16. Tentang Rio
Hari itu adalah pagi yang dingin bulan November. Pukul 06.05 WIB. Rio memarkirkan sepeda motornya, menuju kelas. Ekor matanya menangkap sosok bersweater kuning, rambut curly vintage, dan memegang sapu sedang mengendap-endap di belakangnya. Rio menghela napas dan menoleh. Vaya sudah berdiri di belakangnya dengan wajah tersipu-sipu.
Rio memandang Vaya. Dia menunggu gadis itu memulai lebih dulu.
Kenapa? Ada apa?
Biasanya juga dia bakal menyapa sambil nyengir. Dan, atas nama kesopanan, Rio akan membalasnya dengan kata 'ya' atau anggukan kecil. Lantas kenapa pagi ini dia bersikap seperti sekarang. Betul-betul tidak cocok untuk seorang gadis pecicilan seperti dia.
Rio mengangkat alisnya. Isyarat bertanya.
"Baca saat sepi!" seru Vaya sambil menjejalkan sesuatu ke tangan Rio. Lantas gadis itu berlari masuk ke kelasnya. Meninggalkan Rio yang terbengong-bengong.
Rio menatap benda di tangannya. Sepucuk surat. Bibir Rio berkedut. Dia tersenyum. Rasanya lucu saja. Di zaman super canggih seperti saat ini, mengapa masih ada saja yang out of the date seperti anak itu. Rio celangak-celinguk. Mencari Vaya yang mungkin mencuri-curi pandang di balik jendela kelasnya. Tetapi, dia tidak ada. Maka, dimasukkannya surat itu ke dalam tas dengan sembarang.
Sepanjang kelas berlangsung, Rio melupakan surat itu. Barulah setelah jam istirahat pertama, ketika Pak Samsul belum datang, Rio sadar benda itu ada. Saat itu Ardi menghampirinya. Katanya, mau meminjam buku. Karena sibuk mengerjakan catatan di papan tulis, Rio meminta Ardi mengambil sendiri di dalam ransel. Dan, keributan itu dimulai.
"WOI!!! Rio dapet surat cinta warna pink!"
Rio tersentak. Semua orang tersentak. Mereka mulai mengerumuni Rio dan Ardi.
"Hah? Mana? Mana?"
"Cieee .... Rio .... cieeee...!!!"
Rio menepis colekan dari teman-temannya. Untuk sesaat dia berusaha mendapatkan surat itu kembali. Tetapi, dia sadar. Dia tak cukup berkeras untuk mendapatkannya. Ardi sudah membawa lari surat itu ke depan kelas.
"ASTAGHFIRULLAH! DARI PAYA SI PAYAH, WOIIII!!!" Ardi memekik-mekik seperti siamang, membuat semua orang makin histeris.
"Liat dong, liat!"
"Enak aja! Biar gue!" Ardi menepis tangan teman-temannya. Lalu dia berdiri di atas kursi dan mulai membacanya sambil meniru video clip Surat Kecil Untuk Starla. Tetapi, bagi siapa pun yang mendengar, Ardi lebih mirip mbak-mbak lebay yang sedang kasmaran.
Untuk Ario-
Seperti pertunjukan musik, bumi ini adalah konser, tempat kau lantunkan bait-bait yang kerap lindap di jala matamu.
Dan aku hanya pemirsa yang menambah gegap gempita. Antara ya, mungkin, dan tidak, mimpi indah ini kucoba susun sendiri.
Benar aku ini pemuja; Menghitung detak sebelum kau tiba. Mungkin aku pejalan; yang terhenti dan kau abaikan. Tapi, di panggung sepi itu kau berdiri, berapa lama kau sanggup sendiri?
Dengan harapan yang sama, Krasivaya
P.S. meet me after school today
Sorak sorai membahana. Hinaan dan olokan mengudara. Ardi terus memekik, semakin mirip dengan siamang. Aji, yang saat itu ikut mendengar, mencoba merebut surat Vaya tetapi selalu gagal karena dia hanyalah seekor ikan yang ingin melawan arus deras. Adel dan teman-temannya bergidik ngeri setelah membaca surat itu sendiri. Akhirnya, di sudut itu, Rio menggaruk pelipisnya. Dia tak dapat berbuat banyak. Tetapi, dia juga kaget dengan isinya.
Surat itu dibaca semua orang bahkan sebelum dia membacanya.
**
Rio tiba di rumah. Dia memandang sepatu berhak tinggi di ambang pintu depan. Dan dia sadar betapa tingginya sepatu itu. Hanya ada dua kemungkinan. Pertama, ada seorang tamu wanita yang datang. Kedua, Ratih baru saja membeli sepatu baru. Rio mengedikkan bahu. Dia lebih memilih masuk ke pintu L daripada pintu ruang tamu.
"....nggak punya hati! Kamu pikir Rio akan setuju?"
