iv. bridge
"Terkutuklah simpatimu, Alissa!"
Kami tidak minum teh dan aku memang tidak mengharapkannya.
Adonis menyeretku menyusuri istana sampai dia menemukan destinasi yang pas untuk melanjutkan kemarahan. Kamarnya. Di sana sudah ada Ash dan beberapa pelayan, menaruh teh di meja. Namun, Ash memberi lambaian singkat agar semua keluar selain dirinya.
"Kita bicara nanti. Istirahatlah dulu," desak Ash.
"Tutup mulutmu!" Ash terkejut, tapi dia menurut. Adonis kembali padaku. "Aku tidak mengerti tujuanmu berlutut untuk apa. Apa di matamu aku adalah orang yang sekejam itu?"
Kan, dia yang ingin Fahd dieksekusi dengan keji!
Aku mencoba menggerakkan tangan, menggeleng, membentuk tanda silang. Segala bentuk pernyataan bukan-begitu-maksudku dicoba, tapi dia masih belum mengerti. Atau bisa saja dia tidak menerimanya.
Aku khawatir Anda terluka, jadi Anda harus berhenti. Anda tidak bisa melakukan hal buruk hanya karena aku. Itu hanya membuatku takut bahwa segala hal tentangku salah.
Mata merahnya melebar, penuh dengan ketidakpercayaan. "Ash, keluar."
Ash mengernyit. "Dan meninggalkanmu dengan anak ini?"
"Keluar!" Bentakan itu kasar, kuat, mampu membuat Ash takut sampai dia berjalan enggan dan menutup pintu. Adonis kembali padaku setelah kami ditinggal.
Tubuhnya oleng seperti baru saja menenggak anggur paling memabukkan. Meski begitu, aku gentar. Aku menahan diri untuk memapahnya sebab dia seperti itu karena aku. Dia dikuasai oleh sebuah emosi janggal, karena aku melontarkan sesuatu yang seharusnya bisa jauh lebih baik.
"Alissa, apa menurutmu aku jahat?" tanyanya, membuat sekujur tubuhku membeku.
Aku menggeleng.
"Lalu kenapa kau memandangku dengan sorot takut itu?"
Tubuhku baru hendak menggerakkan suatu pesan, tapi berhenti begitu darah tumpah dari tempatnya terluka. Dia memang tidak peduli, sayangnya, aku peduli.
Aku berusaha menghampirinya tanpa bimbang, berniat memberitahu bahwa aku akan mengobati itu. Tetapi, tanpa alarm peringatan, Adonis merenggut lenganku. "Dia mau membunuhmu. Katakan orang itu yang jahat. Katakan dia pantas dibakar dan memohon pembalasan dariku. Itu yang harusnya kau lakukan."
Anda salah! Gerak bibirku sudah menyerobot akal sehat. Telanjur memberi perlawanan pendapat, maka lanjut saja. Api adalah sesuatu yang sakral, Adonis. Hanya untuk orang-orang dengan sihir, kataku dengan bahasa tangan. Orang-orang sepertikulah yang pantas untuknya.
Kepalaku sudah berseru bahwa bukan pilihan tepat untuk meluncurkan kalimat-kalimat tersebut. Dia bakalan mendidih. Belum puas aku menolaknya berkali-kali, aku juga membuatnya marah besar. Pernahkah terpikir olehku bahwa aku egois? Menyebalkan, tolol, sinting—apa pun—karena semua kebaikannya dibalas dengan buruk?
Adonis memang lebih menakutkan dari yang kukira saat ini. Merah menyala lebih gelap di mata dan rambutnya, menandakan bahwa api perapian telah digantikan api kemurkaan. Semenit tubuhku gentar terhadap hukuman yang bakal diberikannya. Namun, di detik terakhir aku bisa menikmati keheningan yang menggerogoti nyali, menganggap bahwa tidak ada yang lebih buruk dari dibakar langsung saat ini.
Nyatanya, itu ada.
Tidak terduga pula.
Aku terkesiap saat dia menarikku dalam dekapan tererat yang pernah kuterima. Menciumku. Mengubahku menjadi abu dengan cara lain. Di satu titik, es membekukanku hingga insting memberontak tidak bereaksi, tapi di titik lain aku juga merasakan api. Perlahan-lahan, aku dikonsumsi, sekarat dalam momen yang tidak kunginkan.
Lalu, kepalanya jatuh di pundakku. Darah membanjiri kulit, tapi aku bergeming.
Butuh waktu yang cukup lama bagiku untuk memusnahkan keterkejutan dan memanggil bantuan.
***
"Hei, Dik. Kau oke?"
Keenam kakakku sudah berubah menjadi manusia sejak setengah jam yang lalu. Namun, aku tidak menyambut mereka dengan pelukan seperti biasanya. Mungkin mereka peka, atau aku yang kurang mampu menutupi berbagai perasaan yang meledak-ledak di mata selagi aku merajut, sehingga para pangeran itu memandangku aneh.
