ii. avant-garde

ADONIS punya kebiasaan aneh.

Sebagai orang nomor satu di negeri ini, dia malah menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bermain-main dengan rakyat. Maksudku, dia kelewat aktif di kalangan masyarakat seakan dia adalah bagian dari mereka. Tiada hari tanpa ketidakhadiran raja belia itu. Dalam satu bulan, dia bisa mengunjungi sekurang-kurangnya dua puluh tempat biasa, dimulai dari kedai, pasar, sekolah, bahkan penjara.

Anehnya lagi, dia lebih memilih memakai baju anak petani ketimbang jubah merah. Aku tidak perlu menghitung berapa kali Ash dan petinggi kerajaan berusaha menentangnya berpakaian seperti itu, juga bertindak semaunya.

Hari ini dia memilih alun-alun kota. Dengan kaus putih dan rambut merah diikat, dia mudah menarik perhatian rakyat sehingga banyak orang biasa mengerubunginya. Sudah ada perintah bahwa yang boleh bercengkerama dengan sang raja hanyalah orang-orang yang dihampirinya, tapi meski begitu, jumlah mereka ternyata lebih banyak dari dugaan. Adonis terlihat sangat kecil di balik tubuh orang-orang bahagia itu. Dan perlahan, aku juga melihat dia menjelma menjadi orang biasa. Normal. Pantas untuk bersikap semena-mena.

Aku memperhatikannya tertawa dan mengobrol dari kejauhan bersama Ash. Tentu keberadaanku membuatnya kesal. Aku juga berharap dia meninggalkanku sendiri, sih, tapi tuannya menyuruh kami tetap bersama.

Berjam-jam kegelisahan Ash terus membuatku khawatir. Selama beberapa bulan mengenal sosok sang jenderal, dia punya kebiasaan meledak kalau prioritasnya terusik barang setitik saja. Masalahnya, prioritas utama pemuda itu adalah Adonis yang, kalau tidak melarikan diri dari tugas-tugas dan pengawasan, selalu bertindak semena-mena. Kombinasi itu membuatku sedikit takut pada Ash.

"Padahal raja dan ratu sebelumnya punya kebiasaan anggun." Kudengar bisik itu dari beberapa orang di samping air mancur, di sampingku. Ribut gemercik air tidak menyamarkan isi percakapan mereka.

"Biarlah," kata seorang pria. "Yang Mulia Adonis lebih suka memperhatikan kita dengan cara seperti ini. Bukankah kalian juga menikmatinya?"

"Keselamatannya. Itu yang utama." Tanpa sadar, aku mulai mengikuti alur sambil merapatkan jubah penutup wajah. Si wanita melanjutkan. "Dia, kan, masih muda. Posisi ratu kosong. Tidak ada pewaris. Jangan pikir karena ini Caelliron Yang Mulia bisa bergerak santai. Ingat apa yang terjadi pada mendiang putra mahkota dan ratu dahulu?"

Oh, topik sensitif. Mereka patut mengecilkan suara atau Ash bisa membuat pertumpahan darah sekarang.

Waktu itu, aku masih terlalu kecil untuk ikut mendengar cuitan politik. Tetapi berkat keenam kakakku yang ribut, aku jadi tahu apa yang terjadi pada kerajaan Adonis.

Tidak ada yang mengira kalau Caelliron, negeri tanpa sihir yang dipercaya menjadi inti para dewa, akan mengalami kemalangan dahsyat. Ratu Gissa dan putra mahkota diculik, lalu mayat mereka ditemukan di sungai suci. Raja Elysian mengumumkan perang pada siapa pun yang melakukan itu, dan akhirnya dia mendapatkan apa yang ia mau.

Bersamaan undangan perang, Raja terdahulu juga dikirimkan kepala tangan kanannya. Siapa pun dalang di balik perlakuan kejam tersebut, kuakui dia cukup panjang akal sampai semua pendukung Raja lenyap. Dan ujung-ujungnya pun, meski berhasil tahu siapa orang yang dianggap sebagai keturunan iblis tersebut, Raja tetap mati. Dia tak pernah bisa membalaskan kematian istri dan anaknya, bahkan nyaris tidak bisa melindungi satu saja anaknya.

Di antara anak-anak Raja yang hendak dipenggal oleh si pembunuh, pangeran terakhir adalah yang paling aneh. "Dia bergeming, membeku, kosong. Seakan-akan kematian semua kakak dan adik perempuannya tidak terasa nyata di matanya," kata Kristian, kakakku yang paling pendiam.

"Mungkin itu caranya terlihat depresi?" celetuk Jem, pangeran ketiga.

"Oh. Sungguh depresi sampai dewa masih bisa mengendalikan tubuhnya?"

