6. Rumah Kita
Part 6 Rumah Kita
Tiga tahun yang lalu ...
Leta menatap gaun pengantin yang membungkus tubuhnya. Pernikahan mereka terjadi begitu tiba-tiba dan ia menyerahkan semua keputusan berada di tangan sang calon pengantin pria. Yang seketika ia sesali begitu ia mengenakan gaun putih tersebut.
Gaun tersebut memiliki ekor yang panjang, dengan hiasan permata yang menyebar dari dada, pinggang dan semakin ke bawah semakin banyak lagi. Yang ia yakini sudah disiapkan beberapa bulan sebelumnya dan bukan untuknya. Terbukti dari ukurannya yang lebih kecil. Terasa sesak dan mengekspos bagian tubuh bagian atasnya terlalu banyak dari yang seharusnya. Dan yang jelas bukan gaun pengantin impiannya maupun yang akan terbayang di pikirannya.
'Kau sudah selesai, kan?'
Leta menggigit bibir bagian dalamnya. Tak perlu berbalik untuk mengetahui siapa yang muncul di belakangnya. Tentu saja calon suaminya, Kei Ganuo.
Kei melangkah, berhenti tepat di belakangmya ketika menyadari keraguan di wajah Leta. 'Ada apa?'
Leta menggigit bibir bagian dalamnya. Mengamati wajah Kei dengan hati-hati dan memberanikan diri untuk mengungkapkan apa yang dirasakan. 'Apakah sempat jika kakak meminta seseorang membawakan gaun yang lain?'
Kening Kei berkerut, mengamati penampilan Leta yang sejak tadi menarik perhatiannya. Mahkota bunga menghiasi tatanan rambut yang disanggul ke belakang, make up yang menonjolkan kecantikan alami wanita itu, dan gaunnya ... Kei menelan ludah ketika tatapannya berhenti lebih lama di dada wanita itu. Kerah V yang rendah hingga di atas perut, membuat belahan dada wanita itu terpampang jelas. Belum lagi bagian punggung yang hanya ditutupi tali spaghetti yang menyilang dua kali di atas panggul. Menampilkan kulit putih dan mulus wanita itu yang ...
'Leta merasa tak nyaman dengan pakaian ini.' Kalimat Leta menyadarkan lamunan Kei.
Kei kembali menelan ludahnya, menepis pikiran liar yang mulai memenuhi kepalanya. Selama mengenal keluarga Syailendra, tentu saja ini pertama kalinya ia melihat bagian tubuh Leta lebih banyak dari biasanya. Biasanya wanita itu memang selalu mengenakan pakaian yang tertutup dan sopan. Dan tentu saja Kei sempat meragukan hubungan ranjang mereka yang tak akan bagus setiap kali melihat cara berpakaian Leta yang sama sekali tak masuk dalam kriteria wanita yang akan ia tiduri. Mendekati pun tidak.
Tapi ... tampaknya ia tak perlu mencemaskan urusan ranjangnya. Sehingga kemungkinan ia harus direpotkan ketika ingin bersenang-senang di luar, sekarang sudah tidak masuk dalam salah satu list apa saja yang ia butuhkan dalam pernikahan mereka di masa depan. Pernikahan ini harus tetap dilaksanakan. Agar Celin mendapatkan kebahagiaan yang diinginkan sang adik.
Wajah Leta memerah ketika menyadari tatapan Kei yang terpaku pada bayangan dadanya di cermin. Wanita itu seketika menutup dadanya dengan kedua telapak tangan dan membalik tubuhnya. 'A-apa yang kakak lihat?' suaranya setengah terbata karena gugup.
Kei terkekeh, sedikit jengkel pemandangan indahnya harus diganggu. Tetapi ia harus bersabar. Ada hal yang lebih penting yang harus mereka lakukan sebelum mereka menikmati malam pertama. Yang tampaknya akan menjadi sangat panas.
'Tidak. Kita tidak punya waktu.' Kei menunjukkan jam di pergelangan tangannya. 'Lagipula gaun ini tampak sempurna di tubuhnya. Pas seperti seharusnya.'
'Tidak pas.' Leta membalas. 'Kakak membuat gaun ini bukan untuk Leta.'
