Bab 2 - Rapat OSIS
Setelah kejutan mendadak di gerbang sekolah, sekarang aku sedang berjalan pelan mengelilingi setiap sisi ruangan OSIS. Tanganku tiada henti menekan tombol mini yang ada di atas kamera. Satu kenangan terabadikan dalam sebuah foto setiap kali aku mengarahkan lensa ke arah keramaian.
Angga di tengah ruangan sana sedang belajar memimpin jalannya rapat pada Ahad sore ini. Agenda pertama dari masa bakti angkatanku yang dirembukan merupakan seminar kesehatan mental dan akan dilaksanakan pada hari Sabtu di Minggu yang akan datang.
Sudah pasti, ketika pemilihan panitia pelaksanaan akulah yang unjuk diri sebagai bagian dari tim dokumentasi. Walau tak memiliki pengalaman mendasar dalam bidang fotografi dan hanya sekadar mencoba mengambil gambar tadi pagi, aku pun tak ingin kehilangan kesempatan untuk dapat mengabadikan foto-foto di sekolah.
Tampaknya, karena telah melihat antusiasku tadi di awal rapat, Angga memutuskan untuk memasukkanku ke dalam bagian dari tim tersebut. Rasa senang menghampiri, apalagi ketika diberi tugas untuk memotret jalannya acara rapat sebagai pembuktian bahwa aku bisa mengambil gambar dari kamera milikku.
"Jangan terlalu banyak bergerak saat lagi memotret."
Suara yang terasa familiar berucap pelan ketika aku tengah mengarahkan kamera untuk memotret pose candid Angga yang sedang serius mendengarkan pendapat dari satu kakak kelas mantan anggota OSIS angkatan sebelumnya.
Aku menoleh ke arah suara tersebut, mendapati seorang gadis dengan rambut hitam gelap berponi tersenyum ke arahku.
"Aku boleh coba?" Kak Elen bertanya.
Aku yang masih bingung dengan kedatangan medadak yang dilakukan oleh Kak Elen pun hanya mengangguk patuh. Kuserahkan kamera keluaran lama yang sedang kugunakan itu kepadanya. Kak Elen yang telah mendapatkan persetujuan pun menerima kamera yang aku sodorkan.
Secara perlahan, gadis itu memotret Angga dengan postur tubuh lebih condong ke depan, tak bergerak sedikit pun hingga membuat satu kali jepretan terasa seperti ribuan tahun lamanya.
Diriku menatapnya bingung dengan gaya tubuh yang sedang dia lakukan. Sekali jepretan, suara shutter kamera yang dipegangnya berbunyi.
Aku mengintip hasil foto yang telah ia ambil. Gambar close-up tepat di wajah Angga. Pemuda yang menjadi model itu terlihat sangat berwibawa meski sedang mengerutkan keningnya. Terlihat sangat menawan, apalagi hasil yang didapat sangat indah bagai memotret serangga di atas bunga matahari--tak memiliki satu kesalahan pun.
Bola mataku berbinar, senyum semringah kurasa terbit di kedua pipi hingga rasanya hampir menenggelamkan mataku seutuhnya.
"Gimana bisa kayak gini, Kak?" Nadaku terdengar sangat antusias ketika bertanya.
Kak Elen berpaling menatapku. Dia juga ikut tersenyum sebelum akhirnya menjelaskan beberapa hal penting yang harus diperhatikan ketika sedang mengambil gambar.
"Biasanya ketika mengambil gambar, kita harus memperhatikan posisi objek yang akan kita potret. Apakah pencahayaannya cukup atau butuh angle yang tepat. Tapi menurutku ... peran fotografer dalam mengetahui teknik-teknik pengambilan gambar juga sangat perlu."
Kak Elen menjelaskan bagaikan guru untukku yang baru di dalam dunia fotografi ini. Seperti seorang berpengalaman, gadis itu memberikan beberapa tips menarik untuk kucoba ketika melakukan pengambilan gambar.
Aku terkesima mendengarkan penjelasannya yang mendetail. "Kak Elen pernah menjadi fotografer?"
Mendengar pertanyaanku itu, Kak Elen menggelengkan kepalanya sembari menampilkan deretan gigi putih bersih yang terpasang di mulutnya.
"Waktu kecil aku sering belajar memotret sama Ayah," ungkapnya. Sebelum akhirnya mengembalikan kamera yang telah ia pinjam kepadaku.
Remaja perempuan bermata indah itu mulai berpamitan. Ia pun kembali bergabung dengan kerumunan yang ada di tengah ruangan OSIS tersebut.
Aku memulai untuk melanjutkan kegiatanku yang sempat tertunda. Kuambil lebih banyak lagi
foto-foto mereka yang sedang berbincang. Meski aku dituntut untuk tetap mendengarkan diskusi yang sedang berlangsung. Namun, fokus utamaku untuk memotret tak pernah sedikit pun buyar. Seakan-akan kegiatan itu telah menyihirku untuk terus lebih dan lebih mengambil foto di sekitar. Aku melakukannya, hingga rapat OSIS telah selesai dilaksanakan.
***
"Sini biar gue foto." Angga mendatangiku pada saat kerumunan yang ada di tengah ruangan OSIS mulai memencar.
Aku menatapnya bingung. Raut wajah memohon pemuda itu membuatku yang semulanya berniat untuk menolak kuurungkan.
