vi. crescendo

DIA mengajakku ke sebuah bukit, jauh dari kota, jauh dari orang-orang dengan seru andalan mereka. Di sana hijau dan biru menyatu. Pohon-pohon rindang saling terpisah hingga aku masih bisa memandangi langit di bawah salah satunya.

Hal menarik yang bisa kutemukan adalah tanaman luna di beberapa bagian bukit, tumbuh dan tersebar bebas. Daunnya yang setajam jarum berkilau di bawah sinar mentari, memancarkan warna kemerahan. Aku sempat berlutut di depan salah satunya dan mengambil sebuah daun tanpa membuat tangan berdarah. Sampai sekarang, aku memegangnya, memandangi daunnya yang menggelap sembari memangku tas berisi alat-alat menjahit.

Adonis di sebelahku, memainkan seruling. Bentuknya lebih panjang dan lebih bagus dari seruling biru dahulu. Meski masih sederhana, setidaknya terbuat dari kayu terbaik, dan berwarna alami.

Mata kami bertemu di akhir lagu, lalu saling melempar senyum canggung yang aneh.

"Maaf untuk kemarin. Untuk semua yang terjadi," katanya selagi kami masih bertahan untuk saling tatap. Aku memaksa mata untuk tidak bergerak, yakinlah dia juga begitu. Kami sama-sama tahu bahwa topik ini hampir meretakkan segala hal baik yang telah terjadi. Tetapi, seperti apa yang dia dan tatapan apinya inginkan, aku juga melakukannya. Berterus terang.

Aku mengayunkan tangan. Bukan masalah, itu yang kusampaikan. Meski kepalaku berdentum menyatakan ITU MASALAH. ITU MASALAH. ITUMASALAH. ITUMASALAHITUMASALAHITUMASALAHITUMASALAH.

Stop.

Sejak kapan? tanyaku.

"Entahlah. Sejak aku pulang hari itu, mungkin," jawabnya. "Aku bertanya-tanya apa kau sedang menangis lagi, atau kau sudah bisa menikmati keramaian? Aku menyuruh Ash tinggal di Loremar selama beberapa hari, dan dia jadi tahu aku memperhatikanmu. Enam bulan berlalu, tiba-tiba dia bilang aku menyukaimu."

Aku menunduk karena tidak berani menunjukkan tawa padanya. Konyol. Pantas saja Ash mengerti bahwa aku adalah Alissa Lor'marien, meski dia masih memasang label penyihir.

"Lalu aku mendengar kau tidak pernah keluar dari istana lagi." Kalimatnya berubah menjadi rangkaian nada-nada biru kelam, sedih. "Aku menempatkan orang di negerimu, tapi tidak ada kabar. Tidak ada tanda-tanda kau akan keluar. Aku menyerah mencari celah. Dan semakin putus asa ketika kau menghilang sepenuhnya. Jadi, ya, entahlah, aku tidak yakin sejak kapan, Alissa."

Aku sudah sering menerima ratusan surat dari anak-anak raja dan bangsawan besar. Isinya identik dengan pernyataan. Biasanya aku langsung membuang itu karena aku tahu cepat atau lambat, ayahku akan memilih satu dari mereka. Meski tak ada gunanya melenyapkan surat-surat itu dari telinga serta mata raja, aku tidak peduli. Itu hanya bentuk penolakan dan rasa kesal.

Jika seorang anak bangsawan memenuhi kriteria ayah sebagai pasangan yang baik bagiku, dan anak itu juga menyatakan cinta lebih dulu, aku percaya seluruh hidupku akan berantakan setelahnya. Tidak ada lagi kebebasan. Tidak ada lagi permainan bersama kakak-kakak menyebalkan. Tidak ada lagi musik. Bangsawan tidak menghabiskan waktu untuk melakukan hal kekanakan, dan sialnya, aku adalah contoh buruk sebagai putri.

Aku akan hidup dalam sangkar emas lain begitu ayahku menyerahkanku pada seseorang.

Tetapi, seandainya anak itu adalah Adonis, aku tidak yakin hidupku akan seburuk itu. Ayah mana pun bakalan melakukan apa saja agar putrinya bisa bersama dengan dia. Termasuk mungkin ayahku.

