viii. interval
"JAHIT kembali baju itu, dengarkan aku."
Kuambil jarum dan baju Mikka dengan tangan penuh darah. Menahan tangis, seakan-akan Adonis masih baik-baik saja, aku melanjutkan lengan Mikka.
"Maaf. Aku tidak bilang padamu, aku menipumu."
Aku menggeleng, tapi enggan meninggalkan baju Mikka.
"Mau dengar sebuah kisah lama?" Dia terengah dan aku hanya bisa menagngguk. Padahal, kami sama-sama tahu, di tengah kota yang terbakar ini, bicara adalah hal terakhir yang harus kami lakukan. "Bagus. Ayahku, Raja Sergeius, bukan orang spesial, bahkan namanya tenggelam di antara raja-raja lain sebelumnya, dan aku. Dia punya banyak sekali anak, dan apa kau pikir itu karena Ratu Gisa seorang? Tidak. dia tidak seperti ayahmu. Tiga kakakku lahir dari Ratu Gisa, sisanya dari para selir. Meski sudah menjadi raja Montallard, negeri terbaik di antara sekian banyak kerajaan, ayahku masih jatuh ke dalam sifat manusiawi."
Adonis batuk. Gelenyar aneh menjalari wajahnya yang memucat bagai sudah berhari-hari mati.
"Lalu ...." Dia memaksa agar rongrongan rasa sakit berhenti. "Lalu ayahku bertemu seorang dewi minor, putri Rhomedes sang dewa api. Rambutnya merah sepertiku. Matanya lebih pekat dari darah, menyala-nyala seperti persediaan api. Ayahku mudah jatuh cinta, tapi dia tidak bisa melupakan sang dewi. Dan lahirlah aku. Adonis."
Kebenaran. Bunyi kebohongan takkan semulus ini meski pahit.
Adonis kembali mengatur napas. "Tapi ayahku tidak tahu bahwa seorang anak campuran akan menanggung sihir, sesuatu yang telah lama ditarik para dewa. Banyak yang mempertimbangkan aku dibunuh. Tapi berkat belas kasih Rhomedes dan Ratu Gissa, aku dibiarkan hidup bersama ramalan bahwa suatu hari nanti aku akan menyelamatkan Caelliron dan menghancurkannya. Sihirku meledak dengan penyamaran sempurna, menjadikannya seperti berkat alih-alih pembawa rasa takut."
Kisah Adonis kecil bergema di kepala. Dia menyelamatkan Caelliron dengan tanda Rhomedes yang jatuh padanya hari itu. Dan dia menghancurkan Caelliron. Sekarang. Dengan sesuatu yang ada di jantungnya. Tanganku gemetar memikirkannya.
"Sampai hari itu, saat ibu tirimu menjatuhkan kutukan."
***
Enam bulan sebelumnya.
"Kau ingin anak-anak suamimu pergi dengan cara ini?"
Amitri menghentikan tangannya di atas tubuhku yang terkapar, nyaris pingsan. Di seluruh ruangan, kakak-kakakku juga berada di posisi yang sama. Bau kayu dari perapian mati menjadi satu-satunya hal yang kurasakan, sampai seseorang melangkah. Auranya terlampau kuat dengan warna kemarahan.
"Oh, kau," kata ibu tiri. "Bukankah sebagai sesama pemilik sihir, kau harus mendukungku? Tapi kau rela jauh-jauh kemari bahkan melanggar batas antar negara secara ilegal gara-gara gadis ini, bukan?"
Orang itu tampak kabur di mata, tapi suaranya cukup membuatku tahu dia tidak jahat. "Kau penyihir terlarang. Kau tidak berasal dari sini."
"Betul. Karena mustahil seseorang akan menghancurkan tanah kelahirannya sendiri. Apa kau tersinggung?"
Ada bunyi geraman berat. Si orang asing terdengar tidak setuju dengan apa pun yang ingin mereka lakukan. "Berikan mereka padaku."
