Bab 23 - Petir dan Tebing

Tenda biru berbaris rapi dengan banyaknya kenangan tersimpan melalui setiap potret yang diabadikan oleh kamera kepunyaan anak laki-laki bermata cokelat gelap.

Gigi putih bersihnya terkatup oleh mulut sehingga hanya menampilkan wajah muram namun terbalut dengan sikap setenang telaga.

Mentari sore hari ini terlihat masih menyala meskipun gumpalan awan hitam di atas sana membuat langit-langit yang semulanya cerah kini berganti menjadi kelabu.

Allegra beringsut mengambil satu jepretan terakhir sebelum ia berbalik lalu memotretku tanpa adanya persiapan.

Suara shutter kamera berbunyi, memperlihatkan senyum manisnya mengudara. Dengan hanya sekali tatap, anak laki-laki itu dapat membuat debaran jantung ini terasa memiliki ritme yang lebih cepat.

"Kamu masih memperhatikanku?"

Pertanyaannya, membuat senyumku ikut mengembang. "Aku selalu suka semua yang kamu lakukan."

Dia terkekeh geli, sebelum akhirnya mengacak rambutku pelan. "Memangnya aku ini apa?"

Aku mematung di tempat, merasakan tiap ruas jari bersentuhan langsung dengan puncak kepala. Terasa nyaman, serta hangat yang langsung membuat tubuh tersengat tak karuan.

"Tapi benar tau ... kamu sangat tergila-gila dengan foto. Mungkin aku juga akan sepertimu jika menjajalnya sesekali," ucapku sambil menunjuk kamera, yang terhubung langsung dengan tali yang mengalung di lehernya.

Allegra menepuk pelan kamera itu, kemudian menyerahkannya kepadaku. Terlihat dari layar digital, terdapat potret diriku yang sedang menatap candid ke arah kamera.

"Cantik," ucapnya, sebelum mencoba kembali mengambil gambar wajahku yang telah lebih siap daripada sebelumnya.

"Kamera ini tidak seperti apa yang kamu kira," ungkapnya.

Suara shutter terdengar kembali. Meramaikan alunan ambience pegunungan sore hari dengan gelak tawa nyaring yang ikut terdengar tak jauh dari tempat kami berdua berdiri.

Aku menekuk bibir, melipat kedua tangan di depan dada sebelum akhirnya memicingkan kedua mata untuk menatapnya.

"Iya, iya. Aku ini tidak terlalu pandai, kan, dibandingkan orang sepertimu?"

"Bukan begitu-" Dia mengalihkan pandangannya menuju pepohonan rindang di ujung sana. "Ngomong-ngomong ini kali kedua kita berkemah di tempat ini."

"Kamu yang mengajak bukan?" tanyaku memastikan.

"Lagipula, kali ini ada orang tua Angga yang menemani kita di sini. Jadi bukan sekadar liburan saja, toh teman sekelas yang lain tidak ikut."

Dia menjentikkan jari. "Oh, apa kamu masih menyimpan buku bersampul putih yang pernah aku berikan?"

Aku mengangguk. "Masih ada di rumahku. Aku sudah menulis banyak halaman, loh."

Diam untuk beberapa saat, suara Allegra kembali terdengar.

"Jadi ... apa nanti malam mau menemaniku melihat rembulan di tebing waktu itu?"

"Aku mau."

Waktu berganti menjadi malam. Hawa dingin pegunungan membuatku bergetar meskipun hoodie tebal telah terpasang membalut seisi tubuh.

Rembulan tampak redup, tertutupi oleh gumpalan awan serupa dengan warna langit. Hingga ikut menyembunyikan para bintang sampai cahayanya tak terlihat menyentuh permukaan dataran tinggi ini.

Aku berdiri diam di tepi tebing yang curam, sambil memperhatikan separuh lukisan tuhan di depan sana. Sungai melewati pohon yang berjejer, sedikit tertutup kabut putih meski gelap lebih dominan.

Sepi, tak ada pergerakan sedikit pun dari makhluk hidup yang lain kecuali suaranya yang menyentuh indra pendengaran dengan dersik angin ikut terdengar menuntun melodi untuk memberi ketenangan sesaat.

Suara guntur tiba-tiba terdengar. Menggelegar seperti ia marah walau kilatan cahayanya belum terlihat mengantarkan rintik hujan yang mulai turun ke Bumi secara perlahan.

Seperti aku tertimpa kehampaan, menunggu Allegra datang setelah waktu bergerak untuk beberapa jam selepas pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini. Anak laki-laki itu belum juga menampakkan diri, padahal janji yang ia buat telah bergerak dengan sendiri tanpa meninggalkan jejak pasti.

