Suara dering ponsel terdengar. Gadis itu membuka ponsel. Pesan-pesan whatsapp yang sejak kemarin ia abaikan kembali bermunculan.
Mami Sasa Vay, bukan gue yang atur pertemuan mereka. Gue juga nggak tau Mia temenan sama Adel
Rozak anak Solihin woi paya, ganti permen karet gua!
Mami Sasa Gue taunya Mia punya ig. Itu aja.
Mami Sasa Vay, lo beneran marah? Bales dong
Mami Sasa Vay
SAHABAT ARIEL Hai, guys! Lagi apa? Aku bakal rilis novel baru. Pantengin di wattpad yaa!
Mami Sasa VAAY! Film True Love udah tayang! Inget nggak? Film yang ada Andina-nya itu looh. Lo kan pernah bilang kepo sama film itu. Minggu besok mau nonton nggak?
Mami Sasa Vaaay
Mami Sasa OKE KALO LO MARAH! GUE JUGA BISA MARAH! MALES TEMENAN SAMA ANAK NGAMBEKAN KAYAK LO!
Meyda anak rohis Ada tugas seni rupa bikin gambar reklame, tugas Sejarah terpadu halaman 145, tugas sejarah kontemporer halaman 138. Fyi, Sasa yang nyuruh gue chat beginian ke elo.
Mami Sasa Vay
Mami Sasa Vayy Aji tanding basket, dateng kan, Vay? Ketemuan di sana, ya.
Aji-nomoto Lo beneran nggak dateng nonton gue tanding?
Mami Sasa Kita perlu bicara. Susah kalo nggak ngomong langsung
Sasa mendominasi. Tapi tidak ada pesan dari Mia. Membuat Vaya mencelos. Hatinya seperti berdenyut nyeri.
08987981111 Halo Vaya. Ini Rosa. Gimana? Apa kamu setuju hadir di Viral- Talk Show. Tenang aja, bakal ada honornya. Ditunggu konfirmasinya ya.
08997982XXX Salam. Halo, Vaya, saya Listy dari NusanTV. Ditunggu konfirmasi kehadirannya buat acara Halo Netizen!
Rasanya semakin nyeri.
Vaya menghela napas ketika membaca dua pesan terakhir. Orang-orang TV masih terus menghubunginya. Dunia Andina—artis tanpa haters—memang sedang dikulik habis-habisan. Semua acara TV dan berita online menampilkan Andina. Vaya sadar, dia hanya pion yang sedang dimainkan bagi berita yang tak berkesudahan itu. Seperti di gelanggang perang, prajurit kerap memanah kuda untuk merobohkan penunggangnya. Dan, dalam hal ini, Vaya hanyalah seekor kuda. Mereka mengincar Andina, dan mungkin Rio. Vaya tidak penting sama sekali.
Ucapan Rio melintas di kepalanya. Dia kira Rio benar. Satu-satunya tujuan mereka adalah meraih rating tinggi. Bukan sebuah penjelasan. Semakin ia ikuti kemauan media, semakin blunder-lah dia, dan mereka tentu makin punya banyak cara untuk memancing Andina keluar.
"Giliran udah viral kok gini banget, sih!" amuk Vaya, menendang pagar besi di depannya. Membuat pedagang siomay yang lewat menjengit heran.
Hari ini, Vaya ke daycare house alias TPA Al-Ikhlas lagi. Tempat yang ibunya tak akan curiga kalau dia diskors. Kepalanya berat karena terlalu banyak berpikir, dan menerka hidup orang. Bermain dan tertawa bersama anak-anak TPA Al-Ikhlas sepertinya ide yang bagus. Setibanya di sana, Bu Nanik rupanya sudah dikelilingi anak-anak. Perempuan tua itu sedang mengisahkan kisah Abrahah yang hendak meruntuhkan Kakbah. Vaya nyengir saat Bu Nanik menirukan suara gajah. Bekerja di dunia anak memang harus bertingkah seperti anak-anak.
