23. Kau Sudah Bercerai

Part 23 Kau Sudah Bercerai?

"Itu di kerah kemeja, tak mungkin di leherku."

Leta menundukkan wajahnya yang merona. Tubuhnya menggeliat, berusaha melepaskan diri dari lengan Kei yang melilitnya demi menghindari tatapan menelisik pria itu. Ya, memang ia menemukan bekas lipstik itu di kerah kemeja pria itu yang dimasukkan ke dalam keranjang pakaian kotor.

"Kau cemburu?"

"Aku harus membereskan meja makan."

"Pelayan bisa melakukannya."

"K-kei ..."

"Terakhir kali sebelum kau kehilangan ingatanmu, kau juga seperti ini."

Leta berhenti membebaskan diri, perlahan wajahnya yang merona terangkat. Menatap keseriusan di wajah Kei.

"Kau memergoki Rosaline menciumku."

Napas Leta tercekat.

"Aku memahami kenekatanmu. Kau sedang hamil besar, emosimu tak pernah stabil, dan situasi yang memaksamu memendamu semua itu membuatmu nekat membakar rumah lama kita."

Mata Leta berkedip dengan cepat, berusaha mencerna penjelasan yang tak masuk akal tersebut dengan kepucatan yang mulai merebak di seluruh permukaan wajahnya. "A-aku yang melakukannya?" Suaranya bergetar dengan hebat.

Kei segera memegang pundak Leta, memijatnya dengan lembut agar wanita itu lebih tenang. "Inilah alasanku tak ingin membahas tentang semua itu."

"B-bagaimana aku bisa melakukan hal segila itu?"

"Aku yang salah. Seharusnya aku bisa lebih berusaha menenangkan emosimu."

Leta menggeleng. Melepaskan diri dari pegangan Kei di pundaknya. Napasnya mendadak terasa berat dan kepalanya berdenyut.

"Tidak. Kau harus mendengarkan semua. Aku sudah muak dengan kesalah pahaman ini dan aku tak ingin semua kejadian itu terulang untuk kedua kalinya."

Leta mulai menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan perlahan. Kei benar. Ia perlu tahu semuanya dan sebaiknya berusaha lebih keras untuk menerima kegilaan dirinya sendiri sebelum kecelakaan atau kesalah pahaman di antara mereka terus-terusan seperti ini.

"Sudah lebih baik?"

Leta mengangguk, membiarkan Kei membawanya keluar ruang makan dan keduanya duduk di ruang tengah. Sekali lagi ia menghela napas panjang, sebelum kemudian mendengarkan dengan seksama rentetan cerita tersebut.

***

Bahkan setelah mendengar setiap detail yang diceritakan Kei, semua ingatan itu tidak kembali. Ia tak ingat semua kejadian tersebut meski berusaha mengingatnya.

Genggaman tangan Kei membuatnya membuka mata dan tersadar. "Ingatan itu tak perlu kembali. Semua tak akan mengubah apa pun. Aku mencintaimu, hanya mencintaimu. Saat Rosaline menciumku, itu hanya meyakinkanku bahwa apa yang pernah kami miliki, semua sudah berubah."

Leta masih bergeming mendengarkan penjelasan tersebut. Menatap kesungguhan di wajah Kei yang sukses menyentuh hatinya. Seolah kehangatan yang ada di dalam hatinya, semua itu memang karena perasaannya pada pria itu yang disambut.

"Saat kau meninggalkan kami untuk menemuinya, aku benar-benar tak bisa membayangkan akan kehilanganmu untuk selamanya. Untuk yang kedua kalinya. Bahkan baby Ace juga tak mampu menghentikanmu pergi dari hidup kami."

"Aku hanya ingin ke rumah sakit untuk melihat keadaan Ken."

"Dan rupanya itu tak menghentikanmu untuk kehilangan kami di hidupmu."

"Tidak seperti itu, Kei. Aku hanya tahu, apa yang membawa langkahku ke sini tak akan membuatmu menutup pintu rumah ini untukku. Setidaknya kau perlu mendengarkan penjelasanku sebelum benar-benar menutup hatimu untukku, kan?"

