Day 02 - Take Me Out

Kim Dokja sudah membayangkan akhir seperti ini sejak saat dimana ia berlari di taman bunga dandelion bersama Lee Hyunsung dan Jung Haewon. Mereka berdua akan bersama, dan saat ini telah bersama. Dengan segenggam carnation putih di tangan, Haewon tersenyum di altar. Tangannya menggenggam Hyensung, tersenyum. Tak lama kemudian sepasang cincin terpasang di kelingking masing-masing, mereka berciuman, orang-orang bertepuk tangan, pun Kim Dokja.

Membosankan.

Kota kecil yang hanya ada untuk tempat hidup dalam sebuah alur yang jelas ini membosankan. Dirinya yang hanya hidup di dalam kota ini juga membosankan.

Di dunia dengan sihir dan monster yang berkeliaran, kota ini hanyalah tempat anak-anak kecil berlarian di ladang bunga, berenang di sungai yang tenang, menendang bola di jalanan berpaping merah. Para remaja pergi ke sekolah, atau mungkin menikah muda seperti Hyensung dan Haewon. Lalu mereka akan punya anak yang juga akan berlarian di ladang bunga. Kedamaian ini menenangkan, namun sesuatu di dalam diri Dokja selalu bergejolak. Meminta untuk sebuah kesenangan yang mendebarkan. Yang asing dan penuh tanda tanya.

Dan jawabannya ada pada seorang pengembara yang singgah. Dengan tangannya yang penuh luka dan raut tidak bersahabat memancing rasa penasaran.

"Kau darimana?" Dokja menyapa terlebih dahulu. Duduk di tepi sungai tempat pengembara itu membasuh wajah. Air mengalir dari rambut hitam yang lebat dan tampak berkilauan. Gelap, namun seperti seluruh rasi bintang ada di sana. Pengembara itu diam. Tangannya menarik pedang dari sarung dan sejenak Dokja berpikir ia akan tertebas, namun nyatanya tidak.

"Pertama kali lihat pedang?"

Dokja menggelengkan kepala, "Pertama kali lihat yang bersinar dan mengkilap." Ia ingin tahu apa yang ditebas oleh pedang itu.

"Kau tahu di Barat ada sebuah negara yang dilanda perang saudara?"

"Barat?" Dokja melihat arah matahari senja, "Tidak."

Kota ini terlalu damai untuk memikirkan kota-kota yang lain. Tempat dimana semua akan berakhir bahagia dan tanpa sebuah kendala. Luka di tangan pengembara itu, tatapan matanya yang tajam dan suram, cara bicara yang dingin dan suara dalam, adalah semua hal yang tidak akan pernah ditemukan di kota ini.

"Negara itu tempat aku lahir," Sang Pengembara membasuh pedangnya. "Tempat dimana kau bisa jadi apapun yang kau mau. Penyihir, petualang, ksatria, pemburu, penjual bunga, apapun."

Dokja berbinar. Seiring kata demi kata yang terucap dari bibir orang itu, degup-degup asing bergemuruh di dada. Dokja duduk lebih dekat, memasukkan kakinya ke sungai berharap bisa meredakan semangat.

"Tapi sedang ada perang saudara?"

"Ya, menyebalkan." Konteks dari pernyataan tersebut adalah hal tragis, namun dengan cara Sang Pengembara berucap, Dokja tidak bisa menahan diri untuk melepas sebuah gelak tawa. "Kenapa kau tertawa?"

Bahunya naik sebagai jawaban.

Pengembara itu menghela napas kemudian juga ikut memasukkan kaki ke dalam sungai. Dokja melihat bekas luka yang lain, guratan otot yang tegap menandakan dia sering berlari, berjalan, menggunakan seluruh tubuhnya untuk bertahan.

"Airnya dingin."

Dokja tahu kalimat yang diucal orang itu hanya sekadar basa-basi sebab Dokja benar-benar melihat Si Pengembari membasuh wajah tadi. Sekali lagi ia tergelak.

"Di negara itu, ada sungai yang mengalirkan air hangat." Tawa Dokja terjeda, matanya kembali berbinar. "Sungainya membentang dari istana, melewati sebuah kolam yang besar, sampai ke tembok batas ibukota. Anak-anak sering bermain disana, para pelacur dan pengembara terkadang menggunakan airnya untuk mandi di musim dingin."

