Day 04 - Han Sooyoung's Plan

Seharusnya dan memang seharusnya, Yoo Jonghyuk tidak mengikuti ajakan Han Sooyoong untuk ikut serta dalam hal konyol seperti pergi berlibur ke sebuah vila dengan pemandian air panas di tengah gunung pada musim dingin hanya karena alasan ingin melihat warna jingga dan putih menyatu. Konyol. Sangat konyol.

Ia bisa berdiam diri di rumah dengan coklat panas atau segelas anggur sembari bermain gim RPG atau mungkin hanya tidur sepanjang hari. Seharusnya. Sehingga tidak perlu berada di tempat entah dimana bersama seorang, entah siapa, dengan cara entah bagaimana.

"Menyebalkan." Yoo Jonghyuk sengaja mencibir dengan kuat agar pemuda berkulit putih dan tampak tidak ada harapan itu bisa mendengar.

Situasi ini dimulai beberapa jam lalu, ketika mereka bermain ski di lereng gunung. Yoo Jonghyuk sedikit banyak berpikir bahwa semua akan terlihat baik dan ia mulai menikmati liburan Han Sooyoong— jika saja, orang asing ini tidak menabraknya dan membuat mereka bergelinding bersama di salah satu lereng yang memiliki tanda batas berbahaya.

"Menyebalkan."

"Ya aku sudah dengar! Maaf oke? Daripada mengumpat, coba lakukan sesuatu!"

Jonghyuk yakin orang pada umumnya akan berkata seperti itu namun si pemuda asing malah tetap terdiam menekuk tubuh dan menggesek-gesekkan tangan. Dia kedinginan. Terlalu kedinginan untuk meladeni Jonghyuk yang masih setia kesal.

"Kemarikan syalmu," Jonghyuk berkata, "Gunakan ini." Ia mengulurkan mantelnya. Lebih tebal dan cukup besar membungkus orang itu.

Dengan tubuh gemetar, orang itu buru-buru melepas syal lalu mengenakan mantel Jonghyuk. Semangat sekali bertahan hidup. Atau cuma tidak ingin tersiksa?

Udara di tempat ini tidak terlalu dingin, namun jika malam semakin dekat, Jonghyuk tahu bahkan dirinya tidak akan bertahan hanya dengan sweater dan dua buah syal.

"Menurutmu," pemuda itu bersuara, "Menurutmu apa kita akan baik-baik saja jika tetap di sini?"

"Jika kita pergi, regu pencari akan lebih kesulitan. Aku tidak tahu arah ke vila."

"Begitu..."

"Ya begitu, jadi diam dan kuatkan dirimu."

Mungkin ini sebuah keberuntungan di tengah-tengah rentetan nasib sial. Jonghyuk sangat lega ketika menemukan sebuah gua kecil yang bisa menjadi tempat mereka berlindung daripada berada di tengah hutan salju.

"Boleh aku ke sana?" Tiba-tiba si orang asing bersuara.

"Untuk apa?"

"Dingin.."

Bukankah sedikit berlebihan mengatakan hal itu pada orang yang telah meminjamkan mantel dan bertahan dengan sweater? Jika saja bukan karena terlalu lelah meratapi nasib, Jonghyuk tidak akan mengatakan, "Terserah."

Kemudian orang itu merangkak menuju sisi Jonghyuk. Tubuhnya lebih kecil. Ia bersandar dengan begitu rapat hingga Jonghyuk bisa mengira-ngira sepanjang apa bulu matanya, atau semancung apa hidungnya yang memerah.

Oh. Sepertinya hipotermia membuat pikirannya mulai berantakan.

Di luar langit mulai gelap dan ada rasa cemas jikalau tidak ada yang datang mencari. Tapi Jonghyuk yakin, Sooyoung yang sangat ia benci itu tidak akan pernah melupakan seorang pun dari temannya. Dia wanita berhati lembut yang tidak ingin kehilangan siapapun dan melakukan apapun untuk melindungi orang yang berharga.

