20. Flashback 3
Part 20 Flashback 3
Saat Leta memutar badan, pandangan Ken tak bisa lepas dari perut Leta yang membesar. Terakhir bertemu, wanita itu hanya mengatakan hasil tes kehamilannya yang positif. Setelahnya, keduanya tak pernah saling menghubungi.
"Tampaknya hubunganmu dan Rayyan masih berjalan dengan baik."
Leta merasakan bibirnya yang kelu. Pertengkaran terakhir mereka saat di pernikahan Rayyan. Setahun yang lalu. Matanya mulai terasa memanas mengamati Ken dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tidak ada yang berubah dari pria itu selain rambut yang dibiarkan gondrong. Bahkan diikat ke belakang dengan ikat rambut berwarna merah muda. Dan Leta masih ingat, ikat rambut itu adalah miliknya.
Ya, hanya ialah yang selalu mengingatkan pria itu untuk memotong rambut. Bahkan setelah bujukan sang mama, hanya Letalah yang selalu berhasil mendudukkan pria itu di salon rambut.
"Bagaimana kabarmu?"
"Apa yang kau lihat?" Kedua tangan Ken terangkat ketika pria itu melangkah mendekat. "Jika kau melihatku baik-baik saja, percayalah. Itu tidak benar."
Leta hampir meneteskan air matanya ketika Ken berhenti tepat di depannya. Tangan pria itu terulur, menyentuh pipinya dan menyeka setetes air mata di sana dengan ujung jari.
"Kau juga tidak, kan?"
Leta hanya mampu menggigit bibir bagian dalamnya. Menahan diri untuk tidak menjawab ya. Ia juga tidak baik-baik saja dengan hubungan mereka yang menjadi buruk dan semakin memburuk seperti ini. "K-ken?"
Ken tersenyum, meski senyum itu tak mencapai matanya. "Kau merindukanku?"
Leta ingin mengangguk. Tetapi lagi-lagi harus menahan diri untuk tidak memeluk pria itu untuk melampiaskan kerinduannya pada sang sahabat.
"Kei tidak memperlakukanmu dengan baik? Aku sudah bilang dia hanya akan membuatmu menderita."
Leta menggeleng.
"Tidak benar atau tidak ..."
"Kenapa kau tiba-tiba menemuiku?"
"Kencan buta?"
"B-benarkah?" Mata Leta melebar.
"Berakhir dalam lima menit. Dia pergi sambil menangis ketika aku mengomentari warna lipstiknya yang tidak kusukai."
Wajah Leta seketika membeku.
"Aku suka warna bibirmu yang alami." Tangan Ken bergerak menyentuh bibir Leta.
"K-ken?" Suara Leta melirih. Tangannya menahan lengan Ken agar berhenti menyentuhnya dengan cara seperti ini. Tetapi ia tak berani mengatakan apa pun untuk mencegah Ken karena takut pria itu akan kembali meninggalkannya.
"Apa Kei juga menyukainya?"
"Kumohon, Ken."
Ken hanya tersenyum tipis, mempertahankan kontak mata tersebut untuk waktu yang lama. Memperlihatkan bahwa hanya wanita itu yang akan bertahta di hatinya. Sampai kapan pun. "Aku tak tahu apakah masih bernafas bisa dikatakan masih hidup. Tapi kau tahu aku tak bisa hidup tanpamu."
"K-ken? Kumohon berhenti."
"Aku pernah memohon padamu untuk menghentikan sandiwara ini."
"Kei tidak akan melepaskanku, Ken."
"Atau kau yang tak ingin lepas?"
Leta tak menjawab.
Mata Ken menyipit, telapak tangannya masih merangkum pipi Leta. Ujung jemarinya bergerak menyeka air mata yang meleleh di sana. Kepalanya perlahan tertunduk, melenyapkan jarak di antara wajah wajah mereka.
"Kenapa hubungan kita harus menjadi seperti ini?"
"Kau yang membuatnya seperti ini. Jika sekali saja kau memilih egois dan mengabaikan pendapat kedua orang tuamu, hubungan kita tidak akan seperti ini, Leta." Jarak di antara bibir mereka semakin menipis. Membiarkan napasnya berhembus di wajah wanita itu. Tetapi tepat ketika bibir mereka sudah akan bersentuhan, Leta memutar kepala dan bibirnya mendarat di pipi.
