Bab 21 - Memento
Kelopak mata itu terbuka menampilkan iris indah berwarna cokelat gelap. Mata teduh kepunyaannya berbinar, bersama rona merah terlihat menyelimuti kedua sisi pipi halus berkulit putih.
Dari ujung tebing yang menampilkan keseluruhan mentari pagi, anak laki-laki dengan tubuh sejengkal lebih tinggi dariku berdiri diam memegang kamera menghadap sang Arunika. Menyapa langit sehabis aram terlihat, tatkala potret kecil terabadikan oleh kamera keluaran lama miliknya.
Deru napas terdengar samar, mengepul bersama uap yang keluar dari mulut berbibir merah kepunyaan anak itu. Mengekspos udara sejuk oleh deretan giginya yang terus menggemeretakkan kedinginan.
Dalam diam, anak lelaki di sampingku mengeluarkan suara nyaringnya. "Aku belum pernah melihat ini secara detail."
Dia berpaling menatapku, memasang senyum sama yang selalu ia berikan kepadaku. Selalu terasa familier, terselip kenyamanan hingga membuat degup jantung terasa berdetak lebih kencang seirama dengan detik yang kian berlalu.
"Apa kamu juga senang?" tanya anak laki-laki itu kepadaku.
Hanya dapat pahatan wajah tampannya, aku ikut mengangguk dalam mulut yang masih membisu.
Aku bergetar, merasakan silir angin menelusup ke dalam tubuh. Bahkan setelah dua lapis mantel tebal mengikat tubuh, semua itu terasa sia-sia karena udara dari suasana pagi di atas dataran tinggi masih dapat membuat diri ini ingin lebih lama berjibaku dengan selimut hangat di dalam tenda.
"Apa sekarang kita kembali saja ke area perkemahan?" Aku bertanya kepada anak laki-laki yang kini menghadap ke arahku.
Dia menggeleng, memegang erat kedua tanganku sambil menatapku dengan dalam. "Tunggu-"
"Aku ingin menghabiskan waktu denganmu lebih lama lagi," lanjutnya.
"Kita sudah setengah jam meninggalkan area perkemahan ...." Aku menghtentikan ucapan sesaat. "Nanti kalau Angga dan teman sekelas yang lain mencari aku dan kamu bagaimana?"
Anak laki-laki di depanku memasang wajah lugu. Alisnya tertaut, mengiringi wajah tampannya untuk membuat hati ini terus berdetak. "Memangnya untuk apa mereka mencari kita?"
"Egra ...."
Aku menatapnya dengan kesal, mencoba memasang ekspresi marah meski tak tahu terlihat seperti apa.
Karena dingin yang masih menerpa belum juga dapat membuat tubuh ini merasa nyaman, tatapan hangat Allegra memberikan kesan tersendiri untukku. Terasa nyaman, apalagi senyum manis itu terus-menerus membuat tubuh ini hampir limbung dibuatnya.
"Mereka semua kan teman kita juga."
Allegra diam sesaat, mengelus dagu dengan dua jari tangannya. Memperhatikan gumpalan tanah tajam di sekitar sebelum mata tajam itu menatapku kembali dengan senyuman yang semakin melebar.
"Ya sudah, tapi sebelum kembali aku ingin membicarakan beberapa hal bersamamu."
Aku mengangguk. "Apa?"
Satu detik ... dua detik ... tiga detik.
Anak laki-laki itu diam, menatapku sedalam telaga. Tangan kokohnya mencengkeram pelan kedua bahu kecil kepunyaanku. Tak ada satu pun ucapan yang keluar, hanya hening berdekatan dengan sang Surya yang mulai sepenuhnya terlihat naik ke atas permukaan.
"Apakah kamu ingin membuat janji denganku?" tanyanya dengan suara teduh.
Embusan napas berat keluar dari mulutku. "Aku tidak suka membuat janji, jika kamu tak dapat menepatinya."
"Tidak ... maksudku aku akan menepatinya," ucapnya sambil menggaruk puncak kepala.
"Katakan dulu janji seperti apa yang kamu maksud."
