5. Awal Dari Video


Vaya salah. Ini sama sekali belum berakhir.

Gadis berambut short-curly vintage itu masuk kelas ketika teman-temannya sedang tertawa (untuk kesekian kalinya) sambil menonton video memalukan itu. Kedatangan Vaya membuat Ojak-salah satu yang paling keterlaluan tertawanya-terlonjak kaget, dan Mia berusaha menyelamatkan Ojak sebelum Vaya mengamuk dan mencabut amandel Ojak yang terlihat saat dia mengucapkan 'Ape lo? Mau ape lo? HAAH?!'

Atas usulan Sasa, mereka menyeret Vaya-yang masih mencengkeram kerah baju Ojak-menuju belakang kelas, tempat sempit dan terbuka yang memungkinkan Vaya untuk tenang. "Atau supaya kami bisa lebih nyaman melakukan tindak kekerasan, dan nggak akan ada yang denger teriakan lo, Ojak." Mendengar itu, Ojak bergidik ngeri.

Di belakang kelas mereka, XII IPS 3, ada semacam taman kecil yang baru beberapa bulan lalu dibentuk dalam rangka lomba keindahan kelas. Tetapi siapa pun tahu, kalau kelas XII IPS 1 memang layak mendapatkan juara karena mereka meletakkan berpot-pot bunga mawar di depan kelas mereka. Terlebih mereka memiliki makhluk indah bernama Rio di kelasnya (Ini dikampanyekan oleh Adel cs) yang dipercaya sebagai salah satu penentu kemenangan mereka. Setibanya di sana, mereka berempat duduk di depan pot tumbuhan lidah buaya yang jika dibelah, akan ada lendir-lendir hijau yang berbau tidak enak. Ini, bisa dimanfaatkan Vaya untuk mengoles rambut Ojak yang berantakan seperti Harry Potter itu.

"Nah, Ojak, ngaku lo!" bentak Vaya, menunjuk Ojak dengan penuh tuduhan. "Lo kan yang bocorin ke Adel kalo gue mau nembak Rio waktu itu? Terus gara-gara itu, Adel jadi ngerekam gue!"

"Bujug, sembarangan nuduh-nuduh!" balas Ojak, seperti sedang kumur-kumur lantaran dia sedang mengunyah permen karet. Menurut Ojak, hal paling krusial dari seorang bad boy adalah mengunyah permen karet. Meski itu tidak pernah diakui anak-anak kelas, dia tetap melakukannya. "Lagian ngapain juga gue ngadu-ngadu ke Adel?"

"Karna lo naksir Adel! Bisa aja lo mau bikin Adel terkesan kan?" Vaya memelotot.

"Naksir Adel? Heh, itu pitnah! Dia yang naksir gue, inget ya," balas Ojak sambil tetap mengunyah. Dulu, saat MOS, Adel memang pernah kedapatan flirting ke Ojak lantaran sekilas gaya menatap Ojak mirip Zayn Malik. Dia juga terlihat seperti cowok yang punya motto ini-baru-lelaki setiap mengunyah permen karet andalannya itu. Tetapi, gambaran cowok dingin-kalem itu langsung lenyap saat Ojak membuka mulutnya. Dia berbicara dengan aksen betawi yang kental dan tertawa persis Mbah Surip. Sejak itu, Adel selalu jengkel dan uring-uringan setiap Ojak menyapanya. "Lagian, semua orang tuh tau kalo lo naksir Rio. Siapa yang nggak curiga kalo ngeliat lo ngasih-ngasih surat warna pink pagi buta?"

Vaya menatap Ojak heran. "Semua orang tau? Kok bisa?! Gue nggak ngasih tau siapa pun!"

"Di jidat lo udah keliatan kalo lo itu suka Rio!"

"Lo pikir gue Dajjal apa? Pake segala jidat ada tandanya!"

"Lo kirim surat ke Rio, Vay?" Sasa menyambar. Dia tidak tahu sama sekali tentang ini.

Vaya tergagap, tapi sebelum dia menjelaskan ke temannya itu, dia pikir dia harus tetap fokus ke Ojak. "Lo liat gue ngasih surat ke Rio ya? LO NGINTIP YA?!"

Ojak mendesah. "Lo jangan bego-bego amat deh, jadi orang. Gue kan satu piket sama lo, Payah!" Mendengar itu, Vaya mengerang frustrasi. Dia mengambil salah satu lidah buaya, memotongnya, dan mulai menjejalkannya ke kepala Ojak. "Eh, tapi sumpah bukan gue yang ngadu kalo lo bakal nembak Rio! Beneran!"

"Terus siapa? Kenapa Adel bisa tau? Masa Rio sih yang kasih tau? Rio juga keliatannya nggak suka-suka amat dideketin sama Adel!"