"Wow, ada pelacur di sana?"

"Tentu," Dokja tidak akan berbohong jika mengatakan bibir pemuda itu naik mengekspresikan sebuah senyum kecil. "Aku sudah katakan, semua orang bisa jadi apapun di sana. Pengusaha kaya, musisi jalanan, penghibur malam, budak."

Dokja terbungkam sejenak. "Lalu perang saudaranya?"

"Sudah berjalan sepuluh tahun," dengan kalimat itu si pengembara melihat jauh ke dalam air yang memantulkan bayangan wajah. Ia melihat dirinya, seakan mencoba untuk tidak lupa. Seakan mencoba menggenggam segala kenangan yang hampir ia buang. "Ya, sepuluh tahun."

"Jadi kau sudah mengambara selama itu?"

"Ya."

Detik setelah pengulangan kalimat yang terucap dengan suara rendah, Dokja merasa kerongkongannya sulit menelan ludah. Ia merasa jahat jika melanjutkan. Namun ia ingin tahu. Ia sangat ingin tahu. Dan rasa ingin tahu itu mengubur segan hingga Dokja kembali bertanya, "Apa kau tidak ingin pulang?"

Ada sebuah keheningan yang aneh. Seakan hembusan angin menjadi jawaban untuk pertanyaan Dokja, seakan aliran air yang menghantarkan dingin pegunungan menjadi sebuah tanda untuk melupakan dan berkata dengan sederhana, 'maaf telah bertanya.'

Namun, keheningan itu tidak berlangsung lama. Pengembara itu membuka mulut, tanpa suara, tetapi Dokja tetap menanti sebuah jawaban.

"Aku akan pulang."

Ia berhenti menatap pantulan wajahnya. Dengan pandangan lurus ke depan, seperti ada seribu keyakinan bahwa ia akan mewujudkan perkataannya. "Aku akan pulang. Aku akan merebut negeriku."

Itu...

"...hebat."

Tanpa sadar kata itu lepas dari bibir Dokja, memancing sepasang manik obsidian untuk memandang penuh rasa heran. Kali ini, giliran Pengembara yang bertanya, "Kenapa kau bilang begitu?"

"Memiliki sebuah tempat tujuan, menurutku hebat," jawabnya. "Aku lahir di sini, besar di sini, semua orang bahagia tetapi aku tidak, dan tidak ada yang peduli. Mereka mementingkan kestabilan desa, keinginan bersama. Namun aku ini egois, kau tahu? Bagus jika mereka bahagia tapi aku tidak senang jika terus berpura-pura bahagia bersama mereka. Aku kesal. Tidak ada yang mengerti. Aku benci kota ini."

Pemuda itu menyimak tanpa mencela. Membiarkan Dokja mengatakan semua perasaan yang menjadi rahasianya pada seorang yang hanya berperan sebagai Pengembara Asing. Begitu lepas. Begitu jujur.

"Itu dalam sekali," sekali lagi Dokja melihat ujung bibir tipis pemuda itu naik. "Kau harus katakan pada mereka, bukan aku."

Bibir Dokja yang mengerucut menjadi alasan senyum pengembara itu semakin lebar. "Tapi kau baik-baik saja disini, bukan? Tempat yang aman. Aku tidak akan pergi jika punya rumah."

Memang mungkin benar-benar jahat jika mengatakan ini pada orang yang kehilangan segalanya dan dipaksa luntang-lantung mengembara sendirian di atas bumi. Tapi Dokja tetap mengatakannya.

"Aku ingin melihat laut," di dalam kepala, ia membayangkan sebuah hamparan biru bertemu biru. Mereka berkilauan, beraroma cakrawala. Dokja ingin tahu bagaimana suara camar, ingin tahu bagaimana berisiknya para awak kapal yang bongkar muat di pelabuhan. "Atau mungkin gurun."

"Hm, aku setuju dengan laut, tapi gurun terlalu sulit untuk anak rumahan sepertimu."

Sekali lagi Dokja mengerucutkan bibir.