Kuraih telapak tangannya, bersiap menulis di sana sebab aku kehabisan cara menyampaikan pesan dengan isyarat. Tumpul.

Setelah Ever menikah, semua orang di istana sepakat agar aku menyusulnya, mungkin sebelum kakak-kakakku yang lain. Tapi seandainya kutukan ini tidak pernah ada, seandainya aku tidak pernah menghilang dari publik, apa kau akan datang padaku? Karena kau pasti tahu, bahkan saat aku dikurung, kau bisa masuk ke istana kecil kami. Kau—

"Alissa," potongnya, setengah getir. "Kau mengajukan pertanyaan paling aneh."

Ya, jelas saja. Karena sejak hari itu, dia tidak kunjung menepati perkataannya sampai waktu membuatku lelah dan berhenti memikirkan soal bocah aneh di festival. Semua bangsawan datang ke istanaku demi mendapatkan hati ayahku. Tidak semuanya sama seperti dia—rela meladeni makian, tertawa dengan cara imut alih-alih pencitraan, dan yang utama, bermain musik.

Pemuda bermasa depan cerah memang banyak, tapi kepalsuan jarang lepas dari wajah mereka. Lain dari seorang raja kecil yang kehilangan segalanya, tapi bisa memberikan semua yang tersisa dari dirinya padaku.

Seandainya ibu tiri tidak pernah menaruh kutuk, kemungkinan besar aku dan dia sudah berada di situasi yang lebih baik dari ini. Dia datang padaku, dan dengan senang hati aku menerimanya. Sekarang, ceritanya lain. Dia datang pada seorang gadis dengan sentuhan sihir, bukan putri.

Jadi, kutulis lagi di telapaknya: Sekarang lain. Aku objek sihir, kau dikasihi dewa. Jalanku satu-satunya adalah pulang ke belas kasih Ayah, sedangkan kau bebas memilih. Di dunia ini, gadis yang lebih baik dariku ada banyak.

Jariku berhenti menulis. Cengkeraman Adonis lebih parah dari yang kemarin. Namun, saat kutatap mata terkejutnya, dia berhenti. "Maaf. Itu membuatku ... kesal."

Aku menjauhkan tangan. Ya. Itu salahku. Maaf.

"Alissa." Rhomedes yang baik, bakar saja aku dengan apimu. Aku kesal karena hari ini dia menyebut namaku berulang kali, dan tanpa sadar aku menyukainya. "Aku tidak peduli siapa kau sekarang, atau siapa kau di mata orang lain. Bagiku Alissa hanya memiliki satu arti: kau. Gadis yang aku—aku sukai sejak dia mengizinkanku mengelap wajahnya, memainkan musik yang dianggap remeh sebagai penghiburan, dan mengatakan tawaku manis."

Aku memang setuju saat dia ingin kami terang-terangan. Tetapi, ada yang ingat aku ingin pembicaraan ini membuatku meleleh seperti lilin di dekat api?

"Lagi pula ..." Dia mengangkat daguku agar aku bisa melihat dia tersenyum, "kalau ada anak raja yang ayahmu anggap lebih baik dariku, aku akan datang dan mengacaukannya, lalu mengatakan bahwa tidak ada yang bisa mengalahkanku dalam hal membuat wajah putrinya memerah."

Dia tertawa.

Aku bisa merasakan semua mengabur dalam hangat dan merah.

"Apa aku terlalu sombong?" tanyanya, tapi dia menjawab pertanyaan itu dengan tawanya sendiri.

Ya.

Kau benar-benar sombong.

Tapi kau tertawa.

Itu hal favoritku.

Detik setelahnya, aku melupakan 1001 alasan mengapa dia tidak boleh bersamaku.

Aku menempatkan tangan di sekeliling leher dan tengkuknya. Aku menciumnya dan ketika dia tidak menolak, kurasa semua isi kepalaku meluncur jatuh.

Yeah, lebih baik akal sehat didepak jauh-jauh saat ini. Aku akan bersyukur nanti.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top