Aku mengangguk pada Oberon.
Mereka semua menghela napas. "Kau diapakan kali ini?" tanya Everard. "Kulihat Adonis melindungimu di alun-alun, tapi kau murung. Jadi pilih aku yang mengasumsikan sesuatu atau kau yang mengaku?"
Keras adalah sifat kakak pertamaku. Dia mungkin bukan yang paling peka, tapi sekalinya mengendus sesuatu yang salah, dia akan mempertajam mata dan mendesak semua orang sampai dia mendapatkan apa yang diinginkan. Kali ini, Everard mau jawaban tentang apa yang membuatku muram. Dia pasti berpikir jawabannya ada pada Adonis, atau Ash. Benar. Namun, aku tidak boleh membiarkan dia meledak-ledak di istana malam-malam.
"Ah, Kak, jangan mengira seperti itu," ucap Jem. Dia yang paling lucu, bisa medinginkan suasana. Kuharap bakatnya masih ampuh sekarang. "Adonis sayang Alissa. Jangan menuduhnya."
"Bagaimana dengan Ash? Dia salah satu pendukung rakyat yang menuding Alissa penyihir," Oberon memberi opsi lain.
Mikka, pangeran terakhir, memutar bola mata. "Ayo, dong. Kalian lebih dewasa tapi pola pikir kalian masih konyol."
"Lalu kau mau memberi saran apa, bocah pintar?"
"Entahlah. Tapi tuduhan pada Adonis tidak terdengar buruk. Aduh!" Mikka meneriima sentilan kuat dari kakak pertama. "Maksudku, apa kalian tidak sadar Alissa menghilang selama berjam-jam setelah keributan di alun-alun selesai? Ash kembali ke kota untuk mengurus para pendatang itu, sementara Adonis ikut menghilang. Jadi, ya, Alissa, aku tidak mau menuduh. Tapi tolong beri tanda kalau kau baik-baik saja atau kami semua akan ikut-ikutan Ever."
Aku tidak peduli.
Aku akan membiarkan semua kakakku marah, karena aku sudah memulai sesuatu yang seharusnya tidak ada. Kini cerita akan semakin rumit. Lebih sukar diurai ketimbang melepaskan duri tanaman luna satu per satu.
Itu sebuah kesalahan. Dia raja, aku penyihir. Dia orang yang menerima berkah dewa dengan masa depan cerah, sedangkan aku tercemar, pantas mati oleh api Rhomedes Agung. Lebih baik dia tidak membiarkanku terus berkeliaran dan bernaung di istananya kalau dia memiliki perasaan terkutuk itu. Usir aku, bunuh kalau bisa, dan semua akan kembali baik-baik saja, Adonis.
Sejak menginjakkan kaki di istana ini, aku sadar tidak ada yang menyambut dengan baik. Semua hal bermartabat dan sopan dilakukan oleh raja sendiri. Mana ada orang yang mau menyapaku kalau bukan karena perintahnya. Atau sekadar melirikku penuh keramahan. Mereka benci, takut pada sihir yang bisa mereka rasakan tanpa sentuhan jemariku. Aku mewanti-wanti bila suatu hari nanti ada yang mencoba mencelakaiku tanpa memedulikan murka Adonis, atau parahnya, kudeta besar-besaran.
Adonis bisa dituduh bukan sekadar telah terhipnotis. Apakah dia juga seorang penyihir yang menemukan teman? Apakah dia ingin menghancurkan negerinya sendiri dengan kedatanganku? Berbagai asumsi rakyat dapat menghancurkannya. Tidak peduli seberapa besar kekuatan kata-katanya mengikat semua orang.
Aku menghabiskan dua jam terdiam, fokus dengan jarum serta benang panas dari luna—tanaman khusus yang Adonis katakan bisa mengembalikan keenam kakakku. Baju rajutan untuk Mikka sudah selesai, tinggal menambahkan satu lengan dan empat hari lagi, kami semua akan bebas dari kutukan.
Telingaku tidak mendengar apa-apa. Hening sekali. Kutolehkan kepala dan akhirnya melihat keenam saudaraku sudah jatuh pada mimpi masing-masing dengan posisi konyol. Tidak khas dengan ciri pangeran Loremar.
Seperti malam-malam sebelum ini, keenam kakakku mengupas topik-topik konyol yang hanya bisa mereka pahami. Di istana kami dulu, hampir tidak ada waktu bagi Everard untuk ikut bergabung, sulit menemukan celah bagi Mikka karena dia sibuk dengan guru-guru terbaik negeri, dan nyaris absen-absen yang bergantian membuat mereka malas berkumpul.