Walau Jonghyuk ragu apa keberadannya termasuk berharga bagi Sooyoong, ia tetap percaya wanita itu akan menyelamatkan mereka— atau mungkin sekadar meminta regu penyelamat untuk menyelamatkan mereka. Apapun itu, Jonghyuk hanya berharap terjadi sebelum hari gelap. Karena meskipun tahan dingin, ia tidak ingin berpapasan dengan serigala malam apalagi beruang. Tidak, terimakasih.

Ketika tenggelam dalam pikiran, seketika, Jonghyuk tersentak.

"Apa yang kau lakukan?" ia merasa dingin menjalar di tangannya dan orang itu adalah si penyebab.

"Pipiku membeku," Dengan tidak berdosa ia meraih tangan Jonghyuk. Menggenggamnya dan sekali lagi memancing reaksi terkejut yang sebenarnya cukup menggemaskan untuk ukuran Yoo Jonghyuk.

"Berhenti menyentuhku! Tanganmu dingin!!" Jonghyuk menarik tangannya, serta tubuhnya, namun orang itu, dengan mata yang bewarna hitam dan sayu seperti ingin menangis.

"Aku kedinginan."

"Kau sudah dapat mantelku...."

"Aku kedinginan." Dia seperti bocah. "Wajahku kedinginan. Aku tidak pakai syal."

Apa-apaan mata anak anjing itu?

"Kumohon?"

Tuhan. Jonghyuk bersumpah bahwa sesungguhnya, jika bukan karena lelah untuk berdebat, ia pasti sudah melempar orang ini keluar gua. Jonghyuk bersumpah juga bahwa bukan karena tatapan minta dikasihani dan figurnya yang rapuh yang membuat Jonghyuk sekali lagi menghela napas dan mengatakan, "Terserah."

Ada senyum yang mengembang seiring dengan orang itu menangkup tangan Yoo Jonghyuk. Dengan segera menempelkannya pada pipi yang ternyata lebih kenyal dari bayangan.

"Kenapa tanganmu tetap hangat walau tidak pakai mantel?" Ia berkata dengan wajah yang seperti meleleh dan begitu pas tertangkup di telapak tangan Jonghyuk.

"Tidak tahu," jawabnya, "Wajahmu tidak terasa sedingin itu."

"Hmm.. Dingin." Matanya terpejam. Seakan tenggelam dalam kehangatan kecil yang bisa Jonghyuk salurkan.

Tapi, dari segalanya, Jonghyuk tidak bisa berpaling. Ia menatap lama bentuk wajah, bibir tipis serta hidung mungil. Garis matanya lentik di kedua ujung dan ketika jari tangan Jonghyuk bergerak untuk memberi sebuah usapan, sepasang obsidian menyambutnya. Manis sekali.

Oh.

"Hm?"

Jonghyuk merass ingin menatap hitam itu lebih lama.

Kemudian sebuah kalimat muncul untuk menariknya kembali ke kewarasan. "Hei kau dengar sesuatu?"

"Apa?"

"Coba dengar," si orang asing memejamkan mata sejenak, lalu kembali membukanya dan berkata, "Kan?"

Jonghyuk mulai merasa dia berhalusinasi, jika saja sebuah samar suara tidak benar-benar mencapai telinganya.

"...Ja!"

Suara samar itu mendekat. "Itu tidak jauh."

"Dokja-ssi!!"

Orang itu tiba-tiba saja melompat bangkit dan berlari keluar gua, sementara Yoo Jonghyuk mengikuti di belakang dengan penuh harap dan bingung.

"Disini!" Orang itu berteriak, lalu teriakan lain menyahut. "Kau benar, mereka menemukan kita."

Dalam beberapa menit yang masih diisi Jonghyuk dengan bingung, kini sirna sebab ia melihat wanita berambut panjang melambai ke arah mereka.

"Sang Ah-ssi!" Orang itu segera berlari dan mereka berpelukan.

"Astaga, aku cemas sekali Dokja-ssi..." wanita itu menangis haru sebelum melepas pelukan mereka, "Oh, kau menggunakan dua mantel?"

"Ya, dia meminjamkanku."

Jonghyuk senang mereka selamat. Setelag segelas brendi hangat dan perjalanan singkat, tahu-tahu ia tiba di penginapan. Mempertahankan sebuah rasa bingung yang disebabkan oleh Sooyoung, karena berada di sana. Di dekat penghangat, dengan pakaian tebal, memakan camilan, menenggak alkohol, dan berkata, "Oh kau selamat.."

