21. Flashback 4
Part 21 Flashback 4
Parfum favorit Ken tak pernah berubah, sejak adiknya itu remaja hingga sekarang. Semua hal yang disukai selalu konsisten. Dan ia sangat yakin aroma parfum tersebut milik Ken.
Kei menjauhkan tubuh Leta, wajah wanita itu berurai air mata. Yang ia yakin tidak ada hubungannya dengan luka di kakinya. “Kau bertemu Ken?” ulangnya sekali lagi dengan penuh penekanan.
Leta hanya menggelengkan kepala. “Aku tak bisa bertahan lebih lama lagi.”
Wajah Kei yang sebelumnya diselimuti kecemasan, kini mulai bercampur kemarahan. Pun begitu ia tak bisa bersikap lebih kasar lagi pada Leta. Emosi wanita itu tampak tak terkontrol dengan baik. Entah kata-kata apa yang diucapkan Ken atau mungkin Rosaline yang ada di rumah ini. Jika ia ikut menggelar emosinya dengan cara yang buruk, satu hal yang pasti. Ia akan menyesali kata-katanya.
“Tenangkan dirimu dan aku akan melupakan apa yang baru saja kau katakan.” Kei berjalan pergi. Baru tersadar luka di telapak kakinya yang cukup parah. Jadi ia mengambil kotak p3k di dalam kamar mandi dan mulai membersihkan lukanya. Setelah selesai, ia keluar dan melihat Leta yang masih duduk di sofa. Wanita itu sudah terlihat lebih tenang meski sedang melamun. Ia keluar memanggil pelayan untuk membersihkan lantai.
“Aku bersungguh-sungguh dengan yang kukatakan.”
Langkah Kei yang sudah membuka pintu terhenti. Pria itu tampak menarik napas panjang sebelum kemudian berbalik dan menatap Leta yang juga menatapnya. “Aku tak akan membahasnya.”
“Aku tidak bisa melakukannya.”
“Kenapa? Karena Ken?”
“Dia tidak ada hubungannya dengan permasalahan kita.”
“Dia selalu ada hubungannya.”
“Sama seperti kak Rosaline yang akan selalu …”
“Jangan bawa-bawa Rosaline!” Suara Kei memenuhi seluruh ruangan. Mulai membuat Kei frustrasi. Emosi di dadanya terasa seperti akan meledak. Tetapi lagi-lagi melihat wajah pucat dan ketakutan Leta kembali membuatnya menahan kesabaran lebih banyak lagi.
Leta tersentak kaget. Bibirnya seketika berubah kelu dan tak mengatakan apa pun lagi ketika Kei keluar dari kamar.
***
Kei menghabiskan makan malam lebih dulu dan hingga ia menandaskan jusnya, tak ada di antara keduanya yang saling bicara. Ia sudah mengusir Rosaline dan Leta pun tak berkomentar apa pun. Kalaupun wanita itu melarangnya, ia juga tetap akan menyeret sang mantan keluar dari rumah mereka. Sudah cukup dengan emosi Leta yang tak menentu karena kehamilan, ditambah Ken, sungguh mereka tak butuh masalah lainnya. Tubuhnya bahkan belum pulih benar, tapi hari ini ia tidak akan ke kantor.
Sepanjang hari, Leta hanya mengurung diri di dalam kamar. Memaksanya harus membawakan wanita makan siang dan makan malam. Meski tidak menghabiskan makanannya, setidaknya ia tahu sang istri masih memaksakan diri untuk makan karena bayi mereka.
Namun, keheningan yang menyesakkan tersebut kembali diricuhkan oleh kedatangan Laila. “Nona Rosaline, beliau mengamuk karena tidak diijinkan masuk.”
“Tetap di tempatmu.” Perintah Kei melihat Leta yang tampak kesulitan turun dari ranjang. Pria itu kembali beralih pada Laila. “Biarkan saja, dia akan lelah dan pulang.”
Laila mengangguk dan Kei kembali menutup pintu. Tetapi rupanya Rosaline bisa menjadi lebih gila dari yang Kei pikirkan. Pagi-pagi sekali, pintu kamarnya kembali diketuk oleh Laila yang mengatakan bahwa Rosaline tidur di depan gerbang dan sekarang pingsan karena demam.
Kepala Kei rasanya benar-benar ingin meledak karena frustrasi. Bahkan langit masih gelap dan wanita itu sudah membuah kehebohan.
“Panggil dokter,” pintah Leta yang bergerak turun, kecemasan menyelimuti raut bangun tidur sang istri.
“Tidak, bawa ke rumah sakit. Ada Bob dan Jerry yang mengangkatnya dan kau temani dia.”
