Day 21 - Devil's First Night
Nyata-nyatanya, Dokja tidak pulang malam itu.
Katakanlah ia membolos, katakan juga ia melarikan diri, namun rasa penasaran begitu menggebu-gebu tiap memikirkan manusia-manusia mengenakan kostum makhluk-makhluk asing.
Ia tidak memberitahu Yoo Joonghyuk. Bersembunyi di atas sebuah pohon maple terdengar lebih seru daripada duduk di bangku depan jendela yang tertutup itu. Kadang ia menebak apa yang Joonghyuk lakukan di dalam sana. Setelah membuat permen apelnya sendiri tadi sore, Yoo Joonghyuk mengusir Dokja pulang. Percaya diri sekali dia, Dokja akan menuruti permintaan membosankan itu di malam yang menyenangkan seperti ini.
Angin tidak bertiup kencang. Meski juga hutan mapel yang melingkupi kabin kecil Joonghyuk terbilang gelap dan menyeramkan, namun lampion-lampion yang Joonghyuk pasang di beberapa pohon terlihat indah.
Ketika melihatnya, Dokja merasakan ada kesan tidak rela, ada juga keindahan atas kegiatan Joonghyuk yang penuh racau sebab Dokja selalu bertanya kenapa tidak memasang lampion di sepanjang jalan agar anak-anak tidak tersesat. Kemudian Yoo Joonghyuk menjawab, "Aku bukan orang dermawan. Lagipula hutan ini tidak terlalu lebat dan anak-anak cukup sering datang."
"Tapi bagus kalau ada barisan cahaya di sepanjang jalan menuju rumah."
"Rumahku akan terlihat seperti tempat istimewa, seperti tempat harta atau semacamnya..."
Yah, setelah dipikir-pikir memang itu tidak menyeramkan untuk Halloween. Tapi tentu saja Dokja tetap memikirkan jalanan cahaya dan mengabaikan amarah Joonghyuk ketika beberapa lampionnya dicuri untuk merealisasikan keinginan Demon King itu.
Dokja terkekeh melihat beberapa pohon yang berbaris dengan lampion-lampion bercahaya menggantung di dahan. Merasa lucu sebab meski dipenuhi amarah, tapi Joonghyuk tidak melepas lampion-lampion Dokja. Orang itu selalu saja marah namun tidak pernah benar-benar membenci perbuatan Dokja. Manis sebenarnya.
Cukup untuk kisah lampion di sore hari, Dokja lebih tertarik menoleh ketika mendengar suara beberapa langkah kaki. Matanya mencari dan dari salah satu lampion yang bercahaya dan menemukan bayangan beberapa orang anak. Mereka menggunakan kostum peri, sebuah kain putih yang dilubangi, kemudian perban-perban membalut tubuh. Lucu.
Kata Yoo Joonghyuk, pada hari Halloween pintu neraka terbuka lebar sehingga jiwa-jiwa pendosa akan kembali ke bumi. Ketika mengatakan trick or treat, manusia harus memberikan permen agar tidak diberi hukuman. Sementara anak-anak menggunakan kostum agar para roh jahat tidak membawa ke neraka. Lucu. Padahal di sana tidak ada makhluk seperti itu.
Anak-anak itu, tengah berbincang. Menenteng sebuah kantung serta keranjang lalu melangkah mendekati teras rumah Joonghyuk hingga berhenti pada labu yang terpajang di ujung tangga.
Astaga. Setiap melihat, rasanya Dokja ingin sekali membuang labu itu jauh-jauh. Ia hanya iseng mengukir asal agar Joonghyuk merasa tertekan, tidak berpikir bahwa mahakaryanya benar-benar dipajang. Bentuk aneh dan konyol seperti labu menyebalkan itu tentu saja menjadi bahan tertawaan dan Dokja merasa pura-pura tidak bersalah sebab anak-anak itu berpikir bahwa Joonghyuk yang memiliki skill mengukir yang payah.