Aku hanya dapat menatap rembulan itu. Aku yakin Allegra akan kembali, itu janjinya.

Secara perlahan, rintik air kecil yang turun dari atas langit rupanya mulai berubah menjadi sedikit deras. Tubuhku kian bergetar setelah berdiri di bawah hujan menempuh dingin untuk menunggu seseorang yang belum pasti akan menepati janjinya.

Terbesit di pikiran untuk kembali menuju tiga tenda yang telah terpasang rapi di tengah area perkemahan. Namun, semua pemikiran di kepala membuat tubuh ini masih terdiam mendamba harap.

Bagaimana jika Allegra datang menemuiku? Aku khawatir, jika kembali kami akan saling tak bertemu karena jarak yang dilalui berbeda.

Udara dingin semakin menusuk ke dalam tubuh, pakaian yang sedang kukenakan terasa basah karena hujan turun tanpa henti membuat malam gelap ini menjadi lebih gelap lagi.

Aku harus bagaimana?

Samar-samar, suara langkah kaki terdengar mendekat. Aku berbalik sambil menahan tubuh ini untuk berhenti bergetar.

Anak laki-laki di depanku, dengan wajah khawatir dalam gelap membuatku tersadar dengan semua ketidakpastian ini.

"Aleana!" gertaknya dengan sangat keras sambil menepuk kencang kedua bahuku.

Aku masih berdiam diri, menahan nyeri di dada sambil berusaha membendung air mata yang akan keluar menyusup di atas pipiku. Meskipun aku tau, air hujan ini akan menghilangkan tanda yang mengalir.

"Kenapa kamu sendirian di sini?" tanyanya, masih dengan nada meninggi namun suara sedikit samar karena hujan deras masih terjadi.

Anak laki-laki di depanku memandang diri ini dari atas hingga ke bawah. "Lihatlah, tubuhmu basah kuyup."

Aku bergetar, merasakan dingin yang terasa karena air terus-menerus mengisi keseluruhan tubuhku.

"A-allegra mana?" tanyaku, diidingi gemuruh petir yang menggelegar.

"Sudah ayo kembali, kamu kedingan." Dia berusaha menarik tanganku untuk pergi dari ujung tebing ini.

Aku berusaha menghindar, menepis tangan berkerutnya dengan penuh nestapa.

"Tapi Allegra kemana, Angga?!"

Aku hanya ingin kepastian. Kemana Allegra? Bagaimana semua ini terasa menyakitkan setelah janji berlalu tanpa sedikit pun kepastian?

Aku menunggunya.

"Jangan memikirkan anak itu!"

Angga berusaha menarik tanganku kembali walau tangan kokoh itu tetap menghindar setelah tangkisan pelan yang aku berikan.

"Aku ada janji dengannya di sini. Aku percaya kok Allegra akan mendatangiku dan menepati janjinya." Aku berkata dengan nada penuh harap.

Anak laki-laki di depanku menghela napas kasar. Sebelum memajukan bibirnya lalu mengungkapkan segalanya.

"Tapi dia sudah pulang satu jam yang lalu dengan kakaknya, Le."

"Ka-kak?"

"Iya, Kak Dean dan Kak Raya tadi menjemputnya menggunakan mobil pribadi." Angga menghentikan perkatannya sambil mencoba menggapai tubuhku yang mulai limbung ke belakang. "Jadi, jangan pernah mengharapkan dia akan kembali. Anak itu enggak akan pernah kembali."

Kilatan cahaya tiba-tiba terlihat menyuarakan kemarahan pada semesta di tengah malam yang gelap ini. Segulung awan hitam semakin tebal tatkala goresan putih turun kebumi menyentuh dataran tinggi tak jauh dari tempatku dan Angga berdiri.

Petir menyambar di dekatku, membuat terkejut, hingga akhirnya melompat kecil sambil menutup kedua telinga. Tanpa sadar, setelah kaki ini menyentuh tanah licin, aku tergelincir dari ujung tebing yang curam.

"Aleana!"

Terjatuh dari ketinggian, yang kulihat di atas sana hanyalah Angga berteriak kencang sambil tetap menutup salah satu kupingnya, dengan satu tangan milik laki-laki itu mencoba meraihku yang telah terperosok lebih jauh ke dalam kegelapan yang suram.

Waktu terhenti, aku menyadari tak ada harap yang harus kupanjatkan setelah tau bahwa kemungkinan kembali hanya ada di dalam khayalan. Melihat ujung tebing yang curam tempat aku terjatuh, membuatku tersadar bahwa semua mimpi buruk ini tak lama lagi tertahan.

Senyum pasrah mengudara, tatkala perlahan mata memejam menampilkan gelap sebelum akhirnya tubuh ini terasa tak berdaya oleh dingin yang menerpa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top