19. Flashback 2

Part 19 Flashback 2

Kei melepaskan dan mendorong kedua lengan Rosaline dari tubuhnya dan menegakkan punggungnya. Merogoh sapu tangan dari saku dan menggunakannya untuk menghapus sisa ciuman tersebut di bibirnya. "Ck, memang ini rencanamu dengan berbaring di sini?"

Rosaline kembali menjatuhkan tubuhnya di sofa. Melengkungkan senyum meski merasa kesal Kei menghapus ciumannya seolah ada kuman mematikan di sana. "Leta tak harus merasa keberatan harus membagimu denganku, kan?"

"Aku yang keberatan harus membagi rumah tanggaku denganmu? Apalagi hatiku." Kei melempar sapu tangannya ke lantai. "Kau bisa ke kamar sendiri, kan? Atau pulang saja," ucapnya kemudian berbalik dan berjalan menuju kamarnya.

Rosaline masih tersenyum, tanpa melepaskan pandangannya dari punggung Kei yang menghilang di balik pintu kamar utama. Tentu saja dia tidak akan pulang."

***

Kei mengernyit menemukan Leta yang sudah berbaring di tempat tidur. Alih-alih berada di ruang ganti dan menyiapkan pakaiannya seperti biasa. Bahkan jas, ponsel, dan kunci mobilnya tergeletak begitu saja di ujung ranjang. Tepat di samping kaki wanita itu.

Ia mengunci pintu, memastikan Rosaline tidak akan menyelinap masuk seperti yang sudah-sudah sebelum mengambil barang-barangnya dan menyelimuti Leta yang sudah memejamkan mata. Wanita itu selalu menjadi lebih pendiam setiap kali ada Rosaline. Dan berapa kali pun ia mengusir Rosaline, Leta selalu membela wanita itu. Tak peduli jika akan menciptakan pertengkaran yang besar di antara mereka. Hingga pada akhirnya, ia yang selalu mengalah. Membiarkan sang istri melakukan apa pun yang diinginkan karena tak ingin membuat emosi Leta tertekan karena pertengkaran mereka. Di tengah kehamilan wanita itu yang semakin membesar.

Ya, ia cukup memahami posisi wanita itu di dalam keluarga Rosaline. Tetapi membiarkan Rosaline merecoki pernikahan mereka tetap saja cukup mengganggu. Apalagi wanita itu semakin hari semakin berani untuk terang-terangan mengganggu Leta.

Dan pertanyaan Leta pagi itu lagi-lagi membuatnya harus memupuk kesabaran lebih banyak lagi.

"Jika mamamu tidak tahu kau mempersiapkan rumah ini untuk pernikahanmu dan kak Rosaline, apa kau akan membawaku ke sini?"

Kei tak mengangguk, apalagi menggeleng. "Kau ingin kita pindah rumah?"

"Aku bertanya."

"Aku akan menghubungi orang untuk mencarikan kita ..."

"Aku tidak ingin pindah. Aku hanya ingin jawaban, Kei."

"Jawabannya tak perlu ada. Sekarang kau yang kunikahi dan kita tinggal di rumah ini. Sebelumnya kau tak pernah mempermasalahkannya, kan? Aku pun tak terlalu memedulikan apa pun. Jika sekarang kau tiba-tiba ingin pindah, aku juga tak akan mempermasalahkannya."

Leta hanya menatap kekesalan yang mulai merebak di wajah pria itu. Berhenti pada bibir pria itu yang tadi malam berciuman dengan Rosaline. "Apa kau masih mencintai ..."

"Aku mencintaimu. Hanya mencintaimu. Aku sudah bilang jangan mempertanyakan lagi hal sialan itu," sergah Kei mulai gusar. Mulai tak yakin mampu menahan emosinya lebih lama lagi jika Leta masih dan masih selalu mengungkit tentang hubungannya dan Rosaline. "Pikirkan saja kalau aku yang mempertanyakan hal itu padamu, Leta?"

Leta tak menjawab. Itu artinya dia tidak mempercayai Kei. Tetapi ia tidak berciuman dengan Rayyan dan Rayyan sudah menikah dengan Celin. "Aku ke dapur dulu untuk menyiapkan sarapan."

Kei menahan lengan Leta. "Tidak. Kali ini biar pelayan yang menyiapkan meja makan. Kau hanya akan keluar kamar bersamaku."