Namun, tertawaan itu hanya Dokja dengar sekali. Setelahnya tidak ada anak-anak lagi meski malam semakin larut.
Di tengah rasa bingung dan hasrat hendak pulang, samar-samar Dokja mendengar suara riuh dari balik hutan yang memancing arah pandang. Ada cahaya yang lebih terang, ia penasaran.
Rencana awal hanya menonton sampai permen-permen di keranjang habis, namun kini tanpa sadar ia sudah berada di depan jendela Yoo Joonghyuk dan mengetuk, tidak tahu pemuda di dalam hampir terlonjak dan menjatuhkan kopi hangatnya.
"Joonghyuk!" Dokja memanggil sekali dan dengan cepat jendela itu terbuka.
Yoo Joonghyuk tengah memakai sebuah piyama berkerah rendah hingga tampak garis antara dada bidangnya. Astaga. Dokja tidak punya prediksi pria itu adalah tipe yang tidur dengan piyama.
"Hei, mataku di sini."
Dokja terkesiap. Buru-buru menarik mata yang tadi mengarah pada garis dada menuju mata Joonghyuk yang hitam. Astaga, lagi. Ternyata dia tampan sekali dengan rambut hitam yang basah. Dokja diam beberapa saat dan Joonghyuk menunggu sembari diam-diam membiarkan Dokja memandanginya hingga akhirnya bibir mengucap, "Apa yang kau lakukan di sini?"
Dokja terkesiap, lagi. Ia menggelengkan kepala dengan cepat untuk kembali pada niat awal. "Ada sesuatu di kota!" Tangan Dokja menunjuk langit yang terang benderang. "Ada gemuruh di sana!"
"Oh, parade. Mereka melakukan parade."
"Parade......" Dengan nada bicara yang naik di tiap konsonan, mata yang berbinar itu terlihat jelas. Sekejap saja masing-masing tangan Dokja sudah menangkap masing-masing lengan Joonghyuk pula. Kemudian ia berkata dengan semangat, "Aku mau lihat!" Senyum lebar tampil di bibirnya. "Aku mau ke sana, Joonghyuk!"
"Huh? Yah sudah pergi.."
Dokja tidak tahu kenapa dia merasa kecewa ketika Joonghyuk berkata demikian.
"Kau tidak mau?"
"Kenapa aku harus?" tangan Dokja yang memegangi kedua lengannya, dengan perlahan Joonghyuk lepas. Ia menghela napas, "Kalau mau ke sana kau tinggal pergi, kan?"
"Kau tidak ikut???"
"Aku tidak paham kenapa kau mengajakku?" Sama. Dokja juga. Ia bisa saja melupakan Joonghyuk dan langsung melesat terbang ke sana di waktu ia menyadari kericuhan itu. Lalu mengapa ia melapor seakan Joonghyuk harus tahu?
"Lagipula kau harus memakai kostum ke sana. Aku tidak punya, sementara kau sudah sempurna."
Sempurna. Joonghyuk mengatakan itu sembari membelai salah satu tanduk Dokja, mencuri satu degup yang timbul tiba-tiba. Kemudian ia menepuk sayap, mengusir sehelai daun maple jingga yang menumpang.
Tiba tiba Dokja mengibaskan sayapnya hingga tangan Joonghyuk terhempas. Ia, melangkah mundur. Dengan wajah yang memerah dan raut kesal. "Dasar tidak punya teman."
"Huh—?!"
"Kurung saja dirimu terus di rumah dasar penyendiri! Aku mau bersenang-senang!" Sambil mengatakan itu, Kim Dokja terbang dan hilang dari pandangan. Meninggalkan Joonghyuk yang merasa dilema antara bingung atau kesal.
XoxOxoX
Keramaian, sebenarnya, bukan sesuatu yang Dokja sukai. Ia begitu bersemangat ketika mendengar kata parade hanya karena berpikir Joonghyuk akan ikut bermain dan bersenang-senang. Harga dirinya yang tinggi menghalangi untuk mengakui bahwa ada rasa kecewa ketika Joonghyuk menyuruhnya pergi sendiri, karena itu Dokja di sini. Seperti anak kucing kehilangan induk dan asing.