Namun, satu yang kusyukuri dari kutukan, itu kembali mendekatkan kami. Setelah tahu khawatir sepanjang hari tidak menghasilkan apa-apa, kami mulai menyingkirkan pikiran bahwa kondisi ayah dan istana buruk. Tak ada kabar apa pun selain tujuh anak raja menghilang secara tiba-tiba, semua baik, ayah oke, dan ibu tiri bisa membantu. Kami tidak terlalu lega dengan poin terakhir. Tapi akan kami urus itu nanti, saat kutukannya sudah selesai.
Keenam kakakku mulai bersantai. Tiap malam menemaniku, lalu larut dalam tawa sendiri, kemudian berlagak seakan kami anak-anak desa yang lepas dari aturan.
Aku bangkit setelah merapikan seluruh alat menjahit dan menumpukkan baju Mikka dengan yang lain. Karena tak mungkin tubuh kecilku menyeret semua tubuh besar mereka, maka kutebar saja selimut. Malam ini cukup dingin. Aku khawatir mereka akan jatuh sakit sebelum kutukan kami hancur.
Usai memastikan semua aman, kutarik pintu, melirik sekali lagi pada keenam kakakku yang masih berwujud manusia, lalu keluar dengan senyum yang langsung pudar begitu melihat Ash bersandar di sebuah pilar taman. Ya, kamarku berhadapan langsung dengan taman, serta lorong terbuka. Di taman, pilar-pilar mengelilingi meja dan kursi. Biasanya Adonis menyuruhku merajut di sana. Aku menurut, tapi tidak jika dia sedang pergi ke luar istana. Lebih banyak yang melihat aku merajut, lebih banyak bisikan jelek yang kutuai.
Ash memejamkan mata dengan wajah menghadap langit malam. Rambutnya lepek parah, dan bajunya berantakan. Beberapa kali kulihat dia bersama Adonis, tapi baru kali ini dia melepas zirah bahkan yang paling sederhana.
Aku memeluk diri dan merapatkan kain tebal yang membungkus bahu sampai pinggang. Ash aneh sekali jika dia tidak merasa kedinginan. Jadi aku kembali ke kamar dan mengambil sebuah selimut tambahan di dipan. Aku membawanya, berusaha agar permukaannya yang licin tidak tergelincir sebelum mencapai Ash, dan syukurnya begitu.
Ketika selimut berhasil sampai di tubuh sang panglima, dia berkata, "Aku benci kau tapi kali ini, makasih."
Aku tersenyum, tidak jadi kembali ke kamar. Kupikir ada bagusnya kami bicara meski dia tidak sepemahaman dengan Adonis.
"Dia bilang apa padamu?" tanyanya saat tubuhku sudah duduk di sampingnya. "Aku tidak percaya kita bicara, omong-omong. Aku hanya mau tahu soal Adonis."
Aku menghela napas, mencolek bahunya.
"Bicara bukan berarti bisa sentuh, Non," gumamnya sambil membuka mata. Lalu dia menangkap gerak tanganku di depan bibir. "Oh, ya, aku lupa soal itu."
Apa dia marah padamu?
Aku berharap Ash pandai berbahasa isyarat. Tetapi dia malah menjawab, "Ha?"
Mataku bergulir ke bawah. Kuputuskan untuk mengambil buku tulis serta pena dari kamar dan menulis segala pesanku agar mudah dipahami.
"Oh," dia bergumam. "Ya. Dia tidak mau bicara denganku. Dia belum makan sejak tadi siang. Bagaimana ceritamu?"
Aku terdiam. Tidak mungkin aku menjelaskan secara detail pada Ash. Bagaimana kami bertengkar. Bagaimana dia melakukan itu. Aku sendiri tidak berani menyebut apa yang dilakukannya tadi. Kesal, karena aku harusnya berani mendorong. Marah, karena dia tidak mengerti apa yang kupikirkan sejak Fahd dan kawan-kawannya menyergap.
Lama keheningan menguasai tempat ini, Ash mendesah. "Ya sudah. Aku tahu kok dia melakukan apa."
Aku melotot. Kau tahu?
"Jangan santai jika aku tidak mengamuk, bocah penyihir. Dan jangan merasa hebat jika seorang raja negeri Caelliron, terutama anak dewa sepertinya, m-menyukaimu." Ash memunculkan gurat masam yang khas di wajahnya.
Aku tersenyum. Tenang saja, kutulis begitu, empat hari lagi aku akan pergi. Saat itu, kau bisa lega karena Adonis aman dari sentuhan sihir.
Diam darinya selama beberapa saat. Dalam waktu sesingkat ini saja aku sudah mengerti bahwa Ash bukan orang yang cocok berkomunikasi denganku. Lagi pula, dia hanya ingin mendapatkan segala hal tentang rajanya. Tak ada maksud khusus selain itu untuk berkomunikasi denganku.
"ya," ucapnya tanpa memandangku. Kedua matanya kembali terpejam. "Baguslah. Tapi, apa kau merasa ibu tirimu bisa dikalahkan dengan mudah, Alissa Lor'marien?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top