"Kak Payaaa!" seru Rio menabrakkan diri ke Vaya.
"Yoyoo!" Vaya memeluk anak itu erat-erat. "Hai, Mbak Mira cantik! Hai Bude Kus!" sapanya ke dua perempuan berkerudung yang balas melambai ke Vaya dari tempat duduk mereka. Mira berasal dari Cileungsi. Ikut Bu Nanik untuk mengasuh anak-anak di Al-Ikhlas. Sementara Bude Kus, sengaja dipekerjakan untuk bantu masak di rumah Bu Nanik—lebih tepatnya memasak porsi besar untuk anak-anak.
Bu Nanik bilang, semula dia tidak berniat membangun TPA. Dia hanya menyukai anak-anak dan aktif sebagai pegiat taman baca. Dua karakter itu bertemu dengan para tetangga yang kerap menitipkan anak mereka—selagi pergi bekerja. Meski hanya TPA biasa—tidak bagus-bagus amat, Al-Ikhlas punya 15 anak yang harus diurus seharian. Dan, ada kemungkinan akan direnovasi supaya bisa menjadi daycare sekaligus playgroup sesuai impian mendiang suami Bu Nanik. Dan, Vaya dijitak saat menyarankan Al-Ikhlas dijadikan taman impian jaya ancol.
"Kak Paya nggak sekolah, ya?" tanya Rio.
Vaya meringis. "Iya. Jangan tiru kakak, ya," katanya sambil melirik Bu Nanik yang sudah selesai berkisah dan kini sibuk mengambil kertas origami. Vaya memilih duduk selonjoran, mepet ke rak-rak buku. Dia membaca salah satu buku anak di sana. Judulnya, Aku (tidak) Suka Diriku. Dan membiarkan Rio mengoceh seperti burung beo, lalu pergi berlari ke Bu Nanik.
"Kak! Kak! Kata bunda kita mau bikin pohon halapan! Kita mau gunting-gunting! Sama gunting gambal!" seru Rio. Dia datang lagi sambil mengibas-ibaskan kertas origami. "Kak Paya!" Rio mengguncang lutut Vaya. "KAK PAYAA! KITA MAU GUNTING-GUNTING!"
"Okeee! Okeee!" seru Vaya menutup bukunya dan memutar badan Rio menghadap Bu Nanik. Kalau sudah di Al-Ikhlas, Vaya memang tidak bisa berlama-lama dengan dunianya sendiri. Dia harus seperti ibu-ibu yang mengasuh anak.
"Anak-anak! Sudah digunting bentuk daun, kan?" Bu Nanik menepuk tangan. "Sudah? Nah, selanjutnya kita gunting gambar-gambar profesi ini di daunnya, yaaa!" serunya lagi sambil melambai-lambaikan kertas berbentuk daun. "Kertas yang ini ya, Naak .... ini impian kalian! Keyra, lari-larinya nanti dulu ya, Nak!" Bu Nanik mengejar Keyra ke luar. "Vaya, kamu bantuin juga, ya!"
Vaya melambaikan tangan tanda mengerti. Dia sudah nungging, dikelilingi anak-anak kecil demi menggunting gambar-gambar pilihan mereka. Jika tidak menemukannya, tak jarang Vaya yang justru menggambar untuk mereka. "Oke, impian Zefa ..." Vaya bergumam melihat Zefa memekikkan kata inci berkali-kali, "Oh, Zefa pengen pelihara kelinci, ya?" tebaknya. Zefa mengangguk-angguk kencang. Vaya menggores pensil ke kertas daun dengan cekatan. Tak sampai tiga menit, kelinci itu berhasil dibuatnya. "Tadaa!" seru Vaya mengayun-ayunkan kertas.
"Kalau Kiki ... jadi dokter ..." Vaya mengambil gambar dokter, dan menuntun Kiki menggunting gambarnya.
"Kak Paya aku, Kaak!"