"Kalau kau yang berpengalaman ada di sana mengawasiku, tidak masalah." Kalimat itu bernuansa perintah, seakan mereka benar-benar akan pergi ke gurun esok hari atau mungkin malam ini. "Aku cuma mau pergi dari kota ini. Melihat sesuatu yang lain, sisi dunia yang lain."

"Kau positif sekali. Dunia luar tidak semenyenangkan bayanganmu."

Dokja melirik tangan kekar yang berada di atas rerumputan. Jelas sekali luka-luka itu menjadi peringatan bahwa hal buruk juga mengisi kehidupan di luar sana.

"Kau benar-benar sudah berusaha keras sendirian, ya?"

Kalimat itu seperti sambaran. Namun, Sang Pengembara lebih terkejut ketika jari Dokja membelai bekas luka di tangannya. Mengikuti garis luka itu dengan ujung jari. Membuat sentuhan yang tidak pernah lagi ia rasakan tanpa niat menyerang. Dan aneh sekali ia tetap membiarkan orang asing melakukan itu.

"Hei, ajak aku keluar dari sini."

Alis menukik tajam, "Idiot," dan tanpa sadar Pengembara itu menggenggam jemari-jemari milik si pemuda desa agar berhenti bermain ukir mengukir bekas lukanya.

"Ayolah, tidak akan ada yang sedih kalau aku menghilang."

"Kau tidak punya orangtua?"

"Mati."

"Teman?"

Sebuah gumam mengawali, "Teman bermain, tapi mereka baru menikah jadi tidak akan terlalu sibuk mengurusku."

"Hah. Kau ternyata sama kesepiannya denganku."

"Makanya ajak aku." Cara bagus untuk mengakhiri percakapan, namun Sang Pengembara tidak kurang keras kepala dari Kim Dokja.

"Dengar," katanya dengan tatapan serius yang jatuh pada sepasang onix milik Dokja. "Mungkin kau harus belajar mensyukuri hidupmu di sini. Kau bisa bangun ketika matahari bersinar, tanpa teriak ketakutan atau api yang membakar rumah. Kau tidak perlu memikirkan akan makan apa atau tidur dimana. Kau tidak perlu khawatir tentang monster dan penjahat. Kau tinggal di sini dan beberapa tahun lagi kau mungkin akan menikah dengan orang yang kau sukai. Bukalah toko roti atau semacamnya, lalu mati dengan bahagia."

"Itu terdengar seperti kau menceritakan impianmu," Dokja mengatakan dengan sebuah tawa penuh ledekan juga terima kasih, "Tapi itu bukan milikku."

Sebuah helaan napas menjadi akhir dari kalimat yang ceria. Dokja kembali melanjutkan, "Tidak akan ada yang berubah di sini. Kota ini memang diciptakan hanya seperti ini. Setiap hari, setiap musim, setiap tahun. Semua orang akan menjalani hidup yang sama lalu mati dengan cara yang sama. Seperti lingkaran. Dan aku tidak mau seperti itu."

"Memangnya itu hal yang buruk?"

Alis Dokja mengernyit. "Ada banyak hal yang tercipta di dunia. Ribuan manusia. Berbagai jenis hewan. Beraneka macam rasi bintang dan warna samudra. Kau bertanya apakah mati membosankan di sini adalah hal yang buruk daripada menjelajahi semua yang belum pernah kulihat? Kalau begitu- Ya. Itu hal yang buruk."

Pengembara itu, menanggapi dengan serius lalu mendekatkan wajahnya. Mencari percikan rasa ragu atau takut yang mungkin muncul di dalam mata berwarna hitam itu. "Kau mungkin mati sebelum melihat semuanya."

"Kalau begitu kau harus melindungiku."

"Kenapa aku harus?"

"Karena kau tetap menggenggam tanganku seperti ingin melindungiku?" Dokja membuat sebuah pernyataan bernada pertanyaan dengan nada menggoda. Dan seketika Pengembara itu melihat pada ujung tangannya yang memang ternyata, tanpa sadar, masih menggenggam jari-jari Dokja.

Sebuah keheningan, mungkin ia malu atau mungkin ia tengah mencari alasan lain untuk menolak ide konyol si pemuda desa. Tidak ada sebuah keraguan dan tidak ada rasa takut. Seluruh hasrat ingin tahu dan seluruh keingintahuannya mencari hasrat terpancar jelas di tatapan mata. Sang Pengembara tahu, bahwa ia tidak bisa lagi mencari argumen yang tepat dan berakhir menghela napas pasrah.

