Bab 18 - Kisah Singkat Satu Hari
Pada akhirnya, hari-hari terasa monoton setelah kameraku rusak karena dipakai terlalu lama untuk memotret ribuan gambar.
Jika mengukur kembali waktu yang telah lalu dengan banyaknya kenangan tersimpan melalui kamera itu untuk berada di titik sejauh ini, tak akan pernah ada habisnya.
Meski belum ada tiga minggu aku memilikinya, kehilangan setiap bagian penting dalam mengambil gambar membuatku kesusahan.
Segala macam foto yang telah kujepret—termasuk ribuan foto Allegra—hanya tersimpan di dalam kartu memori tanpa satu pun bisa terakses untuk dilihat satu-persatu.
"Mau menemaniku?"
Suara berat laki-laki terdengar, mengagetkanku yang sedang menulis rumus matematika yang tercantum di depan papan tulis sana.
Sambil mencoba memasang raut malas, aku menoleh mendapati manik mata cokelat gelap sedang menatap ke arahku dengan senyum mengembang. Andai saja tak menyadari dengan banyak sikap pemuda itu yang kerap kali berganti, mungkin senyuman manis yang menemani Allegra kali ini akan dapat membuatku terbuai. "Mengikutimu ke mana?"
Dia duduk mengisi kursi kosong di depanku. Sekali terlihat dengan wajah berseri, rahang tegas beserta alis tebal itu membuatku kembali terperdaya. Melampaui segala macam perasaan yang terbendung tiap kali mata kami bersitatap, meluluhlantakkan segala macam dinding yang coba dibangun.
Aku tak tahu, ini semua terasa nyaman bahkan seperti dia pernah menjadi bagian penting untuk terus berada lebih lama bersamaku. Sangat damai, bersama seluruh rasa hangat yang selalu menyelimuti.
Jika bukan karena senyum manis yang terpasang di wajahnya, aku mungkin tak akan menyadari bahwa semua ini hanyalah sementara.
"Hei!"
"Kamu mendengarku?"
Untuk kesekian kali aku mengedipkan mata, menatap pemilik bibir merah merona di depan sana sedang menautkan alis menatapku dengan penuh heran, seketika menghilangkan senyum manisnya.
"A–apa?"
Allegra mendengus kesal dengan reaksi yang baru saja aku berikan. Pemuda itu mengulang kembali ucapannya, terus menatap wajahku tanpa sedikit pun ia berpaling.
"Aku mau kamu menemaniku."
Hanya anggukan kecil yang dapat aku berikan. Melihat pemuda itu yang tak lepas sedikit pun dari arah pandang, membuatku kesulitan dengan segala macam tipu daya yang mungkin dapat terjadi.
"Bagus." Sambil menepuk-nepuk pelan puncak kepalaku, Allegra bangun dari tempatnya duduk lalu berjalan pergi hingga menghilang dari balik pintu kelas.
Satu hari di sekolah mulai berlalu, hingga tak terasa dering bel pulang telah berbunyi menyemarakkan seisi kelas dengan penuh teriakan senang.
Bagiku, semua ini mulai terasa. Getaran yang muncul ketika pemuda dengan hidung runcing menarikku keluar dari kelas sebelum semua orang lebih dulu menghilang dari ruangan penuh kursi dan meja itu. Degup jantung ini, terdengar berdetak lebih cepat dari biasanya.
***
"Terima kasih," ucapnya ketika kami telah masuk di kawasan mal kota yang sempat aku datangi sepekan yang lalu.
Cukup lama kami berjalan mengitari banyaknya gerai makanan sebelum sebuah panggilan menyebabkan ponsel pintar yang ada di dalam saku rok sekolahku berbunyi dan menimbulkan getaran singkat.
Aku melirik ke arah Allegra untuk memastikan pemuda itu tak terganggu dengan semua ini. Setelah senyum hangat keluar, remaja laki-laki itu menganggukkan kepala.
Aku mengeluarkan ponsel tersebut, melihat kembali deretan nomor yang terlihat sangat asing. Terbesit di kepala untuk menaruh curiga, melihat kembali nomor tersebut yang terasa tidak begitu asing, aku pun menekan tombol hijau.
"Hapus foto itu."
Suara perempuan terdengar, seketika aku sadar jika panggilan yang sedang terjadi ada hubungannya dengan dua telepon misterius beberapa hari yang lalu. Tanpa pikir panjang, telepon itu aku putuskan dengan sepihak.
"Ada apa?" Allegra bertanya.
Aku menoleh ke arahnya, memaksa senyum dengan segala macam kecemasan yang coba tertutupi.
Melihatku dengan senyuman, dia hanya diam sambil kembali menatap lurus ke depan pertokoan. "Jadi menemani aku ke toko buku, 'kan?"
"Ayo kita ke lantai tiga," ucapku, sambil menarik pemuda itu berjalan menuju salah satu eskalator yang mengantarkan langsung orang-orang di lantai satu menuju tingkatan berikutnya.
Susana begitu sepi sore hari ini, seperti terakhir kali aku menjajaki diri di depan toko buku. Hawa yang terasa masih sama, bahkan cahaya lampu juga penataan tanaman di dekat gerai ini terlihat sangat menenangkan. Mengembalikanku kepada ingatan pada saat melihat Allegra dengan jas biru dongker-nya, terasa sudah sekian lama kami bertemu meski banyak kejadian tak mengenakan di setiap pertemuannya.