Allegra kembali diam, menyaksikan mentari pagi tanpa berniat menoleh lagi ke arahku. Suara pelan terdengar, terasa teduh namun terselip banyak sekali inti kata yang ingin dia ucapkan. "Kita harus kembali menjadi teman sekelas di satu sekolah yang sama setelah lulus sekolah dasar nanti."
Seolah tak pernah terbayang akan mendapatkan ucapan seperti itu, otakku kembali memproses beberapa hal yang akan terjadi kedepannya. Perpisahan, kelas terakhir di sekolah dasar sebelum kembali menjadi pelajar di jenjang yang lebih tinggi.
Terlintas di pikiran, mungkin kami berdua akan berpisah. Dengan kesibukan, juga waktu yang tercipta untuk dilupakan.
"Memangnya kita berdua dapat kembali satu sekolah setelah lulus nanti?"
Itu pertanyaan dariku, hanya keraguan mendasar yang berada di dalam hati. Apalagi tentang menempuh pendidikan baru, akan butuh berapa lama untuk mensejajarkan posisiku dengannya agar kenangan yang tercipta bukan hanya sekadar melintas dari jalur masa kecil saja.
Aku tau, sangat tidak mungkin kami bisa kembali memasang ikatan persahabatan bertiga dengan Angga setelah lulus nanti. Apalagi Allegra adalah anak terpandang dari salah satu politis terkenal, kecil kemungkinan untuknya mau memasuki sekolah sederhana seperti apa yang telah aku dan Angga rencanakan.
Lagipula, dia pantas mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari semua ini.
"Hmmm." Allegra menatapku kembali, sambil memasang senyum meski terasa seperti ada yang berbeda darinya. "Tidak juga. Mangkanya aku ingin membuat janji, agar kita dapat bersama."
Aju memaksa senyum, mencoba merangkai kata untuk mencari solusi yang lebih tepat.
"Menurutku, daripada harus membuat janji yang terlihat tidak mungkin apabila kita telah berada pada tempat yang berbeda. Lebih baik menggantinya saja."
"Contohnya?"
"Aku tidak tahu apa kita berdua akan terus terikat nantinya. Tapi ... mari membuat janji untuk dapat bertemu kembali meskipun jarak akan terlampau sangat jauh hingga bertatap pun rasanya sulit."
Aku takut berucap seperti ini. Takut akan segala penyesalan panjang yang dapat melingkupiku jika saja janji itu tak terwujudkan.
Kami berdua diam menikmati hawa dingin yang terasa. Bergelut dengan pikiran juga rasa yang kian menyuarakan ketidakberdayaan.
"Aku akan menemukanmu, dan kamu harus tetap menungguku," serunya.
"Oke, aku setuju." Aku mengangguk, hingga melihat senyum lebar mengembang menenggelamkan sebagian bela mata anak laki-laki di depanku.
Dia membuka kantung di mantelnya yang terlihat kebesaran. Mengeluarkan sebuah buku berukuran sedang dengan warna putih tulang mendominasi.
"Sebagai kenang-kenangan dariku, apa kamu mau menerima buku diary ini?" Tangan Allegra menjulur, menyodorkan boko diary itu ke depan tenganku masih dengan senyuman yang terpasang di wajahnya.
"Untuk apa?"
Anak laki-laki di depanku menghela napas sebelum ia mengucapkan perkataan panjang.
"Untuk terus menulis kenangan yang selalu kita buat, agar suatu saat dapat kembali teringat meskipun aku telah menghilang."
***
Itu, memento yang selalu terpatri di ingatanku meski terlihat samar. Tebing, buku diary, dan janji singkat. Seketika teringat kembali setelah menyaksikan langsung banyak potret tersusun rapi di dalam sebuah album foto kepunyaan Kak Elen di kamarnya.
Hanya penyesalan, yang kini ada di dalam diriku untuk semua yang terjadi setelahnya.
Jika saja aku lebih dulu mengingatmu, Gra. Mungkin kamu tak harus mencariku untuk waktu yang cukup lama. Aku akan lebih dulu menghampirimu, dan kembali untuk sekadar mengucapkan; "Aku juga merindukanmu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top