Day 23 - Devil's First Dawn
Setelah menemani Demon King dan memaksa pulang kemarin malam, Yoo Joonghyuk merasa sebuah sepi yang selama ini melingkupi hidupnya kian membara. Seharusnya ia akrab dengan hening, namun ternyata tanpa celoteh pria bertanduk merah yang selalu menyebalkan, rumah ini begitu sunyi.
Tepat hari setelah Halloween, warna langit lebih kelabu. Yoo Joonghyuk sejujurnya menyukai sebuah mendung, dengan angin-angin yang memainkan ranting maple seperti alat-alat musik. Ia terhibur. Merasa berteman dengan keseluruhan hutan dan menjadi penikmat nyanyiannya.
Segelas susu karamel diletakkan di atas meja, Yoo Joonghyuk duduk di kursi dan mengambil sebuah buku untuk ditelaah. Belakangan ia suka membaca novel dokumenter tentang peperangan dan perbudakan. Tapi kali ini, ternyata sebuah cerita tentang seorang gadis berambut merah yang penuh rasa penasaran lebih cocok dengan roti gulung di piring kaca.
Tiap baris kata buku itu adalah sebuah hal indah, romantis, atau mungkin memang sangat tidak serasi dengan Yoo Joonghyuk yang tidak pernah mengenal sebuah hubungan manis. Namun ketika kalimat, "Segala sesuatu yang layak didapatkan adalah beberapa masalah," Joonghyuk tergelak.
"Ini seperti dia," sambil mengingat seorang iblis yang selalu muncul dari jendela dan mengacaukan hari-harinya. Tapi mungkin hari ini berbeda. Sebab mendung datang setelah minggu musim gugur tanpa hujan yang dihabiskan Joonghyuk mendengarkan cerita panjang lebar dari Kim Dokja.
Tepat setelah Joonghyuk mengharapkan satu hari bebas, beberapa ketukan terdengar dari luar jendela, seakan rumah itu tidak memiliki pintu.
Joonghyuk memiliki prasangka siapa yang ada di balik lembar kayu itu. Niat hati malas menganggapi, namun ternyata gerakan kaki melangkah mendekat. Tangannya berkhianat dan membuka lembar jendela. Kim Dokja ada di sana.
"Kenapa kau di sini?"
Kim Dokja tertawa canggung namun dari sepasang alis tipisnya yang menekuk, Joonghyuk merasakan sebuah janggal yang tidak biasa. Meski Dokja hanya menjawab polos sambil menggaruk pipi, "Camilan?"
Perlahan dan perhatian, Joonghyuk menatap Dokja dari ujung tanduk hingga sayap-sayapnya. Ada yang berbeda. Namun ia tidak punya waktu untuk itu dan segera beralih ke meja makan. Beberapa roti gulung dipotong sebelum dibungkus dalam sebuah kertas coklat. Joonghyuk memberikannya pada Dokja.
"Pulang. Hujan akan turun."
"Jangan kasar begitu, hey," ia tersenyum dengan kelopak yang menenggelamkan keseluruhan manik matanya. "Daripada mengusir, lebih baik biarkan aku masuk, Joonghyuk."
"Tidak." Tangan Joonghyuk menarik jendela untuk kembali tertutup, namun tentu saja Dokja tidak akan menyerah.
"Kenapa?" Tubuh dicondongkan. Dari sepetak jendela yang selalu terbuka untuk Dokja, Joonghyuk berusaha menutupnya. "Biarkan aku masuk sekali ini saja, oke? Kau tega meninggalkanku sendirian di sini saat hujan?"
"Huh? Kau harus pulang.."
"Aku jauh-jauh datang dari Underworld mengunjungimu, setidaknya beri aku jamuan ramah!"
Nada bicara Dokja seketika meninggi. Joonghyuk tidak tahu apa sebabnya, namun ia tidak ingin menciptakan sebuah pertengkaran yang lebih rumit. Karena itu dia menyerah pada kekuatan Dokja yang menahan jendela tetap terbuka.
"Kau ke sini dengan niatmu sendiri, kan? Dan aku sudah beri camilan padamu. Lalu apa lagi?"
"Biarkan aku masuk, ya?"
"Tidak..."