Mata Leta terpejam. Berusaha sangat keras untuk menguatkan hati akan penolakannya tersebut. Ia paling tak tahan jika Ken kecewa pada dirinya. Dan ia bisa merasakan kekecewaan dan kesedihan yang pria itu tanggung meski bibir pria itu tersenyum di pipinya. Hingga isakannya semakin kuat dan membuat tenggorokannya tercekat.
Ken tertawa kecil dan menarik kepalanya menjauh. Pandangannya tertunduk untuk melihat perut Leta yang besar. "Bukankah kudengar kau keguguran?"
Leta tak menjawab. Saat ia mengatakan tentang kehamilannya di pernikahan Rayyan dan mustahil jika ia berpisah dengan Kei karena adanya anak di antara mereka, Ken marah dan mengatakan tak akan melihatnya lagi. Ia mengalami keguguran karena emosinya cukup terguncang dengan kemarahan pria itu yang sungguhan. Ia terpeleset di kamar mandi dan kehilangan tersebut membuat hubungannya dengan Kei malah membaik. Dan tak lama kemudian ia kembali hamil dan merawatnya baik-baik. Dukungan serta perhatian Kei terhadap dirinya dan kandungannya sangat besar. Menciptakan perasaan cinta yang kini memenuhi dadanya, meski pada akhirnya ia tetap terluka karena rupanya pernikahan mereka tak bisa dipertahankan lagi. Ia yang tak bisa menahan kecemburuan terhadap kehadiran cinta masalalu Kei dalam rumah tangga mereka.
Pun begitu, ia tetap tidak bisa menjadikan Ken sebagai pelarian dalam keretakan yang mulai menghancurkan keyakinannya untuk mempertahankan pernikahannya dan Kei.
"Apa tadi malam Rosaline bermalam di rumah kalian? Ah, rumah yang sebelumnya memang untuk mereka, kan?"
Leta menggeliatkan tubuh untuk melepaskan diri himpitan tubuh Ken. Ia tahu Kek sengaja mengatakan pernyataan tersebut untuk melukai perasaannya.
"Mereka bersenang-senang di belakangmu. Kau tak tahu?"
Leta membuang wajahnya, mengambil ponselnya
"Atau berpura-pura tak tahu?"
"Aku harus pergi."
Ken tak mengatakan apa pun. Hanya berdiam di tempatnya hingga Leta menghilang dari pandangannya.
"Jadi berpura-pura tak tahu, hah."
***
"Kei pingsan?" Leta bergegas turun dari mobil dan lekas masuk ke dalam rumah dengan langkah terburu begitu Laila membuka pintu mobil yang baru saja berhenti di depan rumah. "Kenapa kau tidak menelponku?"
"Saya sudah, Nyonya. Tapi Anda tidak mengangkatnya."
Leta tak melihat ada panggilan masuk ketika memasukkan ponselnya ke dalam tas. Sepanjang perjalanan pulang pun ia memang banyak melamun. Mempertimbangkan tentang perceraian. Dan segala hal yang akan merentetinya jika ia dan Kei benar-benar bercerai.
"Siapa yang membawanya pulang?"
"Tuan besar. Tetapi saat dokter datang untuk memeriksa tuan, beliau pamit pulang."
"Apa yang dikatakan dokter?"
"Kelaparan." Kali ini bukan Laila yang menjawab. Melainkan Rosaline yang baru saja keluar dari kamar mereka. Bersama pria itu yang mengenakan kemeja krem. Dokter Juan, dokter pribadi keluarga Ganuo.
Sang dokter tampak tak setuju dengan istilah tersebut, tetapi Rosaline hanya mengedikkan bahu dan mendekati Leta lalu berkata, "Beliau kelelahan dan mengalami dehidrasi. Tekanan darahnya rendah."
"Juga sangat kepalaran," imbuh Rosaline lagi.
Dokter Juan tak menggeleng. Yang membuat Leta semakin merasa bersalah. Tadi malam Kei tidak makan di rumah, juga tadi pagi. Bahkan siang ini makan dengan kenyang bersama Rayyan, sementara Kei jatuh pingsan karena kelaparan.
"Saya sudah memasang infus yang kedua. Kemungkinan beliau akan bangun sebelum habis. Jadi saya pamit dulu." Dokter Juan mengangguk sekali dan berpamit pergi. Leta sendiri tak melarang, Kei lebih dari handal melepaskan jarum infus. Bahkan ketika Leta sendiri yang menjadi pasien.
