10. Tak Akan Pernah
Part 10 Tak Akan Pernah
"Kenapa dengan pakaianmu?" Leta menatap pakaian kotor Kei yang digeletakkan di punggung sofa. Ada noda coklat di sana, tetapi yang menjadi perhatiannya adalah noda merah tepat bagian dada. Berbentuk bibir. Alih-alih sekedar goresan, bercak, atau bentuk apa pun itu yang sekarang membuat keraguannya bukan hanya sekedar kecurigaan.
Leta menggigit bibirnya, berusaha meluruhkan perasaan tercubit di dadanya. Meletakkan kembali pakaian itu di tempatnya. Namun kemudian Kei mengambilnya dan melemparnya ke tempat sampah.
"Hanya klien yang membuat suasana hatiku memburuk." Kei menatap kedua mata Leta. "Tapi sekarang kau sudah memperbaikinya."
Jawaban ringan Kei sama sekali tak memperbaiki perasaan Leta yang mendadak tak karuan. Pria itu baru saja melampiaskan gairahnya padanya. Karena ada wanita lain yang rupanya tak cukup membuat Kei bersenang-senang.
'Apa Kei pernah berselingkuh?'
'Bukan hal yang mengejurkan, kan? Pernikahan kalian memiliki banyak masalah.'
Leta hanya tak menyangka perselingkuhan akan menjadi salah satu masalah tersebut. Pria itu tak pernah menjawab pertanyaannya dengan memuaskan, bahkan lebih sering melarangnya bertanya lebih banyak. Seolah ada banyak hal yang disembunyikan, alih-alih karena ingatannya yang belum pulih.
"Ada apa?" Kei mendekat, tetapi Leta lekas membalikkan badan dan memperbaiki resleting dressnya. Mengambil tasnya dan hendak langsung meninggalkan ruangan tersebut.
"Ada apa?" Kei menangkap lengan Leta, menarik wanita itu kembali mendekat. "Kau marah? Apa aku melakukan sesuatu yang salah?"
"Aku harus pergi. Ace sendirian di apartemen."
"Dia tidak sendirian dan bukan itu masalahmu saat ini."
"Aku ingin pulang dan itu memang bukan masalahku." Leta memelintirkan lengannya.
Kening Kei berkerut, pegangannya terlepas dan hanya dalam sekejap mata. Leta sudah menghilang di balik pintu. Saat ia menyusul keluar, wanita itu sudah masuk ke dalam lift. Kenapa ia merasa telah melakukan kesalahan?
***
Leta mengedipkan matanya beberapa kali. Menahan cairan yang sudah menggumpal di kedua matanya agar tak sampai meleleh. Menghela napas beberapa kali demi menghilangkan sesak yang mulai membuat dadanya tak nyaman. Jadi memang ada seorang wanita? Atau bahkan beberapa? Berapa banyak?
Wanita itu tak berani menemukan jawabannya. Rasa sakit dan cemburu yang seperti membakar dadanya ini terasa familiar. Apakah ia memang mencintai pria itu? Lalu bagaimana dengan Kei? Apakah pria itu juga mencintainya.
'Kau memiliki tujuanmu untuk pernikahan ini. Kau sudah merencanakan semuanya sejak awal.'
'Kau benar. Kau memang benar.'
'Apa kau pernah mencintaiku?'
Langkah Leta yang hendak keluar dari lift terhenti ketika rasa sakit di kepalanya mulai muncul bersamaan suaranya dan Kei yang datang. Hanya secercah, berulang dan saat ia mencoba mencari tahu kelanjutannya. Tusukan di kepalanya semakin menjadi.
Kenapa dadanya terasa sesak, matanya tiba-tiba perih. Seperti terkena asap. Ada api di mana-mana. Pandangannya dipenuhi air mata dan ia terbatuk dengan keras. Leta berusaha mencari pegangan di dinding. Tetapi dindingnya terasa panas dan ia segera menarik tangannya. Membuat keseimbangan tubuhnya oleng ke samping.
"Leta?" Rayyan menangkap tubuh Leta yang hampir terjungkal ke lantai tepat pada waktunya.
