Bab 19 - Terkuak
Tak ada yang menarik selain hari-hari berlalu tanpa kamera bersama Allegra yang mulai lebih terbuka dari biasanya.
Setelah menghabiskan waktu sepulang sekolah bersama pemuda itu sepuluh hari yang lalu, hubunganku dengannya semakin erat. Sedikit perbedaan terasa, apalagi sikap dinginnya yang perlahan mulai mencair tergantikan dengan senyum hangat meski sesekali ia bertingkah seolah tak pernah jumpa pada saat kami berdua berada di tengah keramaian.
Sudah genap satu bulan, setelah Allegra pertama kali menjadi bagian dari kelas ini.
Awalnya memang terlihat sangat mengagumkan untuk banyak orang, selepas waktu berjalan mereka semua langsung melupakan keberadaan wajah tampannya. Seolah terkubur dengan waktu, tapi menurutku kedatangan pemuda itu membawa banyak sekali hal menarik.
Mengisi puzzle kecil di hati, tanpa sedikit pun dapat terlupa. Pemuda itu hadir dengan segala macam warna, walau terlihat monokrom jika jauh menelaah di hidupnya.
Aku diam memperhatikan kekosongan yang terjadi di salah satu kursi bagian belakang. Seseorang telah menghilang, tanpa adanya alasan. Pergi untuk entah kapan setelah banyak senyum terlepas.
Sudah lebih dari sepekan Allegra tidak hadir di kelas. Kabar bahwa ia berhenti menjadi siswa di sekolah ini telah beredar bahkan terdengar hingga seluruh angkatan.
Aku tau Allegra tak akan pergi tanpa berpamitan terlebih dahulu. Sedingin apa pun dia, pemuda itu pernah berkata jika datang dengan baik-baik maka pergi harus dengan cara yang sama juga.
Jadi, aku masih yakin Allegra akan kembali. Meskipun hanya sekadar alasan pahit yang coba kubuat untuk melihat senyuman manis itu.
Aku yakin.
***
Melihat sebuah toko bertembok kayu yang terdapat satu tulisan terang menyala di atasnya membuatku terdiam kaku.
Secara perlahan, segala yang tersimpan mencoba masuk. Ingatan lama yang mungkin sangat samar untuk diketahui menjadikanku rumah untuk terus tersimpan. Dalam sesaat, sesuatu terekam dengan sendirinya.
Aku mengingat tempat ini. Salah satu latar foto masa kecilku bersama Angga yang tersimpan di atas meja belajar, memperlihatkan kembali ingatan samar seorang anak yang sedang berdiri memegang kamera.
Anak yang tak pernah aku kenal, apalagi wajah kabur yang belum sepenuhnya tergambarkan.
Di dalam lamunanku, Ayah tiba-tiba menepuk bahu. Ia tersenyum, sambil berjalan lebih dulu menuntunku masuk ke gerai kamera milik temannya.
"Di sini Ayah membeli kamera untukmu waktu itu," ucapnya ketika pintu kayu berwarna cokelat gelap terbuka.
Bunyi lonceng beserta derit pintu terdengar bersahutan kala Ayah mendorong pintu itu hingga memperlihatkan keseluruhan isi di dalam gerai kamera yang terlihat ... sangat usang.
Terdapat berjejer display kamera yang tersimpan di dalam kotak kaca dengan label nama dan usia yang berbeda-beda. Setiap sisi tembok terdapat kayu yang berpadu padan dengan lantai serupa namun berwarna sedikit lebih gelap.
Dinginnya udara di dalam toko ini membuat nyaman. Pajangan antik yang tertempel di sisian ruangan menjadikan gerai kamera ini terlihat lebih tua dari umur ayahku meski katanya baru saja direnovasi beberapa bulan yang lalu.
Meja kasir di dekat tangga menjadi pusat perhatian untukku saat ini. Dengan seorang pria seumuran Ayah yang menatapku dengan senyum mengembang sekaligus lampu kuning temaram yang menyala di dekatnya, aku sapat memastikan jika laki-laki di depan sana adalah pemilik toko ini sekaligus teman yang dimaksud ayahku.
"Woah ... Ale sudah sangat besar," katanya, ketika kami berdua berada tepat di depan meja kasir.