***
Kepalanya tertunduk, perlahan tangannya membuka kain handuk yang membungkus tubuhnya. Lama ia menatap bekas jahitan operasi cesarnya yang tertutup plester anti air di perut bagian bawahnya. Juga kerutnya yang berkerut setelah melebar karena kandungannya yang semakin membesar. Mengingatkan dirinya akan kehamilannya.
Dan bagaimana kehamilan tersebut terjadi, Leta tak berani membayangkan bagaimana ia mengalami prosesnya. Leta yakin sentuhan fisik yang mereka lakukan pasti lebih dari yang baru saja Kei lakukan padanya. Dan membayangkan tubuh mereka akan saling bersentuhan dengan cara yang lebih intim lagi membuat Leta tak bisa menanggung kegugupannya lebih jauh lagi.
"Kenapa kau lama sekali?" Suara Kei dari balik pintu memecah lamunan Leta. Wanita itu menoleh dan melihat gagang pintu yang bergerak naik turun. "Buka pintunya, Leta!"
Leta gegas merapatkan ikatan jubah handunya, memastikan belahannya tertutup rapat sebelum memutar kunci dan membuka pintu.
"Kenapa kau menguncinya?" Kei menautkan kedua alisnya, tampak kesal ketika menatap pengunci di bawah gagang pintu.
"A-aku mandi. Aku sudah bilang ..."
"Aku sudah memperingatkanmu untuk tidak menguncinya." Tetapi kemudian teringat Leta tak mengingatnya. Suaranya lebih lunak ketika menambahkan. "Lain kali jangan menguncinya."
Leta terdiam sejenak. "Kenapa aku tidak boleh menguncinya? Ini kamar mandi."
Kei sempat tampak ragu untuk menjawab pertanyaan tersebut. "Kau pernah terkunci di kamar mandi saat mengalami keguguran. Dan kau hampir mati karena kehabisan darah."
Leta tersentak. Membeku selama beberapa saat.
"Dan sekarang keadaanmu baru saja pulih. Jangan buat aku cemas karena hal semacam ini. Kecelakaan kecil bisa saja membawa dampak yang serius. Apa kau mengerti?"
Leta mengangguk pelan.
"Lagipula aku suamimu. Untuk apa kau menguncinya jika tidak ada hal apa pun yang perlu kau sembunyikan dariku?"
Leta menelan ludahnya. Seolah Kei mengatakan bahwa tak ada yang tidak pria itu ketahui tentangnya. Dan mungkin memang ya. Kei suaminya. Wanita itu menggeleng, tak tahu harus menjawab apa. "Cepat ganti pakaian dan keringkan rambutmu sebelum kedinginan," pintahnya kemudian berjalan ke arah partisi karena rengekan baby Ace mulai terdengar.
Leta berjalan ke sisi lain ruangan yang juga dipisahkan oleh partisi geser. Dengan lemari kaca memenuhi dinding dalam bentuk L. Berisi pakaian pria sebelah kanan dan wanita sebelah kiri yang disusun mengikuti gradasi warna.
Sementara sisi ruangan sebelah kiri berjajar rak-rak yang memajang tas, sepatu pria dan wanita, dasi, dan juga koleksi jam tangan dan perhiasan mewah. Leta langsung berjalan ke arah pakaian wanita yang memiliki warna lebih beragam. Memilah-milah pakaian yang ingin dipakainya ketika menyadari di setiap helai pakaian itu masih digantungi bandrol harganya.
Kerutan di kening Leta bertumpuk oleh rasa heran. Membawa langkahnya ke arah lemari pakaian pria, yang juga masih digantungi bandrol dengan harga yang jauh dari kata murah. Ya, meski ia berasal dari keluarga yang sangat berada dan tahu kekayaan keluarga Kei berada di level yang berbeda, tetap saja semua ini terasa berlebihan dan juga aneh. Semua barang-barang yang ada di ruangan ini baru, seolah-olah mereka memang sebelumnya tidak tinggal di tempat ini.
Lalu, di mana mereka tinggal sebelumnya?
Kak Rayyan pernah mengungkit tentang rumah mereka. Lalu kenapa mereka tidak tinggal di rumah itu?
Leta menahan pertanyaan tersebut ketika mendengar suara tangis baby Ace yang lebih keras. Gegas meraih salah satu pakaian yang ia lihat dan mengenakannya. Berpakaian dengan cepat dan lekas menghampiri sang putra yang berada dalam gendongan Kei sementara tangan pria itu yang lainnya sibuk membuat susu.