"Ap- hh.." Jonghyuk tidak mengerti. "Kau benar-benar tidak mencariku?"

"Kenapa aku harus?"

Kenapa? Karena musibah yang menimpa Jonghyuk terjadi karena ajakannya? Bukan? Karena mereka teman? Bukan?

"Aku tau kau pasti selamat entah bagaimana caranya. Daya survival-mu tinggi, tahu?"

"Tapi—" itu bukan alasan dia duduk bersantai di sini seakan Jonghyuk adalah protagonis super keren yang tahan banting dari sebuah novel aksi penuh darah. Tidak mati walau ditebas atau dipecah belah, dan selalu kembali dengan selamat. Tidak. Yoo Jonghyuk hanya pria 22 tahun yang suka bermain gim dan tidak pandai berkomunikasi.

"Jangan pikirkan itu, Yoo Jonghyuk. Lebih baik kau mandi, makan, lalu temani aku minum. Cepat sana."

Sekali lagi, Yoo Jonghyuk, mengatakan pada dirinya, bahwa seharusnya, dan memang seharusnya ia menolak ajakan Han Sooyoung sedari awal.

.

0-0-X-0-0

.

Hari ini, untungnya, adalah hari kepulangan mereka. Jonghyuk sudah selesai mengemas barang barang dan menanti Sooyoung di depan vila hingga akhirnya wanita itu muncul dengan sebuah permen tangkai di mulut.

"Kau pasti sedih kita harus pulang," sindir Sooyoung.

"Berisik."

Mereka melewati jalan setapak menurun yang di sisi kiri kanannya tertutup putih salju. Matahari tidak menyengat dan udara cukup hangat. Hari yang baik untuk keluar dari masalah.

"Ngomong-ngomong kau pulang tanpa mantelmu kemarin," kalimat Sooyoung yang cukup tiba-tiba memunculkan tanda tanya. "Hari ketika kau hilang saat ski? Kau pulang dengan sweater, mana mantelmu? Jangan bilang sobek karena kau bertarung dengan beruang?"

"Kau. Kau terlalu banyak berkhayal dan berhenti menjadikanku model khayalan fiksimu." Jonghyuk benar-benar lelah dengan kebiasaan itu. Kalau ingin membayangkan sesuatu, Jonghyuk lebih suka Sooyoung membayangkannya sebagai gamer tingkat dunia atau mungkin seseorang yang tinggal sendiri, jauh dari keributan, bergelimang harta.

"Lalu? Mantelmu?"

"Aku berikan pada orang yang ikut jatuh waktu itu."

Sooyoung tampak terkejut. Dia memang terkejut. "Kau? Dari seluruh orang di dunia? Memberikan mantel pada orang lain ketika terdampar dan dinginnya udara malam bisa membunuhmu?" Agak-agaknya Jonghyuk ingin membuat wanita itu menelan permen dan seluruh tangkainya. "Besok akan hujan berlian."

Jonghyuk benar-benar meremas kepala Sooyoung yang membalas menarik pipinya. Pertemanan yang penuh aksi memang sangat membahagiakan.

"Hei—"

Dan selalu ada saat dimana kebahagian itu terjeda. Dia adalah orang yang terjatuh membawa Jonghyuk bersamanya.

"Masih ingat aku?"

"Tentu." Dengan kuda-kuda yang masih siap menyerang, masing-masing Jonghyuk dan Sooyoung melepas serangan mereka.

"Oh dia orang yang kau pinjami mantel, hm?" Sooyoung menatap nakal hingga Jonghyuk merasa ingin sekali lagi meremas kepalanya.

"Ya, tentang itu. Aku berterima kasih." Pemuda yang kini tampak cerah walau masih terlihat tidak punya harapan itu, menyodorkan sebuah paperbag.

"Aku sudah mencucinya."

"Oh, ambil saja," Jonghyuk berkata cepat. "Aku merasa tidak akan pernah memakai mantel itu lagi."

"Karena sudah kupakai?"

"Karena membuat ingat aku pernah berguling lima belas meter menuruni lereng."