Dokja tersenyum menang. Karena sebuah tanda kekalahan, dan karena pengembara itu masih juga belum melepas genggaman.

"Aku tidak mau meminta izin pada penduduk kota karena merepotkan," katanya seakan mereka akan pergi kawin lari. "Dan aku akan meninggalkanmu jika fajar besok kau belum datang ke gerbang kota."

Senyum Dokja mengembang lebih lebar. "Benar, ya?" Kali ini genggaman itu benar-benar terlepas, sebab tangan Sang Pengembara mengusap wajah gusar dan penuh sesal. "Kau tidak boleh ingkar janji, ya?"

"Ya.." Ia merapihkan barang-barangnya, "Bawa makanan."

Dokja pura-pura tidak mendengar frasa terakhir karena sibuk mengenakan sepatu. Ia berniat langsung pulang ke rumah, mengemas, lalu tidur dengan cepat setelah makan malam.

"Oh ya," ucapnya di langkah pertama, "Namamu?"

Benar-benar aneh mereka bisa bertukar kata tanpa tahu nama masing-masing.

Ada sebuah keraguan yang tergambar di raut wajah pengembara itu. Namun akhirnya ia menyerah dan menjawab. "Yoo Jonghyuk," singkat. "Kau?"

"Kim Dokja," jawabnya cepat. "Kalau begitu besok tunggu aku di gerbang kota, Yoo Jonghyuk. Aku akan mengejarmu kalau kau pergi duluan."

"Heh, kau mengancam?"

"Ya." Dokja menjawab yakin.

"Ya, terserah.. Pergilah."

Sekali lagi dengan penuh semangat Dokja melangkah. Dan sekali lagi ia berhenti. "Hei," ucapnya kembali berbalik melihat Yoo Jonghyuk yang selesai mengenakan mantel hitam dengan pedang di pinggang. Dengan tampilan seperti ini, Dokja mengakui kalau Joonghyuk memiliki figur yang sempurna dari atas sampai bawah.

"Yoo Jonghyuk," sekali lagi Dokja memanggil, "Kau menginap dimana?"

"Entah," Jonghyuk sengaja berkata demikian agar Kim Dokja tidak bertindak ekstrim seperti mendatang tempatnya menginap sebelum fajar, karena ia yakin Dokja akan bertindak demikian atas dasar semangat.

Namun jawaban Jonghyuk malah menggiring Dokja ke sebuah ide yang lebih ekstrim, seperti, "Bagaimana kalau tidur di rumahku?"

Hampir saja Jonghyuk menjatuhkan tasnya. "Tidak."

"Ayolah, aku tinggal sendiri."

"Tidak."

"Aku punya tempat tidur besar."

"Tidak."

"Aku akan siapkan makan malam dan bak mandi air hangat, ya?"

Bujuk rayu Kim Dokja terbilang berbahaya sebab Jonghyuk sudah merasakan dinginnya air di sungai dan dia membayangkan bagaimana bak mandi dengan air hangat di ruang tertutup.

"Kau hanya ingin memastikan aku tidak pergi sebelum kau datang, kan?"

Dokja tersenyum seakan bukanlah sebuah dosa jika motifnya ketahuan. "Lalu? Mau tidak?" Ia tidak menyerah.

"Kau tahu cara membuat dumpling?"

Pertanyaan Yoo Jonghyuk membingungkan dan Dokja tidak tahu, tapi demi tujuannya, ia tetap menjawab, "Ya."

"Bohong. Kau tidak tahu." Yoo Jonghyuk melihat pemuda itu tertegun lalu menggigit bibir dengan sedikit gugup namun tetap mempertahankan gesturnya yang memohon, sehingga Yoo Jonghyuk hanya bisa menyampirkan tas di bahunya dan melangkah. "Ayo."

Satu kata itu menjadi pemicu semangat lain. Dokja memasang sebuah senyum kemenangan dan berjalan mengiringi langkah Jonghyuk.

END

Day2
SeaglassNst


Pretty much inspired by this song




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top