Musim dingin yang indah.
Sudah saatnya kita berpisah.
.

.
.
.

"Sudah kuduga kau akan ada di sini, setidaknya beri tahu aku dimana lokasimu sebelum tiba-tiba menyuruhku untuk mendatangimu."

Luna mengalihkan perhatiannya dari sungai yang membeku ke lelaki berambut pirang di sampingnya. "Tidak perlu juga, bukan?" ucap sang perempuan berambut biru muda itu, lalu kembali melihat ke pemandang tadi. Sesekali mereka menghembuskan napas secara bersamaan, tak ada dari mereka yang bisa memecahkan keheningan di antara mereka. Semuanya terasa begitu canggung.

"Apa kau serius? Kau akan pergi?" tanya Takumi sambil menggosok-gosok tangannya guna menghalau dinginnya hawa, kini ia merutuki kebodohannya yang tidak mau menggunakan sarung tangan.

Luna menatap Takumi sejenak dan menjawab dengan nada datar. "Hm, begitulah, besok aku sudah berangkat."

"Begitu ... hati-hati di tempat yang kau datangi. Jaga kesehatanmu, dan jangan lakukan hal yang tidak-tidak di mana pun kau berada nanti."

"Sejak kapan kau jadi ibuku, Takumi?" Mendengar jawaban Luna membuat senyum di wajah Takumi sedikit mengembang, walaupun nada bicara sang perempuan seperti tidak niat untuk membalas perkatannya. Situasi kembali hening. Kedua orang itu sama-sama menatap sungai yang membeku itu dengan seksama, seakan lupa bahwa adanya orang di dekat mereka.

"Musim dan hawa udara ini cocok sekali dengan kau."

"How come?"

"Dingin, kadang tak memberi toleransi pada orang, dan sadis. Maafkan aku ...." Takumi menarik napas panjang, kemudian menatap Luna dengan tatapan sendu. "Apakah masih sakit?" lanjutnya.

Luna membalas tatapan Takumi, netra biru tua miliknya meneliti setiap detail dari tampang pria itu. Perempuan itu menjawab dengan nada datar khas-nya. "Kenapa kau minta maaf? Kau tidak merubahku, aku hanya membuka topengku. Aku yang minta maaf karna selama ini sudah menyembunyikan diriku yang sebenarnya."

"Tidak, sudah tidak sakit lagi. Setidaknya kau sudah jujur atas apa yang kau rasakan."

"Maaf ...." ucap Takumi sekali lagi sambil menundukkan kepalanya. Luna hanya menggeleng, ini tidak seperti Takumi yang ia kenal selama ini.

"Sudahlah. Bagaimana Megumi dan anakmu?" tanya sang perempuan—mencoba untuk menghancurkan keheningan yang ada di antara mereka
"Ah, mereka baik. Walau kadang Megumi sering meminta hal yang aneh-aneh selama kehamilannya."

Luna tersenyum kecil mendengar jawaban lelaki itu. Sepertinya si sulung Aldini sudah menemukan sumber kebahagiannya. "Senang mendengarnya. Sepertinya aku harus segera pulang. Ini, aku tahu kau sering melakukan hal yang agak bodoh, tapi tolong jangan tidak memakai jaket di cuaca seperti ini." Luna melemparkan jaket yang dikenakannya sedari tadi, kemudian berjalan ke arah lain.

Ia tak ingin lagi mendengarnya. Ia tak ingin terus-menerus tersakiti mendengar betapa bahagianya Takumi dengan istri tercintanya.

"Kau sendiri?" ucap Takumi sebelum perempuan itu berjalan lebih jauh. Luna menatap mantannya itu dengan tatapan nanar dan sendu. Si pucuk pirang bisa merasakan luka dari tatapan matanya itu, ia ingin menahan perempuan itu. Tapi ... dia sudah—dia tidak pernah punya hak untuk mengekang perempuan itu "Bisa kupikirkan nanti. Doakan aku masih hidup untuk melihat anakmu nanti."

Dengan itu, punggung tegap Kurogane Luna hilang dibalik gelapnya malam. Takumi mengusap air matanya yang tiba-tiba menetes, dipeluknya dengan erat jaket berwarna hitam itu. Kata maaf tak henti diucapkan, tapi apa yang bisa dilakukannya? Takumi hanya bisa menyesal di pelukan hawa dingin hari itu.

Perempuan itu kembali 2 musim dingin kemudian, dan kedatangnya disertai sebuah undangan yang ditujukan untuk keluarga Aldini untuk datang ke pernikahan sang perempuan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top