ix. finale
KEENAM kakakku membawakan surat Adonis. Semacam wasiat yang dia tujukan pada dewan istana dan Ash setelah pemakaman. Aku tidak sanggup membaca isinya saat dia masih bisa menulis kelakar bandel yang sesuai karakternya. Terutama di bagian: Dia bakalan punya cincin benang luna. Dia ratu. Jadi, Ash, tolong jaga baik-baik, ya! Kupantau!
Seakan-akan, dia memang menulis itu setelah dia mengembuskan napas terakhir.
"Mahkotanya cocok," komentar Everard saat aku terbengong di depan surat. Keheningan taman tanpa sadar mencekik kami.
Aku menyentuh sedikit rambut di keningku. "Ya. Tapi wajahku terlalu tegang tadi."
"Kau cantik banget dan keren," timpal Ferdinand. "Siapa yang bakal memakimu?"
Aku tersenyum berkat pernghiburan mereka setelah upacara penobatan nan melelahkan selesai. Dua bulan berlalu sejak kota terbakar dan Adonis dimakamkan secara baik-baik. Aku pulang ke Loremar, menangis di pelukan ayahku, dan akhirnya tidak ingin menghadapi siapa pun di dalam kamar. Sampai Ash datang, membawa surat permintaan rakyat.
"Kami takkan menolak," katanya. "Adonis tidak pernah melepaskan kami ke bahaya, itu cukup membuat kami percaya pilihannya."
Dan di sinilah aku. Hari pertama menjadi ratu, bahkan sebelum Ever naik tahta.
"Aku ingin ... ke sana. Boleh?" tanyaku.
Keenam kakakku mengerti, tapi tidak yakin. "Sendirian?" tanya Mikka.
"Ya."
Aku pergi ke sisi lain taman. Di mana burung-burung mengatur suara hingga nyanyian mereka tenang. Pohon-pohon menutupi bagian dalamnya bagai pagar, dan beberapa dari mereka dililit tanaman luna yang bercahaya kemerahan.
Di tengah-tengah bagian taman yang sepi itu, aku ingat kami semua membaringkan tubuhnya utuh-utuh, tanpa proses pembakaran. Tanah kini menutupi seluruh hal yang bisa kukenang darinya, dan sebuah batu berukir mencuat di atas makam. Adonis.
Aku sering ke tempat ini, bahkan di tengah malam, dan aku selalu mendapati seisi taman diisi oleh kesunyian. Sepi. Hanya ada aku dan seseorang yang entah dapat kulihat atau tidak. Namun, aku mengusap mata sekasar yang kubisa. Aku mencoba menghilangkan sosok bergaun di samping makam, berdiri dengan rambut semerah api yang terurai hingga ke pinggang.
Itu bukan Adonis. Mustahil dia memanjangkan rambut sampai seperti itu dalam dua bulan, kecuali Celestia memberikannya waktu secepat sepuluh tahun sebelum melemparkannya kembali ke tempat ini.
Teringat pada cerita Adonis tentang ibunya, aku jatuh berlutut. Kuremas tangan dengan yang lain sementara wanita itu mengulurkan tangan pada sesuatu yang tiba-tiba menyambutnya.
Jemari bersentuhan, kemudian saling menggenggam. Suatu wujud menjadi solid di tengah-tengah kesunyian menakutkan. Dia putih, pucat, tetapi rambutnya masih terbakar seperti dahulu. Helai-helai indah itu jatuh ke bahu, menutupi sebagian wajah saat dia bangkit menerima pelukan si wanita jangkung. Aku menanti dan menanti sampai hal itu terjadi.
Mata kami bertemu.
Aku menahan diri untuk melangkah bahkan berlari lalu memeluknya. Tidak, dia sudah berada jauh dari jangkauan. Dia akan kembali ke tempatnya seharusnya berada, hanya kebetulan ... aku melihatnya akan pergi.
Namun, tanpa mengusik rumput, dia sudah berada di hadapanku, bersandar di bahuku. Dia ringan, aku tidak bisa merasakannya dan karena itu aku mengurungkan niat untuk menyentuh kulitnya.
Kemudian dia menjauh. Jari telunjuknya berada di depan bibir sebelum itu menunjuk langit oranye. Gerak tubuhnya janggal.
Atau, ada sebuah pesan tanpa suara.
Aku. Akan. Menunggumu. Di. Atas.
Bibirku tersenyum lega, hampir terkekeh sekaligus menangis.
Jadi, dia melanjutkan. Jangan. Pergi. Ke. Arah. Lain. Atau. Aku. Akan. Turun. Ke. Sana.
Kami saling melempar senyum. Ini percakapan yang sama seperti waktu itu. Tetapi sekarang dia bebas dari rasa sakit. Dia bersih meski pucat, riang meski tak tersentuh. Momen ini membuatku sedikit lebih yakin akan pertemuan ketiga, entah di mana, tapi kami pasti percaya pasti ada.
Dia berdiri setelah si wanita mendesaknya kembali bergenggaman tangan. Tubuh mereka memudar, seakan dikonsumsi oleh sebuah cahaya merah yang membentuk menara, menembus istana awan. Adonis melambai padaku, menunjukkan sisi kanak-kanak yang enggan dia lepaskan. Senyumnya lebar sebelum dia kembali pada wanita yang ia genggam. Dia tidak berbalik lagi, sampai segalanya memudar.
Kuusap air mata. Ah, indah. Ibu dan putranya pergi ke tempat terindah yang dijanjikan kitab-kitab kuno.
Aku berdiri dengan goyah sebelum menegakkan kaki, berjalan tegap kembali ke tempat aku berpisah dengan kakak-kakakku. Mereka heran melihat wajahku merah tetapi senyum lebar terpatri di sana.
"Apa yang terjadi?" tanya mereka bergantian.
Aku mengangkat bahu, menghilangkan rasa sedih yang sudah dua bulan kupendam sendiri. "Entahlah," aku berucap. "Tapi aku kepingin bermain biola sekarang."
Awalnya, mereka bingung. Kemudian mereka tersenyum mengerti.
"Bagaimana kalau kita bikin pertunjukkan biola di pesta penobatanmu nanti?" Mikka menyarankan.
Aku mengehela napas lega. "Ya. Dengan piano, dan seruling juga."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top