7. Seseorang yang ditusuk dari Belakang

Koran pagi tiba di meja makan itu. Seorang pria menyesap kopi panasnya dan membuka halaman demi halaman. Matanya terhenti tatkala sebuah kolom memberitakan seorang aktris yang baru saja pulang dari bulan madu, dan bersiap untuk terjun kembali ke dunia perfilman. Aktris itu sudah menandatangani dua kontrak film. Dalam satu sesi wawancara, perempuan itu juga mengutarakan mimpinya untuk menjadi pemenang dalam Venice Film Festival.

Abimanyu, lelaki yang tengah menikmati sarapan sambil kedapatan membaca sebuah berita seorang aktris itu, mendengkus. Dia heran bagaimana perempuan itu bisa begitu ambisius.

Festival Film Venice? Yang benar saja. Bahkan bisa masuk nominasi saja sudah bagus. Jangan karena dia berhasil menyabet pemenang aktris wanita dua tahun berturu-turut di festival film dalam negeri, dia bisa dengan mudah meraih the winner dalam festival film internasional yang bergengsi itu. Terutama jika dia masih saja memaksakan diri.

"Paa! Papa!"

Abimanyu menoleh. Di hadapannya kini berdiri Ratih, putrinya, sudah berlari-lari di anak tangga. Gadis itu terlihat ceria dengan jilbab kuning dan kardigan hitamnya. Buku diklat kuliah yang dia pegang menambah aura kecerdasan. Matanya yang jernih terlihat bersinar. Dia melotot sambil menunjukkan sebuah kiriman di instagram.

"Kenapa?"

"Pa, Rio viral!"

"Viral apanya?"

"Ini, loh! Ada cewek nembak Rio!"

"Oh ... mati, dong?"

Ratih meringis. Dia mencubit lengan papanya dengan gemas dan meminta papanya serius. Gadis itu mendekatkan layar ponsel pintarnya sehingga Abimanyu bisa membaca berita dengan jelas. Setelah menghabiskan lima menit untuk saling menggoda, dua anak beranak itu tersenyum-senyum menonton video itu. Bersamaan dengan itu, Rio yang sudah berseragam rapi turun dari kamarnya. Ratih memperbaiki posisi duduk. Niat jahat kini terbit di kepalanya.

"Muka Mbak keliatan banget mau ngina." Rio duduk dan memakan nasi gorengnya.

Ratih nyengir. "Gue nggak mau ngina. Gue mau nanya."

"Apa?"

"Itu cewek gimana nasibnya?"

Rio mengernyit.

"Kalian satu sekolah kan? Dia dibully loh di sosmed. Di sekolah dia dibully juga nggak? Ada yang pro, sih. Tapi, ah ... hanya butiran debu lah. Lagian, lo tega banget ya sama dia. Cara nolak lo itu bikin gue ilfeel. Kok bisa cewek-cewek naksir orang kayak lo. Eh, ngomong-ngomong, dia kalo ketemu sama lo gimana? Sembunyi?"

Rio menjejalkan sesendok nasi lagi ke mulutnya. "Entah ya," jawabnya sambil berdiri, mencium tangan Abimanyu dan pamit pergi.

"Woi! Jawab dulu tanya gue! Rio!" Ratih menjerit kesal. Padahal dia betul-betul penasaran. "Seenggaknya cium tangan gue dulu!"

Melihat keributan itu, Abimanyu tersenyum. Dia kembali memusatkan perhatian ke koran yang dia baca. Sementara Rio cepat-cepat memanaskan motornya. Dia tidak mau terjebak dengan kerusuhan Ratih. Dia tahu Ratih. Manusia paling kepo di jagat raya ini. Jadi, sebelum Ratih menyusulnya ke garasi, Rio langsung ngebut membelah jalan kota Jakarta. Barulah di perjalanan Rio bisa lega.

Ya, sebenarnya, dia sudah terbiasa dengan sikap saudaranya itu. Hanya saja, topik pembahasan yang Ratih bawa pagi ini benar-benar mengusik dirinya.

"Dia dibully loh di sosmed."

"Di sekolah dia dibully juga nggak?"

"Dia masih punya muka nggak kalo ketemu lo?"

Rio bermanuver dengan sepeda motornya. Pemuda itu menarik gas lebih kencang. Berharap semua pertanyaan itu bisa menghilang dibawa pergi angin yang menerpa tubuhnya. Akan tetapi, di persimpangan lampu merah, seorang gadis berseragam Kartini yang berada di angkot membuat mata Rio berkedut. Dia teringat sesuatu. Dan, justru ingatan itu membawanya pada ingatan-ingatan lain yang berkelebat di kepalanya.