“Tidak. Rumah sakit terlalu jauh …”
“Tidak terlalu. Ada klinik terdekat. Lagipula itu hanya demam.”
Laila tampak kebingungan, menatap Kei dan Leta bergantian. Tak tahu siapa yang harus lebih dipatuhi perintahnya.
“Hanya kau bilang?”
“Dia hanya ingin mendapatkan perhatian kita, Leta. Kenapa kau …”
“Perhatianmu,” koreksi Leta dengan tekanan dalam suaranya. “Tidak bisakah kau memberi kak Rosaline sedikit perhatian setelah membuatnya tidur di luar semalaman.”
“Kau menyalahkanku?” Suara Kei sedikit lebih kuat. “Aku tak memintanya tidur di luar. Dia yang sengaja mencari masalah.”
Leta tak membalas, berjalan melewati sang suami dan membawa Laila bersamanya. “Apa masih ada di luar?”
“S-saya meminta mereka membawanya ke kamar tamu yang selalu beliau tempati.”
“Panggil dokter, aku akan mengambil kompres di dapur untuk menurunkan demamnya.”
Mata Kei terpejam, menghela napas beberapa kali hanya untuk meredam emosinya yang bergemuruh di dada. Membanting pintu dengan keras.
Langkah Leta sempat terhenti dengan suara bantingan pintu yang terlalu keras. Kepalanya menoleh dan sejenak bergeming menatap pintu kamar mereka yang kembali tertutup rapat. Menghindar jelas tak akan menyelesaikan permasalahan di antara mereka bertiga. Mungkin, sekarang ia membutuhkan Ken untuk mengakhiri semuanya. Tak peduli jika Kei mengatakan mereka berselingkuh. Mungkin itu akan membuat Kei lebih mudah melepaskan dirinya dan putra mereka, dan mulai memperbaiki hubungan dengan Rosaline.
***
‘Kau menghubungiku?’ Entah bagaimana, Leta bisa merasakan seringai Ken dari seberang. ‘Lagi. Butuh waktu satu tahun bagimu untuk mengatakan membutuhkanku.’
“Bisakah kita bertemu?”
‘Kapan pun dan dimana pun.’
Leta menarik napas panjang.
‘Aku akan menjemputmu. Sekarang?’
“Tidak. Jangan sekarang.” Leta duduk di tepi ranjang, menatap jam di nakas yang masih menunjukkan jam lima sore. Kei tampaknya pulang lebih lambat dari biasanya. Entah karena memang sibuk atau memang ingin menghindari kak Rosaline. Pria itu selalu menghubunginya atau mengirim pesan setiap kali akan pulang terlambat, tapi mereka memang tidak saling bicara sejak kemarin. “Jam tujuh nanti.”
‘Oke.’
Leta menggigit bibir bagian dalamnya.
‘Kau yang menentukan tempatnya atau aku? Tak banyak tempat yang tepat untuk ibu hamil.’
“Kau saja.”
‘Oke.’
Leta mengakhiri panggilan tepat ketika mendengar suara langkah kaki dari balik pintu. Baru saja ia memikirkan pria itu, Kei muncul dari balik pintu. Pandangan mereka sempat bertemu, tetapi Leta segera memutus kontak mata tersebut lebih dulu.
“Malam ini aku ingin makan di luar.”
“Aku akan bersiap,” balas Kei yang baru saja meletakkan ponsel dan dompet di nakas. Melirik punggung Leta yang kemudian berputar kembali menatapnya.
“Tidak denganmu.”
Keheningan segera membelah di antara keduanya. “Rayyan? Ken?”
Leta tak menjawab.
“Jawabannya kau sudah tahu.” Kali ini Kei setengah membanting kunci mobilnya dan berjalan memutar tempat tidur untuk segera ke kamar mandi dan menghentikan pertengkaran yang tampaknya sengaja disulut oleh Leta.
“Aku tetap akan pergi meski kau melarangku.” Leta berdiri, sedikit menegaskan suaranya.
“Oh ya?”
“Meski kau akan mematahkan kakiku.”
“Kau tak perlu melakukan semua ini untuk mendapatkan perhatianku, Leta. Kau selalu mendapatkan perhatianku.”
Leta menggeleng. “Tidak. Aku memang harus bertemu dengan Ken.”
“Jangan katakan alasan konyol tentang memperbaiki persabahatan kalian.”
“Katakan apa pun yang kau inginkan.”
Kei terdiam. Sungguh, jika tidak ingat perut wanita itu yang membesar dan hormon kehamilanlah yang membuat sang istri bersikap emosional seperti ini, Kei benar-benar akan meledak. Ia nyaris tak sanggup menahan gemuruh amarahnya jika tidak segera masuk ke dalam kamar mandi dan membiarkan air dingin mengguyur kepalanya. Menjadikan dinding kamar mandi mereka sebagai samsak tinjunya.
