DUA

Kasih sayang penuh cinta... hanya untukmu.

|•|

Yang sebenarnya keduanya jalani kini, juga tidak jelas apa namanya. Hubungan tanpa status begitu? Tepat. Tapi Lona akan berusaha mendapatkan statusnya.

Semalam, ketika pergulatan keduanya berjalan begitu panas... Awan mengulanginya. Memang begitu. Awan sangat sukar untuk melepas Lona, dan Lona dengan bodohnya menurut pada cintanya.

"Kenapa bangun pagi-pagi begini? Aku masih belum mau buka mata, kamu malah ganggu." Bagi orang lain akan terdengar ketus, tapi Lona sudah memahami Awan. Gaya bicaranya memang begitu, datar dan terkesan ketus. Tapi diam-diam Awan selalu memberikan perhatian terselubung.

"Yaudah kamu tidur, Mas. Aku mau siapin sarapan buat kamu." Lona sudah bersiap berdiri, memindahkan tangan kokoh Awan agar tidak memeluknya, tapi ternyata laki-laki itu tidak mau melepasnya.

"Siapa bilang aku mau tidur sendiri?" ucap Awan tepat ditelinga Lona, membuat wanita itu merasa geli. "Biarin aja Mbok Nah yang siapin sarapan, kamu temenin aku. Lagian aku juga masih mau olahraga."

"Kalo mau olahraga, cepetan beres-beres badan. Masa malah tidur lagi?"

"Olahraga ranjang sama kamu, sayang. Bukan olahraga lain."

Lona masih saja suka tersipu malu. Ucapan Awan yang selalu membuat hatinya berdesir. Bahkan meski sudah bersama-sama menjalaninya selama kurang lebih enam tahun, Lona masih bersikap layaknya anak gadis yang selalu malu ketika hendak disentuh oleh Awan.

Ditepuknya tangan Awan yang melingkari pinggang dan perut Lona, "Kirain serius!"

"Emang serius. Kamu mau buktinya?" ancam Awan.

"Iya-iya aku percaya. Untuk urusan yang kayak begitu, kamu pasti selalu serius."

"Semua yang berhubungan sama kamu, aku pasti serius."

"Beneran?"

"Iya. Kenapa nada kamu kayak nggak percaya gitu?" balas Awan.

"Terus kalo serius, kapan kamu nikahin aku, Mas?"

Jleb

Awan terdiam. Untuk pertanyaan yang ini, Awan selalu mentok untuk menjawab.

Mengalihkan pembicaraan, Awan malah bersiap berada di atas Lona.

"Mas... selalu nggak dijawab!"

Wajah Awan yang memasang amarah, membuat Lona mau tidak mau mengalah. "Maaf," ucap Lona kemudian. Lalu sesi olahraga pagi menjadi sangat biasa, tanpa gelora—bagi Lona.

"Mbok Nah, maaf ya saya malah nggak bantuin." Lona yang baru selesai membersihkan diri, dan bergabung di meja makan bersama Awan langsung menatap Mbok Nah sendu. Baru saja tidak membantu membuat sarapan, Lona sudah merasa bersalah.

"Ngapain malah begitu? Makan, Lona!" ucap Awan tidak terbantahkan. Dia adalah raja di rumah, jadi pilihan Mbok Nah tidak menjawab permintaan maaf Lona adalah yang terbaik.

Lona beringsut mundur, yang tadinya mendekati Mbok Nah. Lalu dengan sigap mengambil piring untuk Awan. Jika lelaki di rumah, tidak ada pelayan yang akan bergerak, karena semuanya akan diurusi oleh Alona.

"Saya permisi, Nyonya, Tuan."

Awan tidak menjawab, tapi Lona akan tetap memberi tanggapan dan senyuman ramahnya.

"Jangan terlalu dekat dengan mereka."

"Hm?" Lona menatap Awan bingung. "Mereka siapa?"

"Pembantu atau pelayan rumah."

"Kenapa?"

"Jangan membalik pertanyaan, Lona. Cukup turuti ucapanku, dan tidak ada bantahan."

Seperti biasanya, Lona akan langsung diam. Itu yang diminta Awan, dan akan dituruti oleh wanita itu. Jika tidak ingin Awan risih berada di dekatnya, Lona harus menurut.

