14. Teman Spesial

Situasinya bisa ditebak. Bu Siti adalah guru BK paling detail sebenua asia. Karena itu, setelah bibir penuh-pink Adel menyebut nama Mia. Bu Siti pun meminta seseorang membawa Mia ke depan matanya. Sementara menunggu Mia, mereka menahan Vaya yang berusaha menelepon Ojak si Anak bubble gum untuk sekali lagi mengobrak-abrik rambut Adel pakai permen karet.

Begitu Mia sampai, diskusi di ruang BK itu berlanjut tegang lalu terkaget-kaget. Ada tiga hal yang membuat mereka semua-kecuali Adel-syok luar biasa. Pertama, Mia ternyata punya instagram. Gadis itu adalah pemilik akun @ahighschools (akronim dari Another High School Story) yang followersnya sudah mencapai angka 10,5k. Kedua, Mia lah yang merekam kejadian Vaya dan Rio. Dengan tertunduk-tunduk Mia beralasan ingin mengabadikan saat-saat penting temannya. Sekaligus sebagai bahan postingan di instagramnya. Sayangnya, Vaya ditolak Rio. Dan, Mia memutuskan tidak memublikasikannya. Ketiga, yang paling mengejutkan Vaya-Kenyataan bahwa Mia berteman baik dengan Adel.

"Vaya! Gimana? Gimana? Lo nggak dihukum, kan?" Sasa menyergap Vaya begitu melihat gadis itu masuk kelas.

"Skorsing."

"Hah?! Kok gitu, sih?! Lo cuma berantem, Vaya! Bukan ngerokok atau ngedrugs dan semacamnya!"

"Katanya gue salah karena udah adu domba Adel dan Bela, dan rekam mereka berantem, terus jadi melibatkan orang-orang luar." ucap Vaya sambil membereskan alat-alat tulisnya. "Adel juga diskors kok. Dan dia lagi dibully di sosmed sekarang,"

Sasa mengangguk antusias. "Dia emang pantes!"

"Lo dipanggil Bu Siti. Video Adel itu, lo kan juga ikut terlibat."

Sasa mengedikkan bahu. "Nggak masalah. Oke, gue ngadep, deh."

Mendengar itu, Vaya berhenti melakukan aktivitas merapikan alat tulis. Cewek itu menatap Sasa dengan ekspresi yang sakit. "Bukan lo, kan?"

"Hah, apanya?"

"Mia bilang bukan dia yang atur jadwal biar Adel dan Bella ketemu. Jadi, bukan lo, kan?"

Sasa mengernyit lebih dalam. Dia sedang mencoba menyambung potongan-potongan kalimat Vaya dengan ingatan-ingatan di kepalanya. Setelah agak lama, bahkan Vaya sudah selesai membereskan peralatannya, barulah Sasa paham maksudnya.

"Nggak tahu, Vay. Bukan gue."

Vaya menelan ludah. Cepat-cepat dia menggendong ranselnya dan berjalan keluar kelas. "Gue tau."

"Eh? Siapa?" Sasa mengekor.

"Gue nggak tau, Sa. Beneran."

Sasa menarik tangan Vaya. "Vay, lo ngomong apa, sih? Sini sharing sama gue."

"Sasa, tolong!" bentak Vaya sambil menepis tangan Sasa. Entah kenapa dia merasa sakit luar biasa sejak mendengar kenyataan tentang Mia. "Rasanya, kayaknya, salah atau benernya elo ... rasanya tetep aja, nggak ada siapa pun yang bisa gue percaya."

Sasa semakin tak paham. "Lo kenapa sih, Vay? Lo kesel karna cuma lo yang dihukum Bu Siti? Oke, lo diskors berapa hari? Gue mau libur juga."

"Lo tau Mia punya IG?"

Sasa melebarkan mata. Bersamaan dengan itu, Mia masuk kelas dengan tergesa-gesa. Ketiganya kini saling bertukar pandang. Dan, menunggu salah satu menjawab. Vaya merapatkan bibirnya, memandangi dua temannya itu bergantian dengan mata tajam. Wajahnya menampilkan gabungan ekspresi kecewa, kesal, sedih, dan apa pun yang ditunjukkan seseorang yang habis kena tipu undian odong-odong. Tapi, Vaya diam dan menunduk, lalu menghela napas. Tanpa Sasa menjawab pun, Vaya sudah paham.

Dia sudah dibodohi.

Vaya mendongakkan kepala, dan keluar kelas. Di ambang pintu, nyaris saja dia menabrak Aji-yang sejak tadi menunggunya. Tapi, ini bukan waktu yang tepat untuk mendengarkan ocehan Aji soal kuda troya dan kawan-kawannya. Jadi, dengan gusar, Vaya berteriak. "Diem dan minggir." lalu berlari pergi, mengabaikan panggilan-panggilan Sasa.

