22. Last Flashback



Babang Langit dan Kei sudah tersedia di ebook, ya. Lebih murmer dan akses baca suka-sukanya. Mulai besok diupdate rutin tiap malam gantian ama babang Kei (Kecuali author lupa dan keburu ngantuk) Dan jangan cemas kalau ga diupdate sampai end.

***

Part 22 Last Flashback

"Ya, aku mencintainya. Dan aku tidak salah paham."

Senyum dingin Ken tetap membeku dengan pengakuan tersebut. Menatap wajah cantik Leta yang diselimuti emosi. Ia bisa melihat bahwa hati wanita itu yang patah dan hancur sama seperti yang ia rasakan.

Dalam hatinya berdecak, mereka tengah duduk di restoran hotel bintang lima. Pemandangan malam yang begitu indah dan cahaya di sekitar mereka yang diatur redup, memang dikhususkan pasangan yang ingin makan malam romantis. Jika bukan karena nama Ganuo di belakangnya, ia tak mungkin bisa memesan meja di tempat ini dengan cara yang mendadak seperti ini. Dan beruntung ia memiliki lebih dari cukup untuk dihamburkan dan membayar pemesan sebelumnya. Yang hendak merayakan hari jadi pernikahan entah siapa pun pasangan itu.

Tapi lihatlah sekarang siapa yang duduk di tempat ini. Dua orang yang tengah patah hati dengan menyedihkan.

Kenapa semuanya menjadi serumit ini. Celin menyukai Rayyan, Rayyan menyukai Leta, dan Leta sekarang menyukai Kei. Tidak bisakah sekarang wanita itu beralih mencintainya"

"Dan itu alasanmu meninggalkannya? Untuk kebahagiaannya?" Ken tak bisa menahan dengusan sinisnya. Kata-kata Leta hanya semakin membuktikan seberapa besar perasaan cinta wanita itu pada sang kakak. Yang menyulut api kecemburuan di dadanya.

"Seperti yang kau bilang, ini untuk kebaikan semua orang, kan?"

Ken tertawa kecil. Menyesap anggur di depannya dan membiarkan rasa khas dan panas tersebut mengaliri tenggorokannya. "Apa kau akan merelakan hak asuh anak kalian padanya?"

Leta meragu. Wajahnya tertunduk dan mengelus perutnya yang besar. Tendangan yang kencang dari putranya terasa sangat jelas. Sejelas keberadaan sang janin yang menggantungkan hidup padanya. Apakah dirinya akan rela melepaskan anak ini untuk Kei?

"Kei menggunakan anak itu agar kau tak ingin bercerai. Jika kau tak ingin melepaskannya ..."

"Tidak bisakah kami berbagi hak asuh?"

"Atau kau yang menggunakan anak itu untuk menutupi alasanmu mencintainya?"

Leta menutup mulut dan menggeleng tak tahu.

"Oke, bagaimana pun dia anakmu dan apa pun alasannya, sekarang kita berada di jalan yang sama." Ken menegakkan punggung. Tangannya terulur dan menggenggam tangan Leta lalu tersenyum. Leta membalas senyumnya, tapi tatapan wanita itu masih diselimuti kesedihan. "Kita makan sekarang."

***

"Rosaline masih di rumah kalian?" Ken menatap pintu ganda tinggi yang tertutup tersebut. Suasana dari dalam rumah tampak sunyi tetapi lampu masih menyala. Terutama di ruang kerja Kei yang ada di sisi kanan bangunan. Jendelanya mengarah langsung pada teras tetapi ia tak melihat keberadaan sang kakak di balkon maupun pintu balkon yang masih terbuka tersebut.

Leta mengangguk. "Tadi siang demamnya sudah reda."

Ken mendengus. "Menurutmu, apa yang dilakukan mantan pasangan di rumah yang sunyi ini?"

Leta menatap pintu rumah mereka yang tertutup.

"Tidakkah mereka memang pasangan yang seharusnya? Rumah ini dibuat Kei untuk mereka sendiri."

Sekali lagi dada Leta serasa seperti diremas.

"Masuklah." Ken mendekat, mencium kening Leta yang tersentak pelan dengan ciuman tersebut. Tetapi ia tak tersinggung, wanita itu perlu terbiasa. "Dan kuatkan hatimu untuk apa pun yang akan temukan di dalam."