Kalau Yoo Joonghyuk bilang manusia mengenakan kostum karena ingin berbaur dengan monster, nyatanya malah Dokja yang tengah berkamuflase dengan keras.
Canggung. Dia tidak pernah berkontak dengan manusia selain Yoo Joonghyuk yang ajaibnya baik dan sering membuatkan camilan. Entah bagaimana cara menyapa orang atau menikmati pesta perayaan manusia, Dokja tidak paham. Ia bahkan tidak bisa membeli baik makanan pun pernak-pernik yang sangat menarik di tepi-tepi jalanan kota. Jika tahu keras kepala dan gengsi bisa membuatnya terlihat sangat konyol, lebih baik ia menjarah beberapa koin perak dari Joonghyuk.
Oh, jika diingat Joonghyuk hanya memakai piyama tadi. Tidak mungkin dia menyimpan benda benda berharga di kantungnya, kan? Eh? Memang piyama Joonghyuk ada kantungnya? Dokja memutar memori dan menemukan jawabannya adalah, 'ya'. Di bagian dada sebelah kiri yang bidang dan menonjol. Dadanya— hm....
....maksud Dokja—
Kenapa malah berpikir tentang bagian itu!! Yah memang bagian itu enak dipandang, pasti enak juga dipegang—, astaga. Demi Tuan Hades yang mungkin marah karena Dokja tidak pulang, tolong lepaskan bayangan dada Joonghyuk dari kepala pendosa ini!
Sambil mengacak-acak rambut, Dokja berteriak frustrasi. Posisinya yang duduk di tangga sebuah gang gelap tampak menyedihkan terlebih karena tidak punya uang.
"Menyebalkan. Memang seharusnya kurampok dulu uang Joonghyuk."
"Atau kau bisa minta aku dengan baik-baik?"
Dokja melompat. Ia benar-benar bangkit dan melompat, lalu menoleh ke belakang. Dada yang tadi ia pikirkan— maksudnya, orang yang tadi ia pikirkan, ada di sana. Di tangannya ada buah-buah musim gugur yang ditusuk menjadi satu.
"Yoo Joonghyuk!" Dokja mengakui jika suaranya sangat kuat sampai beberapa orang menoleh. "Kau ke sini? Kau bilang tidak mau? Kau bilang tidak punya kostum? Kenapa kau di sini??"
"Mana mungkin aku biarkan Demon King berkeliaran di kerumunan manusia, kan?"
Alis Dokja beradu. Bingung dan bimbang. Antara senang dan kecewa. Tapi rasa senangnya menang karena Yoo Joonghyuk menyodorkan buah-buah itu padanya. "Kau seingin itu beli camilan sampai berniat merampok rumahku, huh?"
Dokja pikir ia memilih tidak jadi senang ketika tahu kalau itu adalah ledekan. Tapi tetap saja tusukan buah diterima dan masuk ke mulut. "Bahkan tanpa motivasi camilan, aku berniat merampok rumahmu. Kalau kau tetap mengurungku di luar seumur hidup."
"Masa hidup kita beda jauh, kan? Jadi setelah aku mati kau boleh masuk."
"Tidak ada gunanya kalau begitu, bodoh."
Joonghyuk menaikkan bahu. Ia turun satu tangga dari dan mengulurkan tangannya, "Ayo, cepat genggam tanganku." Pada Dokja yang membeku sesaat.
Oh, itu tangan yang mengobati luka-luka lecet hasil memahat kemarin, tentu saja Dokja meraihnya. Hangat dan kokoh yang begitu nyaman ketika menggenggam. Ternyata Yoo Joonghyuk selembut ini.