"Apa?"
"Akan kubereskan mereka, tapi jangan sentuh anak ini lagi."
"Oh." Ibu tiriku terbahak. "Aku sudah menaruh kutukan agar gadis ini bisu. Apa hal baik yang kau bisa lakukan?"
"Berikan mereka, miliki kerajaan ini, tapi jangan sentuh mereka." Orang itu belum mendapat persetujuan, tapi perhatiannya sudah teralih pada semua kakakku. Mantra kuno terdengar, sesuatu yang mengundang hukuman dewa terucap. "Pergilah. Jadilah angsa-angsa liar. Jangan kembali, tapi temukan adikmu."
Dan tidak lama setelahnya, aku mendengar kepak sayap burung. Mereka kacau dan menghujani kami dengan hujan bulu putih. Kemudian, mereka pergi, sementara aku ingat aku luntang-lantung tanpa bisa bersuara esok harinya.
***
"Alissa, kumohon, selesaikan baju-baju itu," Adonis memohon ketika pandanganku padanya menunjukkan bahwa aku terkhianati. "Sudah kuduga. Kata maaf takkan berguna."
Benar. Aku marah. Kecewa. Aku ingin menangis.
Tapi aku tidak bisa menghilangkan segala terima kasih atas kebaikan yang dia berikan secara tulus padaku.
"Ya," katanya. "Maafkan aku. Itu satu-satunya cara agar aku bisa melindungimu. Aku memintamu tinggal, karena jika kau pergi, maka hal terakhir yang bisa kuberikan adalah nyawaku. Aku tahu cara mengembalikan kutukan, karena aku penciptanya. Aku memalsukan memorimu, karena jika kau tahu, aku tidak yakin kau akan mengerti. Tapi—" batuk "—kau memang benar-benar memiliki memori pertemuan pertama kita. Aku hanya membantu mengembalikannya."
Dia menunjuk dadanya yang robek dengan takut. "Ini, salah satu kutukan atau berkat. Jika jantung raja Caelliron direnggut, maka kekuasaan akan berada di tangan si perenggut. Sementara aku, siapa pun yang menyentuhnya, akan diliputi api."
Aku berhenti. Seakan-akan marahku sudah melebur, aku memegangi tangannya yang ada di atas dadanya. Apa itu memberikannya semangat?
"Terima kasih sudah menerimaku." Dia meraih jemariku, melepaskannya dari jarum sejenak. Ini baru pertama kalinya aku menggigil karena sentuhannya. Kemudian, dengan hati-hati dia melilitkan benang hijau kemerahan ke jari manisku, memotongnya dengan sisa-sisa tenaga. "Aku tahu ada yang lebih baik dari ini, tapi—" Adonis menahan gatal di kerongkongan hingga darah mengalir dari sudut bibirnya. Meski aku tahu dia akan menghentikanku, tanganku tetap mengusap wajahnya. Kuhapus noda di sana hingga dia bisa bicara lagi. "Bisakah kau menjaga Caelliron untukku?"
Aku tidak peduli. Risiko. Bahaya. Ancaman. Apa pun kulewati agar Adonis mendaoat sebuah anggukan persetujuan.
"Kau baik sekali. Selesaikanlah. Aku akan membuat kalian kembali."
Dia menemaniku merajut dan memperbaiki baju Mikka. Terkadang, aku khawatir dia sudah pergi saat matanya terpejam, dan sesaat kemudian mata merahnya bersinar lagi, membakar semangatku.
Api tidak menyentuh kami, begitu pula keenam kakakku yang perlahan bangkit. Sempoyongan, si bungsu menghampiriku lebih dulu. Mikka meletakkan paruhnya di atas tangan Adonis, melebarkan sayapnya. Tindakan itu diikuti semua kakakku yang lain. Mereka melindungi kami meski tahu api tidak akan pernah mencapai setitik pun kulit kami. Itu api Adonis, sihir yang menghindari tuannya.