"A-apa maksudmu?"

Ken hanya mengedikkan bahunya sekilas. "Aku akan memperlambat mobilku. Jika mungkin kau membutuhkanku, aku akan berada dekat di sini."

Leta semakin tak memahami kata-kata Ken. Ia menaiki dua undakan di teras dan berhenti lebih lama di depan pintu, kepalanya berputar menatap Ken yang masuk ke dalam mobil dan tersenyum padanya sambil menunjukkan ponsel di tangan.

Setelah ia masuk ke dalam rumah, langkahnya terasa lebih berat dengan berbagai pikiran liar yang memenuhi benaknya. Cukup sekali ia memergoki Kei dan sang kakak berciuman saat itu. Kedua kalinya, rasanya ia tak akan sanggup untuk berpura tak mengetahui semua itu.

Kecemburuan di dalam dadanya terasa meletup. Semakin kakinya melangkah lebih ke dalam, hatinya semakin dicengkeram ketakutan. Terus berjalan menuju pintu kamar utama yang tertutup rapat. Langkahnya sempat terhenti ketika melihat kamar tamu yang juga tertutup rapat. Pemikiran tentang Rosaline dan Kei yang berada di kamar masing-masing atau keduanya di salah satu kamar tersebut membuatnya gugup. Dan kata-kata Ken semakin memperburuk semuanya.

Hanya dengan membayangkannya saja, dadanya sudah sesak oleh kecemburuan. Dan ketika samar-samar suara dari arah dapur tertangkap telingnya, Leta tak bisa menghentikan rasa penasarannya membawa kakinya ke sana. Kedatangannya disambut dengan tubuh Kei dan Rosaline yang saling merapat. Juga bibir mereka yang saling memagut.

"Kenapa kalian harus melakukannya di sini?" Suara Leta tertahan dengan keras, menginterupsi ciuman panas tersebut.

Pegangan Kei pada botol anggurnya melonggar, botol tersebut jatuh di lantai dan cairannya menyebar di sekitar keduanya. Kei menyentakkan kedua lengan Rosaline sementara wanita itu yang menyadari kedatangan Leta, tentu saja tersenyum dengan puas. Adik pungutnya itu datang di waktu yang sangat tepat.

"Sejak kapan kau ada di sana?"

"Ah, aku lupa. Memang akulah yang tak seharusnya ada di sini. Ini rumah kalian." Tepat ketika Leta berbalik, luapan air matanya tak bisa ia bending lebih lama lagi. Dadanya terasa sesak ketika menahan isakannya, kedua kakinya seperti melumpuh tetapi ia berusaha keras untuk tidak terjatuh saat berjalan menjauh.

"Perhatikan langkahmu!" sergah Kei yang menahan pinggang Leta dari samping.

Leta menegakkan tubuhnya dan melepaskan pegangan Kei di tubuhnya. Satu-satunya yang ada di pikirannya saat itu adalah kembali memanggil Ken. Seolah pria itu memang tahu apa yang akan terjadi padanya, dan sialnya firasat pria itu tak meleset sedikit pun.

"Mau ke mana lagi kau?"

Leta tak menghentikan langkahnya. Yang membuat Kei geram dan mencekal pergelangan tangan wanita itu. "Lepaskan, Kei."

"Kembali ke kamar."

Dengan air mata yang semakin membanjir dan memenuhi pandangannya, Leta menatap Kei. "Kembali ke kamar?"

"Memangnya mau ke mana lagi kau malam-malam begini?"

"Alih-alih mengatakan dengarkan penjelasanku, kau menyuruhku masuk ke dalam kamar dan istirahat?" Leta berhenti untuk menarik napas di tengah isakannya. Tangannya terangkat, menyeka air mata dengan punggung tangan meski itu adalah usaha yang sia-sia. "Setidaknya kau mengatakan itu ketidak sengajaan, jika kau bersungguh-sungguh dalam hubungan ini."

Mata Kei terpejam dan kepalanya terasa berdenyut. Setengah mati menahan amarah dan kegeramannya melihat tangisan Leta yang serasa merobek dadanya.

"Ah, aku lupa. Kau memintaku untuk tenang agar kandunganku tak bermasalah. Hanya anak ini yang kau pedulikan."