Baru kali ini Demon King of Salvation merasa sebuah gejolak yang membuat hatinya berseteru. Ia sering bertanya-tanya mengapa Joonghyuk tidak mengizinkan masuk, namun tidak pernah ada hasrat sebegini besar untuk melewati pintu itu dan berada dalam satu ruangan dengan pemuda di hadapannya.
"Kenapa??" Dokja bertanya lebih kuat, dengan nada yang mendesak. "Karena aku Iblis? Karena kau Pendeta???"
"Huh?" Tadi hanya sebuah firasat, namun kini Joonghyuk benar-benar merasa ada sesuatu yang tengah terjadi dan menjadi buah masalah yang dibawa Kim Dokja. "Kau aneh."
Dokja terhentak. "Kau mengataiku aneh? Karena aku iblis??!"
Alis Yoo Joonghyuk mulai menukik. Iblis itu sama sekali tidak menangkap apa yang ingin Joonghyuk sampaikan dan lebih memilih untuk tersinggung sambil mengatakan hal-hal tidak masuk akal.
"Kim Dokja, tenangkan dirimu sebentar, oke? Kau benar-benar terlihat seperti iblis saat ini."
"Aku memang iblis!!" Kim Dokja berteriak. "Lalu kenapa kalau aku iblis?! Aku terlalu kotor untuk masuk ke rumahmu?! Kau tidak mau satu ruangan denganku?! Karena kau pendeta suci yang dekat dengan Tuhan sementara aku Iblis?!!"
Yoo Joonghyuk benar-benar tidak mengerti bagian mana yang salah dari perkataannya sehingga Kim Dokja yang suka bercanda dan menyebalkan itu kini meneriakkan amarah dengan tangan mengepal dan bahu bergetar.
"Kau mengatakan hal yang tidak masuk akal-"
"Bohong!!" Joonghyuk hampir mundur satu langkah karena bentakan itu lebih kuat. "Kalau kau tidak mau aku di dekatmu seharusnya katakan dari dulu! Tidak perlu buka jendela ini lagi untukku!"
Kemudian Dokja memaksa jendela itu untuk tertutup. Mengurung diri di luar dan menghilangkan satu-satunya celah yang menjadi penghubung antara dia dan Yoo Joonghyuk. Bahkan ketika hujan mulai turun ia tidak terlalu peduli. Yoo Jonghyuk tidak akan repot-repot membuka jendela itu lagi untuk untuk seorang Iblis yang baru saja marah-marah tidak jelas tanpa sebab di depan rumahnya.
Padahal Joonghyuk hanya ingin Dokja pulang karena hujan akan turun deras. Dokja tahu itu. Namun tetap saja ketika kata demi kata kalimat keluar, ia merasa terganggu. Seakan Joonghyuk memaksa sebuah jarak.
Lalu sekarang apa? Hujan turun. Deras.
Ia tidak mau berdiri di teras tanpa sepetak jendela yang menjadi tempatnya membuang pandangan untuk menatap Yoo Joonghyuk. Ia tidak mau pulang ke rumah. Dokja hanya ingin melarikan diri.
Kemana saja boleh. Asal tidak ke rumah. Tapi Dokja tidak ingin pergi. Ia ingin Joonghyuk membuka jendela itu lagi dan meminta maaf- meski Dokja yang membentaknya. Harapan yang sangat tidak mungkin.
Pikirnya, sebelum mendengar suara derit dari kayu.
Dokja ingin bersikap angkuh, namun satu nada itu cukup membuatnya berbalik dan melihat kembali jendela. Masih tertutup.
"Masuk."
Alis Dokja membentuk kurva rapih yang mewakili banyak tanda tanya. Ketika kepalanya sedikit menoleh ke sebelah kanan dan mendapati Joonghyuk berada di depan pintu yang terbuka.
"Kau tidak mau pulang, kan? Cepat masuk." Tubuh Dokja tidak merespon, masih mencerna dengan penuh ketidakpercayaan. "Kim Dokja, jangan buat aku mengulangi lagi."
"Kau memintaku masuk?"
"Hanya jika kau ingin."
"Aku ingin!"
Rasa marah Dokja, cemasnya, begitu pun gundah dan sedih yang ia alami tertutup sebuah antusias. Ia berlari di teras kayu. Tergelincir. Joonghyuk menangkap lengannya. Menyelamatkan Dokja dari membentur apapun, kecuali sayapnya yang menyenggol jatuh pot bunga anyelir merah di beranda.