Mereka berjalan mengikuti parade. Orang-orang berpakaian aneh itu, melambaikan tangan, melemparkan senyum dan cium, lalu menari. Mereka sangat bahagia meski berkata hari ini para penghuni neraka mendaki kembali ke dunia. Atau mungkin kebahagiaan ini ditujukan pada penghuni neraka yang terlalu lama menderita? Dokja tidak tahu.
Yang ia tahu hanya tiba-tiba Joonghyuk menarik tautan tangan meraka lebih ke tengah dan membawa Dokja dalam sebuah tarian.
Ketika pinggang dirangkul dan Dokja tanpa sengaja meletakkan tangan di pundak Joonghyuk yang tegap, kilapan cahaya labu begitu indah keemasan.
"Tidak terlalu istimewa, kan?" Joonghyuk berkata demikian, sembari bibirnya menyimpulkan segaris senyum yang tipis. Membawa Dokja ke kanan dan berputar lalu menariknya lebih dekat dalam ritme yang ceria. "Di rumahmu tidak ada parade?"
"Tidak seramai ini." Mata Dokja akhirnya lepas dari Yoo Joonghyuk. Dalam putaran yang dipandu genggaman Yoo Joonghyuk, ia bisa melihat segala sisi parade itu. Seakan suara musik melambat, cahaya begitu gemerlap, tawa-tawa itu indah dan jujur, "Aku suka, Joonghyuk."
"Kau suka aku?"
Seketika kaki Dokja tergelincir.
Untung tangan Joonghyuk ada di sana menumpu pinggangnya.
Dokja akan mengabaikan debaran atas pertanyaan tiba-tiba itu dan memilih menarik telinga Joonghyuk yang paling dekat dengan salah satu tangannya. Mencuri-curi sensasi lembut dari rambut hitam yang dingin sebab belum kering sempurna. Dokja hanya mencibir, "Benda ini tidak berguna."
"Hei, hentikan."
Tarikan pada telinga berakhir dengan tawa Dokja. Ia melihat kembali Yoo Joonghyuk, namun kini bukan wajahnya melainkan tubuhnya. Dokja tidak akan membantah jika suatu hari muncul deklarasi yang menyebutkan Yoo Joonghyuk punya tubuh sempurna. Lihatlah pinggang rampingnya yang penuh dan tegap, tinggi badannya, postur yang sempurna, apapun akan cocok jika terpasang di badan itu, atau mungkin jika tidak ada apa-apa terpasang di sana—
Dokja membenturkan kepalanya pada benda terdekat, yang sial dan untungnya, adalah dada Yoo Joonghyuk.
"Astaga, kau gila?"
Setelah menyadari bahwa kecerobohan membuatnya bersentuhan dengan dada— maksudnya, Joonghyuk— perasaan Dokja bimbang antara malu atau bersyukur. Jadilah ia hanya melepas tawa sambil menangis dalam hati.
"Omong-omong, kau bilang tidak punya kostum." Kalimat Dokja meluncur lebih dahulu dengan senyum palsu yang menyembunyikan pikiran, sekaligus pengalihan isu. Setelah kalimat itu selesai, barulah Dokja menyadari bahwa Yoo Joonghyuk mengenakan kostum.
"Kau!" Ia mengeratkan cengkraman, namun karena tangan Joonghyuk lebih besar, Dokja memilih curang dengan menekan kuku-kukunya, "Kenapa kau pakai kostum Pendeta?!"
"Uh? Ini bukan kostum sebenarnya, tapi kupakai saja. Kita terlihat cocok."
....Huh?
....Astaga.
Kim Dokja memaksa tarian mereka berhenti.
"Kau seorang Pendeta?!?!"
Astaga.
ASTAGA.
Dokja begitu terkejut sampai tanpa sadar dia menendang tulang kering Yoo Joonghyuk yang masih memproses keterkejutan Dokja. Sebab rasa sakit, genggaman itu terlepas dan ketika itulah Dokja berlari pergi.
Tentu saja dia terkejut. Demi apa Yoo Joonghyuk yang Dokja kira pengangguran sok sibuk itu seorang Pendeta? Kenapa Pendeta suka menyendiri di tempat terpencil dan menampung seorang iblis di rumahnya? Oh tidak, dia tidak benar-benar memasukkam Dokja ke rumahnya.
