18. Sayap-sayap Patah

Pertandingan itu berakhir dengan skor memuaskan bagi tim SMA Kartini. Semua bersorak menyambut kemenangan. Berbeda dengan Aji, cowok itu terus mencari-cari seseorang. Mungkin, tubuhnya yang mungil itu tertimbun oleh kerumunan. Mungkin, suaranya yang cempreng dan besar itu masih kalah keras dengan suara-suara penoton. Mungkin, dan mungkin yang lain.

"Aji," sebuah panggilan yang membuat Aji tersentak. Cowok itu menoleh cepat. Sayang, itu bukan Vaya. Hanya Sasa—sahabat Vaya. "Selamat, ya!" ucap Sasa lagi sambil melambai-lambaikan tangan dan mendekat.

Aji tersenyum tawar. "Makasih, Sa."

"Gue bawain minum penambah stamina. Nih, ambil,"

Setelah menjatuhkan pantatnya di bangku panjang, Aji meraih minuman itu, dan meminumnya. Beberapa saat dia mengamati dan menatap Sasa heran. "Ini minuman apaan, Sa?"

Sasa meringis, dan ikut duduk. "Aneh ya? Itu gue bikin sendiri. Itu jus lemon terus gue kasih madu. Biar tenaga lo cepet pulih."

Aji tersenyum dan meminum lagi. "Lo nggak bareng Vaya"

"Tadi, udah gue chat, sih. Tapi, nggak diread-read." Sasa menghela napas. "Mungkin dia masih sebel sama gue."

"Sebel kenapa?"

Sasa menyengir. "Masalah kemarin."

Aji ber-oh singkat. "Vaya emang gitu, Sa. Dia gampang naik darah, belagu. Tapi anaknya cepet memaafkan. Tau kan? Dia bisa aja marah sama lo, tapi dia bisa kayak babon yang gampang dibujuk kalo lo kasih pisang."

Sasa kontan tertawa. "Lo paham banget sama Vaya."

"Nggak. Gue nggak paham-paham banget sampe bisa baca kemauan anak itu. Buktinya, hari ini udah gue pesenin buat dateng, malah nggak dateng. Dia bener-bener cewek yang suka seenaknya. Ini nasehat gue buat lo, Sa. Lain kali, kalo buat janji sama Vaya, pastikan lo chat dia sekali dalam semenit. Biar chat lo ada di atas terus. Nggak ketimbun sama semua grup-grup chat yang dia ikuti. Jadi, pas ketemu sama lo, dia nggak akan nyengir kuda sambil bilang 'aduh, chat lo ketimbun, sori yaaa'"

Mata Sasa berkedut. Lalu, dia tersenyum dan menunduk. Entah mengapa dia merasakan sakit di dadanya. "Gue tau. Lo ... suka Vaya, kan?"

Aji menyemburkan minuman di mulutnya. Dia terkesiap. Dia mengalihkan pandanganya ke Sasa. Cewek berambut panjang itu tampak tenang menatapnya. Aji menunduk, mengamati setiap langkah kaki yang melewatinya. Detik itu dia ingin sekali bilang. "Iya, suka banget. Suka banget sampe nggak ngerti gimana nunjukinnya," ucapnya pelan, terlampau pelan sampai Sasa pikir Aji sedang berbisik. "Gue patah hati sebelum jatuh cinta. Gue belum cinta, tapi gue tahu gue suka banget. Senyum dia, ketawa dia, kelakuan dia ... tapi, gue bisa apa?"

Namun, bukan itu yang Aji ucapkan. Melainkan, "Nggak mungkin lah, Sa."

Sasa mengerjap. "Kenapa?"

"Setiap saat, yang keluar dari mulut Vaya cuma Rio, Rio, dan Rio. Sedikit pun, nggak pernah dia nggak bahas Rio. Bahkan, dulu, waktu dia rajin ke kelas gue, sebenarnya dia cuma mau liat Rio. Dia nyari-nyari gue di kelas, yang padahal dia tahu kalo gue lagi latihan basket, itu juga karena Rio. Rasanya, itu udah cukup untuk gue sadar di mana posisi gue."