***
Kei berdiri di balkon ruang kerjanya, menatap Leta yang menuruni undakan teras dan masuk ke dalam mobil Ken. Bahkan dari jarak sejauh ini, ia bisa melihat seringai sang adik yang membukakan pintu mobil untuk Leta. Tatapan mereka bertemu selama beberapa detik, Ken berdiri di samping mobil dan masuk ke dalam mobil. Tak lama mobil melewati gerbang tinggi dengan kecepatan lambat.
Setelah cukup lama ia hanya berdiri tercenung di sana, akhirnya ia memutuskan untuk masuk ke dalam. Duduk di balik meja dan mulai membuka berkas pekerjaan yang ia bawa dari kantor. Sambil menunggu kepulangan Leta, yang entah jam berapa akan pulang.
Berusaha mengalihkan kecemburuan yang mendidih sampai ke ubun-ubun, usahanya tetap tak membuahkan hasil. Pikirannya tak bisa lepas dari Ken dan Leta. Ia pun bangkit berdiri, turun ke lantai satu dan masuk ke dalam penyimpanan anggurnya ketika memergoki Rosaline ada di sana. Bersandar pada rak pertama.
“Aku sudah menunggumu di sini selama dua jam.” Rosaline mengangkat pergelangan tangannya. “Kupikir kau akan datang setelah sepuluh menit mereka pergi. Sepertinya kau bertahan cukup lama sampai benar-benar membutuhkan ini,” senyumnya sambil menggoyang botol anggur yang baru saja diambil dari sampingnya.
Kei menyeringai, mengambil botol terdekat yang bisa dijangkau lengannya dan keluar tanpa mengatakan apa pun. Ia duduk di kursi pantry untuk mengambil pembuka botol saat Rosaline duduk di kursi sampingnya. Meletakkan dua gelas kosong di hadapannya.
“Kau benar-benar tak akan menyerah, ya?”
“Kau sangat mengenalku, sayang.”
Kei memberikan senyum dinginnya saat mengeser dua gelas kosong tersebut hingga jatuh ke lantai. Meneguk cairan merah tersebut langsung dari botolnya.
“Kau perlu terbiasa, Kei. Dia butuh hiburan dengan pernikahan kalian yang tak berhenti dihantam masalah.”
Kei mendengus. “Masalahnya hanya kau, Rosaline. Kalau kau enyah dari hidup kami dan berhenti merecoki pernikahan kami, dia tak membutuhkan hiburan dari siapa pun. Bahkan dari Rayyan.”
“Ah, Rayyan. Aku lupa memberitahumu. Saat kau pingsan karena kelaparan, dia sibuk bertemu dengan Rayyan untuk membahas perceraian kalian.”
Keterkejutan yang teramat besar menghantam tatapan dingin Kei.
Rosaline tersenyum. “Dia tak memberitahumu?”
“Tak perlu. Perceraian itu tidak akan terjadi.” Kei kembali meneguk anggurnya. Dengan kemarahan yang lebih besar.
Senyum Rosaline membeku. “Kau masih menyangkal perasaanmu sendiri, sayang?”
“Perasaan mana yang kau katakan?” Kei menaikkan salah satu alis dan mendengus tipis.
“Aku tahu kau masih mencintaiku.”
“Sebelumnya aku memang menyangkalnya. Tapi sekarang, aku semakin yakin kalau perasaan itu sudah berubah. Aku mencintai Leta.”
“Karena dia ibu dari anakmu.”
“Jika hanya karena itu, dia sudah hamil sejak satu tahun pertama pernikahan kami, Rosaline.”
Wajah Rosaline perlahan memucat.
“Jangan menyangkalnya hanya karena kau tak mau menghadapinya.”
“Kau bisa membuktikannya?”
“Untuk apa aku harus membuktikannya padamu?”
“Katakan kau mencintainya saat kau menciumku.” Rosaline memajukan tubuhnya dan mencium bibir Kei. Pria itu menolaknya, tetapi kedua lengannya sudah terlanjur melingkari leher pria itu.
Kei sedikit kesulitan menjauhkan tubuh wanita itu karena tangannya masih memegang botol anggur. Tetapi kemudian pria itu berhenti, membiarkan Rosaline yang terlalu berusaha untuk menciumnya. Dan sekarang ia semakin yakin, bahwa perasaannya pada wanita itu memang sudah berubah.
“Kenapa kalian harus melakukannya di sini?” Suara Leta menyela di tengah ciuman tersebut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top