"Lo tanya langsung aja ke Adel," usul Ojak sambil nyengir.

"Sudah! Dia nggak ngaku!"

"Ya lo paksa ngaku, lah. Kalo perlu, pake cara kekerasan," usul Ojak lagi, yang memang hobinya lihat orang berantem.

Takut Ojak semakin menulari Vaya dengan virus bad-boy-nya, Sasa inisiatif mengusir cowok itu. "Ojak, minggat sono lo!" perintahnya sambil mengacung-acungkan lidah buaya ke arah Ojak. Cowok bad-boy-wannabe itu mengedikkan bahu santai. Lalu berjalan pergi sambil meletuskan balon besar dari permen karet di mulutnya.

"Vay, lo tenang ya, ini bakal berakhir kok." Mia yang sejak tadi memilih diam, mengusap punggung Vaya. "Orang-orang akan lupa tentang video lo. Akan ada banyak hal-hal viral lainnya yang bakal nimbun tentang lo."

"Tenang gimana, cobaa! Ini gue dibully seluruh orang di Indonesia, Mia. Dari remaja sampe orang tua bully gue. Katanya gue pengaruh buruk lah, nggak pantes dicontoh, siswa nggak-" Vaya menahan napas. Suaranya parau seolah menahan tangis. Lalu melanjutkan, "Pokoknya Adel harus tanggung jawab!"

"Lo yakin banget sih kalo yang ngerekam lo itu Adel?" timpal Sasa, melipat kedua tangannya.

Vaya mengerang. "Karena Adel yang nyaranin gue nyanyi lagu Sambal Balado itu!"

Semua memelotot kaget. Vaya tahu reaksi ini akan terjadi. Jadi dia duduk dan mulai bercerita alasan kenapa dia menyanyikan lagu Sambal Balado sambil beneran bawa sambal balado di depan Rio tempo hari.

Hari itu, empat jam setelah Vaya menyerahkan surat cintanya ke Rio, Vaya menderita gugup luar biasa. Berkali-kali Vaya ke toilet hanya untuk menenangkan diri di sana. Saat dia berada di toilet untuk yang ketiga puluh kalinya, Adel dan teman-temannya masuk untuk berganti pakaian sehabis pelajaran olahraga. Seperti biasa, cewek-cewek itu selalu menebar cekikikan di mana-mana seolah semua akan ikut terbawa jika mendengar mereka.

"Jadi, Rio doyan sambal balado?" tanya Liska, salah satu teman Adel, di depan wastafel saat itu.

"Of course, Baby. Dia kayak dapet dopping gitu kalo makan sambel balado. Apalagi kalo ada cewek yang bersedia ngasih sambel balado ke dia terus sambil nyanyiin lagu Ayu Ting-Ting yang sambal balado itu, loh. Wah, makin tersanjung dianya!"

"Lo bakal ngasih ke Rio, Del?"

"Ya iyalah! Jangan sampe keduluan cewek lain."

Dari bilik toilet, Vaya yang mendengar hal itu kontan semangat. Ide-ide aneh bermunculan di otaknya. Kebelet pipisnya mendadak hilang, rasa gugupnya berganti percaya diri. Sepeninggal Adel CS, Vaya langsung ke kantin Bude Samsinar dan memesan satu porsi sambal balado. Dan, Vaya tak pernah tahu kalau itu awal mula dia akan melakukan hal paling memalukan sepanjang hidupnya.

"Ya ampun, Vaya, lo bener-bener udah dibegoin," geram Sasa, begitu Vaya selesai bercerita. "Oke dengerin gue. Lo emang dibegoin. Tapi, harusnya lo nggak bego-bego amat ya. Kalo gue tarik kesimpulan, Adel tahu kalo hari itu lo mau ketemuan sama Rio. Mungkin dia dateng pagi, atau Liska yang dateng pagi dan akhirnya ngadu ke Adel. Pokoknya gitu lah. Dan-ya ampun Vayaaa!" Sasa mendesah kasar. Meskipun video itu perlahan lenyap di postingan anak-anak Kartini, tetap saja selalu ada akun-akun lain yang memublikasikan video itu. Ini belum berakhir sama sekali. Belum, sampai Vaya punya kekuatan ajaib yang bisa menghapus semua video tentangnya di ponsel pintar setiap orang.

"Gue harus gimana dong? Gue kan bukan Sadako! Videonya bebas ditonton gitu tanpa kutukan tujuh hari lagi." Vaya merengek. Mia kembali menenangkan.

Sasa ikutan panik. "Ya gimana doong!! Lo ada rencana?"