"Haha.. Pengalaman yang bagus," Sooyoung menyela, "Karena Yoo Jonghyuk sudah memberinya, kau harus menjaga barang itu dengan baik."

"Han Sooyoung, diam."

Cibiran Sooyoung berhenti ketika pemuda asing melanjutkan, "Uhh.. Karena kau bilang begitu aku juga tidak mau menggunakannya lagi."

"Buang saja kalau begitu." Dengan ringkas dan ringan, Jonghyuk berujar.

"Sayang.."

Satu kata itu membuat baik Sooyoung maupun Jonghyuk terdiam.

"Akan kusimpan untuk kenang-kenangan." Dengan sebuah senyum pemuda itu mengitruksi satu bait degup jantung Yoo Jonghyuk terpotong. Lalu dengan santai ia memberi salam dan pergi.

Sooyoung menatap si pemuda berjalan jauh lalu beralih pada Jonghyuk, yang masih membantu. Kemudian ia bersiul.

"Kau ini payah sekali."

Kalimat itu menarik Jonghyuk dari kegiatan memandangnya dan melempar tatapan iritasi pada Sooyoung.

"Hei!" Gadis itu berteriak dan syukurlah orang yang ia harap untuk terpanggil benar-benar berhenti melangkah dan menolehkan wajah. "Ini Yoo Jonghyuk," Sooyoung menunjuk pemuda di sebelahnya, "Aku Han Sooyoung, kau?"

"Kim Dokja."

Ia mengatakan dengan nada yang biasa. Yang hanya bisa Sooyoung balas dengan sebuah senyum sambil melihatnya punggungnya menjauh. Begitu biasa, namun cukup membuat desiran asing di dada Yoo Jonghyuk.

"Hm.. Aku tidak tahu ada yang bisa mekar di musim dingin." Sekali lagi Sooyoung menarik Jonghyuk dari keheningan.

"Bunga?"

"Cinta pertama."

"Huh?"

Setelah memberi dua buah tepukan di pundak Jonghyuk, Sooyoung melanjutkan langkah. "Aku akan berjuang untuk kebahagiaan percintaanmu, Yoo Jonghyuk. Tapi jangan terlalu bodoh karena kau memang menggemaskan tapi lebih banyak menyebalkan.."

Perempatan kesal muncul di dahi Jonghyuk. "Aku mungkin tidak memukul wanita, tapi aku bisa mendorongmu hingga berguling sampai ujung jalan setapak ini."

"Kau," Sooyoung melirik kesal, "Kurangi sifat psikopatmu itu jika ingin sukses dengan Kim Dokja."

"Aku benar-benar akan mendorongmu, Han Sooyoung." Tangan Jonghyuk menangkap bagian belakang mantel berbulu wanita itu. Meremas dengan penuh amarah dan tatapan akan benar-benar merealisasikan niatnya.

"Woah, sebaiknya jangan. Aku satu-satunya penolong untuk dirimu yang idiot soal romansa."

"Kudorong–"

"IYA!" Detik sebelum terjadi sebuah hal mengerikan, Sooyoung meraih mantel pemuda itu. Ia bersumpah akan menarik Jonghyuk untuk tersungkur bersama jika benar-benar akan didorong. "Hentikan. Hentikan.. Tidak akan kulakukan lagi. Oke?"

Jonghyuk melapas genggamannya. Bukan karena percaya Sooyoung akan berhenti, melainkan karena ia tidak benar-benar ingin mendorong wanita itu. Yah, walau tidak bisa dipungkiri ia tetap punya hasrat membuat Sooyoung tersedak permen beserta tangkainya.

"Kau benar-benar menyebalkan," wanita itu tidak akan berhenti berkomentar, "Semoga Kim Dokja tidak lelah dengan sikap menyebalkanmu itu."

"Sikapku tidak ada hubungannya dengan orang yang tidak akan kutemui lagi."

Itulah kalimat yang diucapkan Yoo Jonghyuk untuk mengakhiri liburan musim dingin mereka. Tidak tahu bahwa takdir terkadang memberi kejutan seperti pertemuannya kembali dengan Kim Dokja. Di sebuah peron kereta. Musim panas.

END

Day4
SeaglassNst

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top