Si pangeran bungsu Caelliron semakin janggal ketika dia bercakap-cakap dengan orang yang membunuh keluarganya. Tanyanya, "Kau pemimpin mereka, ya?"

Sesaat, itu harusnya normal, andaikan saja dia tidak menampilkan senyum sehangat api perapian. Dan, seiring pedang sang pembunuh mendekatinya, semua orang menyadari bahwa api itu membesar, menjadi semburan murka.

Si pangeran muda merampas pedang dengan mudah. Tidak ada yang mengerti bagaimana, tahu-tahu benda itu sudah berada di genggamannya. Tebasan diarahkan dan pangeran kecil itu membiarkan darah menciprati wajahnya. Semua itu terjadi sesingkat tepukan tangan.

"Kamu," kata sang pangeran pada para prajuritnya. "Pergi dan jangan masuki istana. Tutup mata, atau kamu bisa buta."

Prajurt-prajurit itu menyingkir dari hadapannya. Kini di balairung istana yang berisik oleh sorak-sorai para pengikut putra iblis, tersisalah pertarungan satu banding seratus. Bocah lawan orang-orang dewasa. Pangeran dan pembunuh.

Namun, sebelum perang tersebut menewaskan sang pangeran, ledakan merah menyerobot. Itu bukan kebakaran, bukan pula amukan dari neraka. Memang membutakan jika dilihat terus-menerus, tapi para prajurit yang berada di luar mendapat penglihatan. Mereka mengaku seseorang sedang menari di dalam sana. Darah terciprat begitu ada yang hendak menghentikan gerakannya. Musik angin dan badai menjadi tumpuannya dalam berputar, mengangkat kepala, melambaikan belati di antara jemari mungilnya.

Sekonyong-sekonyong, Caelliron menyaksikan menara api menjulang dari istana. Kobaran merah yang sewarna dengan mata dan rambut sang pangeran menyala dari tanah hingga menghilang di angkasa. Tidak ada yang tahu di mana ujungnya sebab menara itu menuju Celestia, tempat dewa-dewi melihat manusia. Lima jam lamanya semua menjauh dari istana, hingga cahaya itu memudar, menyisakan seorang anak dengan api di mata dan mayat di sepenjuru ruangan.

"Namanya Adonis," kakak tertuaku, Everard, memberitahu.

"Pasti dia sangat tampan," ucap Jem, "seperti namanya. Tapi mengerikan juga kalau dewa menggunakan anak itu sebagai alat pembalasan terhadap kematian keluarganya."

Dari situlah aku mulai mengenal Adonis, raja baru Caelliron yang naik tahta di umur dua belas tahun. Keenam kakakku langsung sibuk memperdebatkan apa yang harus mereka lakukan pada si pangeran cilik yang membuat satu dunia gempar. Entah mengiriminya hadiah penobatan, ucapan duka, atau mengajaknya ngobrol soal tahta. Namun bagiku, bagian menarik dari kisah Adonis adalah bagaimana anak itu tidak menangis maupun terlihat bangga dan berapi-api. Oberon bilang, dia sangat-sangatlah biasa. Dengan wajah khas anak-anak dan raut setengah kosong, dia menerima mahkota dan pemberkatan kuil. Karena itu, kakak-kakakku tidak jadi mengatakan atau memberi apa pun pada sang raja baru yang tampaknya ... tidak tertarik pada semua hal setelah peristiwa tragis itu.

Lamunanku terhempas bersama tudung yang menutupi rambut dan wajahku. Angin jahat. Padahal aku sedang berada di daerah yang rawan penyerangan.

Aku cepat-cepat meraih tudung, tapi terlambat. Para wanita dan pria yang sedari tadi menggosipkan Adonis sudah melihat wajahku. Ekspresi mereka beku seperti es, melotot. Begitu juga beberapa orang yang mendapati bahwa di dekat mereka ada aku, si gadis penyihir.

Aku mencari perlindungan pada Ash. Dan kau tahu apa sialnya? Dia menghilang dari sisiku. Selama aku melamun, dia pasti sudah pergi menuju tempat tuannya berada. Ah, astaga. Bagaimana sekarang? Bagaimana aku harus menghadapi puluhan orang yang akan menunjukku penuh amarah? Semua sudah terlambat bagi si tudung untuk melindungiku dari bahaya ini.

Namun, sebelum satu orang pun bicara, mataku kehilangan sosok-sosok terkejut itu. Seseorang menutup tudungku lagi, merapatkannya dengan kedua tangan.

"Nah, lebih baik?" Adonis.

Aku memberi senyum tipis yang mungkin tidak disadarinya.

