vii. al fine

Menuruni bukit memang tidak melelahkan, tapi dengan sebuah alasan bagus, kakiku memilih ambruk saat kami mencapai alun-alun kota. Dunia di mataku pecah berkeping-keping.

Seorang wanita mengusik orang-orang dengan kacau. Pakaiannya lusuh, compang-camping. Banyak sobekan di ujung gaun kusamnya. Samaran berupa rambut kacau dan wajah keriput menyertai drama yang sedang dibuatnya.

Semua hal asing yang kini melekat di seluruh tubuhnya tidak membuatku percaya bahwa wanita itu layak dikasihani. Dalam satu lirikan dan pertemuan singkat antar mata, aku mudah mengenalinya. Aku yakin Adonis juga merasakan hal yang sama tapi dia cukup terkejut untuk menahanku jatuh.

"Oh, kau!" Wanita itu berseru dengan sedih sekaligus lega, nada yang dibuat pura-pura, meyakinkan bagi siapa pun yang belum pernah melihat wajah aslinya. Dia meninggalkan pria yang tadi dibentaknya, lalu berlari untuk memelukku. Segalanya kabur. "Anakku. Ke mana saja kau? Apa kau terluka? Apa kau melakukan hal buruk?"

"Seret dia!" Adonis berteriak setelah pedangnya tergenggam sempurna.

Namun, tak ada yang merespons. Malah, seorang prajurit di dekat kami berkata, "Yang Mulia, wanita ini berkata dia mencari seorang gadis. Dia mungkin agak gila tapi ...." Tangan prajurit itu merayap pada pedang selagi matanya melirikku penuh kewaspadaan. "Dia berkata bahwa gadis itu memiliki sihir, sesuatu yang istmewa—"

"Kau mendengar rajamu atau orang asing?"

Wanita itu langsung diseret dari tubuhku. Dia meronta, menambahkan unsur ketidakwarasan dalam setiap jeritannya tentangku. Kecuali gumaman kasihan, tidak ada lagi yang keluar dari bibir tiap orang. Sebab, mereka tidak tahu, wanita itu melempar pandangan penuh magis gelap padaku.

Wanita itu adalah orang yang mengunci hidupku dalam ketiadaan suara.

Wanita itu hendak menghancurkan kerajaanku.

Aku nyaris pingsan kalau Adonis tidak mengguncang bahuku. "Pergi," bisiknya tajam. "Pergi dan selesaikan baju terakhirmu. Akan kuberi kau waktu tapi bawa dirimu dan angsa-angsa itu pergi sekarang."

Perkataannya jelas untuk sesaat dan aku memang sangat menginginkannya. Kakiku merengek untuk lari, kedua tanganku menjerit ingin menyelesaikan segala-galanya hari ini. Tapi, Adonis tidak bilang ibu tiri ingin diapakan. Dia bisa menangkapku, menelanku dalam ular magis yang ia ciptakan. Sedangkan meninggalkan Adonis juga bukan pilihan bagus.

Ibu tiriku berteriak lagi saat dia dibawa makin menjauh.

"Alissa, ke mana kau akan pergi?" ujarnya. "Ayahmu jatuh sakit karenamu. Apa pula yang kau lakukan pada kakak-kakakmu? Di mana mereka? Kembalilah ke Loremar, dan kita akan membicarakan ini."

Dusta. Dusta dan dusta, berbaur dalam simpati yang tidak pernah kudapatkan selama ini.

Sesuatu melesat di antara kami. Pisau yang dilemparkan oleh Adonis tepat mengenai jantung ibu tiriku. Di antara ledakan darah dan genggaman goyah para prajurit, wanita itu lemas hingga semua orang akan mengiranya mati.

Adonis menoleh padanya, mengeratkan genggaman pada jemariku. "Baik. Kau akan lebih puas kalau begini, bukan, Penyihir?"

"Adonis!" Ash berteriak di kejauhan. "Gila. Apa yang kau lakukan?! Membunuh rakyat luar Caelliron?"

Adonis hanya bergeming bahkan di saat Ash sudah berada di sampingnya. Matanya terus tertuju pada si wanita penyamar yang, entah bisa dilihat orang-orang atau tidak, sedang kejang-kejang hingga kepalanya kembali tegak. Tudung yang menutupi sebagian wajahnya tertarik ke belakang, menampakkan wajah yang sungguh buruk rupa. Wajah itu berdenyar hingga beberapa bagian sulit dipercaya nyata. Dan akhirnya, dia berubah menjadi seorang wanita berwajah seindah dewi.

Namun, matanya dipenuhi ular.

