ENAM

Tidak semua ingin memiliki yang sama, dan semuanya tidak ia miliki.

|•|


Inginnya wanita, pasti dimengerti. Tapi itu sudah biasa. Bagaimana jika dibalik? Pria yang harus lebih dimengerti. Dan wanita harus selalu mengerti... how's that?

Inginnya Lona, memiliki dan dimengerti untuk sama dimiliki. Tapi semua itu tidak ada. Mungkin hati Awan memang ia miliki, begitu juga sebaliknya. Tapi status keduanya tak urung jelas hingga kini. Bahkan saat beberapa malam lalu Lona menangis di hadapan Awan, ikatan itu juga belum ada basa basinya disiarkan oleh Awan.

Lona mengerti. Sangat mengerti, justru. Jika tidak, sudah dari dulu Lona akan melakukan apa yang selalu Awan larang. Lona pasti akan membantah, dan justru membuat keonaran agar Awan menikahinya. Lagi-lagi... Lona bukan tipikal yang seperti itu.

Siang ini Lona sengaja memasak bersama Attar. Laki-laki itu selalu siap ketika dibutuhkan. Lona tahu bahwa pekerjaan Attar adalah berada di sekitar Lona. Jadi Lona tidak pernah takut akan kehilangan Attar ketika ia membutuhkan teman curhat. Ya, walau pun yang dicurahkan Lona tidak teramat penting.

"Mau ditambah bumbu apa, Nyonya?"

Lona sungguh membenci panggilan itu. Tapi Attar terlalu sulit untuk diusik prinsipnya.

"Saya lagi pengen makan tumis jamur buatan kamu, Ar. Boleh ganti?"

Attar tentu saja langsung mengernyit. Antara bingung dan tidak suka. Masalahnya adalah, Attar sudah terlanjur memasak cah kangkung, tapi Lona malah membuat pengumuman yang lain lagi.

"Gimana, Nyonya?" tanya Attar  meminta Lona untuk mengulang permintaan wanita itu.

"Bikin tumis jamur..." Lona memandang Attar ragu, dengan suara yang kecil pula. "Nggak boleh, ya?" tambah Lona lagi.

"Bukan. Bukan nggak boleh, Nyonya. Tapi masakan ini saja belum selesai, mau masak yang lain?"

Lona semakin memasang wajah bersalah pada Attar. "Jangan turutin saya, Ar. Kayaknya saya memang lagi nggak waras," ucap Lona cepat.

Dengan begini Attar semakin bingung saja menghadapi Lona. Mau menuruti titah yang mana? Attar bingung sendiri.

"Biar saya selesaikan masakan ini. Nanti saya akan buatkan tumis jamur sesuai permintaan, Nyonya. Tidak apa-apa, kan?"

"Ar...?"

Attar menampilkan senyumannya, membuat Lona terperangah. "Kamu... kamu senyum, Ar?" tanya Lona memastikan.

Secara refleks saja Attar menyentuh bibir sendiri, meraba sudutnya yang sudah pasti melengkung membentuk garis senyum. Lona justru terkikik puas mendapati tingkah konyol Attar, yang biasanya luar biasa datar.

Attar semakin salah tingkah dengan ulah Lona yang menertawai dirinya.

Inginnya Attar, sih menyuruh Lona menyudahi tawa. Tapi apa daya, Lona termasuk majikannya dan Lona lebih terlihat cantik ketika bisa tertawa lepas begini.

Attar memilih menikmati tawaan Lona, dengan melanjutkan masakannya hingga selesai. Lona selalu mengikuti pergerakan yang Attar lakukan. Lona tidak mendapati hal yang aneh dari dirinya sendiri, tapi Attar sadar bahwa ada yang tidak beres dengan kebiasaan Lona.

Belakangan Lona lebih terlihat cepat lelah, malas makan, dan yang sekarang terlihat jelas adalah labil dalam hal apa saja.

"Nyonya Lona."

"Ya?"

"Nyonya tidak ada niatan untuk lepas dari tempat ini?"

Lona tidak langsung menjawab, wanita itu malah melamun. Pikirannya kentara sekali tidak berada di tempat ketika pertanyaan Attar dilontarkan.

"Nyonya Alona?"

Lona mengembangkan senyumnya—penuh paksaan. "Kenapa kamu jadi nanya itu? Memang kamu mau dipecat sama Mas Awan kalo ngebiarin aku lari dari sini?"

"Bukan begitu. Tapi... saya...-"

"Kasian." Lona menebak, tapi langsung membuat nada sebagai pernyataan.

