6. Seharusnya Kau di sini Membelaku
Suara gaduh tengah meliputi SMA Kartini. Bukan karena ada tawuran, tetapi hanya suara seruan-seruan saat melihat anak cowok bermain basket. Hari ini, SMA Kartini sedang melakukan pertandingan persahabatan dengan sekolah lain. Setiap siswa terlihat asik menonton dari pinggir lapangan. Beberapa dari mereka lebih memilih makan di kantin.
Sebuah pemandangan menyenangkan di masa-masa SMA.
Di sebelah timur lapangan, berdiri satu-satunya pohon paling rindang di sekolah itu. di bawahnya ada sebuah pendopo yang sering dijadikan tempat ngadem sekaligus rebutan beberapa organisasi untuk mengadakan rapat di sana. Namun, untuk beberapa kasus, pendopo juga bisa dijadikan tempat bersembunyi ketika bahaya datang di saat-saat tak terduga. Berlaku untuk siswa-siswa seperti Ojak bad boy-yang sedang dikejar-kejar anak Mading lantaran seenak jidatnya menempelkan permen karet di mading mereka, Fandi yang baru saja mengacaukan latihan anak klub tari, dan yang paling jarang terjadi, Vaya.
Karena video dan ulahnya kemarin-mengerjai anak kelas XII IPA 1, Vaya semakin mirip buronan. Beberapa menit yang lalu, selepas buang air di toilet, Vaya tak sengaja bertemu rombongan Adel dan beberapa anak cowok. Mereka melihat Vaya seolah ingin menelan anak itu bulat-bulat. Jadi dengan kecepatan Flash, Vaya melarikan diri dan menyibukkan diri di dalam pendopo.
"Vaya!"
Vaya melonjak kaget. Dia menoleh dan menemukan Aji sudah berada di sampingnya. "Aji! Lo nggak di lapangan?" tanya Vaya, sambil tetap celingukan.
Aji mengedikkan bahu. "Gue kan cuma pemain cadangan."
"Ya lo ke sana dong, mana tau ada yang mati. Jadi lo bisa langsung gantiin."
"Mereka tangguh semua, sih."
"Tapi, bagi gue, lo lebih tangguh. Coba, siapa yang bisa kayak lo? Osis ikut, basket ikut, nilai pelajaran tetep bagus. Kelas unggul pula. Nah, siapa coba yang bisa?"
"Gue udah nggak di osis lagi kali, Vay. Kita udah kelas tiga," cetus Aji, menyandarkan diri ke dinding pendopo. "Lo sendiri? Kenapa di sini? Sasa sama Mia nonton tuh."
Vaya mendesah. "Males, rame." sebuah jawaban yang langsung dimengerti Aji. Namun, gadis itu langsung ingat kalau dia sedang jadi buronan. Vaya pun menghadap Aji dan mengacungkan tali sweater-nya seolah siap mencekik Aji. "Lagian, temen-temen kelas lo itu mirip aligator tau nggak. Gue sampe susah gerak. Dan, tolong dong, bilangin ke mereka, jangan panggil gue Payah lagi!"
"Udah, tapi ya lo tau sendiri lah. Lo juga sih, sering aneh." Aji terkekeh.
Vaya mendengkus. "Lo ngerjain tugas Sejarah itu juga ya?"
"Yang mana?" Aji mengernyitkan keningnya, mencoba mengingat. "Oh, yang itu. Iya. Tapi nggak masalah. Itung-itung latihan sebelum ujian."
Mengangguk lega, Vaya ikut menyandarkan punggungnya di dinding pendopo. Kini, dia dan Aji sudah tenggelam di antara beberapa siswa yang ada di pendopo. Keduanya mengobrol seru, tentang bagaimana perkembangan ekonomi di Indonesia. Bukan. Hanya tentang naik turunnya pelanggan bakso ibu Vaya.
Sekitar 10 menit kemudian, dua orang anggota OSIS yang mengenal Aji menghampiri. Sambil senyum-senyum, dia memandang Vaya, lalu menyerahkan dua lembar kertas setelah Vaya memberikan tatapan tajam. Sepertinya, Vaya harus selalu ingat kalau dia masih viral di sosial media.