"Jangan sampai rusak, ya!" Suaraku terdengar kesal. Kulihat Angga di depan mencibirku dengan bibir bergerak namun tak mengeluarkan suara.
"Silakan bergaya wahai anak raja."
Aku terkikik pelan. Sebelum akhirnya tersenyum sambil memegang gagang pintu ruangan OSIS yang terbuka.
Foto telah diambil oleh Angga.
"Lihat wajah lo, jadi kelihatan lebih cantik, kan? Tubuh pendek lo itu seketika bertumbuh tinggi kalau gue yang memotretnya." Pemuda itu menunjukkan hasilnya ke arahku, meski gambar yang ia potret sedikit buram karena mungkin dia tidak memperhatikan langsung view vinder yang ada di kamera tersebut.
"Gimana. Bagus, kan?"
Aku pura-pura mengangguk saja. Toh, sebenarnya dia memang tak akan peduli dengan pendapat orang di sekitarnya.
"Memorimu kubawa pulang, yah?" Aku mengalungkan tali yang ada di kamera ke leherku setelah Angga menyerahkan kamera itu. "Buat aku aja."
Angga nampak terkejut di sebelahku. Wajahnya langsung memerah kala pintu ruangan OSIS berhasil ditutupnya.
"Enggak boleh! Itu punyaku tau." Kedua tangan pemuda itu terlipat di depan dada.
"Tapi kameranya punyaku!" Aku balas meninggikan suaraku pada saat laki-laki tersebut berjalan lebih cepat.
"Tapi tetap aja, itu kartu memori punya gue." Angga menggembungkan pipinya, dia menggerutu sebal ketika aku berkata ingin membawa pulang kartu memori yang tersimpan di dalam kameraku.
Aku ikut sebal menatapnya. Deretan gigiku bergesekan, ingin sekali rasanya menggigit teman masa kecilku ini karena mempermasalahkan perkataan sepele yang kuucapkan. Usianya saja yang bertambah, namun sikap kekanak-kanakkan yang tak mau mengalah tetap bersarang di dalam dirinya.
"Lagipula, kamu belum sama sekali memberikan hadiah ulang tahun!" Aku mengelap peluh yang menetes di pipi sebelah kanan. "Jadi berikan saja kartu memorinya kepadaku."
"Nih, mamamu bilang katanya gue harus nganterin lo beli kartu memori baru hari ini," kata Angga. Sambil menunjukan sebuah kolom pesan di ponselnya yang tertulis nama si pengirim--mamaku.
"Ya udah, deh." Aku hanya bisa pasrah, baru saja ingin merebut kartu memori yang katanya penting untuk pemuda itu, tapi Mama lebih dulu memberitahunya soal kartu memori baru yang akan kubeli nanti. Rencanaku, gagal total.
Angga tersenyum puas. Kemudian dia berjingkrak kesenangan, berlari mendekat ke bawah pohon besar yang terdapat di samping tempat parkir. Aku mengikutinya.
Dia tersenyum ke arahku. Sambil bersandar di pohon itu, Angga membuat sebuah gaya peace yang menurutku sangat norak dengan usianya sekarang.
"Tolong fotoin gue di sini, Le."
Aku menunduk malu ketika memperhatikan tingkah ketua OSIS yang baru menjabat itu yang amat sangat menjengkelkan. Bagaimana mungkin dia seperti tak memiliki rasa malu jika sedang berada di dekatku, bahkan aku dapat mendengar tawa tertahan orang-orang di sekitar yang sedang memperhatikan gaya aneh pemuda itu.
"Aku foto, nih." Tak mau berlama-lama menahan rasa malu. Buru-buru kupotret Angga sambil ikut menahan tawa seperti yang dilakukan oleh siapa pun tadi.
"Satu ... dua ... tiga."
Kamera yang kupegang berbunyi mengeluarkan suara shutter yang dapat didengar oleh orang-orang di sekitar. Aku melihat hasilnya, Angga akan tetap tampan meski melakukan gaya aneh sekali pun. Aku sudah yakin, jika dia bisa sangat menjadi photogenic sekali di beberapa momen.
Setelah dia melakukan sesi foto. Pemuda yang tadi berdiri menyandar di bawah pohon beringin besar itu berlari mendekat ke arahku. Angga tersenyum ketika ia baru saja melihat hasil jepretanku. Kemudian, remaja laki-laki itu pun menepuk puncak kepalaku seperti Ayah yang bangga dengan putrinya.
"Jepretan lo keren banget."
Senyumku semakin mengembang ketika pujian dari mulutnya terlontar begitu saja. Semua rasa kesal yang aku punya karena dirinya seolah hilang saat tubuh tinggi Angga membawaku mendekat ke arag motornya yang masih terparkir tak jauh dari tempat kami berdiri kali ini.
Dari pikiran terdalam. Aku tiba-tiba teringat kembali dengan seseorang yang kulihat tadi siang. Rahang tegas dan pupil mata sedikit kabur karena bayangan mobil itu, juga rambut hitam legam yang menutupi hampir separuh dahinya. Membuatku ingin bertanya-tanya.
Bagaimana keadaan laki-laki itu sekarang?
***
A/N:
Woshhh. Bab 2!
Gimana kelanjutannya? Masih tetap datar? Aku kesulitan sebenarnya, hahaha.
Tapi kuusahakan bab selanjutnya akan lebih lagi. Semoga suka, silakan berikan kritik dan sarannya.
rifuriqi 👽🐙
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top