"Uh..." Ada bulir keringat di dahi Dokja saat melihat bunga itu jatuh ke luar pagar. Pot keramik pecah dan kelopaknya dengan cepat dikotori oleh lumpur dan serta tanah. Ia bahkan tidak bisa tersenyum ketika cengkraman Joonghyuk di lengannya terasa lebih erat.
Mungkin Dokja bisa menyerah pada semangat akibat tawaran Joonghyuk untuk masuk ke rumah. Atau mungkin ia bisa menutup mata dan bersiap-siap jika Joonghyuk menolaknya jatuh ke belakang dan menghujat dengan kasar.
Alih-alih demikian, Yoo Joonghyuk menghela napas. Ia menarik Dokja lebih dekat hingga tubuh mereka bersentuhan. "Kau basah," ucapnya dan Dokja membuka mata untuk melihat pemuda yang lebih tinggi. Menyadari bahwa mereka begitu rapat. "Kau berdiri di ujung teras terlalu lama. Idiot."
"Huh?!" Dokja yakin, ia pasti sudah membalas ejekan itu dengan lebih kasar jika tidak mengingat bunga anyelir merah yang tidak lagi memiliki bentuk indah di luar pagar.
"Ayo masuk," ucap Joonghyuk mengganti cengkramannya menjadi sebuah genggam di pergelangan tangan. Menarik Dokja untuk masuk namun yang ditarik tidak bergerak hingga ia kembali berbalik. "Kenapa?"
"Kau tidak marah?"
"Untuk?"
"...Bungamu..."
"Nanti. Sekarang masuk dulu."
Tentu saja Dokja masuk.
Tidak jarang dan tidak sedikit pula Dokja mengintip bagaimana bagian dalam rumah ini. Ruangan yang cukup besar dibagi menjadi beberapa bagian. Di depan pintu adalah bagian utama, dengan sofa biru tua panjang yang membentuk siku, lalu satu sofa kecil bersebelahan dengan meja baca. Berada di dekat jendela kaca. Dokja memiliki kebiasaan untuk melirik meja itu dan melihat buku apa yang berada di atasnya.
Kemudian tempat kesukaan Dokja, yang sering digunakan Joonghyuk untuk menemaninya dan membuat hal-hal lezat, terletak di sisi kiri. Tempat pertama yang Dokja tuju. Membuka jendela yang menjadi penghubung bagian dalam dan luar.
Hujan deras. Dengan latar jingga sendu yang berisik. Ada rasa sendu serta tenang ketika melihat hutan yang bergemerisik serta daun-daunnya yang gugur. Ada biru tipis yang menjadi atap barisan pepohonan. Ada dirinya yang selalu mengisi petak jendela dan menutupi pemandangan itu.
Seperti inilah Joonghyuk melihatnya.
"Bisa kau hilangkan sayapmu?" Tanpa marah pada orang yang membuka jendela seenaknya dan membuat angin berusaha memadamkan perapian, tiba-tiba Joonghyuk merengkuh sayap Dokja. "Atau perlu kuikat?"
"Jangan.." Kedua tangan Joonghyuk, serta jari-jemarinya yang menyelip di antara barisan bulu-bulu hitam, memberi rasa geli. Dokja tidak pernah merasakan sayapnya disentuh siapapun kecuali para pelayan yang bertugas membersihkan. "Aku tidak akan mengepakkannya, oke?"
"Itu tidak mungkin, Kim Dokja." Dengan pelan dan tidak terburu-buru, Joonghyuk menarik Iblis itu, menutup jendela dan membiarkan hangat mulai melingkupi. Suara hujan teredam. Samar. Hanya derak api dan napas mereka.
Yoo Joonghyuk masih memeluk sayap-sayap Kim Dokja."Kau mungkin tidak sadar, tapi tanpa niat pun kau sering mengepakkan sayapmu. Dan itu masalah."
"Kapan??" Rasa penasaran serta tidak terima yang Dokja rasakan, membuatnya tidak menyadari bahwa tatkala direngkuh dari belakang, wajahnya dan wajah Joonghyuk semakin dekat.
"Ketika kau memakan camilan yang enak, ketika kau memakan camilan yang tidak enak. Ini dan itu," Dokja tidak behalusinasi ketika melihat sedikit tarikan di bibir Joonghyuk seakan ia tengah mengingat hal lucu. "Jadi, sayapmu?"
