Segalanya
Haloo~ kaget aku datang bawa yg baru? 😂 Wkwkwk maapin ya, ini cuman Oneshot kok, sekali tamat jadi gk bakal php dengan buat kalian nunggu lama.
Oh ya btw aku punya alasan nih kenapa bikin headnote di sini, jadi sebelum kalian baca cerita ini, aku pengen kasih tau kalau cerita ini bukan punyaku.
Ini aslinya cerita punya salah satu teman sesama tukang nulis juga (yg gk pengen identitasnya diketahui), tapi dia bikinnya orifict aja. Nah, ceritanya dulu, gk tau kapan, aku di kasih baca cerita ini, aku langsung suka sama ceritanya. Jadi sekarang, setelah di edit sana-sini, dia ngasih aku lagi dan aku langsung kepikiran buat bikin versi Myungzy.
Jadilah ide konyolku untuk plagiatin cerita dia, catat loh aku plagiat bukan sekedar terinspirasi aja, karena meskipun ceritanya aku ketik ulang bukan di copy-paste, tapi ide, alur, bahkan sampai percakapannya sama. mungkin hanya sekitar 5% yang beda, itupun karena aku tambahin sedikit atau kurangin beberapa kata pas aku ketik ulang. Jadi gitu deh, hasilnya aku malah plagiat wkwkwk 😂😂😂
Sudah tau plagiarisme di sini terlarang, tapi kok masih berani publish?
Oh tentu saja, kenapa aku gk harus berani? Toh aku punya tiga alasan kuat kenapa berani publish.
1. Karena udah dapat izin dari owner buat plagiatin punyanya, bahkan sampe di kasih kebebasan buat ngubah jadi fanfiction.
2. Karena aku gak pernah mengaku kalau cerita ini milikku, aku hanya ngedit dan hak cipta masih sepenuhnya milik si owner. Aku cuman share di sini aja dan itu atas izin pemiliknya, seperti yang tercantum di nomor 1.
3. Karena aku terlalu suka sama ceritanya, jadi aku pengen buat kalian juga ngerasa apa yang aku rasa pas baca cerita ini, sayang kalian cuman mau baca ff Myungzy jadi aku tidak punya pilihan lain selain plagiatin ceritanya, istilah halusnya sih remake.
Aku sengaja jelasin kyak gini, biar kalo ada yg mau nyirnyirin aku yg plagiat, dia bisa mikir dulu pake otak 😂
Oke deh, sekian info dariku, selamat menikmati ceritanya dan #warning : silahkan siapkan tisu sebanyak mungkin 😏
"Jangan pergi," gumam Sooji di sela-sela tidurnya. Keringat mengucur deras dari pelipisnya, disusul dengan air bening mengalir dari matanya yang masih terpejam. Nafas Sooji semakin memburu ketika bayangan pria itu perlahan memudar, tercerai burai tergantikan oleh kehampaan udara
"Myungsoo..." lirih Sooji, terduduk lesu di atas kasurnya. Mimpi itu datang lagi. Mimpi yang selalu mengingatkannya akan kenyataan yang harus dia terima. Satu per satu airmata gadis itu turun, membasahi pipi pucat yang semakin hari semakin tirus. Tubuh kecilnya bergetar hebat, tergerak karena isak yang menguasai tubuhnya.
Tidak ada Myungsoo. Biasanya saat tengah kacau seperti ini, selalu ada Myungsoo yang memeluk dan menenangkannya. Namun sekarang, Myungsoo, laki-laki itu pergi. Meninggalkannya. Seorang diri.
Sooji menarik rambutnya, meremasnya kuat-kuat, berharap apa yang dia lakukan dapat mencabut segala kenangan tentang Myungsoo dari ingatannya. Rasanya sakit namun, semua itu tidak sebanding dengan rasa sakit yang ada di hatinya. "Arggh..." Gadis itu mengerang putus asa. Bagaimana bisa Myungsoo meninggalkannya seperti ini? Bukankah pria itu sudah berjanji untuk selalu bersamanya? Sekarang, ke mana perginya janji manis itu?
