16. Saling Mencintai

Part 16 Saling Mencintai

'Ya, memang dia yang menyelamatkanmu dalam kecelakaan itu. Tetapi itu tak membuatnya lebih berhak atas dirimu.'

Kata-kata Kei kembali mengalir di tengah air mata yang menggenangi kedua mata Leta dengan segera. Menatap tubuh tak berdaya Ken di atas ranjang pasien, dengan berbagai alat yang tersambung di tubuh pria itu sebagai penopang kehidupan.

Dari jarak sejauh ini, Leta tak bisa melihat luka yang tertentu yang ada di tubuh Ken. Tetapi ia bisa merasakan ada banyak kerusakan pada tubuh pria itu. Karena melindunginya.

Sejak Kei mengatakan Ken memang ada di rumah sakit, Leta berusaha mengais ingatan-ingatannya tentang kecelakaan tersebut. Dan tak ada satu pun yang bisa diingatnya untuk mengetahui bagaimana persisnya kecelakaan tersebut terjadi.

Kenapa semua ingatannya harus menghilang?

Ia tak berhenti mempertanyakan hal tersebut tanpa menemukan jawaban yang bisa melegakannya. Kei sengaja menutupinya karena keegoisan pria itu. Bagaimana mungkin Kei menyembunyikan hal sebesar ini ...

"Leta?"

Suara lembut dan hangat tersebut menghentikan lamunan Leta, yang segera mengerjap untuk mengurai genangan air mata di kedua kelopak matanya. "M-mama?"

Sesil tampak terkejut dengan keberadaan sang menantu. "Apa yang kau lakukan tengah malam di tempat ini?"

Leta terdiam. Ia bahkan baru ingat kalau ini masih tengah malam. Ia hanya membiarkan kedua kakinya melangkah.

"Kei tahu?"

Leta mengangguk lagi. Menatap Sesil yang segera mengurai keterkejutan lebih cepat dibandingkan dirinya.

"Apa ingatanmu sudah kembali?"

"Belum. Maafkan Leta, Ma." Hening sejenak, tetapi kemudian Leta tiba-tiba memeluk Sesil dan air mata yang baru saja menguap di kedua matanya, kini membanjiri wajahnya dengan segera. Sementara Sesil hanya terdiam, membalas pelukan Leta dan mengelus pungggung sang menantu dengan lembut. Membiarkan Leta meluapkan emosi yang membendung di dada wanita itu.

Setelah akhirnya sang menantu mulai tenang, Sesil membawa Leta duduk di sofa. Tak mengganggu posisi sang menantu yang tak ingin lepas dari memandang ranjang pasien.

"Apa saja yang dikatakan dokter?" Leta yang pertama kali memulai percakapan.

Sesil menggeleng sambil mendesah pelan. Meneguk air putih di gelasnya hingga tersisa setengah. "Mama tak terlalu mengingatnya selain dokter yang mengatakan operasi berjalan dengan lancar, hanya perlu menunggu dia bangun. Tetapi .... sudah tiga bulan dan keadaannya masih tetap seperti ini."

Leta sendiri tak tahu harus mengatakan apa. "Maafkan Leta selama ini tak mengetahuinya. Leta tak bisa mengingatnya. Kei ... dia bilang Ken ada di luar negeri."

Sesil mengangguk.

"Mama juga tahu?"

"Itu semua untuk kebaikanmu. Kau baru saja melahirkan dan ingatanmu yang tiba-tiba hilang, semua ini pasti terlalu banyak menguras emosimu jika tahu keadaan Ken seperti ini."

"T-tapi ..."

"Mama tidak menyalahkanmu maupun Kei. Itu memang keputusan terbaik untuk kalian. Dan semua ini memang kecelakaan."

Leta terdiam, begitu pun dengan Sesil. Wanita itu menggenggam kuat kedua tangan sang menantu. "Ken pun tak akan menyalahkanmu, Leta. Jadi jangan membuat dirimu menanggung rasa bersalah yang tak seharusnya kau dapatkan."

"Semua ini memang karena Leta, Ma."