"Hentikan pikiran liarmu itu ...."

"Kau memiliki tujuanmu untuk pernikahan ini. Kau sudah merencanakan semuanya sejak awal."

"Kau benar. Kau memang benar."

"Apa kau pernah mencintaiku?''

Kei tak menjawab. Menjawabnya hanya akan terdengar seperti omong kosong dan dalih di mata Leta dengan emosi wanita itu yang tak terkontrol seperti ini.

"Aku ingin bercerai!"

Kei benar-benar sudah muak dengan kata-kata sialan itu. "Kau ingin bercerai? Kau lupa aku menikahimu bukan untuk melakukan hal semacam itu. Pernikahan kita akan bertahan. Satu-satunya cara pernikahan ini akan berakhir adalah ketika kau mati. Apa kau mengerti?!"

"Tidak. Aku tidak ingin mengerti."

"Lalu jawaban apa yang kau inginkan, hah? Aku mencintaimu? Aku tak bisa melepaskanmu? Aku mencintainya tapi aku harus menikah denganmu demi kebahagiaan Celin? Jawaban mana yang kau inginkan, hah?!"

"Jangan katakan omong kosong tentang cinta jika kau tidak bisa mencintai istrimu sendiri. Wanita yang kau nikahi dan akan melahirkan anakmu sendiri."

"Apakah kau mencintaiku? Apakah setelah tahu semua ini, kau akan tetap mencintaiku? Seperti yang selalu kau katakan! Cintamu tak sebesar itu, Leta. Aku tak percaya."

Leta terdiam, menatap wajah tegang Kei dengan air mata yang semakin mengenang di kedua matanya. Kepercayaan yang berusaha mereka kokohkan. Yang berusaha mereka tegakkan, rupanya tak mampu benar-benar meyakinkan hati keduanya. Kei tak percaya cintanya, sama seperti dirinya yang tak mempercayai perasaa pria itu.

"Ya. Setelah semua tipudayamu. Kebohonganmu untuk menjadikan pernikahan kita menjadi ketulusan. Kau ... kau mempermainkan perasaanku. Tapi sekarang semua itu tak penting, kan?"

"Kau tahu dia melakukan semua itu demi kebahagiaan adiknya." Rosaline berusaha membela Kei.

"Diam kau, Rosaline!" Mata Kei melotot. "Sebaiknya kau pulang, urusan kita sudah selesai."

"Karena aku memergoki kalian berciuman? Kalau aku tidak datang, apa ..."

"Jangan katakan apa pun yang tidak kau ketahui, Leta. Kami tidak berciuman."

Mata Rosaline membelalak tak terima. "Kenapa kau masih harus mengatakan kebohongan itu, Kei?"

Kei memutar wajahnya pada Rosaline, tatapannya menajam dan seketika membuat wanita itu membeku. Leta tak melewatkan perhatian Kei yang teralihkan tersebut dan berjalan menuju pintu. Namun tentu saja Kei mengetahui kesempatan yang tak disia-siakan sang istri. Ia melangkah lebih cepat dan mengunci pintu.

"Masuk ke dalam kamar atau aku yang akan menggendongmu ke sana?" ancam Kei. Yang lagi-lagi diacuhkan oleh Leta. Yang membuat Kei semakin geram, Leta malah mengambil ponsel dari dalam tas, memaksanya untuk menyambar benda itu dan melemparnya ke lantai. "Ini terakhir kalinya aku membiarkanmu melihat Ken."

Leta menatap ponselnya yang hancur di lantai dengan air mata yang semakin mengalir. Sesak di dadanya semakin membuatnya kesulitan bernapas.

"Kembali ke kamar, Leta. Sekarang."

Rosaline membeku di tempatnya menyadari amarah Kei yang sungguh-sungguh. Sangat menyadari betapa kerasnya pria itu berusana untuk menahan diri karena Leta.

Leta memutar tubuhnya dan berjalan keluar dari ruang tamu. Menghilang dari pandangan Kei dan Rosaline.

"Sekali lagi kau menginjakkan kaki di rumah ini. Percayalah, Rosaline. Aku akan menggunakan tanganku sendiri untuk membunuhmu." Hanya ancaman itu yang didengarnya sebelum berbelok ke samping. Menyeberangi ruang makan dan melewati meja pantry. Namun suara memanggil Kei mempercepat langkahnya.