Sooji. Keadaan gadis itu sangat memprihatinkan. Mata merah dengan lingkaran hitam di sekeliling kelopaknya akibat kurang tidur dan terlalu sering menangis, wajah pucat dan penuh dengan luka cakaran yang dia buat sendiri menggunakan kuku-kuku indahnya, rambut awut-awutan karena terlalu sering ditarik. Tapi, semua itu belum ada apa-apanya dibandingkan dengan keadaan kamarnya yang saat ini mungkin sudah tidak pantas lagi disebut dengan sebuah kamar tidur. Semua barang-barangnya berserakan di lantai. Bantal, kamera, beberapa album foto bersama Myungsoo, sketsa lukisan yang semua objeknya adalah pria itu, kanvas, hingga alat lukis berserakan di mana-mana. Belum lagi cermin meja rias yang ada di dalam kamarnya kini sudah hancur berkeping-keping menjadi serpihan yang turut menghias lantai kamarnya.
Bagi Sooji, kepergian Myungsoo lebih menyakitkan dibandingkan ketika dia dibuang oleh ibunya.
"Jangan pergi," Sooji mengucapkan kedua kata itu secara terus menerus, seolah dia sedang merapal mantra. Berharap dengan mantra itu, Myungsoo akan kembali padanya
Namun, hingga pagi menjelang dan esok berselang, Myungsoo tetap tidak kembali.
¤
Sooji tersenyum melihat hasil lukisannya, goresan demi goresan terasa pas dalam retinanya. Sempurna, itulah yang ada dalam pikirannya. Dia kemudian mendongak, menatap Myungsoo yang sedang kesal karena terlalu lama duduk tanpa boleh bergerak seincipun.
"Berhenti cemberut, wajahmu benar-benar terlihat jelek," ucap Sooji seraya menghampiri kekasihnya yang duduk di kursi berjarak satu meter darinya.
"Ck, kalau jelek kenapa selalu aku yang jadi model lukisanmu?" Myungsoo menggerutu kesal membuat Sooji terkekeh pelan, gadis itu menarik kursi yang biasa dia gunakan ketika melukis hingga sejajar dengan posisi Myungsoo. Menatap lekat kekasihnya, matanya memancarkan rasa cinta yang begitu besar kepada pria yang ada di hadapannya saat ini.
"Karena kau adalah hidupku, inspirasiku, kekuatanku, cintaku." Dengan senyum secerah mentari, Sooji menjawabnya. Myungsoo sempat tertegun ketika mendengar jawaban gadis itu.
Ini memang bukan kali pertama Sooji mengatakan kata-kata tersebut padanya, bahkan sebelum mereka menjalin hubunganpun, Sooji selalu mengatakan bahwa Myungsoo adalah hidupnya, inspirasinya, dan kekuatannya. Myungsoo juga tau kalimat itu bukanlah sebuah omong kosong semata, karena dia sadar betul bahwa perempuan yang tengah duduk di hadapannya ini tidak main-main dengan perkataannya.
Namun, seiring bertambahnya usia mereka, mendengar Sooji mengucapkan kalimat itu dengan begitu mudah, entah mengapa membuatnya sedikit terbebani.
"Myungsoo, kenapa melamun?" Tanya Sooji membuyarkan semua lamunan pria itu.
Kedua sudut bibirnya terangkat, membentuk segaris senyum yang siapapun bisa menebak jika itu adalah senyum paksaan. Dia kemudian menggeleng pelan, "aku tidak melamun, aku hanya tersentuh mendengar kata-katamu." Myungsoo jelas berbohong saat menjawabnya.
Dan Sooji mampu menangkap gelagat aneh dari jawaban tersebut, jadi dia mengangkat alis sembari bertanya, "bukankah aku sudah berulang kali mengatakan hal itu padamu?" Myungsoo mengangguk mengiyakan.
"Lalu?"
Myungsoo mendesah, mengusap wajahnya dengan kasar. Sooji sangat mengenalnya, mungkin sebaiknya dia berkata jujur saja, "aku sedikit terbebani."
Terbebani?
Myungsoo menggerakan tangan untuk menyentuh pipi gadisnya, diusapnya dengan lembut pipi chubby milik Sooji dengan penuh kasih sayang. "Tidak perlu terlalu dipikirkan, aku hanya asal bicara," ujar Myungsoo menenangkan.
Sooji tersenyum miris, mengingat kejadian tiga bulan yang lalu itu. Kejadian yang menjadi awal mula hancurnya hubungan mereka berdua.
Apanya yang asal bicara?
Sooji beranjak dari kasurnya, mengamati setiap sudut kamar yang seperti habis diterpa gempa. Matanya menatap lukisan besar yang menampilkan dirinya dan Myungsoo terpajang di salah satu dinding kamarnya. Dalam lukisan yang dia lukis sendiri itu, Myungsoo tengah memeluknya dari belakang dengan kepala yang disandarkan pada bahunya, sementara Sooji sendiri tengah menatap wajah tampan milik pria itu, tatapan mereka berbinar dalam kebahagiaan.
