8. Melayani Sang Suami

Part 8 Melayani Sang Suami

"Apa saja yang dilakukannya hari ini?" Kei melepaskan jas dan dasinya sembari menghampiri Leta yang sambil menggendong baby Ace di sofa. Mengalihkan tatapan dalam sang istri pada sang putra yang terlelap. Sedikit memanjakan sang putra, tapi ia sendiri suka menggendong dan menatap wajah mungil yang tak pernah membosankan itu.

Leta mengerjap dan menggeleng. Ya, memangnya apa yang dilakukan bayi selain merengek, minum susu dan tidur. Juga menyenangkan pandangannya dan memenuhi perasaannya dengan kebahagiaan sepanjang hari ini.

"Apa dia rewel?"

"Seperti biasa."

"Merepotkanmu?"

"Aku tak keberatan jika dia memang merepotkanku."

Kei duduk di samping Leta dan tersenyum dengan jawaban tersebut. "Dia sangat tampan bukan?"

Leta mengangguk dan senyum mengembang di bibirnya meski ada kerutan tersamar di keningnya akan kata-kata penuh kebanggaan Kei baru saja. Ujung matanya melirik wajah Kei, yang lama menatap wajah mungil tak pernah membosankan putra mereka. Raut kusut pria itu seketika berubah dengan senyum. Ketika hendak mendaratkan ciuman di kening baby Ace, pria itu segera menahan diri. Bangkit berdiri sambil menggumam enggan karena harus ke kamar mandi.

Begitu Kei menghilang di balik pintu, Leta beranjak untuk membaringkan baby Ace di boks bayinya. Kemudian berjalan ke ruang ganti untuk menyiapkan pakaian Kei. Dan ketika ia meletakkan di ujung tempat tidur, saat itu ia tersadar. Menatap pakaian di tangannya dengan kerutan di kening.

Apa yang baru saja dilakukannya?

Tubuhnya tiba-tiba saja bergerak ke ruang ganti, seolah sudah terbiasa menyiapkan kebutuhan Kei sepulang dari kantor. Dan baru saja, ia bahkan berniat ke dapur menyiapkan teh untuk pria itu.

Apakah memang ini rutinitasnya?

Leta meletakkan pakaian tersebut dan keluar kamar. Menuju dapur dan membiarkan tangannya bergerak seperti yang diinginkan. Mulai dari merebus air, sementara menunggu air mendidih. Ia memeriksa setiap kabinet untuk mengetahui tempat piring, gelas, dan barang-barang yang lain. Isi kulkas dan apa yang bisa mereka gunakan untuk makan malam. Tapi tampaknya semuanya ada. Membuatnya kesulitan memilih apa yang ia inginkan untuk makan malam.

"Nyonya?" Seorang pelayan mendekat, tampak panik dengan Leta yang mengeluarkan beberapa bahan dari dalam kulkas. "Apa yang bisa saya bantu? Biarkan saya yang ..."

"Ya." Leta mengangguk. "Aku akan menyiapkan meja makan."

"T-tapi Tuan melarang Anda ke dapur."

"Kenapa?"

Wanita muda tersebut terdiam.

"Siapa namamu?" Leta meletakkan potongan ayam di dalam mangkuk, udang, dan jamur. Lalu menatap si pelayan muda.

"Laila, Nyonya."

"Apa kau tahu kalau aku sedikit kehilangan ingatan?"

Laila mengangguk meski tampak meragu untuk sejenak.

"Sejak kapan kau bekerja pada kami?"

Kali ini Laila terdiam.

"Jadi kau bekerja pada kami sejak di rumah lama," gumam Leta. "Apa kau tahu apa yang terjadi dengan rumah lama kami?"

Wajah Laila tertunduk dalam. "Maafkan saya, Nyonya. Saya tidak bisa mengatakannya. Tuan akan memecat kami jika ..."

"Nyonya?" Ratih, pelayan yang lebih tua segera mendekat. Menutupi kepanikan dengan ketenangan yang sangat baik ketika berdiri menggantikan Laila. "Maafkan saya jika putri saya membuat Anda tidak senang."

"Tidak." Leta menggeleng. Tentu saja Kei sudah mengancam semua orang yang bekerja dan ada di dekatnya. "Aku tidak akan menanyakan apa pun tentang itu lagi pada kalian."