"Aku juga, Kaak!"
"Akuuu!"
Salah satu alasan mengapa Vaya suka berada di Al-Ikhlas adalah ... dia diapresiasi. Dihargai. Dicintai. Segala kosakata positif. Membuatnya seperti selebriti yang datang dan disambut dengan suka cita. Anak-anak itu mudah terkesima pada bakat menggambar Vaya yang pas-pasan. Vaya tahu dia masih perlu berlatih. Tapi, sekali lagi, sejelek apa pun gambarnya, latar belakangnya, kesalahannya, dia masih dihargai.
Tidak ada perisak. Tidak ada pembenci. Anak-anak itu tidak tahu apa itu viral. Mereka berasal dari masyarakat kelas menengah ke bawah—yang orang tuanya bekerja dan tidak bisa membawa mereka. Ponsel adalah hal yang mahal untuk mereka. Jika pun salah satu mereka punya, mereka hanya tahu youtube kids—Bu Nanik sudah mengatur sedemikian rupa.
Vaya tahu ini sementara. Anak-anak di depannya akan segera pindah ke TK, lalu membesar, dan berubah. Sepuluh tahun lagi, mereka akan berada di posisi di mana orang-orang saat ini berada. Menjadi perundung, korban rundung, haters, lovers, atau senasib dengan Vaya. Entahlah. Semoga tidak. Vaya harap dia bisa mengisi masa kecil mereka dengan hal baik dan ceria. Agar stok membenci mereka berkurang, atau tidak ada sama sekali.
Dengan tawa berderai, Vaya memangku Rio kecil. Dia mulai menggunting dan menggambar satu persatu impian anak-anak itu. Kecuali Ilham dan beberapa temannya yang sudah bisa melakukan sendiri, mereka tidak sudi Vaya menginvasi daun mimpi mereka. Vaya bahkan harus pura-pura pipis, supaya Ilham CS mau menempelkan daun mimpinya. Padahal, Vaya tahu siapa saja pemilik daun-daun itu. Dilihat dari kejelekan gambarnya. Tentu saja.
"Kakak nulis apa? Kok bukan gambal? Kok tulisan?" Suara Jihan. Dia dan teman-temannya tengah mengintip dan mengeja kalimat yang Vaya tulis. Tidak mau kalah, Vaya juga ikut membuat mimpinya. Alih-alih menggambar, dia memilih menuliskannya. "Kak Vayaaa! Kakak nulis apa, siiih?" protes Jihan sengit saat melihat Vaya berdiri untuk menempelkan daunnya ke dinding yang sudah dihias seperti ranting pohon.
"Itulah gunanya sekolah, anak kecil," sahut Vaya. Dia berkacak pinggang memandangi daun mimpinya. Jihan dan teman-temannya sibuk mencari kursi supaya bisa mencapai daun Vaya yang ditempel paling atas.
"Heleh, nyatanya hari ini kamu nggak sekolah, loh!" sembur Bu Nanik, tiba-tiba sudah berdiri di samping Vaya. Dia menyodorkan segelas air kuning yang mencurigakan. Saat Vaya meneguknya, dia nyaris muntah. "Itu air kunyit dan brotowali. Biar pikiran kamu sehat," kata Bu Nanik jutek. "Vaya, kamu sudah kelas tiga, loh. Jangan cari masalah lagi, paham? Kalau kamu sampai bolos atau diskors lagi, ibu nggak segan-segan bilang ke ibu kamu! Atau nggak usah main sini lagi!"
Vaya meringis. "Aku janji ini terakhir kalinya. Aku tobat, Bu," katanya memberi isyarat peace dengan jari. Tertunduk-tunduk, dia sungkem minta ampun. Bu Nanik sudah menunjukkan watak aslinya. Kemarin-kemarin dia bersikap lembut hanya karena tidak kenal. Sekarang, dia sudah tahu Vaya alumni sini. Vaya ungkap beberapa waktu lalu—hanya karena dia ingin memiliki kartu perpustakaan khusus anak TPA—dan sim salabim, Bu Nanik berubah jadi seram. Seperti Doraemon berwujud emak-emak. Cerewet tapi mudah kasihan.