"Kau ceroboh sekali, Ash," Adonis beralih pada Ash yang sudah berada di sampingnya. "Kubilang jangan meninggalkannya, bukan?"

Ash berdecak keras. "Anda dalam posisi strategis. Saya tidak punya waktu melindungi sesuatu yang saya rasa tidak penting."

"Jadi kau menganggap perintahku tidak penting sekarang?" Nadanya mencekam, aku hampir meloloskan pekik tertahan karena itu.

Entah untung atau sial tambahan bagi Ash, seseorang menghentikan Adonis untuk melanjutkan sindirannya dengan sebuah teriakan. "PENYIHIR!"

Seorang wanita menunjukku geram. Dia semata-mata tidak melempariku dengan isi keranjang di tangannya karena ada Adonis dan Ash. Tetapi begitu semua perhatian tertuju padanya, rakyat mulai berpihak.

"Jauh-jauh kau dari Yang Mulia! Pembawa petaka—"

Aku tidak tahu tatapan macam apa yang Adonis berikan pada wanita itu sehingga jeritannya berhenti. Di mataku hanya ada tengkuk Adonis, dan di seberang kami si wanita mencoba bernapas dengan wajah tertekan.

Langkah Adonis terasa ringan dan dalam waktu singkat dia sudah berada di depan wanita itu. Tinggi mereka tidak jauh berbeda, tapi Adonis mampu membuat siapa pun lebih rendah hanya dengan membuat dirinya menjadi pusat perhatian. Aku mendengarnya mendengus geli, dan kemudian mimpi buruk si wanita pun dimulai. "Coba katakan sekali lagi," ucap sang raja, "dan orang lain akan membalasnya lebih kejam."

Tangan Adonis tergantung di posisi normalnya, tapi si wanita dapat membuat tangan-tangan itu terlihat menekannya ke bawah. Dia jatuh berlutut, hanya bisa menanggapi dengan anggukan patuh atau sang raja akan membuatnya lebih menderita ketimbang dimarahi.

Adonis berbalik kepadaku tanpa menyadari sesuatu sudah berada di lehernya.

Pekikan panik lolos dan semua orang menghindari Adonis, terkecuali Ash. Pemuda itu menghunus pedang begitu seorang pria menggenggam belati dan membuat leher Adonis berdarah. Kami semua tahu goresan kecil itu akan berubah menjadi penggalan.

"Tetap di sana, Ash," perintah Adonis. "Jangan tinggalkan Alissa lagi."

Pria di belakang Adonis menekan belati hingga lebih banyak darah yang mengucur, dan harus kukatakan bahwa dia sengaja melakukannya agar Ash datang. Jujur saja aku lebih lega mengetahui bahwa Ash memilih Adonis ketimbang terus bersamaku. Rajanya akan mati, dan aku tak ingin disalahkan. Aku bahkan tidak ingin dia mati hanya karena prajuritnya disuruh melindungi gadis penyihir.

"Bodoh!" desis sang raja.

Entah bagaimana caranya, Adonis berhasil membebaskan diri dan mengambil alih belati hingga si pria asing terkena tusukannya. Pria itu tumbang, memudahkan Adonis melompat, mendorong Ash, lalu menamengiku dari sesuatu yang hanya diketahui instingnya.

Panah. Ada yang menembakkannya dari bangunan dekat sini. Adonis tahu dirinya hanya ditahan untuk menjauh, sementara target di balik penyerangan ini adalah ... aku.

Separuh diriku yang membenci darah syok. Separuh lagi—yang berisi rasa kasihan dan takut—membiarkanku terduduk di samping Adonis. Dia tidak mau mengangkat kepala walau tenaganya masih cukup untuk itu. Ya, Adonis tidak lemah. Kalau hanya bahu yang tergores, dia masih bisa berdiri.

Kecuali ada sesuatu yang jahat melumuri mata anak panah.

"Racun, ya?" gumam Adonis. Dia menyembunyikan darah dengan bersandar pada pundakku.

Aku tidak bisa merasakan para prajurit selain Ash. Ternyata, itu ulah komplotan yang sedari tadi membaur seperti Adonis. Mereka hanya menambahkan kain penutup hidung dan mulut, selebihnya dari bahu ke bawah mereka tampak normal dengan berbagai macam pisau di sela-sela jemari.

Ash melakukan kecerobohan dengan menghadapi orang-orang itu, tanpa memperhatikan kondisi di belakangnya. Kini, seorang gadis bercadar membuatnya menggantikan posisi Adonis tadi.

"Halo, anak dewa." Sapaan seorang pria bertubuh besar membuatku mendongak. Dia tidak memakai cadar, tidak berusaha menutupi identitasnya. Tetapi entah kenapa dia bisa menyembunyikan diri dengan baik sehingga, dari tadi, tak ada yang menyadari seorang pria dengan balutan seragam khas negeri Keftta.