'Aku yang akan mencarinya sendiri,' lanjutnya dalam hati. Suara ketel air yang sudah mendidih terdengar. Segera mengalihkan perharian Leta.

"Biarkan saya saja, Nyonya."

"Tidak. Aku saja." Leta mengambil ketel tersebut lebih dulu dan menuangkannya ke teko kaca. "Di mana tehnya?"

Laila gegas membuka laci paling atas yang ada di dekatnya. Sementara Ratih menyiapkan set cangkir di samping teko tersebut. "Jika Anda membutuhkan sesuatu, Anda hanya perlu mengatakannya pada saya, Nyonya."

"Apa aku biasa menyiapkan teh untuk suamiku?"

Ratih terdiam, menatap sang nyonya dan menyembunyikan keheranannya.

"Tidak." Kei tiba-tiba muncul di dapur dengan rambut lembab yang masih belum disisir. Duduk di kursi pantry yang berada tepat di depan sang istri. "Teh minuman favorit Rayyan."

Leta segera membeku. Meletakkan ketel di tangannya ke meja. "Kalau begitu coklat hangat."

"Itu minuman favorit Ken."

Sekali lagi Leta dibuat menelan ludah. Menatap Ratih dan Laila yang tertunduk, seolah merasakan ketegangan yang menguar dari tubuh Kei. "Jadi apa yang biasa kau minum sepulang kerja?"

"Jus atau kopi kalau pekerjaanku sedang cukup banyak."

Leta mengangguk. Menatap air di ketel yang sudah habis, jadi ia kembali merebus air.

"Dan makan malam apa yang sedang kau siapkan?" Kei menatap bahan-bahan yang ada di meja.

"Tomyam seafood?" Leta menatap kedua pelayan tersebut bergantian kemudian pada Kei yang membeku. "Aku tiba-tiba saja ingin makan itu. Apa kau suka?"

"Tidak. Aku ingin makan sup krim jamur. Bisakah kau membuatnya untukku?"

Mulut Leta yang setengah terbuka hanya membeku. "Aku tak ingat apa aku bisa membuatnya," jawabnya kemudian dengan lirih. Sambil benaknya berusaha mengingat. Tetapi ...

"Tidak. Kau tidak bisa membuat tomyam seafood maupun sup krim jamur. Kau bahkan tak bisa menggunakan dapur dengan baik meski kau sudah bergelut di sana sepanjang umur pernikahan kita. Tanpa amnesiamu saja kau sudah cukup kesulitan mengingat setiap resep makanan. Yang bahkan kau buat hampir setiap minggu."

Mulut Leta semakin menganga. Menatap Ratih dan Laila yang memberinya senyum memaksa karena tak ingin menyinggungnya.

"Tapi kau selalu berusaha menyiapkan makan malam untukku dengan bantuan mereka. Itulah sebabnya aku tidak memecat orang-orang yang cukup dekat denganmu." Kei berhenti, menatap dua pengurus dapur tersebut dengan tatapan yang lebih intens sebelum melanjutkannya. "Kecuali kau ingin mereka dipecat, mereka bisa meninggalkan tempat ini sekarang juga."

"Tidak. Jangan," jawab Leta dengan cepat.

"Baguslah." Kei turun dari kursinya. "Panggil aku kalau sudah siap. Aku ada sedikit urusan di ruanganku."

Leta merasa napasnya kembali setelah Kei menghilang dari pandangan mereka. Wanita itu kemudian beralih pada Ratih dan Laila. "Bisakah kalian membantuku?"

Kedua pelayan tersebut mengangguk bersamaan dengan senyum yang lebih tulus. "Tentu saja, Nyonya."

"Jadi di mana kopinya?"

Ratih dan Laila kembali membeku.

"Kenapa? Ada yang salah?"

"Tuan mengatakan sedikit urusan. Jadi beliau tidak ingin minum kopi," jelas Ratih.

Leta mengangguk sambil meringis menahan malu. "Sepertinya aku selalu mengandalkan kalian, ya?"

***

Ada banyak hal yang membuat Leta sibuk sepanjang minggu-minggu tinggal di apartemen. Mulai terbiasa dengan rutinitasnya sebagai ibu untuk baby Ace dan istri Kei. Perlahan ia merasa mendapatkan kembali kehidupan lamanya meski ingatannya belum kembali. Satu kali dalam seminggu, kedua orang tua angkatnya dan Kei datang berkunjung untuk melihat baby Ace. Yang rasanya semakin tumbuh besar setiap harinya. Dan hubungannya dan Kei pun mulai berkembang ke arah yang lebih baik.