Dokja berdebar. Ia menarik pandangannya dan menghadap ke depan, meski hanya ada jendela yang tertutup. "Aku bisa mengambil bentuk manusia," ucapnya. "Tapi bukan hanya tanduk dan sayapku yang akan hilang."
Yoo Joonghyuk, seakan tidak menerima kelakuan Dokja yang tidak lagi menatapnya, kini memajukan tubuh. Membuat jarak mereka semakin hilang. "Lalu?"
Suara rendah itu sangat dekat, Dokja bahkan bisa merasakan hembusan napas di telinga dan terbakar. "Pakaianku juga," ia berdeham. "Ini pakaian khusus, untuk Iblis. Jadi jika aku mengambil bentuk manusia, pakaian akan bernasib sama seperti sayap dan tanduk."
"Oh...Tentu saja. Kau juga harus ganti baju." Akhirnya Joonghyuk menarik diri. Melepaskan rengkuhannya, memancing Kim Dokja menoleh dan melihatnya berjalan menuju tangga. "Ayo."
"Tanggamu terlihat curam," satu langkah Dokja ambil untuk menaiki tangga. Terletak di sudut, sebelah perapian dan memang sedikit curam. Sempit dengan banyak gantungan di bagian dinding namun Dokja tidak melihat satupun foto Yoo Joonghyuk. "Kau punya lantai dua?" Ucapnya basa-basi.
"Loteng."
Satu kata itu membuat Dokja bersemangat, tanpa sadar ia membuktikan ucapan Joonghyuk dengan sayap terkepak. Menyenggol sebuah hiasan dinding hingga terbanting. Langkah Dokja terhenti. Ia melirik hiasan yang kini bernasib sama seperti anyelir, kemudian dengan penuh rasa segan menatap Joonghyuk yang memasang raut kecewa tapi tidak terkejut.
"Hati-hati," ia berucap demikian dan melanjutkan langkahnya sampai-sampai Dokja menghela napas syukur. "Karena aku sangat bisa melakukan hal-hal yang membuatmu, Demon King, panas."
Dokja mengaku bahwa kadang Yoo Joonghyuk sangat menyeramkan sehingga ia hanya bisa menggigit bibir dan berusaha lebih keras untuk berhati-hati, terutama ketika tangga itu memiliki tikungan.
"Kau tau aku sangat ingin punya kamar loteng," lidahnya yang terlatih mengelak kini mengalihkan topik, "Jadi aku sedikit bersemangat," serta membela diri.
"Begitu?" Joonghyuk sampai terlebih dahulu, membuka pintu yang menuju ruangan empat kali empat dengan atap miring. Ada tempat tidur queen size yang merapat ke tepi, bersebelahan dengan sebuah meja berlampu jamur. Di sisi lain dua buah lemari kayu berjajar bersebelahan dengan perapian kecil. Ternyata Joonghyuk memiliki banyak pakaian.
"Kau tidak punya banyak barang di kamar?"
"Tidak," ia membuka salah satu pintu lemari yang memiliki kaca. Mengeluarkan beberapa helai pakaian dan handuk, selimut baldu serta sepasang sandal bulu. "Kamar mandinya ada di depan," sambil menunjuk pintu yang bersebrangan dengan kamar, ia melihat Kim Dokja.
Iblis itu, sudah terbaring di atas tempat tidur.
"Hei, kau masih basah."
Dokja terhentak. Ia merasa sangat ingin tenggelam dalam kehangatan kasur kapuk dan selimut tebal sampai-sampai lupa alasannya kedinginan. Ia benar-benar lupa dan segera bangkit berdiri. Dan kemudian, karena kesegeraan itu, tanpa sengaja kepalanya bertemu mesra dengan langit-langit. Memberi suara nyaring menggemaskan dan sebuah teriak nyeri.
"Kim Dokja!" Jonghyuk menjatuhkan kain-kain hangat di tangan. Ia menunduk, mengikuti Dokja yang juga menunduk sambil memegangi puncak kepalanya. "Astaga, kau bodoh."
"Sakit..." Tentu saja. Bahkan Yoo Joonghyuk hampir khawatir pada kayu atapnya ketika mendengar suara menegangkan tadi. "Joonghyuk, sakit."