"Hmmm ... tercantik, terpopuler, tereksis, termanis, terbaik, terpuji," Vaya bergumam sambil membolak-balikkan kertas itu. "Nggak ada ide yang lain ya? Gue tau ini bakal sia-sia. Semua orang pasti masukin nama Adel, kan?"
Aji tersenyum. Seperti biasa, seperti tahun-tahun sebelumnya, menjelang ujian nasional dan acara perpisahan siswa kelas tiga, OSIS akan menyebarkan angket ke seluruh siswa untuk diisi. Setiap orang harus mengisi satu kandidat dari siswa kelas tiga yang layak mendapatkan predikat yang tertera di angket. "Ya udah. Nanti gue isi nama lo."
Vaya melebarkan mata. Semangatnya langsung muncul kembali. "Oh ya? menurut lo, gue cocok di kandidat yang mana?"
"Yang ini." Aji menunjuk sebuah kata di urutan bawah. "Tergalak."
Secepat kilat, Vaya memukul kepala Aji pakai kertas angket. Lalu gadis itu beranjak pergi, meninggalkan Aji yang terbahak-bahak sambil meneriakkan kata 'Woi Vay! Lo mau ke mana, Vay?! Lo kan emang guru beladirinya si Sasa dan Mia! Woi! Jangan ngambek dong! HAHAHAHA!'
Menyebalkan.
***
"Mia! Mia!"
"Apa? Apa?"
"Selfie, yuk!"
Mia menutup bukunya. Dia mendekatkan diri ke arah Vaya. Kini keduanya sudah sibuk saling bergaya dan berswafoto. Pertama, senyum manis. Kedua, memonyong-monyongkan bibir, ketiga menjulurkan lidah. Keempat, memelototkan mata sambil kasih finger heart gesture ala korea, dan terakhir berpelukan. Beberapa saat kemudian, dua remaja itu heboh sendiri melihat foto-foto mereka.
"Upload ah ..." Vaya membuka aplikasi instagramnya. Hari ini, dia punya kuota. "Caption-nya apa ya ..." Vaya mengetuk-ketukkan jari ke bibirnya tanda berpikir keras.
Mia juga ikut berpikir. Sesaat kemudian, dia berkata, "Karena kamu menjadi temanku, makanya aku nggak mau mati. Kalau sampai nggak ada satu pun yang melihatku, aku mungkin sudah mati."
Vaya tertawa kecil. "Serem, ah! Yang lain dong!" ucap gadis itu sambil tetap mengedit foto-foto mereka. Lalu gadis itu tersenyum senang. Dia menuliskan sebuah caption yang manis. Mia melongokkan kepalanya. Dia ingin tahu apa yang Vaya tulis. Tetapi, dengan senyum jail, Vanya menyembunyikan ponselnya.
"Makanya punya IG!" ejek Vaya sambil tertawa. Di antara mereka bertiga, memang cuma Mia yang ogah punya akun IG. Dengan kesal, Mia melempar bukunya ke arah Vaya. Tetapi Vaya gesit menghindar. "Mia, lo pernah bilang jatuh cinta itu normal. Kemarin gue melakukan hal normal, dong! Nembak Rio. Gue normal kan?" ucap Vaya sambil melempar balik buku milik Mia.
"Normal, but overrated. Lo nembak Rio gitu kan artinya lo ngajak pacaran."
Vaya mengerjap-ngerjapkan matanya. "Hmmm, nggak juga sih."
"Lo nembak dia, Vay. Otomatis lo lagi ngajak pacaran kan?"
"Nggaaak! Nggak gituuu!"
"Jadi apa dong?"
"Ya, gue suka sama Rio, gue nggak tahan dia dikelilingi sama cewek-cewek itu! Jadi gue tembak. Dan, biar dia tau aja."
"Terus?"