"Kenapa?"

"Tidak perlu tanya kenapa. Aku sudah membawakan susu ibu hamilmu."

Leta mengikuti pandangan Kei, melihat segelas susu di nakas. Jadi karena itu tadi Kei langsung keluar kamar begitu bangun tidur. "K-kenapa?"

"Aku ingin keluar kamar bersama istriku. Apakah alasan itu tidak cukup?"

Leta menggeleng. "Aku akan menunggumu selesai mandi," jawabnya kemudian berjalan ke samping tempat tidur. Meneguk habis susu ibu hamilnya sambil menunggu Kei selesai mandi. Sambil sesekali memeriksa ponselnya.

Ada beberapa pesan dari Rayyan, yang mengajaknya makan siang bersama. Dan sepertinya ia memang sedang ingin keluar untuk sekedar berjalan-jalan.

Setengah jam kemudian, keduanya ke ruang makan. Seperti biasa, Rosaline sudah menunggu di meja makan. Menyambut mereka -hanya Kei- dengan senyum lebar. Dan dengusan tipis ketika Kei menarik kursi untuk Leta.

"Kau tidur dengan nyenyak?" Rosaline membalik piring bersih Kei sebelum pria itu menyentuhnya.

Kei tak menjawab, tangannya terulur hendak mengambil nasi, tetapi lagi-lagi Rosaline mendahului. Begitu pun ketika akan mengambil lauk. Kei melirik kea rah Leta, yang berpura tak tahu dengan sikap Rosaline. Bersikap acuh dan seolah sibuk dengan makanannya sendiri. Bahkan jika wanita itu melihatnya berciuman dengan Rosaline pun pasti akan berpura tak tahu. Menyakinkan diri bahwa itu hanya sebuah kesalah pahaman.

"Aku kenyang." Kei menjauhkan piringnya yang belum tersentuh. Mengambil ponsel di meja dan berdiri. "Aku berangkat dulu. Pastikan kau minum vitaminmu."

"T-tapi makananmu ..." Kalimat Leta terputus ketika Kei membungkuk untuk mencium bibirnya.

"Aku akan menghubungimu saat sampai di kantor."

Leta mengangguk meski merasa tak nyaman dengan ciuman tersebut.

"Kau tahu aku tak bisa hidup tanpanya, kan?" ucap Rosaline pada Leta sebelum ikut beranjak dan mengambil tasnya. Menyusul Kei dengan langkah terburu. "Aku meninggalkan mobilku di bar."

Leta masih sempat mendengar alasan tersebut sebelum keduanya menghilang dari pandangannya. Meninggalkannya sendirian di ruang makan tersebut dengan selera makan yang langsung menguap seketika.

***

"Maaf, tiba-tiba ban mobilku bocor jadi aku meninggalkannya di jalan dan harus naik taksi." Rayyan duduk di seberang meja dengan napas yang terengah. Meneguk habis air putih di gelas dalam sekali tegukan. "Kau menunggu lama?"

Leta menggeleng. "Sekitar lima menit. Leta bahkan belum selesai memilih menu," jawabnya sambil menunjukkan menu di depannya.

"Aku seperti biasa saja."

Leta pun menyadari kalau sejak tadi dia hanya membaca semua menu-menu yang tertera tanpa menginginkan semuanya. Ia kembali menutup menu tersebut. "Leta juga."

Bibir Rayyan melengkung, tetapi senyumnya tak mencapai mata saat melihat ada yang janggal dengan sang adik. Ia mengambil menu tersebut dan memanggil pelayan café. "Ada apa? Semalam kau tiba-tiba memutus panggilanmu dan nomormu tidak bisa dihubungi."

Leta setengah menunduk, dan saat mulutnya hendak terbuka untuk memberikan alasan...

"Tak mungkin tiba-tiba bateraimu habis, kan?"

Leta membeku. Tebakan Rayyan tepat pada sasarannya.

"Apa yang terjadi?"

Bayangan ketika Rosaline dan Kei berciuman di depannya kembali memenuhi benaknya.

"Kau tak ingin bercerita padaku?"

Leta menggeleng.

"Tidak."

"Leta tak tahu apa yang harus Leta lakukan."

"Pada Kei dan Rosaline?"

Leta mengerjap. Mengurai air mata yang mulai menggenang di kedua matanya.

"Apa yang dikatakan Rosaline?"