Kalau ini film Mean Girls, Vaya rasa, dia akan menuliskan kata 'Omong kosong semua ini dasar semua orang karbitan pengkhianat!!' di Burn Book yang warnanya mirip bibir penuh-pink-merekah milik Adel itu. Entah kenapa, keadaan telah membuat Vaya jadi seperti orang paling jahat di antara semua yang jahat. Bahkan, beberapa detik setelah keluar dari ruang BK, instagram Vaya kembali diserang para penggemar fanatik Adel.

"Dasar manipulatif!" desis Vaya, sambil terus berjalan di koridor. Vaya mempercepat langkahnya. Dia sudah tidak tahan lagi. Kantung mata gadis itu sudah setipis kulit ari. Disentil sedikit saja sudah pastilah pecah. Ketika tiba di koridor yang cukup sepi. Vaya menyandarkan diri ke dinding dan menenggelamkan wajahnya di antara dua telapak tangan.

Dia menangis sesegukan.

"Kenapa lo, Mia? Kenapa lo yang rekam gue?" tanya Vaya, saat Bu Siti selesai menginterogasi mereka beberapa jam lalu.

"Vay, gue minta maaf. Waktu itu gue memang lagi butuh... gue butuh hal yang menarik-"

"Hal menarik?! Menarik lo bilang?!"

"Ta-tapi, gue beneran nggak ada niat buat posting itu, Vay. Gue nggak jadi."

"Iya! Lo emang nggak jadi posting. Tapi, lo kasih ke sahabat lo yang paling cantik itu, kan? Sejak kapan lo jadi tim Adel? Sejak kapan lo jadi pengkhianat?!"

"Gue temenan sama Adel lebih dulu, jauh sebelum sama lo, Vaya."

Vaya tercekat.

Lalu, Mia melanjutkan. "Alasannya simpel. Adel spesial, gue udah ngabisin masa-masa terbaik dan terberat gue bareng Adel. Pas mama papa berantem, cuma Adel yang ada di sisi gue. Dia yang jemput gue ke rumah, dan bawa gue ke rumahnya. Dia yang mayungin gue pas gue kejebak hujan tempo hari. Dia yang buatin gue bubur pas gue demam tempo hari. Dia spesial."

"Terus, gu-gue? Sasa?"

"Kita cuma teman sekelas, Vay. Lo baik, tapi Adel spesial."

Vaya mengusap air matanya. Dan memukul-mukul kepalanya. Dia kesal mengapa bisa-bisanya dia menangis di tempat umum seperti sekarang ini. Tapi, mendadak tangis Vaya terhenti. Ada Rio di depannya.

Jantung Vaya bergetar dan Vaya frustrasi karenanya. Dia merasa jadi perempuan paling dungu sedunia karena jatuh cinta pada cowok dingin tak berperasaan seperti Rio. Vaya menggeleng. Dia pun menunduk, dan melanjutkan langkah, melewati Rio.

"Sori."

Vaya berhenti. Dia kaget luar biasa. Seorang Rio yang terhormat mau berkata Sori kepada rakyat jelata seperti Vaya.

"Lo ngomong sama gue?" tanya Vaya sambil melihat kanan-kiri.

Rio menghela napas. "Saya cuma mau jadi orang jujur. Kalo A saya bilang A. Kalo B ya B. Kenyataannya kamu emang ngerekam mereka."

Vaya mendengkus dan tersenyum masam. "Jadi orang jujur? Termasuk jujur ke temen-temen lo kalo ada cewek yang kasih surat cinta ke lo. Gitu?"

Bibir Rio berkedut.

"Itu bukan jujur namanya. Itu naif. Dalam kamus artinya bodoh."

"Saya nggak minta pendapat soal prinsip saya. Tapi, saya ke sini mau kasih saran."

Vaya mengernyitkan dahi.

"Kamu diundang talkshow acara Viral kan?"

Meski heran kenapa Rio bisa tahu, perasaan marah Vaya lebih besar. "Di saat begini, lo nanya ITU?"

"Jangan dateng."

Mata Vaya membola. Dia geleng-geleng kepala. "Gue nggak pernah ngobrol sama lo. Sejauh ini, selama ini gue cuma bisa sapa lo dan-lo tau sendiri lah ya. Tapi, gue baru tahu kalo lo aslinya gini. Anyway, thanks for your fool answer. All of your fool answers for every-hello I ever said to you." Dia mengangkat bahu.

Lalu, memelesat keluar gerbang sebelum Rio mencoba bicara lagi.

***

Malam ini, Jakarta diguyur hujan. Meninggalkan petrikor di sepanjang dataran kota padat itu. Kata Vaya, kalau mau melihat Jakarta yang sesungguhnya-setidaknya sebagian kecil-kita hanya harus keluar rumah saat hujan baru saja reda. Soalnya, di saat-saat seperti itu, udara kota Jakarta akan sangat bersih. Suara teriakan akan terdengar lebih jelas dan kau bebas memekik sebelum klakson kendaraan menenggelamkanmu lagi. Kecuali jika kau terkena banjir. Itu tidak akan berlaku lagi.

Mia membuka jendela kamarnya yang berada di lantai dua. Gadis itu menghirup udara dalam-dalam. Dia ingin membuktikan omongan Vaya.

