24. Tidak Kembal

Part 24 Tidak Kembali

“Bercerai?” Leta mengulang. Tak hanya Rayyan yang mengungkit tentang perceraian. Tetapi juga Ken. Ah, dia ingat. Kei mengatakan dirinya yang pergi bersama Ken setelah meninggalkan semua kekacauan tersebut, keduanya terlibat dalam pertengkaran dan membuat mereka kecelakaan. Tapi bercerai …

“Tidak?” Ada kekecewaan yang melintasi wajah Ken. Salah satu alis wanita itu terangkat dan kembali melanjutkan pertanyaannya saat keraguan tampak di kedua mata Leta. “Atau belum?”

“S-saat kita kecelakaan, aku tak ingat apa yang terjadi pada hari itu.” Suara Leta melirih, ada. Seolah ada ketidak nyamanan saat mengatakannya dengan Ken. “Juga … pernikahan kami. Aku tak mengingat semuanya.”

Ken membeku, lama hanya menatap wajah Leta yang berusaha melengkukan senyum hanya untuk mencairkan suasana yang mendadak hening tersebut. “Kau apa?”

Leta hanya menjawab dalam tatapan. Bahwa dia mengatakan dan Ken mendengar dengan sangat jelas.

Ken terdiam. Ingatannya berputar di mobil pada saat itu. Mobilnya tidak ke mana-mana selain menunggu di depan pintu gerbang rumah Kei. Begitu Leta muncul, wanita itu langsung masuk ke dalam mobil dan keduanya meninggalkan rumah tersebut. Dengan seluruh tubuh Leta yang bergetar hebat.

Ken meraih tangan Leta menggunakan tangannya yang lain. Menggenggamnya dengan kuat agar getaran tersebut segera berhenti. Tetapi bukannya lebih tenang, Leta malah menangis dengan histeris. 

‘Ada apa?’

‘Aku tak yakin apa yang kulakukan adalah hal yang benar, Ken.’

‘Keputusanmu sudah benar.’

‘Apa mereka baik-baik saja?’

‘Mereka akan sangat baik-baik saja.’

‘A-aku … aku membakar rumah itu.’

‘Apa?’

‘Kita harus kembali Ken. Untuk melihat mereka.’ 

‘Tidak perlu.’

Leta mengambil ponsel dari dalam tasnya, tetapi karena tubuhnya yang bergetar hebat, ponselnya malah jatuh ke bawah. Tangannya segera bergerak melepaskan sabuk pengaman dan membungkuk. Menghubungi nomor Ken yang tidak diangkat. Tersambung ke kotak suara, tapi Leta tak tahu apa yang harud dikatakannya hingga Ken menyambar ponsel tersebut dan melemparnya ke belakang.

‘Jika kau kembali, semua itu hanya akan memberimu keraguan dan penyesalan, Leta. Kau akan bercerai dengannya, itu sudah keputusanmu. Apa pun yang diinginkan oleh Kei, kau akan menukarnya dengan anak itu. Selesai.’

‘Tapi Ken …’

‘Tidak ada tapi. Kau sudah melihat dengan mata kepalamu sendiri, kan? Rumah itu dan mereka. Tidak ada kau di sana. Kau tak memiliki tempat di sana.’

Leta menangis, semakin tersedu.

‘Memangnya apa yang akan kau katakan pada mereka, hah?’

Leta menggeleng tak tahu. Dadanya semakin sesak.

‘Mereka akan baik-baik saja. Dan kenapa kau harus memedulikan mereka? Pedulikan dirimu sendiri.’

‘Apinya semakin banyak. Ada banyak orang di sana.’

‘Kei sudah keluar?’

Leta mengangguk, terakhir kali melihat Kei saat pria itu berlari ke samping rumah.

‘Rosaline?’

Leta mengangguk lagi.

‘Ya, mereka akan baik-baik saja.’

Leta menggeleng. ‘Setidaknya kita perlu kembali untuk melihat …’

‘Tidak, aku tak ingin kembali. Kita tak akan kembali. Jika perlu, kita tinggalkan kota ini. Kita tinggalkan negara ini untuk mereka. Kita tak butuh mereka.’

Napas Leta mulai terasa berat. Sesak itu menghimpit dadanya dengan keras. Dan tekanan emosi tersebut mendadak membuat perutnya terasa sakit. ‘P-perutku,’ rintihnya.

‘Kenapa dengan perutmu?’