"Memangnya kamu mau beli apa di sini?" aku buka suara, kala kami berdua baru saja melewati pintu kaca dengan beberapa langkah.
Aroma buku baru terasa kian memberikan kenyamanan, apalagi dengan jejeran rak buku di tengah-tengah juga rak peralatan tulis tambahan yang terlihat tersusun rapi mengindahkan pandangan.
Pemuda di sampingku tak bersuara, hanya berjalan menuju kawasan peralatan tulis sebelum tubuh tinggi tegapnya berhenti di depan sebuah rak yang terdapat banyak sekali album foto berjejeran dengan buku gambar yang berada di bawahnya.
Allegra mengerutkan kening, menatap saksama salah satu album foto berwarna hitam kelabu yang terdapat dua buah gambar pesawat kertas sebagai cover utama.
Senyum terbentuk di bibirku tatkala rasa antusias bersarang karena segala macam pemikiran tentang Allegra perlahan mulai terungkap. "Kamu beli album foto?!"
Pemuda di sampingku berpaling menatap dengan salah satu alis terangkat, menambah kesan tampan untuk kesekian kalinya. "Memangnya kenapa?"
"Bukannya kamu takut jika kamera mengarah kepadamu?"
"Itu dulu—" Allegra memotong ucapannya. "Tapi sekarang aku membutuhkan ini," kata pemuda itu sambil mengangkat album foto yang masih tersegel di tangannya.
"Aku mau berdamai sama semuanya. Aku tidak ingin terjebak dalam penyesalan karena terus ada di titik terendah itu."
Sekali terangkat, aku menyadari beberapa lebam biru terlihat meramaikan tangan kokoh pemuda itu setelah almamater belengan panjang di tubuhnya ia lepas. Banyaknya goretan luka yang juga ikut terlihat di dekat pergelangan tangan sebelah kanan, membuatku seketika berpikir dengan keviatan apa yang pernah dilakukan oleh pemuda itu.
Rasa khawatir dan cemas mulai melingkupiku kembali. Seolah tak memiliki celah untuk terus memandangnya dengan tatapan tak peduli.
Tanganku bergerak meraih tangan berurat milik Allegra. Dengan mengelus pelan lebam biru di tubuh pemuda itu, aku menatapnya untuk memastikan. "Kamu baik-baik saja, 'kan?"
Allegra terdiam, ikut menatapku juga hingga kedua sisi iris berwarna cokelat gelap itu terlihat mulai memerah. Pemuda itu, tak bersuara sedikit pun.
"Jangan pernah berbohong kepada dirimu sendiri," ucapku.
"Aku melihat semuanya, Gra. Raut tenang di wajahmu, binar mata itu, gemerlapnya cahaya yang kerap kali menemani keseharianmu. Itu semua hanya kebohongan, bukan?"
Sambil mengarahkan salah satu tanganku untuk menyentuh pipi halusnya, aku bergumam. "Padahal ... kamu hanya perlu menangis ketika gelap mulai menyelimuti keseharianmu. Tanpa membuat goretan luka lebih banyak di tanganmu. Laki-laki juga manusia, kok!"
"Kamu tau apa tentangku?" Kepala Allegra mencoba berpaling, menepis tanganku dengan wajah merah yang juga terlihat sedikit muram.
"Memangnya aku tidak melihat semua yang terjadi kepadamu?"
"Aku tak tau, kapan kita bisa menjadi dekat seperti ini. Karena tiap kali bertemu, semuanya berubah-ubah ...." Aku menghentikan ucapan sesaat untuk memperhatikan raut Allegra kali ini. "Lagipula, kita sudah menjadi teman, 'kan?"
"Seperti kamu mengingatku saja."
Allegra berjalan menuju kasir tanpa menoleh sedikit pun ke arahku.
"Me–memangnya aku pernah melupakanmu?"
"Tiap di kelas selalu diam. Itu melupakanku, 'kan?!" Suaranya yang bervolume sedikit kencang terdengar, tersamarkan oleh alunan musik yang terdengar dari arah speaker di setiap sisi toko buku ini.
Aku berlari lebih cepat lagi, mencoba menyelaraskan langkah kami sebelum laki-laki itu lebih dulu mencapai kasir.
"Habisnya ... aku kira kamu tidak mau berbicara dengan banyak orang." Aku mengeluarkan suara setelah apa yang berhenti sejajar dengannya.
Dari tempatku berdiri ini, dapat terlihat beberapa jejeran buku yang dibanderol dengan berbagai harga terlihat di sebelah kiri meja kasir. Beberapa majalah yang memperlihatkan foto wali kota sebagai topik hangat di depan sampulnya pun tertata rapi dengan balutan plastik tipis yang disusun secara berkala di dekat sebuah vas bunga.
Ada lagi koleksi koran lama yang menampilkan banyak sekali headline menarik yang dipajang satu-persatu sebagai koleksi untuk dinikmti kalangan umum. Salah satu topik menarik adalah koran keluaran beberapa tahun lalu dengan headline seorang politisi yang melakukan korupsi dan kekerasan.
"Mangkanya jangan terlalu sering menyimpulkan sesuatu hanya karena apa yang kamu lihat." Allegra bersuara hingga memecah fokusku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top