"Kei sudah menceritakan semuanya. Pertengkaran kalian di rumah lama dan ketika tiba-tiba Ken datang untuk menyeretmu pergi. Kalian bertengkar di dalam mobil dan kecelakaan tersebut terjadi."

Mata Leta melebar. "B-bertengkar?"

Sesil mengangguk. "Kei tidak mengatakan dengan jelas, tetapi pertengkaran itu membuat Ken kehilangan kendali dan mobil yang kalian tumpangi terjun dari jembatan."

Leta tersedak keterkejutan yang teramat besar. Sepenuhnya kehilangan kata-kata. Kenapa ia bertengkar dengan Ken? Sepanjang pertemanan mereka sejak kecil, Leta tak bisa mengingat pernah bertengkar dengan Ken. Leta menggeleng, menolak penjelasan tersebut, tetapi tidak mungkin di hadapan sang mertua.

"Sebelumnya, kami tak pernah bertengkar."

Sesil terdiam sejenak. "Kau tak mengingatnya?"

"A-apa?"

Keraguan tampak begitu jelas di wajah Sesil.

"Apa mama tahu sesuatu?"

"Sejak kau menikah dengan Kei, kalian tampak menjauh. Mama pikir ya memang karena kau sudah mulai fokus dengan pernikahanmu dan Ken fokus dengan pekerjaan barunya. Jadi kalian hampir tak pernah saling bertemu."

Leta menelan ludahnya. Kembali diterjang keterkejutan. Kepalanya terlalu pening untuk menerima semua penjelasan tersebut.

Sesil segera menyentuh pundak Leta. "Mama tak akan bicara lebih banyak lagi. Kei benar. Kau tak perlu memaksa dirimu untuk mengingatnya, Leta. Kau butuh waktu."

Leta membuka mata, menatap kecemasan di wajah sang mertua. Perlahan, ia mengembalikan napasnya yang berhembus tak beraturan karena sesak yang memenuhi dadanya. Seberapa pun kerasnya ia berusaha mencari, yang ia dapatkan hanyalah kekosongan. Hanya kabut asap yang memenuhi kepalanya.

"Ken akan baik-baik saja. Sekarang yang perlu kau perhatikan adalah dirimu lebih dulu. Juga masih ada baby Ace yang membutuhkanmu. Kau punya waktu untuk mengingat semuanya. Biarkan mama dan papa yang menjaga Ken."

Leta mengangguk pelan. Tak ada satu kata pun yang sanggup diucapkan. Perasaannya jauh lebih buruk dari sebelum datang ke rumah sakit.

"Satu hal yang perlu kau tahu. Pertengkaran kalian sebelum kecelakaan tersebut, dan semua yang dilakukannya saat kau bangun dengan tanpa ingatanmu. Percayalah ..." Sesil merangkum sisi wajah Leta dengan lembut. "Kei melakukannya karena mencintaimu."

***

Leta sampai di apartemen menjelang subuh. Kesunyian menyambutnya ketika ia membuka pintu kamar tidur. Tak ada tanda-tanda keberadaan Kei di ruangan tersebut selain jam tangan, ponsel, dan kunci mobil yang tergeletak di meja. Juga barang-barang baby Ace di samping sofa.

Ia berjalan ke kamar baby Ace, di sanalah Kei berbaring. Di sofa dengan posisi yang tak nyaman sambil memegang botol kosong. Sementara baby Ace masih terlelap di boks bayi.

Leta melangkah dengan perlahan, berusaha tidak menciptakan suara sekecil apa pun. Namun rupanya Kei yang tidak benar-benar terlelap akhirnya terbangun saat Leta berusaha menyelimuti tubuh pria itu dengan selimut baby Ace yang tergeletak.

Mata Kei terbuka, beberapa saat keduanya saling pandang. Kei bangun berdiri dan menjatuhkan selimut tersebut di lantai. Tak ada yang memulai pembicaraan maupun berniat memecah keheningan tersebut hingga Kei keluar dari ruang baby Ace.

Leta tercenung di tempatnya. Setidaknya pria itu masih membuka pintu apartemen untuknya.