"Mereka ... mereka terlihat masih saling mencintai."

Rayyan beranjak dan berpindah ke samping Leta. Menggenggam tangan wanita itu yang mulai berkeringat dingin.

"Apa Kei mengatakan ...."

Leta menggeleng. "Atau dia tak bisa mengatakannya karena anak kami."

"Tidak. Jika dia sampai berani menyelingkuhimu, aku akan membuatnya membayar penderitaanmu. Lagipula hubungan mereka sudah berakhir sejak kalian menikah, Leta."

"L-leta ... sepanjang hari ini memikirkan sesuatu. Apakah mungkin jika kami ..."

Rayyan menunggu. Kesedihan yang menyelimuti kedua manik polos wanita itu tak mengurangi kejernihan bola mata Leta yang berwarna hitam. Yang memperjelas bahwa wanita itu bukan darah keluarga Syailendra dan mempersulitnya untuk menghentikan laju perasaannya.

Ia sangat memahami bagaimana perasaan Rosaline. Sudah tiga tahun berlalu hubungannya dan Leta serta hubungan Rosaline dan Kei harus berakhir. Tetapi perasaan yang mendekam di dadanya masih sama. Tidak berubah sedikit pun.

"Harus berpisah?"

Rayyan membeku. Itu adalah harapan terbesar yang hingga saat ini masih ada di hatinya. Tetapi ... Leta sudah tidak mencintainya. Keilah pria yang sudah menggantikan tahtanya di hati wanita itu. Dan kebahagiaan Letalah yang paling penting.

"Apakah mama dan papa akan kecewa jika kami bercerai?"

"Apa Kei tahu?"

Leta menggeleng. "Leta sangat menyayangi kak Rosaline. Tetapi ... maafkan Leta harus merasa cemburu dengan kak Rosaline. Mungkin jika Leta melepaskan Kei, itu akan memperbaiki hubungan kami."

"Kau tak perlu minta maaf, Leta." Rayyan membawa kepala Leta bersandar di pundaknya. Mengusap lengan wanita itu yang kemudian menangis dengan tersedu. "Memang seharusnya tidak ada orang ketiga dalam sebuah pernikahan." Rayyan menyangsikan pernyataannya kali ini. Itulah yang mungkin dirasakan istrinya saat ini, Celin.

Setelah perasaan Leta sudah lebih tenang dan keduanya menghabiskan makan siang masing-masing. Leta kembali bertanya, "Apa kakak punya kenalan pengacara?"

"Kau benar-benar ingin bercerai?"

Leta tak mengangguk. Keraguan di dadanya mendadak membingungkannya.

"Aku akan mengenalkanmu dengan temanku. Kau bisa bertanya-tanya apa yang terjadi setelah kalian bercerai. Itu bukan keputusan yang mudah, Leta. Terutama dengan keadaanmu yang sedang hamil besar dan akan ada anak di antara kalian. Hubungan kalian tidak akan selesai dengan mudah dan sebentar. Jadi kau perlu mempertimbangkannya dengan baik-baik."

"Leta mengerti."

***

Leta menghela napas panjang, menatap kemurungan yang tak berhenti menyelimuti wajahnya sejak kemarin.

Bercerai?

Entah berapa kali ia memikirkan perceraian dalam pernikahannya dan Kei yang sudah berjalan selama tiga tahun ini. Tetapi berkali-kali pria itu mengatakan bahwa perceraian bukan jalan keluar, tapi dalih bahwa dirinya yang ingin melarikan diri dari masalah mereka.

Ya, mungkin ia memang ingin melarikan diri. Mungkin ia memang egois. Karena tak bisa meluaskan hati untuk berbagi Kei dengan siapa pun. Meski pada awalnya Kei memang bukan miliknya.

Sekali lagi wanita itu mendesah dengan berat. Mengambil tasnya di samping wastafel saat menyadari toilet yang tiba-tiba sunyi. Tidak ada siapa pun. Padahal sepanjang ia berdiri melamun di depan wastafel, beberapa kali orang sudah keluar masuk.

Dan ketika wajahnya terangkat, dari pantulan di cermin ia bisa melihat seseorang yang berdiri di ambang pintu toilet. Bersandar pada kusen pintu.

"K-ken?"

"Lama tidak bertemu," balas pria itu dengan senyum yang menyerupai seringai.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top