Attar memandangi Lona, ketika selesai dengan masakannya. Tidak pernah jauh dari pikiran Attar, bahwa Lona memang wanita yang gila. Mau disembunyikan, diperlakukan layaknya peliharaan yang akan diberi makan oleh pelayan majikannya dan akan dikunjungi oleh si majikan ketika pemiliknya sempat.

"Aduh, Ar. Jangan ngeliat saya kayak barang rongsokan gitu!" protes Lona.

Barang rongsokan?

Jika setiap orang memandang pada Lona seperti barang rongsokan, bisa dipastikan bahwa hampir seluruh orang itu jijik, dan risih dengan kehadiran Lona.

"Salah. Justru saya memandang, Nyonya layaknya barang yang paling saya takutkan hancur."

"Attar?"

"Nyonya. Saya sudah cukup lama menahan pertanyaan ini, tapi untuk kali ini saja, jawab pertanyaan saya tanpa mengalihkannya."

Lona tidak akan pernah siap jika ditanya seperti itu. Dia memang tidak menyiapkan jawaban bagi cintanya.

"Anggap saja saya adalah salah satu manusia yang... dibutakan cinta. Tidak ada alasan spesifik yang logis bagi saya, di sini, di tempat ini. Saya akan selalu di sini, bahkan hingga nanti saya meninggal." Lona meringis, sedikit terkekeh ketika menyadari jawabannya sendiri.

Ucapan Lona membuat Attar takut sendiri. Jadi, Attar tidak akan bertanya lebih jauh lagi.

"Udah cukup?" pancing Lona.

"Sudah, Nyonya."

Malam ini, Lona bersikap seperti biasanya. Seolah dirinya tertidur ketika jam masih menunjukkan pukul delapan. Tidak ada yang perlu dirinya kerjakan karena Lona memang ratu di rumah tersebut.

Tapi yang tidak diketahui orang-orang di sana, adalah tangisan Lona tiap malamnya. Begitu terus hingga dirinya akan mati kehabisan air mata, saking seringnya ia menangis.

Dirinya tidak bisa keluar, tidak bisa melihat atau mendengar kabar dari Awan, hanya karena Lona bersikap polos bukan berarti dia tidak tahu apa statusnya ini.

Banyak sekali yang Lona harapkan, sayangnya semua tidak akan pernah sama. Harapan, cita-cita, dan keinginan terbesarnya tidak akan pernah datang.

Malam itu, ketika Lona sudah tidak tahu harus berjalan ke mana lagi, Lona menangis sendiri di halte bus dengan tangisan tanpa suara.

Takdir selalu mempermainkannya. Saat itu yang Lona ingin tahu, adalah bagaimana caranya mendapatkan kasih sayang tanpa merasa sakit. Sebesar apa pun dirinya berusaha, orang lain akan memanfaatkannya.

Lona lebih suka menyendiri, dan sibuk dengan dunianya sendiri.

Sebuah jaket berhasil memberikan kehangatan pada Lona. Ketika melihat siapa yang melakukannya, Lona terkesiap.

"Pa... Pak Awan?"

Wajah yang sering dilihat oleh Lona begitu dingin itu, kini jelas menyiratkan kesenduan yang tak kalah menyedihkan.

"Kenapa, Bapak di sini?" Lona buru-buru berdiri, membersihkan sisa-sisa air mata, lalu mencoba melepaskan jaket yang sudah diberikan Awan. Awan menahannya, membuat Lona terkejut saat telapak tangannya bersentuhan dengan tangan Awan.

"Jangan dilepas. Pakai saja, kamu bisa sakit kalau sengaja membuat diri kamu basah dan menikmati dinginnya malam."

Lona hampir saja terjebak dalam kubangan mata meneduhkan dari manik Awan.

"Maaf, Pak saya mau pulang." Lona tetap bersikukuh melepaskan jaket, dan ingin meninggalkan Awan. Tapi cekalan Awan membuat Lona semakin terperangah.

"Pak-"

"Kamu memilih sendirian menangis di sini, ketimbang saya temani? Bahkan saya nggak minta apa pun untuk menemani kamu."

"Saya nggak minta, Bapak datang!" sergah Lona.

"Karena saya yang ingin."

"Saya nggak peduli kalau, Bapak menginginkannya. Permisi."

Lona benar-benar meninggalkan Awan sendirian di sana. Membuat jaket milik Awan jatuh begitu saja, dan basah akibat derasnya guyuran hujan.

...

"Dia melakukannya karena ingin. Dan aku menetap di sini, karena ini yang ku inginkan."

√√√√√

22.05.2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top