"Leta!" Suara memanggil Kei mempercepat langkahnya. Pintu belakang berada tepat di ujung lorong. Tetapi ia harus melangkah cukup jauh.

"Satu langkah lagi, aku benar-benar akan membuatmu menyesal, Leta."

Langkah Leta berhenti, tubuhnya berputar menatap Kei yang berdiri di samping meja makan. Jarak di antara mereka hanya sekitar sepuluh meter, tetapi langkah pria itu jelas lebih gesit jika dibandingkan dirinya dengan perut besar ini. Saat memikirkan kemungkinannya tak lebih dari nol persen untuk meninggalkan rumah ini, Leta melihat anggur yang tumpah di lantai dan mengenai karpet di bawah meja makan.

"Kenapa kau tak melepaskanku saja?"

Kei menggeram, jemarinya menggusur rambut di kepala demi meluapkan kefrustrasiannya. Ia benar-benar sudah muak dengan kata bercerai dan melepaskan.

"Aku akan memberikan anak ini untukmu."

"Cukup, Leta!" Suara Kei menggelegar memenuhi seluruh ruangan. "Cukup omong kosongmu dan masuk ke dalam kamar! Sekarang!"

Leta terperangah dengan bentakan tersebut. Menatap wajah Kei yang menggelap dihiasi gurat-gurat sementara tangan pria itu menunjuk ke arah kamar mereka. Tetapi ia segera menepis ketakutannya ketika Rosaline kembali muncul. Menyadarkan dirinya bahwa keputusannya sudah benar. Sang kakak tak akan melepaskan Kei, sama seperti Kei yang tak ingin melepaskan pernikahan mereka.

Ia melirik ke arah rak kecil yang menggantung di tiang, tempat korek api disimpan di sana. Hanya butuh dua langkah untuk meraih benda dan menyalakannya.

"Apa yang kau lakukan?" Wajah Kei berubah pucat menyadari situasi tersebut.

"Kalau kau mendekat, aku akan menjatuhkannya."

Tentu saja ancaman tersebut tak menghentikan Kei untuk bergerak maju. Yang memaksa Leta untuk berbuat nekat dan melemparkan korek api tersebut ke karpet. Kobaran api segera tersulut dari cairan beralkohol tersebut. Sempat menghentikan langkah Kei.

"Kau sudah gila, Leta! Kau membakar rumahmu!" Teriak Rosaline yang berjalan mundur untuk menjauh. Api dengan segera menyulut taplak meja makan.

"Tidak!" teriak Leta lebih keras. "Aku membakar rumah kalian!"

"Tak hanya gaun pengantin, rumah dan bahkan cintamu. Tak pernah menjadi milikku."

"Sudah puas bermainnya?" Kei mencengkeram tangan Leta, berjalan memutari kobaran api yang semakin menyebar.

"Lepaskan!" Leta tentu saja tak menyerah. Ia menggunakan segala cara yang ia bisa untuk lepas dari cekalan Kei. Asap yang mulai memenuhi ruangan tersebut membuatnya terbatuk. Bersamaan suara teriakan Rosaline.

Kei menoleh, melihat tangan Rosaline yang berjalan mundur, berusaha menghindari sulutan api yang mulai merambat ke gorden.

"Kalau kau tak ingin mati konyol di tempat ini, sebaiknya segera keluar, Rosaline." Rosaline segera berlari keluar dari ruang makan dan menghilang dalam sekejap. Dan Kei mulai menyadari situasi mereka yang semakin serius. Mengambil APAR di gudang sudah tak memungkinkan. Ia membawa Leta ke ruang tamu dan melepaskan pegangan wanita itu untuk menyalakan alarm.

Tak lama dua petugas keamanannya segera muncul dan mengamankan Leta dari bangunan tersebut. Sementara ia berjalan lewat samping rumah menuju gudang dan membangunkan para pelayan di rumah belakang.

Butuh satu jam lebih bagi mereka untuk mengamankan apa pun yang bisa diselamatkan dan pemadam kebakaran datang. Memastikan api padam sepenuhnya. Saat itulah ponsel di sakunya berdering dan mendapatkan panggilan dari rumah sakit. Wajahnya memucat, bersamaan menyadari bahwa Leta sudah tidak ada di tempat ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top