'Saat kau memutuskan pergi, aku berharap pintu itu masih terbuka untukmu.'

Leta menggigit bibir bagian dalamnya mengingat kata-kata Kei sebelum dirinya meninggalkan apartemen tadi malam.

Tubuhnya terasa Lelah dan pikirannya benar-benar penuh, tetapi ia tak yakin bisa memejamkan mata dan tidur. Jadi ia memutuskan untuk pergi ke dapur dan menyiapkan sarapan.

***

Langkah Kei terhenti ketika melihat meja makan sudah siap saat keluar dari kamar tidur. Ia hanya ingin melihat baby Ace sebelum berangkat, tetapi melihat Leta yang baru saja selesai menyiapkan makan pagi, mencegah langkahnya dan duduk di meja makan.

"Kau pulang jam berapa?" Leta berusaha memecah keheningan yang semakin membuatnya tak nyaman tersebut. Ya, hubungannya dan Kei tak berjalan dengan baik. Begitupun saat ia terbangun di rumah sakit. Hubungan mereka seolah tak mengalami perubahan apa pun. Bertengakr tentang kecurigaannya yang tiada henti pada pria itu.

Pun begitu, langkahnya masih membawanya kembali pada pria itu. Setidaknya ia tahu ke mana hatinya mengarah dan ia yakin semua itu pasti ada alasannya.

Kei tak langsung menjawab. Pria itu berhenti mengunyah dan menatap wajah Leta yang menunggu jawabannya. "Mungkin akan terlambat. Tapi aku sudah menyuruh pengasuh untuk menjaga baby Ace kalau kau berencana pergi ke rumah sakit."

Leta menggigit bibir bagian dalamnya. Mendadak perasaannya menjadi getir dengan jawaban dingin tersebut. "Kau tak melarangku pergi?"

"Kau tetap akan pergi meski aku melarangmu, Leta." Kei meneguk jusnya dan beranjak sambil mengancingkan kancing jasnya. Tanpa menatap wajah Leta, pria itu berjalan meninggalkan ruang makan. Meninggalkan Leta terhenyak seorang diri dengan air mata yang mulai menggenangi kedua matanya.

Dan sepanjang minggu-minggu terakhir, meski Leta dan Kei melibatkan diri untuk merawat baby Ace, keduanya masih saling diam untuk satu sama lain. Tak ada percakapan berarti selain tentang baby Ace yang sudah, belum, dan membutuhkan ini serta itu.

Setiap siang, Leta juga pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan Ken. Yang masih sama dan tak berubah. Pun begitu, ia tak ingin keputus asaannya terhadap Ken mempengaruhi harapan sang mertua yang tak pernah menyerah pada keadaan Ken.

"Kei sebentar lagi pulang, Ma. Leta harus kembali." Leta melirik jam di pergelangan tangan dan segera memasukkan ponselnya ke dalam tas. Berpamit dan setengah berlari keluar dari rumah sakit. Lalu lintas yang padat membuatnya kesulitan untuk mendapatkan taksi dengan cepat. Yang membuat Kei sampai di apartemen lebih dulu. Menemukan Kei yang sudah rapi dengan setelan jas pesta.

"Kau tak perlu menyiapkan meja makan. Aku akan makan malam di luar."

Leta tak mengatakan apa pun selain dadanya yang mendadak diselimuti kekecewaan. Ia berdiri di ambang pintu kamar yang terjemblak terbuka sementara pandangannya mengikuti Kei yang berjalan ke nakas untuk mengambil dompet serta kunci mobil. Hati Leta terasa diremas ketika Kei melewatinya begitu saja. Tanpa mengatakan apa pun.

Satu-satunya hal yang pria itu tinggalkan adalah aroma parfum pria itu yang masih menguar di sekelilingnya. Semua sikap Kei saat ini terasa lebih buruk dibandingkan keposesifan pria itu yang bahkan melarangnya untuk banyak bertanya tentang ingatan yang tak bisa diingatnya. Kenapa? Apakah mereka memang saling mencintai seperti yang pria itu katakan?

Lalu kenapa ia harus mencurigai pria itu?


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top