"Bro, kayaknya si Vaya suka sama lo, tuh." Rendi menepuk bahu Rio. Hari itu, seperti biasa setelah jam olahraga, Rio dan teman-temannya duduk-duduk di pinggir lapangan. Dari sana, sekelompok cowok itu bisa melihat Vaya celingukan masuk ke kelas mereka. Mencari sesuatu.

"Rio udah tau, woy!" timpal Ardi.

"Seeett! Iya ya?"

"Iyalah. Orang jelas kayak gitu kok. Lo nggak liat apa tuh cewek mondar-mandir ke kelas kita. Gayanya aja pura-pura minjem buku sama Aji. Modus biar liat Rio, itu."

"Ya gitu, lah. Another agressive girl, again. Rio sih jijik sama yang kayak gitu."

"Lah iya, mana anaknya dekil lagi. Udah item, kurus, rata kayak papan, pake sweater mulu kayak orang demam. Dia nggak sadar ya kalo dia tuh nggak lolos kualifikasi? Cewek-cewek lain seenggaknya dandan biar Rio ngelirik. Ada usaha lah. Lah dia? Ancur gitu. Gue aja nggak selera, apalagi Rio."

Kontan semua yang mendengar tertawa.

Rio mengegas lagi motornya. Dia ingat. Hari itu, semua orang membahas cewek itu. Semua orang menertawainya. Semua penghinaan itu terjadi bahkan sebelum skandal video itu.

Di sekolah dia dibully juga nggak?

Ya, dia sudah dirundung bahkan jauh sebelum seluruh orang Indonesia melakukannya. Bedanya saat itu, dia tidak tahu apa-apa. Dia tidak tahu bahwa di belakangnya, semua orang menusuknya.

***

"Dek ... maaf, Dek." Seorang perempuan setengah baya menegur. Usianya mungkin sekitar 50an.

Vaya menurunkan kakinya ke tanah. Membuat kakinya terseret, dan ayunan yang sedang dia naiki itu berhenti. "Iya, Bu?"

"Ayunannya mau dipakai," kata Ibu itu sambil tersenyum. Telunjuknya mengarah ke anak-anak yang berdiri tidak jauh dari mereka.

Vaya ber-oh kecil. Dia segera berdiri dan menyilakan anak-anak itu. Ini bukan hari libur. Sejak satu jam lalu, seharusnya Vaya sudah duduk mendengarkan Pak Ferdi menerangkan pelajaran Matematika di kelas. Namun, begitu dia keluar rumah dan melangkah, entah kenapa kakinya malah berbelok dan berakhir di tempat yang memiliki kenangan ini. Tempat Penitipan Anak Al-Ikhlas (TPA). Dulu, ketika kecil, Vaya sering dititipkan di tempat ini. Sementara Ayahnya pergi berjualan bakso keliling, dan ibunya-sebagai tukang cuci yang tidak berani bawa anak ke rumah majikan-akan berada di perumahan elite sepanjang hari.

Agak susah menebak di mana keberadaan ayah. Tetapi, Vaya bisa saja mendatangi ibunya kalau kangen. Toh perumahan itu letaknya beberapa blok dari TPA. Vaya hanya harus menyeberangi jalan yang berperan sebagai disparitas, memisahkan antara perkampungan biasa tempat TPA Al-Ikhlas berdiri dan perumahan elite itu.

Namun, Vaya tahu dia tak boleh membuat ibunya susah. Jadi, dengan gamang, Vaya kecil menghabiskan waktu di TPA, menunggu Ibu datang menjemputnya. Meski akhirnya keinginan Vaya untuk tidak lagi berada di TPA harus dibayar tuntas dengan perceraian orangtuanya. Ayah pergi dengan mewarisi gerobak bakso.

"Kamu nggak sekolah?"

Vaya tersentak. Seketika lamunannya buyar. Ibu penjaga TPA rupanya masih berdiri di sampingnya, memantau anak-anak yang bergiliran main ayunan.

"Nggak, Bu."

"Loh, kenapa?"

Vaya menggeleng dan tersenyum. "Malu ..."

"Malu?"

Vaya mengangguk. Ya. Kehidupannya telah dikorek dan dibongkar di sosial media. Hal itu cukup untuk membuat Vaya merasa rendah diri.

"Kenapa malu, kamu pakai baju kok."