Pandangannya lalu mengarah pada tulisan kecil yang ada di bawah lukisan tersebut. Tulisan tangan yang tak begitu rapi karena ditulis menggunakan cat warna hitam, itu sengaja dibuat oleh Myungsoo untuk menenangkannya.
Saat itu Myungsoo harus keluar kota selama satu bulan penuh, bersama kru lain untuk pembuatan film. Sooji harus berada di apartemen seorang diri, sedangkan gadis itu selalu merasa paranoid jika sendirian, seolah dunia menolaknya, mengingatkannya akan penolakan orangtuanya sendiri.
Myungsoo akan selalu di sampingmu, menjagamu, dan mencintaimu.
Seringai Sooji terulas, miris bercampur sinis. Sekarang tulisan itu hanya coretan kuas tanpa makna, menyentuh namun, kehilangan integritasnya. Pria yang sejak kecil selalu di sampingnya itu bahkan tidak lagi menginginkannya, mengkhianati janji yang mereka buat untuk selalu bersama-sama. Dan disinilah dia. Terbuang, tidak diinginkan, dan menghadapi dunia sendirian.
¤
Dua minggu berlalu semenjak kepergian Myungsoo, keadaan Sooji semakin parah dan mengerikan. Dia bahkan sudah mengundurkan diri dari pekerjaan sampingannya menjadi guru kesenian di salah satu sekolah swasta.
Gadis itu benar-benar seperti mayat hidup. Setiap hari yang dilakukannya hanya melamun, melamun dan melamun. Isi lamunannya tidak pernah lepas dari satu pria yang bernama Myungsoo, bahkan ketika tidur pun, sosok Myungsoo lah yang menghiasi mimpinya. Terkadang dia menjerit histeris ketika teringat akan perpisahannya dengan Myungsoo.
Dia terus merutuki hari di mana Myungsoo pergi meninggalkannya hanya karena sebuah pertengkaran kecil. Sialnya lagi dialah yang memulai pertengkaran kecil itu.
Yah, salahkan rasa cintanya yang terlalu besar pada Myungsoo sehingga membuatnya gampang terbakar api cemburu. Namun, bagi Sooji cemburunya kali ini beralasan. Dia memergoki Myungsoo berpelukan mesra dengan Hongju yang setaunya adalah rekan kerja Myungsoo. Mungkin jika sekali, Sooji masih bisa mentolerirnya namun, sudah tiga kali dia melihat pemandangan tidak menyenangkan itu. Dan alasan Myungsoo melakukannya adalah hal yang tidak bisa dia terima begitu saja.
Ϡ
"Kita hanya teman, dan dia juga rekan kerjaku, yang kau lihat itu cuma pelukan biasa, sebatas pekerjaan," ujar Myungsoo saat itu. Ck, bahkan dengan sekali dengar saja Sooji sudah tau bahwa Myungsoo sedang berbohong. Jawabannya terlalu berbelit.
"Pekerjaan apa yang mengharuskanmu berpelukan dengannya? Kau adalah produser, dan aku tau wanita itu adalah penata suara dalam proyek film terbarumu."
Myungsoo mendengus kesal. Ya, dia tau dia salah, tetapi kondisi lelah membuat emosinya mudah sekali terpancing.
"Lalu kenapa kalau aku memeluknya? Aku juga sudah bosan dengan semua sikapmu yang menuntutku menjadi segalanya untukmu." Suara Myungsoo meninggi, membuat gadis di hadapannya terkesiap dalam ketidakpercayaan.
"Kau memang segalanya bagiku Myungsoo, kau sangat tau itu," cicit Sooji takut-takut.
Myungsoo kembali mendengus, bukannya dia tidak tau bahwa dirinya memang segalanya bagi Sooji. Tapi, akhir-akhir ini dia terus merasa terbebani dengan perannya sebagai 'segalanya'. Sooji terlalu bergantung padanya, itulah sebabnya dia mencari kesenangan lain dengan kencan bersama Hongju di akhir pekan.
"Aku terbebani Sooji, dari kecil aku selalu berusaha menjadi orangtua, saudara, dan sekarang kekasih bagimu. Aku lelah, aku akui memang jalan dengan Hongju setiap akhir pekan, tapi semua itu kulakukan untuk mengetahui bagaimana perasaanku sebenarnya terhadapmu."