"Gue maunya Adel mengakui perbuatannya dan minta maaf sama gue pake video. Dan dia share ke sosmed juga. Karena dia udah ngerekam dan nyebarin video gue! Dia yang mulai, dia juga yang harus akhiri!"

"Dia nggak mengakui itu, Vay." Mia mengingatkan. "Dan, untuk minta maaf pakai video? Itu mustahil buat Adel. Dan, sebaiknya lo fokus perbaiki citra lo aja dulu."

Vaya menggeleng. "Gue bakal nemuin dia lagi."

"Omong-omong, lo belum jawab tanya gue," potong Sasa. Gadis itu mengedikkan dagunya ke Vaya. "Lo kenapa sih pake nulis surat segala? HAH?"

Vaya nyengir ke Sasa. "Old but gold. Biar romantis!"

***

Terlalu sulit menemui Adel. Gadis itu berada di kelas yang membuat Vaya tidak bisa menunjukkan wajah lagi di sana. Setelah insiden itu, dan tentu saja setelah Rio menuduh Vaya merekam dirinya sendiri, Vaya tidak punya muka untuk berada di depan orang-orang itu. Dia bahkan harus mengendap-endap jika keadaan memaksanya harus melewati kelas Rio. Ini, tentu saja membuat Vaya kesal sendiri. Dia tidak bersalah tetapi mengapa dia yang harus merasa malu. Saat ini, rasanya, dibandingkan mencari Adel, Vaya jauh lebih memilih tidak bertemu siapa pun.

"Vaya, tolong anterin buku-buku ini ke kelas XII IPS 1," ucap Bu Sukma, membuat Vaya langsung membeku di tempat.

Siang itu hujan turun kecil-kecil. Bel pergantian jam pelajaran berdentang dan itu dimanfaatkan sebagain siswa untuk keluar kelas. Termasuk Vaya. Dia baru saja keluar dari toilet yang penuh siksaan-karena ada beberapa siswi yang tersenyum dan saling berbisik saat melihatnya-menuju kelas yang juga tidak lebih baik, ketika Bu Sukma memanggilnya ke ruang guru.

"Ke kelas Aji, Bu?" tanya Vaya pelan. Kelas Aji berarti kelas Rio dan Adel.

"Iya, saya mau keluar dulu. Ada urusan mendadak. Jadi, kamu tolong bawa ini dulu ya, dan bilang ke ketua kelasnya kalo saya telat sekitar ...."Bu Sukma mengecek jam tangannya. "Oh, sekitar 30 menit. Bilang ke mereka kerjain soal halaman 140 di buku paket."

"Ma-maaf, Bu. Gimana kalo anak kelas itu langsung aja?"

Bu Sukma menghela napas. "Vaya, saya minta tolongnya ke kamu. Dan dari tadi saya nggak liat anak-anak kelas itu lewat sini. Jadi, kamu mau nolong saya?"

Vaya menelan ludah dan mengangguk. Dalam pengawasan Bu Sukma yang sedang bersiap-siap pergi, Vaya melangkah menuju kelas XII IPS 1. Ini benar-benar di luar rencananya. Tetapi, ini bisa masuk rencana untuk berbicara dengan Adel. Hanya saja, entah kenapa Vaya punya perasaan tidak enak.

"Oh. WOW! Ada Paya si Payah!" jerit seorang siswa ketika Vaya tiba di ambang kelas mereka. Kontan hal itu membuat siswa-siswa lain berseru heboh. Beberapa dari mereka langsung menghampiri Vaya, menepuk-nepuk bahunya dan mengajak bersalaman. Beberapa meminta Vaya menyanyi seperti yang ada di video. Vaya tahu. Sambutan itu hanya rangkaian penghinaan.

"Payah! Ayo nyanyi, Payah!"

"Payah! Lo ngapain ke sini? Mau nembak Rio lagi?"

"Halo Mbak Payah apa kabar? Sudah sembuh belum hatinya? Mau dong gue patahin ..."

Vaya mendelik. Berani-beraninya mereka mengubah-ubah namanya jadi Payah. Meskipun Vaya tidak suka namanya, dia toh tetap menghargai namanya sendiri. Hanya dia sendiri yang boleh menghina dirinya sendiri. Bukan orang lain.

"Rio, ada si Payah noh! Lo nggak pengen muntah, Yo?" Ardi yang suara pekikannya mirip siamang mulai berceloteh. Membuat Vaya melirik ke sumber suara. Di bangku barisan kedua itu, Rio duduk dengan sebelah tangannya menopang dagu, seolah tak peduli dengan apa pun yang terjadi. Untuk sesaat, Vaya menatap sepasang mata yang dingin itu. Mata itu berkedip malas, seperti tirai yang ditarik turun perlahan lalu dinaikkan dengan lesu. Entah kenapa, betapa pun dia membenci cowok itu, rasanya, saat ini, perasaan itu muncul kembali. Jantung Vaya berdebum kencang. Cepat-cepat gadis itu memalingkan wajahnya.