Leta menggeleng, kedua tangannya bergerak memegang perutnya yang mengencang. Bersama rasa sakit yang semakin menusuk. ‘K-ken … sakit sekali.’

Ken menoleh, melihat wajah Leta yang kesakitan dan keringat membanjir di wajah wanita itu membuatnya panik. Tetapi begitu ia kembali menoleh ke depan, cahaya spion dari arah depan membuat pandangannya silau. Menyadari bahaya datang ke arah mereka dengan cepat, Ken membanting setir ke samping sambil melepaskan sabuk pengaman, lalu memiringkan tubuh ke arah Leta. Membiarkan tubuhnya menjadi tameng dari hantaman yang datang. Menggunakan tubuhnya untuk menutupi wanita itu dari samping. Meski tidak bisa menahan kepala wanita itu membentur pintu mobil dengan keras.

Mata Ken mangerjap dengan cepat. Ingatan itu masih bisa ia ingat dengan jelas di kepalanya. Lalu bagaimana mungkin Leta tak mengingatnya.

“Dokter bilang ingatanku akan kembali, tapi … sampai sekarang aku tak bisa mengingatnya.”

Ken masih bergeming. Ia koma selama tiga bulan, dan Leta bangun dengan ingatan yang menghilang itu selama tiga bulan. Tentu saja jangka waktu tiga bulan itu pasti dimanfaatkan oleh Kei dengan sebaik mungkin.

“Ken?” panggil Leta, menggoyang lembut lengan Ken. “Kau baik-baik saja?”

Ken menggeleng. “Tentu saja tidak baik-baik saja. Kau tak ingat kesepakatan kita.”

“K-kesepakatan?”

“Ya. Kau yang datang padaku dan minta tolong untuk lepas dari pernikahan kalian.”

Leta seketika kehilangan kata-kata.

“Kau akan melepaskan anak itu untuknya agar kalian bisa bercerai.”

Dada Leta tertohok dengan keras. Hatinya terasa terkoyak. “A-aku mengatakan itu?”

“Kau pikir aku berbohong?”

“K-kenapa aku mengatakan hal itu? A-aku … aku bahkan tak bisa membayangkan jika tidak melihat baby Ace satu hari saja.”

“Karena Kei sudah mempengaruhimu. Dia menggunakan anak itu agar kalian tetap mempertahankan pernikahan kalian.”

“Kami bertahan karena saling mencintai.”

“Itu yang akan dia katakan,” dengus Ken. “Ayolah, Leta. Bagaimana mungkin kau mempercayai omong kosongnya. Jika aku jadi dia, itu juga yang akan kukatakan.”

“Itu bukan omong kosong.” Kei tiba-tiba sudah berjalan masuk ke ruang perawatan tersebut. Leta tersentak dengan keras hingga turun dari tepi ranjang, tetapi Ken menahan lengan wanita itu agar tetap berada di dekat sang adik. 

“Kau mengatakan omong kosong itu hanya untuk mempertahankan semua sandiwara ini, kan?”

Kei mendengus. Berhenti tepat di antara Leta dan Ken. Pandangannya bergerak turun dan melepaskan pegangan Ken dari sang istri. “Kenapa aku harus menjelaskannya padamu. Ini urusan rumah tanggaku dan Leta.”

“Leta datang padaku karena ingin …”

“Leta datang padamu, karena aku yang mengijinkannya,” koreksi Kei. “Jika malam itu aku tidak membiarkannya menemuimu, kecelakaan itu tidak akan terjadi dan semua ini tak perlu terjadi.”

“Jika malam itu aku tidak membawanya kembali ke rumahmu, kecelakaan itu tidak akan terjadi. Dia keluar dalam keadaan terguncang, sudah jelas apa yang dilihatnya bukanlah hal yang baik. Apa dia memergokimu meniduri Rosaline? Di atas ranjang kalian.”

Kei menggeram. 

“Ada apa ini?” Langkah Saga dan Sesil terdengar di belakang mereka. Semakin mendekat menyadari ketegangan di antara kedua putranya.

“Kei, kau di sini?” Sesil berusaha mencairkan suasana dengan menarik lengan sang putra dan memeluknya. “Mama rindu padamu. Kau tak pernah menghubungi mama akhir-akhir ini.”

Kei tersenyum tipis. Ketegangan di wajahnya segera mengendor.

“Bagaimana kabar baby Ace?”

“Baik. Sekarang dia sendirian di apartemen, jadi kami harus kembali.” Kei melirik jam di pergelangan tangannya dan melirik sang istri.