"Ya ... ya udah. Biar jadi pertimbangan dia aja. Suatu hari kalo dia cari istri, ya inget ke gue."
Mia tertawa. Jujur baru kali ini ia melihat ada orang selugu Vaya. Dan kadang, lugunya Vaya itu beda tipis sama bego. Melihat sahabatnya tertawa terus-terusan, Vaya mulai gerah. Dengan kesal Vaya memaksa cium pipi Mia sampai Mia berontak kegelian sekaligus jijik. Tetapi, memang begitulah Vaya. Gadis itu tidak sungkan mengekspresikan kegemasannya dengan mencium pipi temannya. Hanya teman perempuan.
"Hei, udah!" Mia mendorong wajah Vaya. "Kalo ya udah, berarti ya udah. Perasaan lo udah tersampaikan kan? Lo udah bilang suka sama Rio. Terus mau lo apa?"
Vaya mengusap wajahnya. "Tapi kenapa gue ngerasa dianiaya cuma karena gue ngaku suka sama Rio. Ini hukuman atau apa sih?! Gue sekarang dibully Mia ... lo liat di akun alayzamannow, gue masuk berita mereka! Ini gara-gara Adel!"
"Ya udah, Vaya ... nggak usah dipeduliin ... "
"Nggak dipeduliin gimana? Mereka bully gue ... netizen bully gue ... bawa-bawa fisik lagi. Oke gue pendek. Tapi mereka nggak tahu aja alis gue ini mirip Natalie Portman! Bibir gue ... bibir gue nyaris kayak Kendall Jenner. Dan ... dan ... ARRRKHH!!! MANA SIH SASA?!" Vanya mengusap perutnya.
Hampir seminggu ini, Vaya menahan diri dari pergi ke kantin, lapangan dan tempat ramai lainnya di sekolah. Semua serba titip. Sasa-lah yang diminta tolong. Hanya saja, Sasa sering salah beli. Misalnya beli cokelat padahal Vaya titip keju craft. Beli keripik padahal Vaya titip kerupuk. Bahkan, kadang-kadang Vaya harus menunggu lama. Siang ini pun, Vaya sudah menunggu 10 menit, tetapi Sasa belum juga muncul dari ambang pintu.
Setelah menunggu beberapa lama, Sasa datang tergopoh-gopoh sambil membawa pesanan dan ekspresi yang sangat luar biasa menyebalkan.
"VAYAAAA!"
Vaya cemberut. Tangannya sudah terulur, meminta jajanan-nya. "Lo lama banget kayak-"
"VAYYY! VAAAAY! Duh gue nggak ngerti mau seneng apa sedih. Lo MANTUL ABIS, VAY! LO INSPIRATIF KAUM HAWA! VAYA THE NEXT INSPIRATOR INDONESIA!"
"Ha?"
"Gue yakin lo bakal jadi selebgram kayak Awkarin gitu, wooo! Wooo! Nggak papa dibully yang penting eksis. Woo! Woo!"
Vaya menutup mulut Sasa. "Lo ngomong apa, sih?"
"Vayaaa! Video lo jadi bahan challenge, masaaa!
"CHALLENGE APAAN?!"
Sasa meletakkan jajanan yang dia bawa. Dia merogoh saku dan mengeluarkan ponsel. Sambil mengoceh kalau di kantin, Vaya jadi bahan obrolan lantaran videonya sudah dijadikan meme, parodi dan yang paling baru challenge.
VAYALOVE Challenge.
Seketika Vaya menganga. Rahangnya seperti mau lepas. Dengan berang, dia memekik, "Siapa yang gagas ini?!"
Baru saja Sasa akan membuka mulutnya, Bu Sukma, guru Sejarah mereka sudah keburu masuk. Vaya meminta Mia pindah ke belakang, dan Sasa yang duduk bersamanya. Kini dua anak itu sibuk mencuri-curi pandang ke ponsel di kolong meja, sambil membaca komentar orang-orang.