"Minta nomor whatsApp lo dong," pinta Vaya tempo hari. Itu adalah kalimat pertama yang Vaya ucapkan untuk Mia. Hari itu adalah hari pembagian kelas setelah semester genap berakhir. Mia berjalan tertunduk-tunduk ke kelas barunya. Dia memilih bangku paling pinggir dan duduk seorang diri. Dalam hati dia merasa sedih karena tidak bisa satu kelas dengan Adel.

Saat itulah, seorang cewek berambut pendek gaya curly vintage masuk ke kelas sambil tergopoh-gopoh. Gadis itu begitu lincah. Matanya bulat dan rambutnya akan bergerak mengikuti gerakan tubuhnya. Dengan spontan, dia berteriak-teriak pada Ojak kalau bangku yang Ojak duduki itu miliknya.

"Gue sudah kasih tanda kepemilikan di sini! Jadi, ini milik gue!"

Ojak mencibir. Sambil tetap mengunyah permen karet, dia berkata, "Apaan, sih? Lo pikir ini tanah ada tanda kepemilikannya?"

"Tadi udah gue taruh botol minum gue di sini! Pokoknya ini kursi milik gue! Orang gue tinggal ke WC doang kok. Pergi lo!"

Tak mau kalah, Ojak menarik mejanya. Dia menyeringai. Lalu mengeluarkan permen karet dari mulutnya, menjilat-jilati permen itu, lalu menempelkan benda itu ke meja yang mereka rebutkan. "Kalo gitu, ini tanda kepemilikan gue!"

Vaya menjatuhkan rahangnya karena kaget. Mia juga tak kalah kaget. Mia pikir, Vaya akan menyerah dan mencari tempat lain. Tetapi, detik berikutnya Mia tercengang. Karena Vaya malah menggebuki Ojak pakai tas, lalu menyeret meja yang sudah ternoda permen karet itu ke tempat lain, lalu mengambil meja lain sebagai gantinya. Hanya meja yang berubah. Bukan posisi.

Karena sudah dipandangi siswa-siswa lain dan tidak mau dikira tidak gentle karena bertengkar dengan anak perempuan, Ojak akhirnya mengalah. Meninggalkan Vaya yang sudah joget-joget kemenangan.

Mia tertawa. Dan, detik itu Vaya menoleh. Mia pikir Vaya akan tersinggung. Tetapi, gadis itu malah datang mendekati Mia dan menyodorkan ponselnya.

"Minta nomor whatsApp lo dong,"

Mia mengerjap. "Eh?"

"Lo kelas ini, kan?"

"I-iya."

Vaya nyengir. "Ya udah. Bagi nomor lo."

Mia menurut. Gadis itu memberi nomor kontaknya kepada orang yang bahkan belum memperkenalkan diri. Mungkin memang begitulah Vaya. Dia selalu datang tanpa harus mengenalkan dirinya. Segala gerak-geriknya membuat orang lain ingin mencari tahu dia lebih dulu. Bukan karena dia memesona seperti Adel. Dia hanya begitu mencolok dengan segala ekspresi yang tak pernah dia sembunyikan. Terlebih sweater birunya yang selalu dia pakai itu, dia selalu membuat dirinya bisa terlihat di antara kerumunan manusia di dunia ini.

Mia tersentak. Dia terjaga dari lamunannya.

Sebuah suara tawa terdengar dari arah pagar rumah sebelah. Dari atas balkon, Mia memicingkan matanya. Samar-samar, jauh di bawah sana, Adel baru saja pulang. Gadis itu terlihat melambai riang ke arah mobil yang baru saja mengantarnya pulang.

Mia menggigit bibirnya. Dia juga ingin berada di dalam mobil itu dan ikut mengantar Adel pulang. Lalu saling berjanji akan bertemu dan bermain lagi. Entah sejak kapan, jarak antara dirinya dan Adel semakin lebar. Adel mulai menemukan teman yang lebih seru. Sementara, Mia terjebak dalam imajinasi persahabatan-sampai-mati seorang diri.

"A-Adel!" Mia memanggil.

Menghentikan langkahnya, Adel mendongak. Dilihatnya tetangga sekaligus temannya itu sudah melambai-lambai.

"Hei!" balas Adel, agak canggung. "Sori ya."

"Buat?"

"Akhirnya gue kepaksa nyebut nama lo di ruang BK tadi. Lo nggak marah kan?"

Mia mengulum bibirnya. "Nggak papa. Mungkin udah saatnya Vaya tahu."

"Oh." Adel mengangguk.

"Adel," Mia memijiti jari-jarinya. "Gue boleh nginep di rumah lo lagi?"

"Om sama Tante berantem lagi?" Adel melirik ke jendela rumah Mia. Takut kalau ada yang mendengarkan.

"Nggak sih. Tapi, boleh nggak?"

"OK. Tapi jangan malam ini ya, soalnya Liska sama Yesa mau dateng."

"Oh, OK."

Kemudian, tanpa ada obrolan apa pun lagi, Adel pun memasuki rumah.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top