Sooji megerjapkan mata, berusaha keras untuk mencerna ucapan Myungsoo yang cukup sulit diterima oleh nalarnya. Bagaimana bisa pria yang ada di hadapannya ini tega mengatakan hal menyakitkan seperti itu?
Sooji menutup mata, satu persatu buliran airmata jatuh membasahi pipinya. Apa dia salah jika selama ini menganggap Myungsoo sebagai segalanya baginya? Toh kenyataannya memang seperti itu. Sejak Myungsoo menemukannya ketika dia ditinggalkan oleh ibunya begitu saja di taman bermain dan membawanya ke panti, Sooji sudah menetapkan Myungsoo sebagai segalanya bagi hidupnya.
Apalagi Myungsoo selalu menjaganya, memberinya nama, dan berjanji akan selalu bersamanya. Posisi Myungsoo sebagai 'segalanya' di hidup Sooji semakin kuat. Tapi sekarang, Myungsoo malah merasa terbebani karena posisi tersebut?
"Jadi?" Tanya Sooji meminta penjelasan lebih mengenai maksud ucapan pria itu.
Myungsoo mengacak rambutnya, menatap datar Sooji yang sudah berurai airmata. Tau apa yang akan dia katakan akan menyakiti mereka berdua, terlebih gadis di hadapannya itu namun, dia akan tetap mengatakannya demi kebaikan mereka berdua.
"Hatiku hampa Sooji. Aku tidak tau apakah aku benar-benar mencintaimu atau tidak. Setelah kita beranjak dewasa, aku selalu berpikir bahwa mungkin saja aku tidak mencintaimu sebesar yang kau pikirkan, mungkin saja hubungan ini ada karena kita yang saling menutup diri terhadap orang lain, mungkin juga perasaanmu terhadapku hanya rasa terima kasihmu yang terlalu besar untukku karena menolongmu. Aku...tidak benar-benar yakin dengan hubungan ini jika kita selalu bersama-sama. Makusdku-"
Airmata Sooji semakin mengalir deras. Gadis itu masih tetap memejamkan mata berharap semua ini hanya salah satu mimpi buruk yang sering dia alami. Ingin sekali dia berteriak mengatakan bahwa dia sangat mencintai Myungsoo dan cintanya bukan hanya sebuah ilusi, delusi maupun ketergantungan semata. Namun, lidahnya terlalu kelu untuk sekedar bicara.
"Aku ingin kita pi-" Belum sempat Myungsoo menyelesaikan kalimatnya, Sooji sudah mencengkram lengannya dengan kuat. Kepala gadis itu menggeleng secara konstan, mencegah untuk meneruskan apapun yang hendak dia katakan.
Myungsoo menghembuskan nafas, "tidak Sooji, aku harus pergi. Kau juga harus mencari tau bagaimana perasaanmu yang sebenarnya terhadapku," Sooji bergeming, masih mencengkram kuat lengan Myungsoo. Namun, sedetik kemudian lengan pria itu berhasil terlepas dari cengkramannya.
"Kau bisa mengganti namamu jika membenciku, dan jaga dirimu baik-baik," adalah kata terakhir Myungsoo untuknya sebelum berlalu meninggalkannya.
¤
Myungsoo berjalan keluar dari kedai kopi langganannya. Langkahnya terhenti ketika mendengar seseorang memanggil namanya, menoleh ke sumber suara, dia mendapati seorang wanita paruh baya tengah tersenyum ramah kepadanya.
"Myungsoo, kan?" Tanya wanita itu sesaat setelah dia berdiri tepat di hadapan Myungsoo.
Myungsoo mengangguk, mengenali bibi Kang yang juga menjadi guru di tempat Sooji mengajar.
"Kebetulan kita bertemu disini. Saya mau menanyakan kondisi Sooji." Myungsoo mengerutkan kening, tidak mengerti maksud dari perkataan wanita paruh baya itu.
"Memangnya Sooji kenapa, bibi?"
Bibi Kang terlihat terkejut mendengar pertanyaan Myungsoo, setaunya Myungsoo adalah orang yang paling mengetahui segalanya tentang Sooji. Tidak mengherankan jika mengingat bagaimana mereka tumbuh besar bersama-sama.