Meskipun ia masih tetap saja canggung ketika berdekatan dengan pria itu. Masih tetap saja tak terbiasa dengan sentuhan fisik maupun cumbuan yang diberikan Kei setiap kali ada kesempatan bagi mereka untuk berdekatan. Terutama ketika masa nifasnya sudah berhenti beberapa hari yang lalu.

"Bisakah kau memberiku waktu? Sedikit lagi. Aku masih belum terbiasa." Leta memberanikan diri untuk menolak. Kemarin dokter juga sudah mengatakan kondisi rahimnya sudah mulai pulih dan secara keseluruhan, kondisi tubuhnya baik-baik saja. Kei memilih suntik sebagai bentuk kontrasepsi mereka setelah menolak pemasangan IUD.

'Kami tidak berencana melakukan penundaan dalam jangka selama itu." Itulah jawaban yang diberikan oleh Kei. Jawaban yang tak benar-benar Leta pahami.

'Kenapa? Kau tidak mungkin berencana hanya memiliki satu anak, kan?'

Leta menelan ludah sementara wajahnya tersipu malu. Menyingkirkan bayangan bagaimana cara mereka membuat anaklah yang lebih mengganggunya. Seperti saat ini.

"Bagaimana kau akan terbiasa jika kau tidak ingin memulai terbiasa." Tatapan intens Kei menusuk lebih dalam kedua mata Leta yang berkedip gugup. Merapatkan belahan jubah di dada dengan kedua lengan. Seolah semua itu bisa menghalanginya menginginkan wanita itu.

Ia bukan tipe pria pemaksa. Apalagi harus memaksakan kehendak pada seorang wanita. Meski sulit untuk menahan gairahnya sementara sang istri yang begitu menggoda setiap malam berbaring di sampingnya dan hampir setiap saat pakaiannya tersingkap. Secara sengaja ataupun tidak dan menampilkan kulit telanjang sang istri yang menggoda. Tetap saja ia tak akan menyentuh Leta jika wanita itu sedang tak menginginkannya.

Akan tetapi, sekarang ingatan Leta belum kembali. Ia tak mungkin tidak menyentuh wanita itu sampai ingatannya kembali. Yang belum tahu dengan pasti kapan akan kembali. Bisa saja besok, minggu depan, bulan depan, atau bahkan dalam beberapa bulan maupun tahun. Bagaimana mungkin ia bisa menahannya selama itu? Apalagi kehidupan ranjang mereka yang sangat baik sebelum kecelakaan.

Leta tak membalas. Kei benar, bagaimana mungkin ia bisa terbiasa jika tidak memulainya. Toh Kei adalah suaminya, kan? Dan tugas seorang istri untuk melayani semua kebutuhan sang suami. Termasuk kebutuhan pria itu di atas ranjang.

Rasa panas merebak ke seluruh permukaan wajahnya ketika tubuh Kei bergerak semakin dekat. Semakin memangkas jarak di antara mereka. Dan ketika pria itu berhenti tepat di depannya, napasnya tertahan. Lalu terpekik kaget ketika pinggangnya tiba-tiba ditarik menempel di tubuh pria itu.

"Kau sudah mulai terbiasa melayaniku." Kepala Kei tertunduk dan menempelkan bibirnya di cekungan leher Leta. Tangannya mulai melepaskan tali yang melingkar di pinggang, memudahkannya untuk menurunkan kerah jubah handuk sang istri. Satu gigitan lembut di cekungan leher Leta membuat wanita itu tersentak. "Tak perlu segugup ini, biasanya kau seperti ini."

Kei mulai melepaskan jubah handuk dari kedua lengan Leta dan jatuh teronggok di antara kaki mereka. Sebelum kemudian mengalungkan kedua lengan Leta di lehernya.

Tak bisa menahan napasnya lebih lama lagi, Leta bernapas tanpa suara. Matanya terpejam, merasakan napas panas Kei yang mulai merambati hampir seluruh bagian leher dan pundak. Ketika ciuman itu bergerak semakin ke bawah, Leta menarik napasnya dalam-dalam ketika menanti apa yang akan dilakukan pria itu selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top