"Cinta tuh gitu banget, ya."

Aji menoleh. "Gitu gimana?"

Sasa mengangkat wajahnya, membuat butir-butir bening di matanya tidak bisa jatuh. "Iya ... Cinta tuh emang gitu banget. Kita bakal dibikin kayak sehelai bulu yang dibawa terbang sesuka hati. Kita sampe lupa sama asal kita, kita juga sampe nggak bisa lihat apa –apa lagi selain pemandangan yang cinta berikan. Kita lupa dari kulit mana, kita tercabut... mungkin kulit itu, ada bulu-bulu yang nungguin kita. Yang berharap kita pulang. Tapi, kita nggak pulang-pulang. Karena kita udah terpesona dengan tempat lain."

"Jangan bilang lo juga lagi patah hati."

Sasa mendengkus dan tertawa. "Iya. Kita senasib, omong-omong."

"K-kita?"

"Lo nggak perlu denial. Lo suka Vaya, kan?"

Aji menelan ludah. Dan, tersenyum kecil. Dia meneguk minumannya dan berkata, "Gue bakal sangat egois untuk bilang perasaan gue ke Vaya. Iya, yang Vaya tau, gue itu temennya. Di kepalanya, gue adalah temen yang nggak boleh nggak jadi temen. Kalo gue bilang gue suka dia, sementara dia bahkan ... bisa dikatakan jatuh cinta banget sama orang lain, Vaya bakal bingung. Dan gue tau, hubungan kami nggak akan sama lagi. Gue pikir, kehilangan orang kayak Vaya jauh lebih buruk daripada patah hati."

"Iya. Kehilangan temen baik yang kita tau dia sangat baik, jauh lebih buruk dari apa pun."

Aji tersenyum. "Lagian, gue masih harus gapai cita-cita gue ... Vaya juga, lo juga. Kita semua juga. Lima, delapan, sepuluh tahun lagi ... gue yakin gue bakal tau dengan siapa akhirnya gue harus jalani hidup."

Sasa mengangguk. "Ya ampun. Ini kata paling bijak yang gue dapet dari lo," Sasa tertawa, di sampingnya, Aji juga tertawa.

Meski sebenarnya, dalam hingar bingar lapangan basket, keduanya yang tertawa bersama itu, masing-masing telah menyimpan luka sendiri. Kepatahan yang nyata, air mata, dan cinta yang tak harus memiliki.

Nyatanya, Aji masih menunggu sosok itu datang.

**

Pintu gerbang coklat itu terbuka, setelah Vaya memencet bel. Seorang asisten rumah tangga melongo keluar. Menoleh ke sana kemari, tetapi dia tak menemukan siapa pun. ART itu berdecak sebal. Dia lantas menutup pintu gerbang itu lagi.

Memang kurang ajar. Beberapa bulan ini sering ada orang iseng yang memencet bel, namun begitu gerbang dibuka, tak ada siapa pun. Sepertinya dia bisa mengadukan hal ini pada nyonya rumah. Supaya si nyonya bisa memasang bel rumah dengan kamera CCTV.

Sepersekian detik kemudian, ketika gerbang tertutup, Vaya keluar dari persembunyian. Anak itu berjalan mendekati gerbang rumah lebih dekat, dan lebih dekat. Lalu dia tercenung begitu sampai di depan pagar, persis kebiasaan Rio yang kerap dia saksikan. Pagar tinggi, terbuat dari pohon, dan tak tembus pandang. Memisahkan dunia luar dan dunia di dalam sana—seorang perempuan sedan merah itu.

Vaya memejamkan mata.

"Naaah!" Tiba-tiba seseorang berseru. Vaya melonjak kaget. ART itu muncul kembali bersamaan dengan pintu kecil gerbang yang dibuka cepat. "Ketahuan, ya! Anak nakaaal! Kamu toh yang selama ini mencet-mencet bel? Hm?" sergahnya lagi sambil meraup bahu Vaya cepat. Membuat Vaya spontan berontak.