@tresnajuwita semangat ya Vaya, jangan pedulikan orang2
Vaya tersenyum. Hatinya melembut. Ternyata selain haters, dia juga punya pendukung. Meskipun sedikit dan hanya mengatakan kata-kata 'semangat, ya' atau 'jangan pedulikan kata orang' atau 'sabar ya Vaya!' Vaya lega. Setidaknya mereka tidak akan mencacinya.
Sambil tetap berpura-pura melihat ke papan tulis, jari Sasa terus bergerak, demi melihat video-video itu. Ada yang sengaja menembak cowok pakai sambal udang, ada yang dengan tampang serius nembak pakai joget remix, ada yang nembak pakai kasih jam tangan. Entah itu parodi atau challenge, yang jelas, itu semua membuat Vaya tersindir.
Beberapa saat kemudian, Sasa memelotot dan menyodorkan ponselnya ke Vaya.
@genirsd STOP MAKING STUPID PEOPLE FAMOUS!
@Dutakalender Makin lama makin males gue sama Vaya
@Ritamunand Adek gue ikut2an challenge ini. dia nembak gebetannya dan tebak apa yang terjadi? Dia pacaran finally, ortu gue marah banget. Ini apa sih? Nggak usah singgung2 Vaya lagi kenapa? Dia nya ngetop lah anak2 muda jadi korbannya.
@triputri Duh coba yg dibikin viral tuh anak anak muda berprestasi. Bukan cewek alay kek gini. Nggak ada faedah samsek
Vaya refleks menendang meja di depannya. Ojak yang duduk di depan Vaya sampai nyebut karena kaget.
"Ada apa?" Bu Sukma berhenti menerangkan pelajaran.
"Vaya, Bu." Ojak menunjuk Vaya.
"Krasivaya, kalau nggak mau belajar keluar aja."
"Nggak, Bu. Saya mau belajar." Vaya tertunduk-tunduk. Beberapa saat kemudian, dia kembali menatap ponsel Sasa setelah Bu Sukma berpaling.
@risa20 Gue tau sih sama cewek ini. Dia tinggal di lingkungan gue juga, Cuma tinggal sama emaknya, dagang bakso. Gua yakin klo emaknya tau dia kayak gini, bisa sedih beut. Ya kali lo susah payah cari duit sementara anak lo belagu gini.
Vaya melotot. Matanya seperti mau keluar dan bergelindingan ke koridor kelas.
"Vay? Lo nggak papa?" bisik Sasa.
"Bales, Sa!" desis Vaya sambil terus memelototi ponsel Sasa.
Dengan cepat, Sasa mengetikkan balasan ke komentar itu.
@Masayupinulat belagu gimana ya mbak? Dia kan cuma nyatain cinta.
Tak lama kemudian, balasan komentar itu segera direspon.
@risa20 lo kurang piknik sih. Main ke akunnya dong , ni gue kasih tau @krasivayax , lo liat postingan dia alay semua, gak penting, garing, caper, segala Challenge diikutin. Sok bilang istri ji chang wook lah, selingkuhan oh sehun lah, de el el. Nggak ada faedahnya buat dicontoh. Keliatan banget pengen viral 😂
@dutakalender Akunnya udah diprivate njirr padahal mau gue sambat abis wkwk
@Kikiputri oh, iya gue tau juga nih. Ini yang jual Bakso Moro seneng itu kan, deket pengkolan. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Ibunya janda, eh anaknya jablay.
Vaya refleks menyentuh punggungg tangan Sasa. Isyarat agar Sasa berhenti membaca dan memperlihatkan komentar-komentar itu. Dada Vaya sudah sesak. Ada dentuman luar biasa di dadanya. Seperti bom yang dirakit dan diledakkan sengaja untuk momen saat ini.
"Bu-Bu Sukma," Vaya mengangkat tangannya.
"Ya?" Bu Sukma berhenti menerangkan pelajaran.
"Saya boleh keluar?"
Bu Sukma mendekat. "Kamu sakit?" tanya guru cantik itu sambil menempelkan telapak tangannya ke kening Vaya. "Hangat. Tapi mata kamu merah banget."