"Alissa Sayang, kau sudah pandai mencari sekutu rupanya," dia berujar. Dalam sekejap, dia membuat kedua prajurit di kanan kirinya membebaskannya, lalu mencekik leher masing-masing. Dia mencabut pisau, membuatnya bagai tipuan sirkus.

Ibu tiriku berdiri. Bukan lagi sebagai wanita bungkuk yang bertindak gila, tapi sebagai seorang ratu dengan sihir terlarang.

"Ah, Adonis, putra dewa. Kita berjumpa lagi. Apa kau ingin bermain sebelum aku mengambil milikku kembali?"

"Ya," kata Adonis. "Tentu saja."

Apa?! Kurenggut tangan Adonis. Jangan!

Dia memberiku tatapan memohon. "Pergi. Selesaikan itu. Apa pun yang kulakukan, tolong, abaikan saja. Kita akan bicara ... nanti."

Dia menarik lepas tangannya dan berdiri menghadap ibu tiriku. "Ash," katanya tanpa berbalik. "Jangan lindungi aku. Lindungi rakyatku. Sekarang."

Sesuatu merayapi tubuh Ash dan, lain dari biasanya, dia menurut. Rakyat kocar-kacir begitu dia menyuruh semua pergi dari sana.

"Kau melindungi dia," kata ibu tiri. "Betapa indahnya cinta itu."

"Sihir bertarung dengan sihir." Adonis melempar pedangnya. "Tidak kusangka kau datang begitu cepat, Amitri."

Aku ingin berteriak saat sihir hijau terlempar menuju Adonis. Tapi setelah kelap-kelipnya menghilang, aku bisa melihat sesuatu kemerahan di tangan sang raja. Dia punya api. Lidah merah panas tanpa sumbu maupun minyak. Dan kedua tangannya tetap utuh meski api itu menari-nari di atas kulitnya.

Tunggu. Mustahil.

"Alissa, fokus!" ujarnya. Kemudian, dia melempar bola api itu hingga segalanya ditutupi oleh cahaya kemerahan.

Dua orang bertarung dengan masing-masing warna. Hijau untuk ular. Merah untuk api. Mereka menabrakkan diri, tapi tidak pernah bisa menyatu. Lalu memantul atau membuyarkan satu sama lain.

Ini salah. Katakan padaku bahwa pemuda yang tengah bertarung di depanku bukanlah Adonis. Katakan padaku bahwa aku baru saja menyadari aku jatuh cinta pada seorang manusia normal, suci bahkan. Katakan padaku Adonis sedang berada di tempat lain, berseru-seru menyatakan bahwa sihir merah tersebut adalah larangan dari dewa.

Ini lain dari yang kudengar di cerita orang-orang. Dari sisi mana pun, Adonis menari dengan sihir, bukan dengan api yang tiba-tiba muncul dari Celestia, dari seorang dewa.

Sesuatu menyentuh tanganku. Sosoknya mengabur dalam air mata, tapi aku tahu dia salah satu kakakku. Paruh angsanya mengacaukan tas di tanganku, lalu menjepit baju terakhir untuk kuambil. Selesaikan.

Kelima angsa lain terbang di sekelilingku. Mereka berputar, melindungi pandangan dari panas dan bau racun yang membuat dada sesak. Benar. Aku harus menyelesaikan baju Mikka. Aku harus melakukannya sebelum wanita itu merenggutnya dariku sama seperti dia merenggut Ayah dari kami.

Jariku gemetar saat menyatukan jarum dan benang ke baju yang hampir jadi itu. Dalam pusaran badai merah, bangunan-bangunan juga mulai melepaskan bagian-bagian kecil mereka. Terkadang itu mengganggu konsentrasiku. Kakak-kakakku mencoba sebaik yang mereka bisa untuk melindungi pekerajaan ini dari hal lain, meski sayap mereka begitu rapuh.

Fokus. Tenang.

Kuulang-ulang itu bagai sebuah lirik favorit dari lagu kesayangan. Beberapa menit berlalu dan aku merasa jahitan ini tidak memuaskan. Mikka bisa protes, tapi ini bukan saat-saat di mana aku bisa larut dalam ketenangan.

Lalu, tiba-tiba saja sesuatu mendekat dalam kecepatan tinggi sehingga kakak-kakakku terbanting ke seluruh arah.

Aku mendongak dan mendapati ibu tiriku seakan mengatakan halo dengan seringai puas. Aku bisa mengerti mengapa dia sangat senang dan berbagai api tidak kunjung menyerangnya. Karena di tangannya, Adonis tengah terkulai dengan kerah belakang tertarik kuat.