"Astaga." Adonis terkekeh. "Kupikir siapa. Ternyata suku barbar di padang pasir datang mengunjungiku. Ya, ya, kabarku baik seperti yang kau lihat."

Batuk-batuk, Adonis juga memuntahkan darah, tapi aku tidak bisa melihatnya sebab aku tidak punya keberanian untuk mengangkat wajahnya dari bahuku.

Si pria besar berkedip tak acuh, lalu ketika matanya terbuka tahu-tahu dia sudah menatapku. Menusukku. "Kami datang mencari penyihir ini. Kata para pendeta, dia memperdayamu hingga kau kedengaran sayang sekali padanya. Wajahnya familier, omong-omong."

"Aku tidak tahu kalau kalian hobi mendengarkan omong kosong," balas Adonis. "Pergi dari sini sekarang juga, Fahd."

Fahd lagi-lagi tidak peduli. Dia menjentikkan jari, disambut oleh kemunculan banyak orang-orang padang pasir di seluruh atap bangunan, di sela-sela kerumunan, dan semua mengusir para rakyat Caelliron hanya dengan menampakkan sosok-sosok mereka. Orang-orang Keftta tinggal jauh dari kerajaan-kerajaan lain, dan mereka pandai bersembunyi walau daerah asal mereka hanya sebatas pasir tanpa ujung. Jadi aku tidak bisa menyalahkan mengapa rakyat Caelliron lebih memilih lari ketimbang berurusan dengan penduduk padang pasir yang suka bersembunyi.

Bahkan para prajurit pun tidak bisa menembus pertahanan para anggota Fahd jauh di sana.

Fahd mengacungkan sebuah vial ungu. Di dalamnya, cairan pekat menggoda tersimpan. "Ini penawar. Kalau kau tidak mau kehilangan tangan atau, yang lebih parah, mati, tukarkan dirimu dengan gadis ini, anak dewa."

"Adonis!" Ash langsung mendesak.

Namun, Adonis terbatuk lagi. tubuhnya semakin lemas, dan pada momen terakhir aku mendengarnya bergumam, dia jatuh terlelap. Kepanikanku dan Ash beradu dalam wujud yang berbeda.

"Oh," kata Fahd. "Sepertinya raja kecil kalian tidak bisa bertahan lama. Bagaimana kalau kuserahkan padamu, nona penyihir?"

Dia menyodorkan vial lebih dekat hingga tanganku terasa mampu meraihnya. Dan memang benar. Agaknya aku tahu kenapa pilihan jatuhu di tanganku, bukan di tangan Ash, meski pilihan kami sama.

Aku mengulurkan tangan, hendak mengambil benda itu. Ada getaran yang sama seperti kemarin, dan nyaris permanen kalau darah Adonis tidak semakin membanjiri jubahku. Semakin dekat ...

Semakin dekat ....

Semakin—

Aku melihat seekor burung putih di bubungan atap tanpa pengikut Fahd. Salah satu kakakku. Dia mengalihkan perhatianku dari vial dan aku langsung menerima pesan yang ia sampaikan dari paruhnya.

Kalau aku mati, siapa yang akan menjaga mereka? Kalau aku mati, bagaimana cara mereka kembali dari kutukan?

Tapi ....

"Alissa." Suara Adonis tidak lagi membuatku ragu-ragu untuk berhenti menggapai vial. "Jangan."

Ash melempar pedangnya, dan benda itu langsung disambar oleh Adonis. Kemudian, pedang diangkat hingga tangan Fahd terkena bilahnya. Semburan merah kembali menguasai pemandangan.

Vial jatuh ke tanah, pecah berkeping-keping hingga isinya menyebar cepat. Meski begitu, aku tak memiliki alasan lagi untuk menyayangkannya begitu Adonis berdiri di sampingku. Helai-helai merahnya menutupi wajah. Dia masih batuk, masih sekarat, hingga percik api meledak-ledak dan mengubah posturnya yang sempoyongan.

"Ada alasan kenapa aku selalu dipanggil anak dewa, kan?" ucapnya. Dia mencabut anak panah. "Aku tidak perlu obat murahan untuk menyembuhkan racun murahan juga."

Kembali, pedang Ash diayunkan pada Fahd. Pria itu tumbang setelah jantungnya nyaris robek. Setidaknya, dia lumpuh saat ini.

Adonis melempar pedang kembali pada pemiliknya yang masih sibuk dicekik. "Jangan biarkan semua bedebah ini keluar Caelliron. Siapkan undangan ke 99 kerajaan. Aku mau mayat mereka dilihat semua orang di dunia ini."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top