Vaya tak menjawab. Tetapi respon tubuhnya sudah sangat buruk. Dia tidak tahu kenapa tubuhnya terus bergetar. Padahal Vaya sekuat tenaga berusaha tidak gemetaran.
"Kalau memang nggak kuat, kamu pulang aja. Lagian ini jam terakhir."
"Iya, Bu. Makasih ...."
Dibantu Sasa dan Mia, Vaya merapikan alat tulis. Sasa sempat menawarkan diri untuk mengantar. Tetapi Vaya menolak. Kata Vaya simpel saja. Di antara mereka bertiga, cuma Sasa yang tulisannya paling rapi dan Mia paling pandai menangkap pelajaran yang diterangkan. Kalau mereka ikut bolos. Vaya tidak bisa pinjam catatan atau bertanya soal pelajaran.
"Cuma kalian yang gue punya." Tutup Vaya kemudian.
Lalu dengan langkah tersendat-sendat, Vaya keluar kelas. Gadis itu terus berjalan menelusuri koridor sambil memikirkan banyak hal. Sejak kemarin, dia masih sabar ketika netizen menghina fisiknya, kelakuannya, nilai rapornya yang entah siapa yang menyebarkan, bahkan semua keburukan-keburukan yang pernah dia sebarkan di akunnya. Tetapi, saat dia mendengar komentar tentang ibunya. Vaya tidak kuat lagi.
Vaya tahu dia hanya anak janda. Dia hanya anak pedagang bakso. Dia tidak punya ayah. Dia tidak cukup cantik untuk bisa dipuji seperti Adel, tidak cukup putih, tidak cukup tinggi, tidak cukup kaya, tidak cukup pintar, tidak cukup merdu saat menyanyikan ulang lagu orang, tidak cukup ini, tidak cukup itu ... Vaya tahu. Dia menerima itu semua.
Tetapi, entah kenapa. Sepertinya, hari ini, susah sekali untuk ditahan. Sebab jauh di dalam hatinya, Vaya tahu dia tidak pernah menerima itu semua. Dia benci dirinya sejak lama. Berkali-kali dia mendongak dan meremas tangannya. Kerongkongannya sampai sakit menahan tangis. Namun, dia tidak boleh seperti itu di tempat umum. Menunjukkan air mata di depan umum bukanlah Vaya.
"Kenapa lo?"
Vaya menghentikan langkahnya. Begitu keras dia berpikir, sampai tak sadar kalau di koridor sekolah yang terasa amat panjang itu, dari arah berlawanan, ada dua cowok sudah berdiri persis di depannya. Keduanya sedang membawa tumpukan buku sambil menatap Vaya dalam. Aji dan ... Rio.
"Vay, lo kenapa?!" Aji melangkah lebih dekat ke Vaya.
Vaya menggeleng dan meremas tangannya. Dia lewati dua cowok itu begitu saja.
"Vaya!"
"Krasivaya!"
Krasivaya. Bahkan namanya sendiri pun terdengar aneh di telinganya. Kata Ibu, harusnya namanya Rasvika. Tetapi nama itu berubah begitu akta kelahirannya keluar. Krasivaya. Nama yang lahir karena human error. Bukan nama yang direncanakan. Hanya nama yang salah ketik dan dibiarkan saja. Kata Ibu, ayahnya malas mengurus ulang di kantor capil. Terlalu banyak tetek bengeknya.
Saat mendengar cerita itu, Vaya tersinggung. Bahkan namanya sendiri pun tak pernah berada dalam rencana. Yang penting lahir, dikasih nama, lalu sudah. Ada banyak kata seharusnya yang bercokol di benaknya. Seharusnya ayahnya bisa saja bersikeras mengganti nama itu. Seharusnya, ayahnya tetap ngotot dengan petugas itu. Seharusnya, ayahnya tidak bercerai dengan Ibu.
Seharusnya, ayah bersungguh-sungguh jika itu menyangkut tentang aku.
Seharusnya, ayah tidak meninggalkanku.
Seharusnya ayah ada di sini membelaku.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top