11. Keluarga
Part 11 Keluarga
Meski Leta hilang ingatan, perasaan familiar dengan kehangatan dalam pernikahannya seperti tak berubah. Makan malam yang dihidangkan oleh Leta -pun sebagian besar memang bukan hasil tangan Leta-, duduk bersama di meja makan, dan hanya menatap wanita itu sepuasnya. Tetap saja kebahagiaan itu terasa sempurna karena keberadaan wanita itu di sisinya.
“Apa kau masih marah?” Kei berusaha memecah keheningan yang disengaja oleh Leta dengan menggelengkan kepala sebagai jawaban. “Kau marah.”
Sekali lagi Leta memberikan satu gelengan singkatnya dan kembali melanjutkan melahap makan malam tanpa mengangkat wajah menatap Kei.
“Semua sikapmu seperti ini karena Rayyan, kan?” Kei meletakkan sendoknya meski isi piringnya masih setengah. Selera makannya menguap seketika.
Begitu pun dengan Leta. Nada bicara Kei tentang Rayyan selalu tak mengenakkan. Perutnya kenyang seketika. “Kau memang selalu menyalahkan orang lain untuk kesalahan yang kau lakukan, ya?”
“Satu-satunya orang yang kesal di sini hanya kau, Leta. Lagi-lagi selalu berhubungan dengan Rayyan.”
“Aku memang kesal dan kau yang marah.”
“Aku tidak marah!” Nada suara Kei diselimuti emosi, setengah membentak.
Leta terdiam, tatapannya dipekati kesangsian.
Kei terdiam, deru napasnya lebih kasar dan dipenuhi kegusaran. Keduanya masih saling pandang, tatapan dalam Leta terasa menusuknya meski wanita itu hanya menatapnya datar.
‘Kau memiliki tujuanmu untuk pernikahan ini. Kau sudah merencanakan semuanya sejak awal.’
‘Kau benar. Kau memang benar.’
‘Apa kau pernah mencintaiku?’
“Apa kau mencintaiku?” Pertanyaan tersebut tiba-tiba saja meluncur keluar dari bibir Leta. Ingatan yang muncul mendorongnya untuk mendapatkan jawaban yang tak bisa diingatnya.
“Ya tentu saja. Untuk apa aku mempertahankanmu jika aku tidak mencintaimu.”
Leta mengerjap. Ia dibuat terkejut dengan jawaban tersebut. Selama beberapa detik ia terdiam, menelaah jawaban yang diberikan Kei. Ada kemantapan yang berhasil menyelipkan getaran halus di dadanya. Tetapi entah kenapa ia masih merasa belum cukup dan puas akan jawaban tersebut. “Lalu bagaimana denganku?”
“Aku sudah mengatakan padamu, kan? Kau bertahan dalam pernikahan ini.”
“Pernikahan ini diatur bukan karena kita saling mencintai. Tapi mungkin saja pernikahan ini adalah alasan kita saling mencintai.”
Kei tak menyangkal. “Tak perlu menyelipkan kata mungkin. Memang itu yang terjadi.”
“Apa kau pernah berselingkuh?”
Sekilas ada keterkejutan di kedua mata Kei. “Tidak.”
“Kau tak langsung menjawabnya.” Leta berdiri.
“Bukan berarti aku berbohong.” Kei langsung menahan lengan wanita itu dan buru-buru menjelaskan. “Mau ke mana kau? Aku hanya terkejut, bukan karena kesulitan menjawab pertanyaanmu.”
Leta terdiam, sekali lagi mengamati lebih lekas raut wajah sang suami. “Ada satu pertanyaan yang kubutuhkan untuk memastikan perasaanku.”
“Katakan.”
“Apa hubunganmu dengan kak Rosaline?”
Keterkejutan di wajah Kei lebih besar dari sebelumnya. “Apa maksudmu kau mempertanyakan tentang dia?”
“Kau menjawab pertanyaan dengan pertanyaan, Kei.” Leta melepaskan pegangan Kei. “Kau sudah selesai makan, kan?” tangannya meraih piring Kei yang masih tersisa setengah. Meski ia tahu pria itu masih ingin menghabiskannya. Ia benar-benar kesal. Berapa banyak lagi hal-hal yang harus ditutupi Kei darinya. Ia tidak bodoh, meski menyadari beberapa kali ia merasa bodoh.