Rasanya Dokja ingin menangis. Oh tetes-tetes air sudah berkumpul di tepi-tepi mata yang terpejam perih. Joonghyuk mengusap puncak kepalanya, mengembus-embus dengan perlahan meski hanya bisa membuat helai-helai rambut Dokja berayun-ayun.
"Makanya hati-hati."
"Aku terkejut!" Dengan usapan Yoo Joonghyuk, Dokja bahkan tidak memegangi kepalanya lagi. Puas dengan belaian lembut dan embusan pemuda itu.
"Aku hanya bilang, kau masih basah. Bukan menyuruhmu langsung bangkit tanpa aba-aba."
Bibir mengerucut, Dokja mencibir, "Aku tidak mau kau melakukan hal-hal yang membuat Demon King panas."
"Aku tidak akan melakukannya hanya karena ini, idiot," Joonghyuk menghela napas. "Masih sakit?"
Jika menjawab jujur, sebenarnya Demon King of Salvation masih bisa menahan rasa sakit manusiawi seperti itu. Namun entah mengapa merasakan setiap sentuhan Joonghyuk yang mengusap kepala, Dokja tidak ingin jujur. Ia bahkan berniat mengatakan, "Masih sakit sekali," dan membiarkan Joonghyuk mengusap sampai Dokja terlelap. Jika saja tidak merasa malu dan gengsi dan kedinginan dan gelitik di perutnya.
"Tidak lagi," maka Dokja menjawab demikian dan Joonghyuk menarik diri. Pemuda itu kemudian mengambil pakaian yang jatuh dan untungnya mendarat pada karpet baldu yang bersih. Lalu melipat sekenanya dan menyodorkan ke Dokja. "Kamar mandinya di sana," ia mengulang kembali. "Aku akan kembali ke bawah setelah menghidupkan perapian."
"...Ok." Berkata demikian Dokja tidak bergerak. Ia diam dan membuat Joonghyuk menunggu. "Kau merasa kau terlalu baik padaku?"
"Maksudnya?"
"Maksudku, bukankah Hamba Tuhan sepertimu diajarkan menjauhi Iblis?"
"Sepertinya kita sudah membahas ini kemarin malam," Joonghyuk menghela napas, "Aku sudah menjawab dan aku tidak akan mengatakan dua kali."
Dokja menggigit bibir, "Tapi aku iblis? Demon King. Raja dari para Iblis."
Yoo Joonghyuk tidak menjawab, tidak dengan suaranya. Ia diam namun matanya yang teguh sudah memberi jawaban. "Kau percaya padaku?"
Pertanyaan itu tidak diabaikan bahkan ketika Joonghyuk menarik Dokja untuk bangkit. Ia hanya memberitahu bahwa hal yang Dokja khawatirkan sangat tidak layak menjadi bahan pikirannya.
Yoo Joonghyuk tidak akan mengucapkan dua kali. Dan demikian Dokja memahami.
"Kau bisa ganti pakaian, atau mandi air hangat," katanya, "Setelahnya kau bisa tidur, atau ke bawah. Tapi tempat ini tidak menyenangkan jadi aku ragu ada yang menarik perhatianmu selain buku dan camilanku."
"Aku suka buku."
"Bagus." Bukannya Joonghyuk tidak bisa menjawab dengan kata-kata yang Dokja harapkan. Ia merasa tidak perlu. Apapun yang membuat Demon King of Salvation emosi dan membentak-bentak marah adalah hal yang bisa diobati dengan beberapa perhatian dan kepercayaan. Joonghyuk juga bukan tipe yang suka mengurus orang lain, namun untuk Iblis yang satu ini, rasanya tidak keberatan. Melakukan apapun dan membuatnya tertawa.
"Kau bisa letakkan pakaianmu di keranjang," katanya, namun kemudian tersadar, "Perlu?"
Dokja baru saja membuka pintu kamar mandi, melihat keranjang yang disebut oleh Yoo Joonghyuk dan terkekeh. "Tidak," ucapnya, "Pakaian ini akan menghilang dan kering dengan sendirinya."
Pintu kamar mandi tertutup dan kini Dokja bisa melihat dengan jelas bagaimana isinya. Kemudian ia membuka lagi, "Kau punya bak mandi?!"
Joonghyuk terkejut. Tiba-tiba diteriaki, "Ya?" Memangnya aneh? "Tapi jarang kugunakan."
