Winter

"Ugetsu, aku buatkan cokelat panas, ya."

Radio berbunyi, menyiarkan saluran berita musik. Sosok pria berambut hitam masih berada di atas kasur, menanggapi tawaran dari gadis berambut putih dengan sebuah gumaman tak jelas.

"Ugetsu masih berada di atas kasur, tak menjawab tawaran Yaiza sang kekasih karena terlalu lelah setelah penampilannya di Tokyo sore tadi." Suara air dituang terdengar, diiringi pula dengan sendok yang berputar dan bergesekan dengan dinding gelas. Gadis albino itu bermonolog sembari membuatkan secangkir cokelat panas untuk Ugetsu.

Samar, Ugetsu terkekeh kecil. Teringat ia selalu melakukan narasi tunggal ketika dulu masih tinggal bersama Akihiko. Ah, dulu ...

Mug kecil dengan warna putih itu ditaruh Yaiza di atas meja pendek yang ukurannya tak jauh beda dengan kasur Ugetsu di sampingnya; berjarak hanya kurang dari beberapa sentimeter.

Aroma cokelat panas mulai tercium, membuat kelopak mata Ugetsu perlahan terbuka. Entah kenapa, ia justru jadi rindu dengan wangi kopi yang pahit---buatan Akihiko.

"Sore tadi, pemain biola berbakat, Ugetsu Murata, hadir di Tokyo untuk memperlihatkan talentanya dalam acara Tokyo Musician Awards 2019."

Suara radio menyelimuti keheningan diantara mereka. Sementara Ugetsu sendiri, masih terbawa dengan pikirannya yang melayang ke masa lalu, membuatnya seakan tak menyadari keberadaan Yaiza di dekatnya.

"Kau tahu? Kira-kira dibutuhkan sekitar 15 bulan dan 27 hari untuk melupakan seseorang yang benar-benar kau cintai." Yaiza meluncurkan sebuah pernyataan, memecah hening yang semakin lama membuatnya tak nyaman.

Sang violinist kini kembali tersadar dalam dunia nyata, Ugetsu seketika melirik ke arah Yaiza. Sejenak, ia memandangi punggung gadis itu dari belakang, lantas mengundang senyuman tipis di bibirnya. Ugetsu merubah posisi, kini kepalanya ditopang oleh tangan pria itu.

"Kau ini seperti seorang psikolog yang sudah mengalami patah hati saja dan kemudian menganalisanya." Sahut Ugetsu setengah bercanda, terdengar 20% mengejek dan sisanya hambar di telinga Yaiza.

"Kau bahkan pernah sampai memecahkan mug milik Akihiko-san dulu." Yaiza berkata, memanas-manasi si pemain biola berzodiak gemini itu.

Senyum di bibir Ugetsu luntur, cahaya di matanya redup. "Lalu kenapa dengan itu? Sudah berlalu, 'kan?"

Yaiza menghela napas pelan, pantaskah kini ia disebut sebagai kekasih dari seorang Ugetsu Murata? Pria itu sendiri bahkan terkadang masih mengingat Akihiko---sang mantan kekasih (lelaki)---di saat tertentu. Tapi untuk melepaskan, Yaiza yakin Ugetsu telah melakukannya.

Yah, hanya saja ... Ugetsu memang merasa begitu

Sometimes you could erase the person in your life ... But, erase the memories? That's a different thing.

Yaiza mengingat kalimat dalam satu buku favoritnya. Memang, sepertinya melupakan seseorang memang cukup sulit dilakukan. Apalagi, bila seseorang itu adalah ia yang membuat memori paling bahagia; pada akhirnya juga ialah yang mengakhiri memori itu.

"Ugetsu,"

Panggilan mengudara, manik gelap itu mengawasi dari belakang pada tiap pergerakan kecil sang gadis monokrom. Ada apa dengan nada bicara yang rendah itu?

Iris mata Ugetsu memicing, bersiap atas respon Yaiza bila sang kekasih ingin melanjutkan----

"Kita putus saja, ya?"

...

Hah?

'Karena kalau aku bertemu denganmu. Kau pasti ingin mengatakan untuk mengakhiri hubungan ini, 'kan...?'