Setelah dipikir-pikir, perdebatan Kei dan sang kakak angkat di lobi apartemen hari itu seharusnya sudah menjelaskan padanya tentang hubungan mereka. Kak Rosaline seolah lebih memahami tentang Kei dibandingkan dirinya. Juga sang kakak yang menyayangkan ingatannya yang hilang, demi kepentingan sang kakak sendiri. Bukan karena hubungannya dan Rosaline yang membaik.
Leta berjalan ke arah dapur, bisa merasakan kegusaran Kei yang semakin meningkat berjalan di belakangknya.
“Apalagi yang dikatakan oleh Rosaline padamu, hah?”
Leta meletakkan piring di ke wastafel. “Aku masih ingat mencintai kak Rayyan saat bangun di rumah sakit dan kau tahu itu. Sementara saat kita ke apartemen ini, kak Rosaline menunggumu.”
“Kau menarik kesimpulan yang konyol, Leta.”
“Kalau begitu beri aku alasan yang masuk akal. Apa kau bahkan mengatakan kejujuran?”
Kei menghela dengan keras. Mulai tampak frustrasi. “Ada alasan aku tak mengatakan sesuatu yang tak penting, Leta. Untuk apa membicarakan hal-hal receh di masa lalu yang hanya akan membuat kita bertengkar.”
“Ada perbedaan di antara keduanya, Kei. Kau berbohong.”
“Aku tidak berbohong.”
Leta membalikkan badan, menatap dada Kei yang bergerak naik turun dengan keras, sementara wajahnya diselimuti emosi yang begitu pekat. “Lalu apa yang kau takutkan dengan kedekatanku dengan kak Rosaline maupun kak Rayyan? Kau lebih cemas pada apa yang dikatakan mereka padaku? Hal apa sih yang kau sembunyikan dariku.”
Kei bergeming. Menatap sang istri yang juga mulai frustrasi dengan semua kecurigaan yang semakin bertumpuk. Ia pernah menghadapi Leta yang seperti ini. Dengan kemarahan yang lebih besar lagi. Bukankah seharusnya situasi ini lebih memungkinkan untuk dihadapi. “Ya, kau benar. Sebelum menikah denganmu, kami memang saling mencintai.”
Keterkejutan membuat seluruh tubuh Leta membeku. Kesiapnya seolah tertahan di ujung lidah. Ya, semua terasa masuk akal.
“Sebelum, Leta.” Kei segera menekan kata tersebut melihat kepucatan yang merebak di seluruh permukaan wajah sang istri. Keterkejutan yang familiar, tetapi kemarahan yang tersirat tak sebesar sebelumnya. “Dan aku tak pernah mengkhianati pernikahan kita. Kupikir kau perlu lebih fokus pada hal itu.”
“A-apa aku sudah tahu? Sebelum aku hilang ingatan.”
Kei mengangguk.
“Karena itu aku ingin bercerai denganmu?”
Kei kesulitan menjawab untuk yang satu. “Aku tak akan pernah menceraikanmu.”
“Tapi aku ingin, kan?”
“Apa sekarang kau masih menginginkannya?”
Leta terdiam sejenak. “Aku akan memikirkannya …”
“Tidak. Kau tak perlu memikirkannya. Satu-satunya hal yang sekarang kau harus pikirkan hanyalah baby Ace dan pernikahan ini. Jika tak ada pernikahan ini, tidak ada baby Ace dalam hidupmu.”
“Kau mengancamku?”
“Kau yang memaksaku.”
“Kau terpaksa mengancamku karena aku? Kau sadar betapa konyolnya kata-katamu setelah kau bilang mencintaiku.”
“Lalu apa yang kau inginkan?”
Leta terdiam, mengamati kefrustrasian yang menyelimuti wajah Kei. “Aku ingin ke rumah orang …”
“Tidak!” tolak Kei dengan tegas.
“Aku bahkan belum menyelesaikan keinginanku.”
“Aku tahu apa maksudnya dan …”
“Aku hanya berkunjung. Apa ada yang salah? Bahkan sebelumnya aku juga sering ke sana, kan dibandingkan berada di rumah kita?”