"Kei bukan orang yang pemilih dalam hal makanan, Leta. Dia juga tidak sensitif pada makanan tertentu. Bagaimana mungkin dia sampai pingsan karena kelaparan?"
Leta tak bisa menjawab, memilih berjalan masuk ke dalam kamar untuk melihat wajah Kei. Mata pria itu masih terpejam, sementara makanan sudah disiapkan di nampan yang diletakkan di nakas. Sudah pasti sang kakak yang menyiapkan di sana.
"Dia tahu kau pergi makan siang dengan Rayyan." Rosaline menyadarkan tubuhnya pada tiang ranjang. Menatap foto pernikahan Kei dan Leta yang dipajang di dinding di atas kepala ranjang. "Apa kau bertemu Ken?"
Leta menoleh dan matanya mengerjap terkejut.
"Sepertinya aku mulai memahami hubungan kalian yang tiba-tiba menjauh. Dulu kalian begitu tak terpisahkan."
Kedua mata Leta mulai memanas dengan kata-kata tersebut.
"Dia mencintaimu, kan?" Rosaline setengah tertawa. "Dan menurutku itu bukan hal yang buruk. Memang tak ada persahabatan pria dan wanita, Leta. Setidaknya aku tak mempercayainya."
Leta berpaling, menatap kembali wajah Kei yang masih memejamkan mata karena tak ingin sang kakak menyadari kesedihannya yang mendalam atas memburuknya hubungannya dan Ken.
"Dulu keputusan Kei yang membuat kerumitan ini dan sekarang kau sendiri yang mempertahankan kerumitan tersebut. Dengan menggunakan alasan anak kalian." Rosaline melirik perut Leta. "Jika kau menceraikannya, aku tak akan mempermasalahkan hubungan kalian sebagai orang tua dari anak itu. Dan kupikir Ken juga tak akan mempermasalahkannya karena dia sangat mencintaimu."
"Apakah kakak benar-benar ingin kami bercerai?"
"Aku? Kei juga menginginkannya, Leta. Dia hanya tak bisa mengatakannya padamu dan tak mungkin mengatakannya dengan kondisi kehamilanmu yang seperti ini. Dia bukan pria berengsek seperti itu."
Dada Leta seketika terasa sesak dan saat matanya mengerjap untuk mengurai air matanya, isakannya menjadi tak tertahankan dan memaksa kedua kakinya melangkah menuju kamar mandi. Menangis di dalam sana karena tak ingin terlihat begitu menyedihkan di depan sang kakak.
***
Saat Leta keluar kamar mandi, ia melihat Kei yang melempar nampan di tangan Rosaline ke lantai. "Keluar kau, Rosaline!"
Rosaline mendengus, melirik ke arah Leta sejenak sebelum keluar dengan kesal.
"Kenapa kau membiarkannya masuk ke dalam kamar?"
Leta tak menjawab, mendekati makanan dan piring yang berhamburan di lantai dan menekuk lututnya untuk mulai memunguti pecahan tersebut.
"Apa yang kau lakukan?!" bentak Kei yang semakin kesal. Menurunkan kedua kakinya dan mendekati sang istri. Salah satu telapak kakinya menginjak pecahan kaca, tetapi ia mengabaikannya dan menggapai lengan atas Leta agar wanita itu berdiri.
"Aku harus membersihkannya."
"Jangan bodoh kau, Leta." Kei membungkuk dan mengangkat tubuh Leta, menjauhkannya dari pecahan kaca dan mendudukkannya di sofa. Memastikan tidak ada luka sedikit pun pada tubuh wanita itu.
"Kakimu?" Leta membelalak melihat jejak berdarah dari kaki Kei di lantai. Kepalanya tertunduk dan tak bisa menahan isak tangisnya yang datang tiba-tiba.
"Ada apa?"
Leta menggeleng, emosinya mendadak membludak dan ia tak kuasa menanganinya.
Kei menekuk lututnya dan membawa Leta ke dalam pelukannya ketika isakan Leta semakin keras dan tersebut. Dan di tengah-tengah tangisan wanita itu yang mendadak tak terkendali, Leta berusaha mengatakan sesuatu.
"Aku ingin bercerai."
Meski tak terlalu jelas, Kei bisa merangkai kalimat tersebut. Bersamaan aroma familiar yang tertangkap indera penciumannya yang tajam. "Apa kau bertemu Ken?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top