Mendengar namanya disebut, Rio menghentikan langkahnya menuju tangga. Cowok itu berjalan pelan ke arah ruang tamu, tempat suara ribut-ribut itu berasal. Di antara dinding-dinding rumahnya, Rio menemukan Ratih yang sudah menguping pembicaraan itu. Rio mencolek kakak sepupunya itu, lalu ikut bergabung. Ratih menatap Rio cemas.
"Rio anak aku. Aku akui itu. gimana pun dia anak aku. Aku cuma minta satu hal ini aja-"
"Kenapa dengan Saya?"
Semua orang menoleh ke arah yang sama. Rio. Pemuda itu sudah berada di ruang yang sama dengan mereka. Berdiri mematung, menatap heran ke arah ibu kandungnya. Andina.
Lekas Andina mendekat dan memeluk Rio dengan kasih sayang. Wanita itu mengecup kening Rio dan mengusap-usap rambut putranya. Sebuah perkataan apa kabar, sayang yang sudah cukup terwakili dari tingkah itu. Rio menatap Andina sendu. Terakhir, Andina mengunjunginya saat dia kelas dua SMP. Sudah bertahun-tahun yang lalu. Dan, pertemuan-pertemuan selanjutnya hanya diwakili oleh transferan uang.
"Rio, apa kabar?"
Rio tersenyum tawar. "Baik, Ma."
"Mama bawain sesautu buat kamu." Andina menyodorkan sebuah kotak kado. Dia memberi isyarat agar Rio membukanya.
Setengah hati, Rio membuka. Namun, dia terkejut dengan apa yang ada di dalam kotak itu. Sebuah kamera.
"Kamu suka kan, Yo? Mama suka cek IG kamu, foto-fotonya bagus semua. Kamu punya jiwa artistik. Makanya Mama beliin ini. Biar kamu makin semangat foto-fotonya."
Rio menatap kamera itu. Lalu menatap mamanya dan tanpa sadar, ujung bibirnya tertarik ke atas. Dia tersenyum lebih lebar. Dia terharu. Bagaimanapun, dia berusaha menutupi kemarahannya pada perempuan di depannya ini, Rio tetap tak bisa menyembunyikan kerinduan dan rasa sayangnya. Dia tidak akan bisa lama-lama marah. Dia benar-benar seperti anak kecil yang baru saja diberi lolipop.
"Kamu sudah makan?"
Rio menggeleng.
"Kamu makan dulu ya, habis itu mama mau ngobrol sama kamu. Terus kamu bisa coba kameranya."
Rio menurut saja. Dia bangkit dari tempat duduk lalu naik ke lantai dua. Ratih mengejarnya. Dan dua sepupu itu saling bercanda. Andina tersenyum. Dia menyesap teh yang baru saja disuguhkan dan melirik ke arah Abimanyu. Kakak kandungnya itu tak bisa berkutik sama sekali saat dia dan anaknya saling bercengkerama tadi. Bagaimanapun, hubungan ibu dan anak itu selalu punya sesuatu yang misteri.
Langkah tergesa terdengar dari tangga. Rio sudah berganti baju. Dia belum makan siang. Dia tidak peduli. Baginya, kehadiran mamanya melebihi apa pun juga di dunia ini.
"Ma-" bibir Rio terkatup. Dia ingin bicara banyak hal. Dia ingin memuntahkan semua hal. Tetapi sulit baginya untuk bicara. Dia terus memandang Andina dengan perasaan rindu yang buncah.
"Rio, kamu sudah makan?"
Rio menggeleng.
"Oke ... Mama mau ngomong hal penting sama kamu."
"Ngomong aja, Ma." Rio mengangguk.
"Rio, Mama tau kalau orang-orang di acara-acara TV pasti udah melacak kamu."
"Iya."
"Mereka juga mulai mengundang kamu untuk talkshow eksklusif dan semacamnya."
Rio tampak berpikir. "Ada sih, banyak. Tapi Rio nggak peduli."
"Nah," Andina mengangguk. "Rio, cepat atau lambat, kemungkinan, wartawan akan mencari kamu. Mereka akan melakukan banyak hal biar ketemu sama kamu." Andina berhenti bicara. Dia melirik ke Abimanyu yang sudah membuang muka. "Mereka akan nanya apakah benar, kamu itu anak mama?"
"Terus?" Rio mengangguk. Jantungnya berdetak kencang.
"Mama minta ..." Andina menarik napas. Dia menatap intens Rio. Lalu melanjutkan, "Mama minta kamu bilang ke mereka kalau kamu bukan anak Mama. Kamu bilang kalau gosip-gosip yang viral di sosial media itu cuma gosip yang nggak bisa dipertanggungawabkan."
Rio diam. Hatinya mencelos.
"Mama udah bicarain hal ini ke Om kamu. Dia menyerahkan keputusan ke kamu." Andini bicara lagi, mencoba meyakinkan.