Bibir Kei kembali merapat, tentu saja ia tahu siapa dalang di balik semua informasi tersebut. Keduanya diam dalam beberapa saat. Hingga Kei bicara lebih dulu. “Aku tak mau kehilanganmu.” Suaranya rendah, lebih rendah dibanding napasnya yang terengah oleh gemuruh emosi di dadanya. Perlahan emosinya pun mulai mereda, menatap Leta yang juga terdiam. Entah apa yang berkecamuk di kepala wanita itu. Ketidak tahuan membuatnya semakin frustrasi. Setidaknya wanita itu perlu mengatakan sesuatu, kan?
Leta masih bergeming untuk saat yang cukup lama. Mengamati ketenangan yang mulai membuatnya lebih mudah mencerna kata-kata pria itu. Ada ketakutan yang tersirat dalam kedua manik pria itu. Setidaknya ia mencintai Kei. Mungkin itu bisa ia gunakan sebagai alasan untuk mempertahankan pernikahan ini, kan?
***
Rumah keluarga Syailendra masih sama seperti yang Leta ingat. Bangunan tiga tingkat dengan halaman berumput yang luas, jalanan menuju teras rumah yang kedua sisinya ditanami pohon pinus, dan taman bermain yang ada di sisi kanan. Ingatan masa kecilnya segera menyelinap masuk dan membuat senyum melengkung di kedua ujung bibirnya.
Ya, menjadi bagian keluarga Syailendra adalah keberuntungan yang tak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya. Kasih sayang dan keluarga yang ia impikan saat masih di panti asuhan telah menjadi kenyataan. Meski hanya sebagai pengganti, tetap saja semua itu tak mengurangi kebahagiaan yang ia dapatkan.
Adiva menyambutnya dengan senyum semringah dan kedua lengan yang terbuka. Memeluk Leta yang menggendong baby Ace dengan erat sebelum kemudian mengambil sang cucu dengan ciuman bertubi.
“Mama tidak bertemu dengannya dua hari dan dia sudah sebesar ini?” Adiva tertawa dan kembali menciumi sang cucu dengan gemas saat membawanya masuk ke dalam rumah. Di saat yang bersamaan, Rosaline dan Celin melangkah keluar.
“Kak Kei?” Dengan perut besarnya, Celin mendekat dan memeluk sang kakak.
Leta tentu saja menyadari perubahan yang cepat di wajah Kei. Sepanjang perjalanan, pria itu tak mengatakan apa pun dan seolah enggan berbicara setelah tak bisa menolak keinginannya untuk datang ke rumah ini. Tapi lihatlah sekarang, pria itu pasti senang karena ada Rosaline.
“Bagaimana kandunganmu?” Kei melonggarkan pelukannya. Mengusap kepala Celin dengan lembut. Interaksi kakak beradik tersebut menjadi perhatian Leta dan Rosaline. Melihat bagaimana Kei yang begitu menyayangi sang adik, memetic kecemburuan dua wanita itu tersebut.
“Sehat, dan aku yakin dia akan tumbuh kuat dan besar seperti Ace.”
“Masih mual dan muntah.”
“Ya, tapi Rayyan sangat memperhatikanku, jadi aku akan baik-baik saja.” Celin mengusap perutnya. “Apa kakak akan menginap?”
Kei terdiam. Melirik ke arah Rosaline dan mengingat di rumah ini juga ada Rayyan, tentu saja itu adalah …
“Ya, kami akan bermalam di sini.” Leta mengambil alih jawaban tersebut, yang disambut senyum oleh Celin dan senyum penuh arti Rosaline. “Tapi aku tak ingat apakah kamar lamaku masih ada?”
“Tentu saja. Akhir-akhir ini mama sering masuk ke sana karena merindukanmu.”
Leta tersenyum. “Kami bahkan bertemu setiap minggu.”
“Ya, kau tahu mereka sangat menyayangimu, kan?”
Leta mengangguk. “Meski aku hilang ingatan, ingatanku tentang mereka selalu menyenangkan.”
“Benarkah?” sahut Rosaline. “Hanya mereka?”
Leta terdiam, beralih pada sang kakak yang menatapnya penuh arti. Juga seringai di ujung bibir Rosaline. Rupanya Rosaline juga tahu tentang dirinya dan Rayyan. Dan perasaannya saja atau memang sang kakak memang memiliki maksud tertentu agar ingatannya segera kembali.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top