Jarumku berdenting jatuh.

"Yah, walau dijuluki sebagai anak dewa, dia masih saja seorang bocah tercela dan lemah," kata ibu tiriku. Dia berlutut, meraih daguku dengan kasar. "Halo, Alissa, anak kesayangan suamiku, putri yang aneh. Apa kabarmu?"

Alun-alun terlihat kosong setelah badai memudar. Jadi aku bisa melihat semua kekacauan di sini. Mulai dari cipratan darah, bekas-bekas api dan cairan kehitaman, air mancur mengalir dengan warna hijau apel, kekacauan bagai ornamen tambahan, dan yang terakhir, jalanan dipenuhi enam angsa yang tidak berdaya.

Semua, lagi-lagi, ulah wanita ini. Setelah berbulan-bulan melindungi diri di istana Adonis, kupikir aku aman sampai aku bisa pulang dan membalas ibu tiri di sana. Tetapi sama seperti keberadaanku, rupanya dewa juga membiarkan keberadaan sihir lain. Mengapa? Seharusnya kami terbakar, seharusnya dewa memberitahu keberadaan ibu tiriku pada Adonis sebelum kami turun dari bukit.

Namun, bagaimana dengan Adonis sendiri?

Mengapa dewa ... merestuinya menjadi raja? Dia tersenyum, bahagia, merawat rakyat dengan baik, dan bisa menyembunyikan aura sihir dari semua orang. Dia tidak merasa terusik bahkan terlihat lebih oke, tidak gelisah sepertiku. Atau mungkinkah api itu merupakan berkat dari dewa?

Tidak. Aku yakin semua memiliki penjelasan di luar asumsi. Ingat, Alissa. Adonis pemuda yang tidak bisa ditebak. Percaya padanya. Percaya padanya. Percayalah!

"Kau sepertinya memang ditipu olehnya," lanjut ibu tiriku. "Benang, Alissa Sayang, dia juga memiliki sihir. Itu sebabnya dia senang berada di dekatmu. Supaya dia bisa memanfaatkanmu sebagai kambing hitam kalau sihirnya lepas kendali di depan rakyat."

Aku menggeleng, menolak percaya sementara isi kepalaku berkecamuk. Aku takkan menerima penjelasan apa pun sebelum Adonis sendiri yang bicara.

"Kau tidak percaya padaku? Pada ibu?" Mata ularnya berdenyar hijau. Dia memegang belakang kepalaku hingga mau tak mau aku harus jatuh ke dalam racun di matanya. "Apa karena kau menganggap dia memang masa lalumu? Apa kau yakin ingatan itu bukan diciptakan oleh Adonis sendiri, disalurkan melalui sentuhan jarinya? Oh, astaga."

Memori di saat dia mengelap wajahku dengan peninggalan ratu terdahulu terbesit. Bagaimana dia memainkan musik. Bagaimana dia tertawa. Lalu beralih pada semua ucapannya hari ini.

Tentu. Itu milikku. Itu memang nyata dan dia tulus.

Ibu tiriku tertawa seakan dia baru saja melihat seorang bocah naif menyangkal sebuah pengetahuan. "Lihat betapa kau tumbuh menjadi seorang gadis bodoh, Alissa. Ini sebabnya ketika ayahmu menyuruh untuk berkutat dengan buku-buku politik, seharusnya kau menurut."

Aku meringis kala tangannya menggenggam kuat rambutku. Kuat, Alissa. Harus kuat.

Ini seharusnya lebih mudah ketimbang saat di mana dia mengutukku. "Jadilah bisu. Satu kata yang terucap dari bibirmu, dan satu kakakmu akan mati." Kalimat itu adalah hal terkuat yang pernah dihantamkan kepadaku. Kesakitan terbesarku adalah kutukan dari ibu tiri yang berpura-pura menyayangi anak-anak suaminya. Karena itu tidak hanya menyiksaku dalam diam, tapi mengambil segala hal yang tersisa, bahkan harapan.

Tetapi, aku merasa rasa sakitnya kembali lagi, dan yang lebih aneh itu bukan karena aku mengingat kutukan maupun ibu tiriku. Semuanya kini berpusat pada seorang pemuda api yang tidak berdaya di dekatku.

Aku ingin mempercayainya. Hanya saja semua perkataan ibu tiriku selalu benar. Aku memang bodoh, aku aneh, aku lebih buruk dari seorang gadis desa yang naif bermimpi menjadi putri raja. Saat itu, di taman, dia menyentuh kepalaku sembari berbicara soal masa lalu. Kemudian untuk beberapa detik aku menyadari ucapannya melebur menjadi sebuah penglihatan. Itu menyatu seakan-akan menjadi sebuah potongan hilang yang ditemukan, atau potongan asing yang memaksa masuk.