Seketika saja memori itu merengsek masuk, mengobrak-abrik setiap sudut pikiran dan hati sang violinist. Tidak, tidak, bukankah ia telah menghapus memori itu? Kenapa justru kembali lagi di saat-saat seperti ini?

"Aku ... Hanya pelampiasanmu saja bukan?"

Apa?

Gelap, pikiran Ugetsu seketika redup begitu saja saat mendengar kalimat menusuk itu. Memangnya apa yang Yaiza ketahui soal pelampiasan? Apa yang ia ketahui tentang 'tempat untuk pelarian'? Apa yang ia ketahui tentang semua itu sampai mengatakan kalimat tersebut.

"Ugetsu?"

Tidak, ia tidak ingin mendengar namanya dipanggil lagi ...

"Ugetsu...?"

Tidak, tidak, tidak ...

"Ugetsu!"

Tubuh tersentak, tahu-tahu beberapa sentimeter di hadapannya telah hadir sepasang iris mata dengan warna yang hampir serupa dengan miliknya. Perlahan, pupil mata Ugetsu bergerak; mencaritahu situasi apa yang sedang terjadi sekarang.

Eh? Memangnya apa?

"Hmn?" Pria itu tersadar, Yaiza berada pada jarak kelewat dekat dengannya; kedua hidung bersentuhan.

Hell---

Kurva tipis terukir di bibir Ugetsu, menepikan sejenak perasaannya; justru ekspresi manipulatif itu yang ditunjukan.

"Kau mau putus?" Si manik kusam mengulangi, ada sedikit sensasi perih ketika mengucap tanya itu, kenapa?

Pria dengan kaos berlengan panjang itu kini berbalik; merubah posisi untuk memunggungi sang kekasih; di sisi lain juga menghindari debaran atau goresan aneh yang terasa dalam jantungnya.

"Yasudah, putus saja." Itu suara Ugetsu, tampak terdengar hambar, "memang benar. Tidak ada yang perlu dipertahankan dari cinta dengan perjuangan tunggal seorang pihak saja."

Dialog itu meluncur bebas, Ugetsu seakan bercermin ketika ia mengatakan kalimat tersebut. Tidak ada yang salah, ia memang selalu berkata sejujur itu bukan?

Apa yang harus diperjuangkan dari cinta salah satu pihak saja?

Pria pemain biola itu tidak menyangkalnya, ia tahu betul yang semacam itu sangatlah naif. Gadis albino di dekatnya ini pun sudah mengetahui maksud buruk alasan menjadikannya sebagai kekasih. Apa lagi yang perlu Ugetsu pertahankan?

Atau ... Apa lagi yang harus Yaiza pertahankan? Dari seseorang yang telah menjadikannya sebagai pelarian ...?

Kelopak mata pria itu hampir terpejam, namun ia merasakan gerakan sesuatu menaiki kasur; membuatnya tak nyaman. Dan ketika membuka mata, helaian rambut putih berada di dadanya.

Yaiza?

"... Bukankah tadi kau bilang ingin putus?" Suara Ugetsu nyaris serak, tidak siap dengan afeksi Yaiza yang tiba-tiba mengusal di dadanya.

Gadis itu diam, merespon dengan hening sebagai jawaban. Beberapa menit berlalu tanpa kata, membuat pemuda mantan gay itu menghela napas.

"Ya----"

"Aku menyayangimu."

"..."

"Ayo pertahankan hubungan ini."

Salju turun dengan anggun di luar sana, dingin dengan kehangatan senyum dari para pejalan kaki yang lewat di antara suhu minus. Sementara di dalam kediaman Murata, Ugetsu masih tidak mempercayai apa yang sebenarnya diinginkan Gadis Vanilla.

Dia ini bodoh atau apa?

Helaan napas terdengar, pria itu tidak mengerti. Untuk sekarang dan selanjutnya, hubungan tanpa kejelasan perasaan itu akan kembali berlanjut dengan intensitas yang lebih lama.

[❄️Winter : "Saat keadaan begitu dingin di luar. Aku merasa hangat hanya dengan pelukanmu."]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top