Bab 16 - Bisikan
Setelah Angga menyatakan perasaan sayangnya semalam. Aku hanya dapat diam tanpa menyadari maksud lain di dalamnya.
Aku tahu, Angga berucap hanya sekadar perasaan sayang kepada sahabatnya yang timbul karena pertolongan. Meski memang hati terdalamku masih menyukai pemuda itu, tetap saja label sahabat sudah lebih jauh terpatri di kepala untuk terus mengikatnya semakin erat.
Bahkan ketika kami pergi berdua ke sekolah kali ini, aku dan dia masih seperti dulu. Apalagi tingkah Angga tak ada sedikit pun yang berbeda kecuali sifat kekanak-kanakan yang semakin bertambah juga perlindungan lebih yang dia berikan.
Semua itu berjalan seolah tak pernah terjadi apa pun semalam. Seketika melupakan tanpa bisa lebih jauh tuk mengingat.
Pagi ini, puluhan murid kelas sedang duduk di bangku laboratorium sambil memperhatikan satu guru kimia yang tengah menjelaskan cara kerja letusan dari replika gunung berapi. Dengan mencampur cuka ke dalam replika gunung yang terbuat dari tanah liat itu, sampai akhirnya membuat sebuah letusan kecil yang menampakkan lahar merah buatan dari campuran soda kue, air, dan juga pewarna makanan.
Aku duduk langsung satu meja dengan Allegra yang kini berada di sampingku, dia tak mengeluarkan suara sedetik pun dari pertama kali kami bertemu di dalam kelas hingga berpindah ke dalam laboratorium bersama.
Tingkah pemuda itu kembali dingin seperti beberapa hari yang lalu, tak tampak hangan dan menenangkan seperti kemarin ketika kami berdua mulai mengakrabkan diri. Bahkan senyum manis pemuda itu telah lebih dulu menghilang sebelum tergantikan dengan raut dingin dan mata tajam yang menusuk hingga membuat sulit untuk menatapnya lebih lama.
Berbicara tentang puluhan foto kemarin, aku belum mengetahui maksud dari latar gelap yang ada di setiap gambarnya. Bahkan dua potret Allegra yang sedikit terlihat kurang jelas pun masih menyisakan banyak tanda tanya yang belum memiliki jawaban.
"Sekarang, kalian kerjakan bersama kelompok masing-masing."
Suara guru laki-laki di depan sana menyisakan keheningan. Membuatku kembali mengutuk diri karena harus memiliki abjad depan yang sama dengan Allegra. Sehingga menyebabkan tiap kali pemilihan kelompok kami berdua selalu ditempatkan ke dalam jurang berlumpur yang sama.
Kami berenam yang kini saling bersitatap melihat banyaknya bahan-bahan yang telah disiapkan oleh masing-masing orang hanya dapat terdiam. Menunggu siapa pun orang yang mau lebih dulu mengarahkan pekerjaan melelahkan ini.
Aku melihat pemuda di sampingku beranjak mengambil gumpalan tanah liat yang ada di atas meja. Dengan tangan tebal yang mulai bergerak membentuk sesuatu, Allegra tanpa suara mengotori tangannya hingga membuat banyak bekas tanah di sekitar meja yang juga ikut mengenai jas laboratorium milik pemuda itu.
Sontak, sisa dari kami mulai ikut mengerjakan pekerjaan bersama. Aku membantu perempuan berkacamata di depanku menakar berbagai jenis bahan tambahan untuk membuat lahar aman berwarna merah. Sedangkan yang lain juga membantu Allegra menyiapkan replika gunung tanpa suara sedikit pun.
"Alea?"
Aku menoleh, mengangkat kepala untuk menatap wajah Allegra yang tubuhnya lebih tinggi dariku.
"Iya?"
"Kamu bisa tolong aku membuat lubang di dalam tanah liat ini menggunakan pipa itu?" tanyanya, tanpa berpaling sedikit pun dan tetap memperhatikan adonan tanah liat di depannya.
"Tapi aku sedang menak—"
"Suruh saja orang lain yang menakarnya."
Tiba-tiba, seluruh pasang mata yang berada di sekeliling meja ini menatapku dan Allegra dengan kompak. Mereka hanya diam membisu tanpa mengucapkan sepatah kata pun sebelum akhirnya salah satu murid laki-laki dengan rambut keriting meminta sendok penakar yang ada di tanganku.
"Terima kasih," ucapnya, ketika tanganku mulai bergerak menekankan pipa besi ke dalam adonan tanah liat tersebut.
Allegra dengan telatennya mulai memijat pelan tanah liat di tangannya hingga menunjukkan perubahan bentuk yang terjadi karena perbuatan pemuda.
"Kamu tahu, jangan pernah terlalu percaya dengan orang terdekatmu." Allegra berucap, tanpa sedikit pun berpaling untuk melihat wajahku yang telah mengangkat satu alis.
"Maksudnya?" tanyaku mencoba memperjelas.
Dia hanya mengedikkan bahu acuh tak acuh, merespon pertanyaanku dengan diam tanpa mencoba untuk menerangkannya lebih lanjut. Sumpah, bukan bermaksud untuk mempermasalahkan semua ini, menurutku semua yang ia ucapkan sangat membingungkan. Bahkan dari sepatah kata aku meyakini jika itu memiliki banyak arti, namun jika mengucapkannya dengan sangat irit bagaimana orang lain dapat mengerti?
"Tapi aku tak menyarankanmu untuk dekat dengan ketua OSIS itu."
Keningku berkerut, mulai sedikit kesal dengan semua ucapan mengada-ada yang keluar dari mulutnya. Apalagi soal Angga, aku mengingat lagi semua perkataan remaja laki-laki itu tadi malam ketika dia mengatakan hal tak berbobot hingga meminta aku untuk terus bertahan apa pun keadaannya. Belum sempat diriku penimpali perkataan Allegra, pemuda tersebut lebih dulu mengucapkan ucapan yang dapat membuat otakku semakin berusaha keras untuk berpikir.
"Dua orang itu sangat berbahaya—" pemuda itu menghentikan ucapannya. "Dan aku tak mau kamu terluka, bahkan lebih dalam daripada yang pernah dirasakan olehmu dulu."
Allegra berpaling menatapku. Iris cokelat gelap itu dengan dalam mencoba menelusuk ke dalam idera penglihatanku dengan raut wajah teduh yang kini mulai ia pasang. Seketika jantungku berdetak lebih cepat.
Tuhan, bagaimana aku bisa mengungkap semua misteri dari orang ini jika saja setiap menatap matanya segala sesuatu mulai kembali menghilang. Bagaikan aku telah berada cukup lama tak bertemu dengan pemuda di depanku hingga kami berdua tak memiliki waktu untuk saling bercengkerama. Tatapan dengan binar cemerlang itu, memiliki ruang di dalamnya yang membuatku tersedot lebih jauh. Jauh, jauh, terlampau jauh hingga aku merasa nyaman sekali seperti hal yang sering aku ingat ... rumah.
Perlahan, dia memajukan wajahnya. Mendekat ke arah telingaku dengan deru napas yang semakin terdengar samar. Selepas kami hanya berjarak beberapa inci, aku terdiam mematung. Mendengar bisikan pelan yang keluar dari mulut pemuda itu dengan hawa hangat yang menghubungkan ke seluruh tubuh.
"Aku percaya kepadamu, kamu akan menemukan dan menolongku. Terus bertingkah seperti ini ya, agar aku dapat lebih lama berada di sisimu tanpa seorang pun menyadarinya."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top