Selama menikmati sarapan, keduanya tidak bersua. Lebih baik begitu, tapi Lona tidak suka sepi. Sudah menjadi temannya—kesepian—tapi Lona tidak suka. Tujuannya mengikuti Awan, dan menurut saja atas apa pun yang lelaki itu ucapkan adalah untuk mendapat kasih sayang.

Selesai sarapan, Lona ikut duduk di samping Awan di sofa yang menghadap tv. Satu lagi. Lona tidak suka menonton tv, meski salah satu yang bisa membuat suasana ramai, tapi Lona memang tidak suka.

Tv membuatnya selalu ingat pada pemberitaan saat kedua orangtuanya meninggal dalam kecelakaan lalu lintas. Tv mengingatkan Lona pada musibah yang sudah sangat lama menimpa kedua orangtua tersayangnya itu.

Jadi ketika Awan fokus pada media penyiaran itu, Lona sibuk mengamati wajah Awan dari samping. Dan lagi-lagi Awan buta, tidak tahu menahu mengapa wanitanya tidak suka menonton atau bahkan menyalakan tv.

"Kenapa?" tanya Awan. Meski tidak begitu memahami masa lalu Lona, tapi Awan paham sifat Lona yang sekarang. "Kamu mau minta sesuatu, kan?" tambah Awan.

Dipeluknya tubuh Awan dari samping, dengan kepala Lona yang disandarkan pada bahu kokok Awan.

"Aku nggak boleh kerja, Mas?"

Awan mengernyit, dia tahu betul jika Lona tidak kekurangan apa pun dan juga, Lona bukan tipikal yang suka berbelanja seperti wanita modern kebanyakan.

"Buat apa? Aku nggak kekurangan buat memenuhi apa pun yang kamu butuh, atau kamu minta. Aku nggak miskin untuk kamu."

"Bukan itu. Bukan berarti aku kerja buat nyari uang, Mas."

"Lalu?" sahut Awan cepat.

"Aku bosan di rumah terus. Tidak ada kegiatan yang bisa benar-benar aku kerjakan, Mas. Aku mau kerja," jelas Lona. Lalu Lona mengulurkan tangannya di depan wajah Awan. "Liat, nih! Kulit aku pucet banget, ini gara-gara aku kurang beraktivitas di luar. Dulu kulitku nggak sepucet ini. Aku butuh kegiatan-"

"Nggak ada pekerjaan berat buat kamu. Cukup lakukan pekerjaan di luar, bersama Pak Tamin. Kamu biasanya juga berkebun kan bareng Pak Tamin. Kamu nggak suka aku perlakukan seperti ini? Apa kasih sayangku masih kurang buatmu?" tuduh Awan. Sontak saja Lona terkejut, tuduhan Awan membuatnya merasakan perih dihati, tapi tidak bisa berbuat lebih.

"Nggak begitu, Mas." Lona menghela napas, meredakan suaranya yang hampir serak menahan tangis. "Aku memang salah, maaf meminta yang nggak seharusnya aku minta."

Awan menyadari jika Lona ingin menangis. Dengan kedua tangannya, Awan menangkup wajah Lona membuat wanita itu mendongak menatap wajah serius Awan. "Ssttt. Bukan. Kamu berhak meminta apa saja, tapi tidak dengan hal yang menyangkut persetujuan kita diawal. Kamu masih ingat, kan?" Lona langsung mengangguk. "Bagus. Kamu harus tau, yang aku lakukan dengan melarang kamu, itu semua demi kebaikan kamu. Mengerti?"

"Iya, Mas. Makasih, dan maaf."

24 Januari 2015.

Kalau kamu sempat membacanya, tolong ingatkan aku, bahwa aku perempuan paling bahagia yang bertemu denganmu. Iya. Aku bahagia, apalagi kamu memperlakukanku seperti satu-satunya ratu yang kamu miliki.

Benar, kan kalau aku selalu menurut? Kamu rajanya, kamu yang berhak memberi perintah. Aku bisa meminta apa pun, tapi tidak dengan mengganggu reputasimu. Begitu, kan?

Aku menunggu mu. Menunggu merealisasikan mahligai rumah tangga bersama-sama. Kamu satu-satunya tujuanku saat ini. Tak apa jika aku harus terkurung dalam sangkar emasmu, asal kamu tidak akan pernah menjauh. Aku akan melakukan apa saja, asal kamu tidak gaduh untuk melepas... melepas anganku bersamamu.

√√√√√

17.05.2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top