Sesil mengangguk. “Ya, kalian pulanglah.”

“Tidak. Kau harus tetap di sini, Leta.” Ken berusaha meraih Leta yang ditarik Kei menuju pintu. 

“Ken?” Sesil menahan lengan sang putra dan Saga menghadang pandangan sang putra dari Kei dan Leta yang menghilang di balik pintu. “Apa yang kau lakukan, Ken?”

“Ini tidak benar, Ma. Kei menipu Leta …”

“Apa benar Leta yang ingin bercerai?”

Ken mengangguk dengan mantap. 

“Atas keinginannya sendiri atau kau yang meyakinkan dia karena keraguannya?”

Kali ini Ken tak bisa menjawab.

“Mama yakin saat itu kalian berdua berbicara dengan sangat emosional. Terutama Leta yang dalam keadaan hamil besar. Perasaannya yang sensitif dan di tengah salah paham dengan sikap Kei yang bersikap lebih diam karena tak ingin Leta berada dalam emosi yang tidak stabil. Tak mengherankan jika dia tiba-tiba merasa tak diinginkan.”

“Mama membela Kei.”

“Kei suaminya Leta. Itu sudah lebih dari cukup bagi Kei untuk memutuskan apa yang akan dilakukannya pada Leta.”

“Leta tak menginginkannya.”

“Leta mencintainya. Mama tahu kau lebih tahu dari siapa pun tentang yang satu itu.”

Rahang Ken terkatup dengan keras.

*** 

Leta tak mengatakan apa pun sejak masuk ke dalam mobil dan Kei menyetir mobil kembali menuju apartemen. Mereka sedang makan siang ketika tiba-tiba sang mama menghubungi Leta dan mengatakan Ken sudah bangun. Membuat wanita itu bergegas ke rumah sakit.

Dan kali ini Kei tak cukup tolol untuk membiarkan Leta pergi begitu saja. Mencegah sang istri menemui Ken juga pilihan yang buruk. Jadi ia memberi waktu lima belas menit untuk melihat Ken.

“Jangan bilang sekarang kau kembali ragu karena kata-kata Ken yang sudah kuperkirakan akan dikatakannya padamu?”

Leta menoleh, membiarkan Kei menyelipkan jari-jari di antara sela jemarinya lalu menggenggamnya dengan kuat. Apa yang dikatakan Kei sudah cukup menjelaskan dan meluruskan kesalah pahaman di antara mereka. “Apa kau tahu kesepakatan yang kukatakan dengan Ken?”

“Tidak, kau tak sempat mengatakannya dan kau tak akan mengatakannya padaku. Tapi tak akan mengherankan dengan situasi pernikahan kita yang saat itu diricuhkan oleh Rosaline. Ditambah sikapku yang malah mendorongmu melakukan semua itu.”

“Maafkan aku, Kei.”

“Tidak.” Dengan tanpa melepaskan fokus ke arah jalanan, Kei membawa tangan Leta ke bibirnya. “Kita akan mulai memperbaiki hubungan ini.”

Leta memberikan seulas senyum dan mengangguk. Meski ada sisi lain hatinya yang masih dipenuhi kecemasannya pada Ken.

Kei tak lagi mengijinkan Leta ke rumah sakit, dan ia pun tak memaksa Kei untuk mengijinkannya. Berapa pun dirinya ingin sekedar melihat dan memastikan keadaan Ken sudah jauh lebih baik.

Sesekali Leta menghubungi sang mertua untuk menanyakan perkembangan tersebut. Setelah tiga hari dalam pengawasan dokter, besok Ken sudah diijinkan untuk rawat jalan.

“Aku harus berangkat.” Suara Kei yang meletakkan gelas kosong ke meja menyadarkan lamunan Leta. Yang lekas menoleh dan meletakkan sendok.

“Sekarang?”

Kei mengangguk sambil menunjukkan jam di pergelangan tangannya. “Aku ada pertemuan pagi.”

Leta ikut beranjak.

“Selesaikan saja makanmu. Aku akan keluar sendiri.” Kei mendekat untuk mencium bibir wanita itu sekilas lalu berjalan keluar dengan langkah terburu.

Baru saja pria itu menghilang dari pandangan Leta, ponsel di meja berdering. Panggilan dari sang mertua. “Ya, Ma?”

‘Ini aku.’ Suara Ken menyahut dari seberang. ‘Kau tidak datang lagi.’

Leta membeku.

‘Jika tahu akan seperti ini, seharusnya akulah yang hilang ingatan, Leta.’


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top