"Loh, kau tidak tau kalau Sooji sedang sakit, Myungsoo? Hampir seminggu lebih dia sering pingsan di tengah jam mengajarnya, dan dua hari yang lalu Sooji mengundurkan diri karena katanya kau yang menyuruh dia untuk beristirahat di rumah saja."
Myungsoo tidak tau harus merespon seperti apa. Seminggu lebih Sooji sakit? Apa ini ada hubungannya dengan kepergiannya? Jika benar begitu, dia tidak akan mengampuni kebodohannya sendiri yang telah meninggalkan Sooji begitu saja.
"Myungsoo, kau baik-baik saja?" Kata bibi Kang membuyarkan lamunannya.
"Ehm, maaf bibi, saya buru-buru. Soal Sooji, dia baik-baik saja jadi bibi tenang saja. Saya permisi." Pamit Myungsoo lalu buru-buru pergi.
¤
Myungsoo tiba di depan pintu kamar apartemen yang Sooji tinggali. Dia langsung menekan password untuk membuka pintu dan kemudian segera melangkah masuk saat pintu telah terbuka, dia terbelalak ketika mendapati keadaan ruangan yang begitu kacau. Barang-barang Sooji yang tertata rapi kini berserakan di lantai, sangat berantakan seperti habis diterjang oleh badai.
Langkahnya terhenti di depan pintu kamar Sooji. Ada rasa bimbang yang menyelimutinya. Sebenarnya apa urusannya masuk ke dalam kamar Sooji dan memastikan keadaan gadis itu? Bukankah dia sendiri yang memutuskan untuk pergi? Tapi mendengar perkataan bibi Kang yang menyampaikan bahwa Sooji sakit lebih dari seminggu membuatnya sangat cemas.
Bagaimana tidak, semenjak mereka berdua memutuskan untuk pergi dari panti asuhan, Sooji hanya memiliki dirinya. Begitu juga sebaliknya. Mereka saling mengandalkan, menjaga satu sama lain, bedanya dia lebih mudah untuk bersosialisasi dengan orang lain sedangkan Sooji sangat tertutup. Setelah kepergiannya dua minggu yang lalu, bisa dipastikan bahwa Sooji benar-benar sebatang kara. Yang mana itu berarti tidak ada yang merawatnya ketika sakit.
Mengingat hal itu, rasa bimbang yang tadi Myungsoo rasakan menguap begitu saja. Pria itu lantas segera membuka pintu kamar Sooji. Dan matanya kembali dikejutkan dengan keadaan kamar yang tidak jauh berbeda dari ruang depan. Bahkan jauh lebih kacau.
Myungsoo melangkah masuk dengan hati-hati, pasalnya selain barang yang berserakan, banyak juga pecahan kaca yang bertebaran di lantai.
"Myungsoo selamat ulang tahun yang ke duapuluh empat."
Myungsoo tersenyum menatap layar datar yang tidak jauh dari tempatnya berdiri tengah menampilkan sosok Sooji yang sedang berdiri di depannya dengan membawa sekotak kecil kue ulang tahun. Dia sangat mengingat video itu, diambil oleh Sooji saat ulang tahunnya yang ke duapuluh empat, empat bulan yang lalu.
Myungsoo melangkah mendekati layar monitor. Dari tempatnya berdiri, dia dapat melihat kepala Sooji yang bersandar di lengan sofa. Apa dia tertidur? Myungsoo semakin mendekati sofa dan betapa terkejutnya dia ketika mendapati kondisi tangan Sooji yang mengucurkan daras segar. Cepat-cepat menghampiri Sooji, membopongnya untuk dibawa ke rumah sakit.
"Bertahanlah, Sooji."
¤
Myungsoo menatap pintu ruang operasi dengan perasaan gelisah, sejak tadi dia tidak bisa duduk dengan tenang. Yang dilakulannya hanya berjalan ke sana kemari sambil sesekali menatap jam tangan atau pintu ruang operaasi, berharap waktu cepat berlalu dan ruangan itu segera terbuka.
Mulutnya pun tidak berhenti menggumamkan kata 'maaf'. Sekarang dia baru merasa menyesal telah meninggalkan Sooji begitu saja. Seharusnya dia tidak meninggalkan gadis itu kalau tau keadaannya akan seperti ini, Sooji nekat melakukan aksi bunuh diri dengan menggoreskan serpihan kaca ke pergelangan tangannya dan mengkomsumsi obat tidur hingga dia overdosis.