Kei tersenyum. Ia bahkan tak akan menutup pintu itu untuk Leta. Apa pun alasan yang membawa wanita itu kembali ke hidupnya, dengan cara yang disengaja maupun tidak.

"Maafkan aku atas kebakaran itu."

"Tidak." Kei merangkum wajah Leta dengan lembut. "Jika kebakaran itu tidak terjadi, aku hanya akan terus membuatmu berada di balik bayang-bayang Rosaline. Aku tak pernah tahu kalau semua itu membuatmu merasa begitu buruk."

Leta terdiam. Kehangatan kembali mendekap dadanya.

Kei berpindah ke bawah, meletakkan lutut di lantai dan menggenggam kedua tangannya dengan kuat, lalu mengecup punggung tangan Leta lebih lama lagi. Saat kepalanya terangkat, jemari pria itu tak lepas dari mengusap cincin pernikahan mereka di jari manisnya.

"Kupikir semua yang kulakukan dan kurasakan untuk pernikahan ini sudah cukup. Tetapi mengingat saat kau berada di balik pintu ruang operasi, menyadari bahwa mungkin kau tak akan pernah kembali dan semua itu karenaku. Aku benar-benar tak tahu apa yang akan terjadi dengan hidupku. Satu-satunya ketakutanku hanyalah kehilangan kalian berdua."

Leta kehilangan kata-kata dengan guncangan emosi yang memenuhi dadanya. Terasa membuncah dengan cara yang begitu menyenangkan. Semua keraguan tersebut luntur dan ia memeluk Kei. Membiarkan isakannya meluapkan seluruh perasaannya. "Sepertinya aku melakukan kebodohan terlalu banyak. Aku bahkan tak berani menatap wajahmu."

Kei terkekeh pelan. Mencium ujung kepala Leta. "Ya, kau tak berani."

"Kau menertawakanku?"

Kei kembali tertawa, sedikit melonggarkan pelukannya untuk menatap wajah merona Leta. "Aku suka melihatmu seperti ini."

Mata Leta berkedip. Menatap senyum Kei yang melengkung halus di kedua ujung bibir. Tatapan yang terasa melelehkan hatinya. Membuatnya tak bisa menahan diri untuk tidak mencium pria itu sekali lagi.

***

Leta berlari menyeberangi lorong tersebut, secepat kakinya bisa mencapai satu-satunya pintu ruang perawatan yang ada di lantai ini. Begitu ia berhasil meraih gagang pintu dan menggesernya ke samping, pandangannya langsung menemukan ranjang pasien. Melihat sang mertua uang duduk di tepi ranjang sambil memegang gelas air minum untuk Ken.

"K-ken?" Suara Leta bergetar, segera mendekati ranjang tersebut dan memeluk Ken kuat-kuat. Semakin kuat sambil terisak dengan keras.

"Kau benar-benar akan membunuhnya, Leta." Suara Sesil sambil menahan tawa dan menarik lengan sang menantu dari Ken.

Leta segera tersadar, menatap wajah Ken dengan air mata yang semakin membanjir. "Kupikir aku tak bisa melihat matamu terbuka lagi."

Ken mendengus. "Bukankah itu yang kauinginkan? Agar aku berhenti mengganggu pernikahanmu dan Kei?"

Leta menggeleng-gelengkan kepala sambil mengusap air mata. "Itu benar-benar seperti kau."

Ken tertawa, kali ini dia yang menarik lengan Leta dan membawa wanita itu ke pelukannya. "Mama bilang aku tidur terlalu lama. Tiga bulan?"

Sesil mengangguk. "Tiga bulan lebih."

"Ya, itu." Ken tersenyum sambil mengangkat salah satu alisnya dengan tatapan penuh heran sang mama pada dirinya dan Leta. Bibirnya bergerak mengucapkan kata kenapa tanpa suara. Yang dijawab gelengan oleh sang mama dan turun dari ranjang lalu duduk di samping sang suami.

"Kau merasa ada yang aneh?"

Saga hanya mengernyit tipis, menatap Ken dan Leta yang masih saling berpelukan, dan ketika sang putra melepaskan pelukan tersebut. Dengan penuh kelembutan dan tatapan rindu, pria itu mengusap air mata di wajah sang menantu. "Putramu sudah bangun, Sesil. Apalagi yang perlu kau cemaskan?"