Dokja bukannya tidak punya, malah dibanding bentuk segitiga keramik yang menyatu di sudut ruangan kayu, bak mandinya seperti kolam renang. Makanya itu ia merasa antusias. Kesan klasik dan warna coklat emas yang mengisi penuh tempat ini cocok dengan Joonghyuk dan sweater abu-abunya.
Ia kembali masuk dan menutup pintu. Melepas semua tanda iblis di tubuhnya dan menghidupkan keran di bak mandi sebelum melangkah ke bilik pancuran. Ia menutup tirai berwarna putih dengan lis emas dan merasakan air hangat menghujaninya dari ujung kepala.
Joonghyuk bilang jarang menggunakan bak mandi, artinya dia lebih sering berada di sini. Memutar keran yang sama, menggunakan sabun dan sampo dengan aroma yang sama. Dokja bersemu. Tanpa bisa menahan pikirannya membayangkan bagaimana Yoo Joonghyuk tanpa apapun menutupi selain uap-uap air hangat, menggerakkan tangan untuk menyapu setiap senti punggung, pundak, perut, dada, lengan, dan seluruh bagian tubuhnya yang memiliki gurat-gurat tegap.
Astaga. Dokja pikir dia sudah melepas seluruh keiblisannya lalu mengapa bayangan muncul dan membuat seluruh kulitnya berseru? Menghangatkan perut hingga membuat jantungnya berpacu?
Buru-buru Dokja menyelesaikan basuhan dan keluar dari bilik pancuran. Tidak segan menuang wewangian dan berendam di bak mandi. Sebuah desah lepas dari bibir, seakan seluruh saraf tengah bermanja dengan hangatnya air. Dokja ingin sekali berada di sini terus, terlebih ketika aroma yang ia hirup mirip dengan Yoo Joonghyuk. Aroma kayu manis. Menenangkan dan membuat kantuk.
Dokja memilih keluar sebelum benar-benar tertidur dan tenggelam. Handuk digunakan, setelah itu dihempas ke keranjang yang ternyata telah menampung pakaian lain. Tentu punya pemilik rumah. Dokja tahu hari ini mendung, mungkin itu alasan Joonghyuk tidak mencuci pakaian dan menjadi pemicu nafsu untuk menggoda Dokja menunduk dan menarik helai pakaian itu.
Astaga. Tindakan ini sangat tidak terpuji. Sangat tercela namun Dokja tidak kuasa untuk menahan diri. Baju pendeta yang Joonghyuk pakai kemarin malam. Dokja masih ingat dansa mereka, pelukan Joonghyuk yang beraroma sama. Malam penuh kerlap-kerlip lampu gantung dan lampion serta gelak anak-anak.
Salah satu hal terbaik yang pernah terjadi di hidupnya.
Kepala digelengkan, Dokja meletakkan kembali pakaian itu dan bangkit. Memakai baju yang disiapkan Yoo Joonghyuk dan tahu-tahu jantungnya berdegup dua kali lebih cepat.
Satu setel pakaian hangat yang terlihat kecil untuk Yoo Joonghyuk namun memang miliknya, terpasang di tubuh Dokja dengan sedikit kebesaran. Kakinya tenggelam, jika bagian leher bukan jenis turtleneck, mungkin bahu Dokja sudah terekspos liar. Dan kali ini pun juga, beraroma seperti Joonghyuk.
Berat. Memakai pakaian ini membuat Dokja tidak nyaman namun juga ketagihan.
Ia keluar dengan wajah memerah. Langsung bertemu pintu kamar yang terbuka. Api perapian sudah menyala, Joonghyuk bahkan sudah mengganti selimut yang basah dengan sebuah Quilt bermotif cerah. Tidak cocok dengannya namun begitu manis dan Dokja suka sampai-sampai langsung menutup pintu dan masuk ke dalam quilt. Menimbun dirinya dengan kehangatan dan terlelap.
Ia kemari untuk melarikan diri. Dan Joonghyuk benar-benar membuatnya tidak ingin kembali.
TBC
SeaglassNst
.
.
.
「 I believe in malewife Yoo Joonghyuk Supremacy 」
Sebenarnya aku tidak merencanakan sebuah domestik yang panjang hampir 3000 kata sampai-sampai bingung nyocokin promptnya dan jadilah maksa. Tapi ternyata berbuat hal baik seperti ini sangat membahagiakan. Dan jangan dibahas kenapa fic Oktober bisa sampai Januari. :')
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top