Myungsoo kembali mengingat kebersamaannya bersama Sooji di masa lalu. Dia ingat saat menemukan Sooji menangis di ayunan taman dekat sekolah dasarnya. Sooji bilang saat itu pertama kali ibunya mengajak bermain di taman namun, tiba-tiba ibunya pergi dan tidak pernah kembali. Myungsoo tau dengan jelas bagaimana rasanya ditinggalkan. Tapi setidaknya dia cukup bersyukur karena tidak mengalami penyiksaan seperti yang dialami oleh Sooji.
Seharusnya dia tidak perlu merasa terbebani dengan statusnya sebagai 'segalanya' bagi Sooji.
Setelah menunggu selama hampir dua jam, akhirnya pintu ruang operasi terbuka disertai dengan langkah berat seorang dokter wanita. Myungsoo buru-buru menghampiri dokter tersebut dan menanyai apakah operasinya berjalan dengan lancar atau tidak. Sang dokter hanya mampu menghela nafas panjang.
"Maaf, kami sudah berusaha semampu kami, namun..."
Myungsoo sudah tidak sanggup mendengar kelanjutan kata-kata tersebut. Suara disekitarnya seolah menghilang, terhempas bersama penyesalan tak berkesudahan. Kakinya lemas, pandangannya mengabur, sebelum airmatanya perlahan berjatuhan.
¤
Myungsoo menatap ke seluruh penjuru ruangan, sekarang dia berada di kamar apartemen milik Sooji setelah seharian penuh mengurusi pemakaman gadis itu. Dia lelah dan ingin segera beristirahat. Namun, berbaring seberapa lamapun dia tidak akan pernah sanggup terlelap, jadi Myungsoo memutuskan untuk membereskan kamar apartemen yang memang sangat berantakan itu. Dia memungut satu-persatu barang yang berserakan di lantai kamar Sooji. Mulai dari pecahan-pecahan kaca, hingga sketsa gambar Sooji yang semua objeknya adalah dirinya.
Myungsoo melanjutkan kegiatannya dengan membersihkan lantai sekitar sofa tempat Sooji mengakhiri hidupnya. Lantai itu dipenuhi dengan genangan darah yang hampir mengering dan berbau anyir. Myungsoo mengambil kain pel dan mulai membersihkan lantai, tapi kegiatannya terhenti ketika melihat buku sketsa milik Sooji yang dipenuhi oleh bercak darah mengering.
Dia mengambil buku sketsa yang tergeletak di samping sofa tersebut, perlahan dia mulai membuka lembar demi lembar halamannya. Kedua sudut bibirnya terangkat ke atas ketika menemukan wajahnya lah yang memenuhi lembaran buku itu. Namun, senyumnya perlahan meredup ketika dia membuka lembar berikutnya yang berisi sketsa seorang pria berjalan menjauh meninggalkan wanita di belakangnya. Lembar di sampingnya dipenuhi dengan noda darah yang menutupi sketsa gambar di bawahnya. Myungsoo membuka lembar terakhir dan sukses membuat matanya melebar.
Lembaran itu berbau anyir karena berisi tulisan merah yang bisa Myungsoo tebak bahwa itu adalah darah Sooji sendiri.
Gadis gila. Myungsoo megusap wajahnya kasar. Terkutuklah dia karena telah menyia-nyiakan cinta Sooji yang begitu besar terhadapnya hanya karena kebimbangan semata. Myungsoo memejamkan mata sebentar sebelum kembali membukanya untuk membaca lagi tulisan merah yang menghiasi lembari terakhir buku sketsa milik Sooji.
Jika segalahnya yang ku punya pergi, bagaimana aku bisa bertahan?
Aku mencintainya namun, cintaku hanya menjadi beban baginya.
Maafkan aku, Myungsoo.
¤¤¤
THE END
Nangis? Nangis bombay lah kalian, gk peduli aku!
Karena kenyataannya aku juga nangis pas pertama kali dikasih baca cerita ini! 😭😭😭😭 pas ngedit jadi keingat sedihnya lagi 😢
Kalo mau protes kenapa ceritanya se-nyesek ini, silahkan protes ke penulis aslinya 😂 sayang dia gk mau identitasnya dibongkar, jadi kemarahan kalian terpaksa ditanam dalam-dalam.
Jangan marah ke aku, karena sekarang aku juga sedang marah karena cerita ini terlalu menyakitkan 😭😭😭
Ya sudahlah..selama bermalam minggu dan selamat berduka atas cerita ini 🙏
Byee~
P.S : I do not own this story.
[04/11/17]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top