Sesil menghembuskan napas dengan gusar. "Sekarang aku tak tahu siapa yang harus kucemaskan lebih dulu. Kei atau Ken?"

"Mereka putramu."

"Dan dari mana sifat keras kepala itu menurun, hah? Sekarang mereka mencintai wanita yang sama."

"Darimu."

"Oh ya?" delik Sesil tak terima. "Dan dari mana mereka belajar menginginkan wanita yang bukan miliknya?"

"Oh, ayolah. Itu masa lalu, Sesil. Kenapa kau masih terus mengungkitnya. Ken lebih mirip denganmu."

"Wajahnya mungkin ya, tapi lihatlah. Sekarang dia menyukai istri kakaknya."

"Sepertinya Ken menyukainya sebelum Kei menikah dengan Leta. Ken dan Leta tampak tak bisa dipisahkan, mungkin Ken menyadarinya setelah Leta menikah dengan Kei. Dan lagi ..." Saga memutar kepalanya menatap Kei dan Leta lalu beralih kembali pada sang istri. "Tidakkah kau berpikir kau mendapatkan menantu yang sama sepertimu?"

Mata Sesil melotot sempurna.

"Kau mencintaiku tapi tak bisa menolak kehadiran Dirga. Kata-kata macam apa itu, hah?" dengus Saga.

Mulut Sesil hanya mampu membuka nutup tak percaya. "Kau mengungkit itu lagi?"

"Aku mempertanyakan hal yang sama."

Sesil mencubit perut Saga, tetapi hanya mendapatkan tawa kecil sang suami. Yang kemudian membawanya ke dalam pelukan Saga. Satu helaan napas panjang kembali lolos di antara celah bibirnya. "Apa yang harus kita lakukan pada mereka?"

"Mereka sudah dewasa."

"Tetapi kenapa aku masih sama mencemaskan mereka," gerutu Sesil lagi sambil menjatuhkan kepalanya di pundak Saga. "Ah, bagaimana jika kita menjodohkan Ken dengan anak Dirga? Kalau tidak salah namanya El Nora."

Saga melepaskan lengannya dari tubuh Sesil. "Aku ingin ke atas."

"Ke atas mana?"

Saga beranjak dari duduknya dan menunjuk ke langit-langit ruangan tersebut.

"Aku bertanya bukan karena tidak tahu atas yang mana. Apa kau marah? Apa ada kata-kataku yang salah?"

Saga menggeleng. "Aku tahu kau mencintaiku. Bukankah hanya itu yang terpenting?"

Sesil menggeleng. "Semua yang kita miliki saat ini adalah yang terpenting."

"Tak masalah jika kita tidak lagi saling mencintai?"

Mata Sesil memicing curiga.

Saga terkekeh. "Tenanglah, Sesil. Aku hanya bercanda."

"Aku tak tahu kau bisa bercanda."

Helaan napas Saga kali ini lebih keras, lalu mengulurkan tangannya. "Kau ingin ikut?"

Sesil menoleh pada Ken dan Leta, sekarang sang menantu membantu menyuapi makan siang Ken. "Kupikir kita memang perlu memberi mereka waktu," jawabnya sambil membalas uluran tangan sang suami dan keduanya berjalan keluar.

"Ke mana mama dan papamu?" Leta menatap pintu ruangan yang ditutup.

Ken hanya mengedikkan bahu. "Itu bukan hal baru. Mama dan papa memang sering menyelinap pergi untuk berduaan."

Leta mengernyit sambil manggut-manggut dan pandangan Ken tiba-tiba bergerak turun. Menemukan perut Leta yang sudag rata.

"Jadi kau sudah melahirkan?"

Leta mengangguk. "Laki-laki. Kei memberinya nama Ace. Xavier Ace Ganuo."

Ken sempat terdiam dengan penjelasan tersebut. Senyum di wajah Leta ketika menjelaskan membuatnya merasa heran. Selama tiga bulan ia tak sadarkan diri, ia yakin ada banyak hal yang telah berubah. Tetapi tentu saja ia masih ingat dengan kesepakatan yang sudah ia buat dengan Leta. "Kau jadi bercerai dengan Kei?"

Senyum Leta seketika membeku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top