Pria itu tersenyum mengacak-acak rambutku sebelum ia berpaling ke arah Ayah untuk menanyakan keperluan kami berdua mendatangi gerai terpencil ini.
Ayahku menjelaskan semuanya dengan sangat detail. Bagaimana kamera yang mengalung di leherku menjadi rusak karena terlalu lama dipakai, serta menanyakan lagi kamera baru yang dapat aku pakai untuk menggantikan kamera lama ini.
"Dulu aku sudah bilang beli saja kamera baru daripada yang hampir menjadi artefak itu," grutu Paman itu.
Ayah menepuk-nepuk puncak kepalaku sambil memasang senyum. "Aku hanya ingin memberikan pelatihan saja untuknya. Lagipula, kamera itu kan memang diberikan gratis olehmu."
"Tu–tunggu, jadi selama ini Ayah sengaja memberikan kamera bekas orang lain untuk dijadikan sebagai bahan latihan sementara? Bukan untuk kumiliki?" Aku melirik kesal ke arah Ayah.
"Ya mau bagaimana lagi, pemiliknya sudah beberapa tahun menghilang." timpal pria di depan sana sambil meminta kamera yang talinya sedang aku kalungkan di leher.
Aku menyerahkan kamera tersebut. Hening, sebelum Ayah kembali membuka percakapan untuk mengungkap sesuatu yang sempat membuatku penasaran.
"Oh, sebelumnya. Aleana, perkenalkan ini Paman Hasel." Tunjuk ayahku kepada Paman bertubuh tinggi dengan kumis tipis di depan kami berdua.
Membalasi salam dariku, dia berucap sambil melambungkan senyuman. "Sudah lama tidak bertemu denganmu gadis kecil."
"Aleana sempat kehilangan ingatannya ketika kecelakaan dulu. Bahkan hingga kali ini beberapa hal yang tersimpan di masa lalunya belum dapat diingat ...." ungkap ayahku.
"Jadi kamu melupakan anak laki-laki yang sering ke sini bersamamu?"
Aku mengerutkan kening. "Maksud Paman, Angga?"
Hanya menerka, karena dalam foto yang ada di atas meja belajarku hanya Angga yang terlihat memagut senyum bersama. "Kalau dia aku masih ingat."
"Bu–bukan Angga—" Paman Hasel memenggal ucapannya sebelum dia melirik sekilas ke arah Ayah. "Tapi pemilik kamera ini," lanjutnya.
Seketika otakku kembali memperoses kata demi kata yang sempat keluar. Tak ada kejelasan, hanya topik menarik yang diangkat oleh lelaki paruh baya di depan sana yang membuatku sangat ingin mengetahui seseorang di balik kamera aneh ini.
"Lagipula ... Angga sering kemari bersama anakku." Paman Hasel menyapu peluh ketika kedua mata bermanik jelaga itu memperhatikan fokus pembongkaran kamera yang sedang dilakukan oleh tangannya.
Angga? Sejauh yang kutahu dia jarang sekali menghabiskan waktu untuk orang selain dirikku. Bahkan kemarin saja kami berdua masih sempat bertegur sapa sepulang sekolah meski selepas itu aku lebih dulu mengurung diri mencari kunci jawaban yang belum terungkap dari segala macam pertanyaan untuk Allegra.
"Anak paman?" Aku mencoba memastikan.
Paman itu berpaling menatapku sambil kembali memasang senyuman tak dimengerti. "Iya, Elen kan juga bagian teman masa kecil kalian meski dia sedikit tua satu tahun darimu, Le."
Dalam sekejap tubuhku menegang. Jadi, teman ayahku yang memiliki anak satu sekolah dengan aku dan Angga adalah Kak Elen.
Dia juga teman masa kecilku? Bersama anak laki-laki pemilik kamera ini?
Oh tuhan, semua ini sangat rumit. Izinkan saja setiap jawaban keluar tanpa satu pun menyelipkan pertanyaan lain di setiap isinya. Aku sangat lelah jika harus terus menyelam ke laut dalam untuk mendapat secercah jawaban dari pertanyaan monokrom.
Sayup-sayup, suara langkah kaki dari arah tangga terdengar. Mengisi kekosongan dengan bising perpaduan telapak kaki dan kayu. Aku semakin menegang, tatkala mataku bertemu dengan perempuan berponi yang baru saja menuruni anak tangga.
"Ka-kak Elen?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top