"E-eh, maaf, Mbak. Bukan saya," tangkis Vaya. Dia mencoba melepaskan diri. "Serius bukan saya, Mbak."

"Terus siapa kalau bukan kamu? Hm?"

"A—anaknya, Mbak."

Sekonyong-konyong ART itu menepuk bahu Vaya. "Heh, jangan sembarangan kamu! Bu Andina anaknya cuma satu dan itu pun masih bayi!" serunya seraya mengedarkan pandangan, takut ada wartawan.

Mata Vaya membola. "Jadi ini beneran rumah Andina, artis itu?"

"Lah iya! Kamu pikir rumah siapa? Hm?"

Vaya tak merespon. Otaknya bekerja keras, menyusun potongan-potongan kejadian.

Setelah pembelaan diri yang cukup alot, dan teriakan memanggil-manggil Andina, serta aksi dadakan Vaya menyanyikan lagu Nassar Oppa Kiyowo, yang liriknya 'seperti mati lampu ya sayang, seperti mati lampuuu!' keras-keras, Vaya langsung kabur begitu ada seorang lelaki muncul dari pintu depan rumah Andina. Menyuruh ART-nya untuk segera memberikan uang. Dikiranya, Vaya itu pengamen ngamuk karena tidak diberi upah.

Vaya memacu sepeda motornya kencang. Begitu sampai rumah, dia mengobrak-abrik laci belajarnya, mencari buku kecil milik Rio, dan membacanya lagi.

Film 'Bulan Retak', The storyline is so powerful. Tentang Ibu yang mencari anaknya. Tapi spacing-nya lama. Agak membosankan di dua puluh menit terakhir menuju ending.

Film Our Boss is masterpiec. Film yang seru dan very enjoyable. Nggak Cuma action, tapi emotional. Mengambil waktu untuk masuk ke story-telling. And I love how the film moves forward-back/back-forward. Jadi saya bisa tahu apa saja yang dialami si Bos dan ikut merasakan penderitaannya. I think it's a character-driven film. Andina Kartowijoyo is impressingly good in this movie!

Airin—nuansa religius, tapi kurang kendur dan kurang mendaratkan maksudnya secara komprehensif. Agak sedikit membingungkan penonton karena pendekatan tekniknya yang kurang. Cuma mengandalkan performa para jajaran aktor. And of course, my mother performances stil gave me chills.

Buku kecil yang dibuang Rio itu, bagi Vaya, isinya tidak menarik. Awalnya, dia kira buku itu berisi biodata Rio, tempat Vaya bisa menemukan makes, mikes, idola, dan hal-hal personal yang kerap ditulis anak perempuan pada buku jurnal. Tapi, Vaya salah. Buku itu isinya kritikan film semua—sedikit coretan rumus matriks. Dan detik ini, barulah Vaya sadari, kebanyakan flm yang Rio kritik adalah film-film Andina.

Malam makin sunyi. Dedasan angin terlampau kuat, menampar Vaya dari jendela kamarnya yang terbuka. Sebelum menutup jendelanya, Vaya mengintip keluar—pembeli bakso berangsur berkurang, di langit bintang berkelip-kelip terang. Vaya merapatkan sweaternya, dan terhenyak di bangkunya.

Rio. Cowok angkuh dan dingin itu ternyata seorang yang perhatian dan hangat. Vaya bisa melihat betapa cintanya Rio pada mamanya. Betapa kerasnya Rio yang menutupi identitasnya—kalau ia anak dari Andina. Dan alasan mengapa Rio hanya bisa berdiri di depan rumah Andina. Dan sekarang, Vaya paham. Segala yang redup telah jelas.

Tentang Rio, Andina Kartowijoyo, gosip, dan rumah itu. Tempat Rio kerap berdiri dan menunggu entah apa. Dan, tak pernah mencoba untuk masuk saja agar bisa merasa lega. Dan, selagi Vaya mengoloknya penguntit, anak laki-laki itu mungkin terjebak dalam kesepian.

Bersama rahasia yang harus dia jaga, dengan jantung yang menahan-nahan.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top