"Berikan padaku." Leta mengambil baby Ace dan berusaha menenangkannya. Setelah selesai Kei kembali mengambil baby Ace. "Aku saja."
"Kau belum mengeringkan rambutmu." Kei membawa baby Ace duduk di sofa dan bayi itu segera tenang begitu air susu melewati tenggorokan. Seolah menuntaskan rasa hausnya dengan memburu.
Leta tersenyum, menatap betapa menggemaskannya bayi mungil itu.
"Kau menunggu masuk angin?" Suara Kei
rendah tapi tak menutupi bentakan yang tertampil di bibirnya yang mengeras. Memaksa Leta menyingkir dari hadapannya dan segera duduk di kursi rias untuk mengeringkan rambut.
Setelah membaringkan baby Ace yang kembali terlelap dan tak lupa mendaratkan ciuman hangat di kening dan kedua pipi untuk sang putra yang tampak menggemaskan tersebut. Kei segera memberikan perhatiannya untuk sang istri. Yang baru saja mematikan hair dryer dan meletakkannya di meja. Sementara ia bisa melihat sebagian rambut wanita itu masih tampak lembab. Yang membuat bibir Kei menipis keras.
Tubuh wanita itu mudah ringkih jika terkena dingin, tapi selalu enggan jika disuruh mengeringkan rambut. Hilang ingatan rupanya tak membuat Leta menghilangkan kebiasaan buruknya. Kei berdiri di belakang Leta, menahan pundak wanita itu yang hendak berdiri.
"K-kenapa?"
Kei kembali menghidupkan pengering rambut tersebut dan mulai mengeringkan rambut Leta dengan telaten. Sementara Leta duduk dengan patuh, oleh tatapan tajam yang dilemparkan sang suami lewat cermin.
Leta mengamati gerakan tangan Kei yang lincah di rambut kepalanya. Seolah itu adalah kebiasan yang sering dilakukan oleh pria itu. Ia memang paling malas untuk mengeringkan rambut. Biasanya ia hanya menyisir dan menggunakan hair dryer hingga setengah lembab lalu membiarkannya kering sendiri.
"Kenapa?" Kei membuyarkan keterpakuan Leta. Mematikan hair dryer dan meletakkannya di meja. Tangannya yang lain merapikan helaian-helaian rambut ke belakang pundak. "Rambutmu sudah mulai panjang."
Leta kembali dibuat terpaku. "Apa kau biasa melakukan ini untukku?"
"Sejak kau hamil, kau tak bisa melakukan kebiasaan burukmu itu karena kau mendadak menjadi sensitif dan rambutmu sering rontok jika tidak benar-benar kering. Dan kau terlalu malas jadi aku yang harus melakukannya untukmu."
Mulut Leta ternganga. Mengulang kalimat tersebut di benaknya dan menatap Kei penuh ketidak percayaan.
"Lupakan jika begitu sulit dipercaya." Kei membalikkan badannya.
Leta menahan lengan Kei, menunjukkan tag harga di meja. "Kenapa kita pindah ke sini?"
Kei bernapas dengan keras. "Kau sudah mendapatkan banyak informasi mengejutkan hari ini, Leta. Jangan memaksakan diri terlalu banyak. Aku juga harus mengurus baby Ace yang sedikit kurang perhatian darimu sebagai ibunya dan aku sudah sangat lelah."
Leta terdiam. Menatap gurat lelah di wajah Kei yang semakin jelas dan mengangguk.
"Kau akan mengetahuinya saat ingatanmu kembali. Jadi bersabarlah sambil fokus memperhatikan anak kita," tambahnya kemudian masuk ke dalam kamar mandi. Memaksa Leta menelan rasa penasarannya kembali.
Kei benar. Kepalanya sudah terlalu penuh dengan semua yang didapatkannya beberapa hari terakhir.
Kei menutup pintu di belakangnya dan bersandar di dinding. Matanya terpejam dan ingatan api yang mengelilinginya dan Rosaline memenuhi benaknya.
'Kau sudah gila, Leta! Kau membakar rumahmu!'
'Tidak!' teriak Leta lebih keras. 'Aku membakar rumah kalian!'
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top