Lagi-lagi aku menggeleng. Tidak. Hanya Adonis yang kupercayai. Ibu tiriku jahat meski dia bisa saja benar. Lalu apa? Harus kuapakan diriku jika dia lebih tahu soal Adonis ketimbang aku? Marah, kesal, lalu memukul kepalaku? Itu takkan mengembalikan perasaanku yang telah dia curi. Selamanya, masih ada sebuah fakta bahwa aku menyerahkan segala kehidupanku padanya, bersandar di pundaknya, bahkan jika aku memutuskan untuk menolaknya berkali-kali lagi.

Maka mataku melotot. Seluruh kemurkaan kukerahkan di balik lapisan air. Tidak, ucapku padanya. Kau salah.

Ibu tiriku menyunggingkan senyum puas sekaligus marah. "Bagus. Ini kenapa aku sangat ingin merebut kerajaanmu sebelum merebut yang lain. Dan kau mempermudahku."

Dia bersiap dengan cakar-cakar yang sebelumnya tidak terlihat. "Mari kita lihat apakah tanpa wajah menawanmu, kehidupan masih mencintaimu atau tidak. Lalu, nyawamu."

Aku bersiap untuk robekan sempurna. Tetapi itu tidak kunjung datang, sampai aku melihat Adonis mengangkat tangannya, melingkarkan jemarinya di pergelangan ibu tiri kuat-kuat.

"Cukup. Sihir dengan sihir. Cakar dengan cakar," lirihnya. "Ambil punyaku."

Wanita itu membeku sesaat.

"Kau bilang ingin menguasai kerajaan-kerajaan, bukan?" Adonis kembali membujuk. "Langsung saja padaku. Jantungku, itu bisa membuat segalanya takluk di kakimu. Kau tahu itu, bukan?"

Aku menatapnya penuh larangan, tapi terlambat. Ibu tiriku dengan gesit menggeser tubuhku hingga wanita itu bisa mencekiknya di udara. Dia mengangkat Adonis dengan mata bangga, bersinar penuh kemenangan. "Lihat, Alissa?" ucapnya tanpa berpaling. "Kau mempermudah ini dengan membuatnya benar-benar jatuh setelah berniat buruk. Kau membuatnya mengorbankan diri!"

Tidak! aku hampir bersuara saat cakar-cakar ibu tiri terbenam di dada Adonis. Semakin dalam, semakin menyakitkan, semakin menekan. Darah berceceran ke tanah sekejap kemudian.

Ibu tiriku tertawa selagi cakarnya perlahan-lahan menuju jantung sang raja. Sementara aku termangu, menangis, hendak menjerit tapi aku tak ingin menambah lebih banyak nyawa melayang. Salahku. Adonis selalu berkorban dan menantang segalanya karena aku.

"A-apa?"

Aku mendongak saat mendengar suara retak yang disertai percik api.

Tangan bercakar itu terlempar jauh oleh semburan api. Adonis ambruk dan aku menangkapnya, menekan lukanya sembari memperhatikan ibu tiriku perlahan dikonsumsi api. Itu terlihat abadi, membuat kulitnya menghitam setelah retak-retak. Dia mencoba mengeluarkan sihir. Sia-sia. Dia malah menambahkan minyak jika menggunakan sihir dengan tangan satunya.

Adonis berusaha tersenyum penuh kemenangan. "Jantung raja memang nyawa Caelliron, siapa pun yang merenggutnya seperti milik ayahku direnggut, akan mendapatkan kekuatan. Tapi aku berbeda. Kau ... terbakar jika menyentuh jantungku, terutama dengan sihir."

"Tidak mungkin! Aku takkan mati secepat ini!" Amitri berputar-putar, dan api semakin membesar. Sampai akhirnya seluruh tubuh wanita itu ditelan api. "Kalau begitu aku tidak bisa membiarkan negerimu lebih baik dariku!"

Dia berteriak, menyebarkan bola-bola api ke seluruh alun-alun sampai hampir segalanya diliputi api. Dia berencana membuatnya lebih besar dari ini, tapi tubuhnya keburu terbakar oleh sihir yang dia jadikan minyak.

Napasku terputus-putus. Dia hilang. Mati. Sudahkah ini selesai?

"Alissa," Adonis memanggil. "Maaf."

Belum. Ini belum selesai.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top