Waktu demi waktu berlalu. Kuangkat baju Mikka setelah itu selesai, melambangkannya sebagai simbol harapan.
Aku menggulung baju, memasukkan setiap baju ke kepala kakak-kakakku dan hanya bisa membuatnya tergantung di leher panjang mereka. Satu per satu, sampai Mikka tiba. Kutolehkan kepala penuh harap pada Adonis, yang langsung menyadari, inilah akhir dari perjuanganku.
Sekaligus akhir dari kami.
Dia mengulurkan tangan hingga percikan sihir menghujani kami semua. panas dibuyarkan oleh kesejukan sementara yang dihasilkan oleh percik itu.
Kakak-kakakku diliputi cahaya. Hampir membutakan tapi aku tidak berhenti memandangi perubahan wujud mereka. Aku mendapati tangan mereka keluar dari cahaya itu, kemudian kaki, dan akhirnya kepala mereka nampak.
Di bawah matahari senja dan awan kelabu, seluruh kakakku berdiri menatapku. Pakaian mereka hijau-merah, seolah sihir juga mengubah kain-kain perjuanganku menjadi baju-baju yang lebih layak,
Everard berlutut, mengecup keningku, dan memelukku. "Aku yakin ada banyak hal yang harus kalian bicarakan. Kami akan membantu sebisa mungkin. Pakai waktumu, Adik Kecil."
Aku akan menangis tepat di saat mereka pergi menembus api dan berseru pada orang-orang di sekeliling. Kubiarkan mereka, lalu beralih pada Adonis.
"Bicaralah," katanya. "Itu hal terakhir yang ingin kudengar."
Hal terakhir. Aku menahan isak dengan membenamkan wajah pada punggung tangan selama beberapa saat, lalu kembali menunjukkan mata berair padanya. "Hei," kataku. Semua baik-baik saja. Tak ada kematian di antara keenam kakakku. "Kau oke?"
"Ya."
"Tidak."
"Ya," dia bersikeras, parau. "Kau masih menangisiku setelah berbagai kebohongan?"
"Kau takkan percaya kalau kau satu-satunya orang yang kuinginkan sekarang, kalau begitu."
Dia memaksa tawa kecil yang lirih. "Aku akan membuat kakak-kakakmu cemburu."
"Aku sudah mendapatkan mereka." Wajahku banjir. Sekarang aku bertanya-tanya apakah dia masih mengenaliku sebagai Alissa cengeng atau aku lebih buruk lagi. "Aku—aku akan mengatakan pada ayahku kalau aku hanya ingin .... Aku akan menjaga Caelliron, betapa pun rakyat membenciku. Aku akan melakukan apa pun, jadi, t-tolong katakan kau akan baik-baik saja."
"Aku sudah baik-baik saja, Alissa," dia berjanji, meraih jemariku yang terikat benang. "Yeah, punya pasangan di hari kematian tidak buruk."
Aku tertawa, juga menangis lebih banyak. Dulu, aku yang selalu menolaknya demi keluargaku. Kini, dialah yang memutuskan untuk pergi. Namun, aku yakin ini tidak adil meski dewa memang berniat menghukumku dengan cara ini. Kematian adalah satu-satunya hal yang tak dapat diseberangi.
Dia mengambil posisi ternyaman di rangkulan tanganku, memejamkan mata sembari sebisa mungkin terus bernapas. "Akan kutunggu,"
"Bagaimana kalau aku tidak datang padamu? Bagaimana kalau aku harus pergi ke arah lain, sementara kau berada di Celestia?"
"Kalau begitu, aku akan terjun ke tempatmu berada."
Kami berbagi tawa. Kecil. Pelan. Lembut.
Hening beberapa saat. Itu waktu-waktu yang pas bagi air mataku terus mengalir, dan memberi kecupan terakhir.
"Alissa." Namaku terucap bagai bisikan. "Suaramu ... Aku baru tahu itu lebih indah dari musik."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top