Zaman sekarang banyak orang gila popularitas. Nggak heran.

Vaya menggaruk buku-buku di tangannya. Sampul-sampulnya sampai lepas. Mendadak Vaya ingat kalimat terakhir yang Rio ucapkan untuknya. Ucapan itu benar-benar membuat dia kesal setengah mati.

"Vay," Aji mendekat dan mengambil buku-buku di tangan Vaya. Dia satu-satunya yang tidak menghina. Tentu saja. Jika dia ikut-ikutan, Vaya pastikan Aji tidak akan bisa berjalan pakai dua kaki. "Kenapa lo yang ke sini?"

"Disuruh Bu Sukma," jawab Vaya dengan gelengan lemah. "Gue nggak ada kuota mau hubungin lo."

"Oke. Ada lagi? Kalo nggak, buruan pergi, deh."

Vaya mengangguk. "Ada," katanya pelan. Aji memukul meja, meminta perhatian teman-temannya untuk mendengar Vaya. Setelah agak tenang, Vaya berdeham. "Bu Sukma bilang bakal telat sekitar setengah jam. Terus beliau minta kalian kerjain soal halaman-"

"Bohong aja lo!"

"Ngibul!"

"Joget sambalado dulu, lo!"

Wajah Vaya mengeras dan dia mengepalkan tinjunya. "Gue nggak bohong!"

Dari pojok kanan, seorang cewek berdiri. Tidak lain tidak bukan, Adel orangnya. "Bu Sukma nggak pernah telat. Bahkan, seperti yang kita semua tau, kalo siswanya telat aja, Bu Sukma suruh siswa itu keluar kelas. Jadi, masa sekarang dia telat. Nggak fair dong."

"Ya mana gue tau!" balas Vaya tak mau kalah. "Bu Sukma kan wali kelas kalian, mungkin ada pengecualian."

"Oh, jadi menurut lo Bu Sukma diam-diam korupsi waktu gitu? Dan, itu khusus di kelas ini aja? Mentang-mentang kita anak binaannya? Gitu?"

"Mungkin-mungkin aja. Lagian udah maklum Bu Sukma korupsi waktu kalo di kelas kalian, soalnya kalian kayak orang utan semua. Nggak bisa diem! Bu Sukma pasti ngebatin tiap kali ngajar kalian. Lebih baik dia jadi perawan tua daripada harus ngajarin orang-orang kayak kalian lagi!"

"Oh. Jadi sekarang lo ngatain Bu Sukma perawan tua?"

"Memang perawan tua, kan?"

"Heh, Payah! Berani banget lo hina wali kelas kita."

Aji menyikut Vaya pelan. Meminta cewek itu menahan diri.

"Gue di sini bukan untuk dihina ya! Kalian pikir gue bisa ditindas apa?! Kayak kalian nggak pernah ngelakuin hal yang malu-maluin aja! Urus aib kalian sendiri, sana!" bentak Vaya. Begitulah dia, makin dilarang makin menjadi-jadi. Gadis itu meraih buku paket milik Aji. Lalu membukanya. "Gue cuma mau nyampein pesen, Bu Sukma bilang, kerjain soal latihan halaman 140-145. Pilihan ganda sama essainya, terus ngeringkas materi baru halaman 146-148. Kalo kalian nggak ngerjain, itu masalah kalian. Terima kasih!"

Vaya menyerahkan buku Aji, lalu melangkah pergi. Aji sempat mengantar Vaya keluar kelas dan meminta maaf atas kelakuan teman-temannya.

"Sebagai ketua kelas, lo patut dapet dua nominasi penghargaan sekolah. Satu, nominasi ketua kelas tersabar. Dua, nominasi ketua kelas terbego karena nggak bisa didik anggotanya. Kalo ada yang gitu-gituan, gue sepakat lo dapet ketua kelas terbego."

"Iya, iya, bego," Aji mendorong Vaya pergi. "Maafin gue ya."

Vaya mengangguk."Maafin gue juga ya. Gue pengennya sih ngasih tau elo. Tapi ya udah deh. Sekali-sekali." katanya sambil melangkah riang. Meninggalkan Aji yang mengernyit dalam. Aji sama sekali tidak tahu, begitu Vaya balik badan, cewek itu langsung tertawa jahat. Sebab, detik itu juga, anak-anak kelas XII IPS 1 harus maraton mengerjakan tugas (yang sudah ia lebih-lebihkan jumlahnya).

Rasain.

***

A/n.
Vomment jangan lupa👼

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top