Rio memalingkan wajahnya ke Abimanyu. Pria itu hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Rio mengepalkan dua telapak tangannya.
"Rio, kamu tahu, kan? Film mama bakal tayang tahun ini. Suami Mama baru aja memulai semuanya. Kemungkinan ini akan ngaruh ke elektabilitas juga," ungkap Andina perlahan-lahan. "Mama akan tetap jadi mama kamu, kok. Iya, mama kan memang mama kamu. Cuma, satu ini aja. Kita bukan apa-apa kalau di depan orang banyak. Kamu bisa, kan?"
Rio menatap mamanya tak percaya. Tadinya, dia begitu kecewa kenapa Mama baru mengunjunginya sekarang setelah bertahun-tahun tak pernah lagi? Tetapi Rio luluh. Dia terharu karena Mama memberikannya kamera. Bukan. Sebenarnya bukan karena kamera itu. Rio hanya tak bisa mempercayai telinganya saat mendengar kalau Mamanya ternyata memerhatikannya dari jauh.
Mama tahu dia suka fotografi.
Mama mengecek postingan instagramnya.
Mama juga pasti membaca caption di setiap foto-fotonya.
Harusnya sih, begitu.
Rio tersenyum kecil. Dia sudah kelas tiga SMA. Sejak SD selalu mendapatkan nilai terbaik di sekolah. Semua guru memujinya cerdas. Tidak semua pelajaran, memang. Rio agak kesulitan di pelajaran bakat dan seni. Dia lebih suka menghapal dan teori. Tetapi tetap saja, Rio bisa mengendalikan nila-nilainya. Lalu kenapa dia dungu sekali untuk hal ini? Kenapa dia tidak pernah paham kalau Mama tidak pernah benar-benar memahaminya?
"Rio?"
Rio tergugu. Andina mengusap bahunya. Tetapi Rio tahu kalau perempuan itu sedang menunggu kepastian.
Rio menundukkan kepala. Dia memainkan kaki meja dengan jari-jari kakinya. Keadaan itu berlangsung seperti itu terus. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk bicara.
"Aku akan bilang ke mereka kalau aku anak mama."
Hening.
Namun, detik berikutnya, Andina sudah duduk tegap. "Kamu bercanda?"
Rio menggeleng.
Andina mendengkus. Dia berhenti mengusap bahu anaknya. Dan mulai menunjukkan watak aslinya.
"Iya, Ma. Aku akan bilang kalau aku anak Mama. Biar semua orang tahu kalau Mama punya anak haram kayak aku."
PLAK!
Rio mengusap pipinya yang memerah. Matanya terasa panas. Tidak percaya kalau perempuan yang paling dia cintai tega melayangkan tamparan padanya. Rio menelan ludah. Diberanikannya melihat ke arah Mama.
"Berani-beraninya kamu-"
Abimanyu menarik Andina menjauh dari Rio.
"Berani-beraninya kamu melawan perintah Mama!"
"Aku nggak melawan, Ma... aku cuma mau semua orang tahu aku anak mama."
"DIAM KAMU!!! AKU MERAWAT KAMU SAJA HARUSNYA KAMU BERSYUKUR! HARUSNYA KAMU TERIMAKASIH! HARUSNYA KAMU NGGAK LAHIR! HARUSNYA KAMU NGGAK ADA!!!"
"ANDINA!!!" Abimanyu memelotot. Tangan kekarnya sudah mengunci gerak adiknya itu.
Andina memelotot. Dadanya naik turun. Tetapi dia tak bisa lagi berkutik. Diam seribu bahasa. Tetapi sudah kepalang basah. Dia sudah mengucapkan kata-kata itu. setelah sekian lama ia tahan, hari ini Andina sudah mengatakan hal itu.
Bertahun-tahun yang lalu memang ada. Seorang pemuda yang berhasil mencuri hati Andina. Pemuda yang berjanji sehidup semati. Tetapi mereka terlampau jatuh cinta, sampai mereka melakukan hubungan yang dilaknat Tuhan itu. Andina hamil, dan pemuda itu pergi seolah dia hanya seperti kendaraan yang lewat saja.
Andina menelan ludah. Dalam pandangannya yang buram, dia menemukan sosok ringkih itu berdiri mematung. Dia mendengar ucapan itu. Dia memahami semuanya. Tentu saja. Anak itu sudah besar. Dia bukan lagi anak kecil yang dia tinggalkan di rumah ini. Dia bukan lagi anak yang bisa dibodohi dengan janji-janji. Dia sudah paham semuanya.
"Rio-"
Rio tersadar dari lubang hitam yang baru saja menelannya, dan dia berlari pergi. Dia abaikan panggilan Omnya dan mamanya. Rio terbatuk. Lehernya sakit karena menahan tangis. Dengan cepat dia menuju garasi dan menyalakan sepeda motornya.
Dalam kecepatan tinggi. Rio membelah jalan kota Jakarta.
Dia ingin sendiri.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top