Jadi karena itu Dokja tidak bisa masuk ke rumahnya?!
Dokja merasa sangat berantakan sampai ia tidak tahu kenapa sudah sampai ke sebuah gang gelap yang lain, dengan kondisi terpuruk yang sama ditambah sebuah rasa idiot penuh kebodohan dan kecewa.
Kenapa dia tidak sadar?
Karena Joonghyuk tidak pernah melakukan sesuatu yang biasa dilakukan orang beriman pada eksistensi pendosa seperti Demon King!
"Ah, menyebalkan!" Wajah Dokja tenggelam dalam rasa putus asa yang tertampung di kedua tangannya.
Duh.
"Kenapa kau suka sekali lari ketika aku datang, huh?"
...Duh duh...
Saat ini Dokja sangat tidak ingin melihat dada— maksudnya, orang itu. Tolong jangan datang dulu sampai Dokja selesai putus asa!
"Kim Dokja?"
"Kau datang untuk mengusirku?" Dokja menarik napas dalam sebelum melanjutkan, "Kau datang untuk mengawasi iblis yang berada di kerumunan manusia? Kau takut aku melakukan hal jahat?"
"Ya, aku harus mengawasi iblis sepertimu di kerumunan manusia sebanyak ini." Jawaban Joonghyuk yang meluncur cepat, tenang, dan tanpa kebohongan rasanya sangat menyakitkan. "Tapi bukan karena aku takut kau berbuat jahat."
Kecuali kalimat itu yang membuat rasa sakit Dokja tertahan.
"Kau sendirian, di tengah manusia ramai, di tempat yang tidak kau kenal, di waktu yang seharusnya tidak kau lalui. Kupikir kau sudah pulang dan berada di rumahmu dengan aman, tau-tau kau masih di hutan itu untuk melihat anak-anak mengambil permen?"
"Itu terserahku!"
"Ya karena itu aku harus mengawasimu!"
Dokja tidak tahu raut seperti apa yang ditampilkan Joonghyuk di belakang sana, tapi jelas sekali ada desah napas berat seakan Joonghyuk merasa terbebani, cemas, sulit, pelik.
"Kau mungkin tangguh, tapi kau tidak tahu apa yang akan terjadi jika sial di dunia manusia, Kim Dokja. Terlebih karena kau suka terlibat masalah konyol entah apa. Mana mungkin aku tinggalkan kau sendiri?"
Entah kapan tepatnya Dokja menolehkan wajah melihat Joonghyuk. Di matanya pemuda itu tengah tersenyum, pada Dokja yang tertegun.
"Kau Demon King paling lugu yang pernah kutemui," tangan Joonghyuk menangkup di salah satu pipi. Membelai perlahan.
Dari sisa-sisa cahaya lampion yang merambat ke gang itu, Dokja bisa melihat tatapan manik hitam lembut serta segaris kurva tipis yang cukup membuat membakar rona.
Refleks Dokja menelan ludah. Lalu menangkap tangan Joonghyuk yang membelai pipinya. Memegang telapak tangan itu beberapa senti di depan dada seakan ingin menyampaikan resonansi debaran jantungnya pada Yoo Joonghyuk.
Dokja tahu ia harus membalas, namun tidak tahu harus membalas apa. Dari sekian banyak pilihan kata tersedia dan tidak tersedia di kepala, Dokja malah memilih satu kalimat.
"...Kau pernah bertemu Demon King lain?"
"Belum sih..."
Jawaban singkat itu menggoda sebuah gelak keluar dari bibir Dokja. Mengangkat perasaan gundar yang tadi membuatnya sempat sengsara.
"Omong-omong, Kim Dokja," Yoo Joonghyuk berucap, "Kalau kau mau kabur lagi, coba cari tempat yang lebih bagus."
END
SeaglassNst
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top