"Dan sebetulnya, aku nggak bolos, Bu. Tapi diskors," ucap Vaya, nyengir. cengirannya berubah jadi ringisan saat Bu Nanik istighfar.
"Kenapa bisa diskors?"
Vaya mengedikkan bahu. "Berantem."
Bu Nanik istighfar lagi. "Ibu kamu tau?"
Menggeleng, Vaya menatap Bu Nanik dengan wajah memelas. "Jangan sampai tau, Bu."
"Vaya ... Vaya ... kamu kok jadi begini, sih? Dulu diganggu aja nangis, loh. Inget, nggak? Dulu kan Gita dan temen-temennya suka usil sama kamu."
Vaya mengedikkan bahu. "Keadaan berubah, Bu. Orang-orang berubah."
Bu Nanik menghela napas. Dia menatap ke luar jendela, anak-anak telah berpindah ke halaman. "Vay, kamu masih muda. Sangat mudah bagimu bertindak seenaknya. Tapi, ibu kamu sudah tua dan sendirian ... dia mungkin sedih kalau tau kamu seperti ini, tapi dia lebih sedih lagi kalau tidak tau sama sekali," katanya menatap Vaya. "Kamu tahu? Kesedihan orang tua adalah saat dia tidak mengetahui apa pun tentang anaknya. Dia sibuk bekerja, mencari uang yang banyak untuk anaknya. Tapi di malam-malam gelapnya, dia akan menangis karena banyak hal yang dia lewatkan tanpa anaknya. Ibu tahu, Vay. Karena Ibu juga seorang ibu."
Vaya diam saja. Tapi ekspresinya jelas menunjukkan ketidaknyamanan. Fakta bahwa dia mengabaikan permintaan ibunya untuk sekolah tanpa catatan merah itu benar. "Meskipun gitu," kata Vaya, dengan mata berkaca-kaca, "aku tetap nggak mau ibuku tau. Biar jadi rahasia aja," katanya tanpa menoleh ke Bu Nanik. Tapi dia bisa merasakan punggungnya diusap-usap.
Dan, itu sudah cukup.
Hai Mbak Rosa. Dan salam kenal.
Jam dua siang, Vaya mengetik balasan pesan sambil berjalan pulang.
Terima kasih undangannya. Saya memang sedang butuh uang. Saya akan datang ke studio....
Vaya menghela napas, dan mengetik lanjutan pesan. Sesuai apa yang dia tulis di daun mimpi, dia akan berhenti. Dia tidak akan menjadi bintang tanpa pendar lagi.
Tapi nggak sekarang. Suatu hari nanti, kalau itu adalah sebuah prestasi. Bukan hal memalukan seperti kemarin. Terimakasih, sekali lagi.
Pesan terkirim.
Vaya menghela napas. Kedua kakinya berhenti ketika lima meter lagi mencapai rumah. Matanya menatap lurus ke depan, warung bakso sedang sepi. Di sudut, Ros tampak duduk berkutat pada buku keuangannya. Itu adalah pemandangan yang sama. Sosok yang sama, setiap hari. Bu Nanik benar, ibu Vaya akan sedih jika tahu anaknya tidak sepengertian yang dia kira. Vaya bukan anak hebat seperti di berita-berita viral; Anak Pemulung Berhasil Lulus Cumluade, atau Anak Penjual Bakso Ini Berhasil Mendapat Lima Beasiswa Luar Negeri, atau Viral! Anak Tukang Bangunan ini Lulus SBMPTN Dengan Nilai Tertinggi!
Tidak.
Vaya tidak seperti itu.
