponsel QWERTY keluaran lama yang tergeletak di dalam sana.

Langsung saja kuambil dengan cepat. Kepala ini memproses kembali beberapa kejadian lalu di mana Angga mendapatkan ponsel tersebut jatuh dari saku orang yang menyerang Angga sepekan lalu.

Aku memasukan ribuan foto ke dalam laci setelah ponsel tersebut berhasil dikeluarkan. Tampak masih baru, namun posisinya mati karena setauku sisa baterai terakhirnya telah digunakan oleh Angga untuk meneleponku.

Aku pun mengambil salah satu kabel data yang ujungnya terlihat mirip dengan bagian bawah ponsel tersebut. Memasangkannya hingga gambar batrai terisi terlihat berada di dalam layar. Menunggu beberapa saat, sebelum ponsel itu benar-benar kuhidupkan.

Pertama terlihat adalah gambar menu setelah ponsel tersebut menyala. Menampilkan beberapa aplikasi mengambang sebelum akhirnya tangan ini bergerak menyentuh logo telepon yang berada di pojok kiri bagian bawah.

Log panggilan terbuka, menampilkan satu nomor ponsel paling bawah yang telah bertukar panggilan dengan pemilik ponsel yang tidak dikenal ini, sebelum akhirnya nomor ponsel yang berbeda terlihat bertukar suara beberapa kali.

Secara mendasar, hanya dua nomor telepon yang berhasil dihubungi melihat dari riwayat panggilan di ponsel tersebut. Ada beberapa nomor yang sama berhasil menelepon kontak ini secara beruntun, sisanya hanya nomor yang satu lagi dengan sekali panggilan.

Aku tahu, melihat dari deretan nomor itu dapat tersadar dengan semuanya. Jumlah panggilan beruntun dengan nomor sama itu merupakan nomor yang sangat familier, milikku.

Buru-buru aku mengecek ponsel untuk memastikan riwayat penggilan pada tanggal dan waktu yang sama.

Tubuh ini menegang, tatkala menyadari jika riwayat panggilan tersebut mengarah ke nomor penelepon misterius.

Aku menekan nomor tersebut, memastikan agar segala sesuatu bergerak supaya tak terlalu tiba-tiba. Ponsel QWERTY berdering diiringi nomorku yang juga ikut terlihat berderet mengambang di dalam layar ponsel tersebut.

Jadi ... yang menyerang Angga adalah penelepon misterius itu?

Semakin membeku di tempat, aku diam membisu sebelum akhirnya teringat kembali dengan satu nomor terakhir yang berada di riwayat telepon seperti nomorku di ponsel QWERTY tersebut.

Mennyalinnya ke ponselku, lalu mencoba menghubungi nomor tersebut sebelum akhirnya nomor asing itu menampilkan satu nama kontak yang telah lama kusimpan.

Kak Raya, salah satu kakak kelas yang menjadi anggota OSIS juga saudara kembar Kak Dean, kakak dari Allegra. Hubungan itu baru kuketahui setelah mimpi malam tadi membawa memori lama untuk menyapa. Dikuatkan dengan foto yang berhasil kujepret ketika memotret Allegra.

Namun, apa hubungan Kak Raya dengan pemilik ponsel QWERTY tersebut?

Aku menggeram kesal, membanting ponsel lama ke atas kasur sebelum akhrinya tubuh ini resmi berbaring.

Menggerakkan jemari kecil ini untuk mencari sesuatu di pencarian internet, berusaha menemukan jawaban tentang Kak Raya meskipun aku tahu tak akan memiliki hasil.

Ketika ingin mengetik kata kunci, rekomendasi berita teratas yang ada di aplikasi tersebut membuatku tertarik. Berita yang baru keluar beberapa jam terakhir, memperlihatkan topik menarik tentang seorang wali kota di kotaku yang terindikasi melakukan penyiksaan kepada salah satu anaknya.

Aku menekan link tersebut. Membaca tiap paragraf dengan saksama.

Wali kota A dengan inisial GR (50 tahun) terlihat menyiksa anaknya AR (16 tahun) yang masih menempuh pendidikan sekolah menengah atas.

Diketahui kejadian ini terungkap setelah korban dilarikan ke rumah sakit oleh kedua saudaranya. Dengan keadaan tak sadarkan diri, lebam biru di tubuh dan luka yang masih menganga menguatkan bukti.

Untuk saat ini tersangka utama telah diamankan, sambil polisi mencari barang bukti tambahan di rumahnya. Terdapat cambuk, kayu, pisau, dan beberapa obat gangguan jiwa yang berada di dalam ruangan gelap. Tim penyidik curiga jika penyiksaan itu melibatkan pengurungan. Penyebab penyiksaan itu belum diketahui, hanya beberapa spekulasi dasar.

Sementara itu, wali kota GR di-blokir untuk ikut serta mencalonkan diri dari pemilu berikutnya.

Ponselku tiba-tiba berbunyi, menampilkan deretan nama Kak Elen di layar ponsel yang sedang memanggil. Buru-buru logo telepon berwarna hijau ditekan olehku.

Hingga persekian detik berlalu, hanya isak tangis keluar dari seberang sana sebelum akhirnya ia mengucapkan beberapa kata yang membuatku lumpuh di tempat dengan rasa nyeri yang kian menjalar.

"Al-leana ... Allegra, di rumah sakit."

***

A/N:

Wah, akhirnya kita bertemu di author note lagi. ≥﹏≤

Bagaimana kabar kalian? Semoga sehat, tinggal satu chapter lagi menuju epilog. Semoga suka, dan segala macam pertanyaan telah terungkap.

Mau bagaimana pun nantinya, aku harus menerima ini semua. :")

rifuriqi 👽🐙

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top