Vaya tersenyum kecil. Dia meremas ujung sweaternya. Hari ini seperti biasa, cuaca cerah. Dua ekor burung pipit bernyanyi riang. Hewan kecil itu melintas dan hinggap di pohon mangga dekat pagar TPA. Vaya menimang-nimang kata. "Misalnya gini ... saya nggak sengaja bunuh burung itu. Saya kuburin mayatnya. Ternyata, burung itu seekor induk. Ada anaknya. Lagi nunggu induknya dateng kasih makan. Belum bisa terbang ... cuma nunggu induknya. Sampai malam indukya belum dateng, karena sudah saya bunuh. Karena nggak makan-makan, bayi burung itu pun mati. Menurut ibu, saya termasuk membunuh anaknya nggak?"

Sebelum Ibu penjaga TPA itu menjawab, Vaya sudah bersuara lagi.

"Saya bakar hutan. Niat saya cuma mau bunuh pohon-pohonnya aja ... tapi ternyata di dalam hutan itu ada orangutan, ada rusa, ada harimau. Anak-anaknya jug ada. Dan mereka mati semua. Saya juga termasuk membunuh mereka ya?"

Ibu Penjaga TPA menatap Vaya. Dia bingung harus berkomentar apa.

Vaya menghela napas. Dia tahu Ibu Penjaga itu-normalnya-akan berkata kalau dia juga sudah membunuh anak-anak burung itu. Sudah ikut membunuh harimau itu. Vaya mengusap ujung matanya yang berair. Dia ingat ibunya. Saat pamit ke sekolah tadi, ibunya mencium pipi Vaya lama. Soalnya, kata Ibu, sejak pulang sekolah kemarin, Vaya bersikap lain. Vaya tidak mau makan dan mengurung diri di kamar. Dia bahkan mengabaikan Aji yang datang beli bakso.

Entah bagaimana, Vaya kangen ayahnya. Dia tidak mau ke sekolah. Tetapi dia juga tidak bisa pulang. Ibunya akan sedih kalau tahu Vaya membolos.

"Tapi, kamu kan nggak bunuh burung itu, kamu juga nggak bakar hutan itu," kata Ibu Penjaga akhirnya.

Vaya tersenyum tawar. "Iya. Aku nggak bunuh burung itu," Vanya mencicit. Dia memang tidak membunuh. Kenyataanya, dia sudah menyakiti ibunya. Dia menghina ibunya lewat orang lain.

"Kak, kak!"

Vaya tersentak. Seorang anak laki-laki menarik-narik sweaternya. Gadis itu membungkuk untuk menyamakan tingginya dengan anak itu.

"Iyaa, kenapa, Dek?"

"Dorongin, dong!"

Vaya tersenyum lucu, lalu mengacungkan jempolnya. "OKE!" serunya sambil berlari ke belakang anak itu dan mulai mengayun-ayun pelan.

"Sebentar aja ya, Rio. Kakak ini mau sekolah." Ibu Penjaga TPA mengingatkan.

Vaya tersedak begitu mendengar nama Rio disebut. Untuk sesaat, gadis itu menatap anak bernama Rio itu. Dia jadi ingat lagi peristiwa kemarin, saat dia bertemu Aji dan Rio di koridor. Dari sekian banyaknya panggilan-panggilan itu. Tak sekali pun Vaya dengar kalau Rio memanggilnya. Yang lebih menjengkelkan lagi, Rio bahkan tidak menunjukkan perasaan simpati atau minimal peduli. Cowok itu hanya memandangnya datar.

"HAH!" Vaya jengkel sendiri. "Rio, kalau besar nanti jangan jadi cowok belagu ya, dek ..." katanya sambil mengusap kepala anak itu dengan sayang.

Rio kecil tertawa-tawa tak mengerti.

"Kamu sekolah ya ..." Ibu Penjaga TPA menyentuh bahu Vaya. "Nggak papa kalau kamu bikin salah. Yang penting kamu mau memperbaikinya," katanya lagi.

Vaya hanya mengangguk. Sekilas, dia memandang Ibu Penjaga itu. Namanya Bu Nanik. Masih sama seperti 11 tahun lalu, ketika perempuan itu membujuk Vaya yang sedang menangis karena ditinggal ibu pergi bekerja. Lembut dan penuh kasih sayang. Hanya saja sekarang perempuan itu begitu rapuh dan dipenuhi keriput.

Vaya tersenyum memandang Bu Nanik. Entah bagaimana, saat ini, dia merasa tenang dan damai.

***

A/n
Kalo di kepala aku, Vaya itu mirip Eva Celia Latjuba. Hitam manis dan muka juteknya mirip.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top