Nyatanya, Vaya biasa-biasa saja. Dia masuk di kelas biasa, menjurus ke kelas anak-anak terbodoh malah. Alih-alih prihatin pada keadaan, dia sibuk naksir cowok sampai membuat onar. Vaya menelan ludah. Ada yang bilang, anak-anak yang lahir dari keadaan sulit akan membuat mereka tumbuh lebih dewasa. Nyatanya, Vaya rasa, keadaan sulit sama sekali tidak mendewasakan dirinya. Karena itu, ibunya tidak boleh tahu, sudah berapa lama anaknya mengkhinatinya sejauh ini. Sudah sedalam apa, Vaya memendam semua sendiri.
**
Layar besar di depannya menggelap. Soundtrack film menggema, dan barisan kata yang menyusun nama-nama pemeran muncul—tanda film telah selesai. Berbeda dengan orang-orang yang tak peduli, dan memilih beranjak, Rio peduli. Dia masih duduk diam menyaksikan perlahan-lahan credit film bergerak.
Lalu, nama itu muncul. Andina Kartowijoyo.
Film yang barusan Rio tonton, judulnya True Love. Tentang seorang perempuan yang mencari ibunya yang menghilang puluhan tahun lalu. Ibu yang membuangnya, tapi tetap dicari. Ibu yang menjebloskannya ke rumah bordil, tapi tetap dirindukan.
Rio menitikkan air mata pada adegan tertentu.
Di dunia ini, tidak ada cinta sejati, Tuan. Hanya orang-orang bodoh yang masih menunggu.
Dialog itu menggema di telinga Rio. Membekas.
Rio tepis sambil terus melajukan motornya untuk pulang. Akan tetapi, dia telah terbiasa membawa dirinya ke ruamh itu lagi. Kembali untuk yang kesekian kalinya. Rumah yang mungkin perlahan-lahan dilupakan Andina.
Setelah pertengkaran itu, dia masih ingin datang untuk melihat mamanya—lebih tepatnya rumah mamanya—yang belum tentu dia ada. Sebab sejak sukses dengan karier selebritinya, dan menikah dengan produser film, Andina telah memeluk kehidupan baru. Dia pindah dan hanya sesekali mengunjungi rumah lamanya.
Rio menitipkan sepeda motornya di sebuah warung di depan gang, bersiap menyambut pemandangan yang sama, di depan sana. Rumah kosong—hanya ART, dan mungkin perpisahan. Berjalan ke rumah itu, seperti berjalan sedikit demi sedikit ke mimpinya. Begitu jelas tapi sepi. Hanya Tuhan dan dirinya yang tahu betapa dia mencintai ibunya. Rio tidak bercanda.
Desiran angin yang berembus dan bergerak di sekelilingnya menggigilkan badan sekaligus mendamaikan. Rio berjalan pelan ke arah rumah dengan tembok tinggi itu, sambil sesekali menatap langit yang terang bertabur bintang. Andina seperti bintang itu. Berpendar, tapi tak bisa dijangkau. Tapi langkahnya terhenti. Ketika sedan merah keluar dari rumah itu. Andina bersama bayinya, terlihat dari jendela yang terbuka setengah.
Mata hitam Rio tak berkedip.
Angin berembus, menerbangkan dedaunan dan sampah beterbangan. Mobil itu melintas, melewati tubuh pemuda itu begitu saja. Rio terpaku. Dia menunduk dan menangkap sebuah kebetulan yang ironis. Potongan koran—ada kemungkinan bekas gorengan yang dibuang sembarang—itu mendarat persis di kakinya. Menampilkan judul berita dengan tulisan besar; 'Terjadi Lagi! Ibu Bunuh Anak Kandung Bersama Pacarnya."
Rio menelan ludah.
Di dunia ini, tidak ada cinta sejati, Tuan. Hanya orang-orang bodoh yang masih menunggu.
Dialog film itu benar.
Andina sepenuhnya akting.
Di dunia ini, ada beberapa orang, yang ditakdirkan sangat miskin. Sampai-sampai cinta sejati saja dia tidak punya.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top