Leta tersadar. Pandangannya mulai jelas, dan ia berada di lobi gedung yang sunyi. "K-kak Rayyan?" lirihnya sembari menegakkan tubuhnya. Menatap kecemasan di kedua mata sang kakak.
"Kau baik-baik saja?" Rayyan merangkum wajah Leta yang pucat dan tampak berkeringat. Terutama di kening. Pria itu membawa Leta ke kursi tunggu terdekat dan mendudukkannya disana. Sambil mengeluarkan sapu tangan dan mengusap kening sang adik dengan lembut. "Ada apa?"
Leta menggeleng. "H-hanya teringat sesuatu."
"Ingatanmu sudah kembali?"
"Hanya sedikit, tetapi saat Leta berusaha mengingat lebih banyak, rasanya semakin sakit."
Rayyan meraih botol air mineral yang tersedia di meja di samping mereka. "Minumlah."
Leta mengambil beberapa tegukan hanya untuk membasahi tenggorokannya.
"Apa yang kau ingat?"
"Api. Tak terlalu jelas apakah api atau hanya asap. Mataku terasa perih dan dadaku sesak. Apakah itu kebakaran?"
Rayyan terdiam.
"Apa kakak tahu sesuatu?"
"Kei tidak memberitahumu alasan kalian pindah di apartemen?"
Leta tersadar. "Apa karena rumah lama kami kebakaran?"
Rayyan mengangguk.
"T-tapi ... Kei bilang Leta mengalami kecelakaan. Kapan kebakaran itu terjadi?"
"Tepat di hari kau kecelakaan."
Leta terdiam. Matanya kembali terpejam, terdorong untuk kembali mengingat.
"Jangan memaksakan diri." Rayyan memegang kedua pundak Leta. "Dokter bilang ingatan itu akan kembali."
Leta mengangguk. "Terima kasih, Kak."
Rayyan tersenyum. "Tapi semuanya baik-baik saja, kan?"
Leta memaksa kepalanya mengangguk. Tak mungkin ia mengeluhkan apa yang baru saja terjadi pada sang kakak.
"Kei memperlakukanmu dengan baik?"
Leta mengangguk lagi.
"Ada apa?" Mata Rayyan menyipit. Kembali membawa wajah Leta menghadapnya. "Kau baru saja berbohong. Dia melukaimu?"
Leta mengerjap terkejut lalu menggeleng. "Tidak, Kei tidak melukaiku."
"Hanya?"
Ludah Leta terasa lebih pekat dengan pertanyaan mendesak tersebut. "Hanya masalah kecil."
"Sepertinya tidak kecil."
Tubuh Leta menggeliat dan wajahnya tertunduk. "Leta harus pergi, Kak."
Rayyan terpaksa menghentikan dirinya ketika merasakan ketidak nyamanan Leta. Mengambilkan tas Leta di sampingnya dan berkata, "Aku akan mengantarmu."
"Tidak ..."
"Kei melarangmu?"
Leta menggeleng.
"Dia tak punya hak untuk melarangmu." Rayyan mengambil lengan Leta. "Ayo, aku akan tetap mengantarmu meski kau menolak."
***
Rayyan tak lagi menanyakan tentang ingatan maupun pernikahan Leta dan Kei sepanjang perjalanan. Membuat Leta mulai kembali merasa nyaman, terutama ketika sang kakak menceritakan keluarga mereka sepanjang tiga tahun ini. Membantu Leta mengingat tentang keluarganya.
"Ya, di tamanmu sudah dipenuhi bunga mawar. Beberapa kali aku memetiknya untuk Celin. Bahkan kau memanennya untuk pernikahan kami."
"Benarkah?" Mata Leta membulat dengan ceria. Senyum mengembang di wajahnya. "Leta tak bisa membayangkan betapa indahnya semua bunga-bunga itu. Apakah semuanya tumbuh dengan baik?"
"Penuh dengan warna. Rasanya semua warna ada di sana. Seperti yang kau inginkan. Hanya mawar."
"Leta tak sabar ingin melihatnya."
Rayyan terkekeh. "Kau merawatnya dengan baik. Bahkan saat kau hamil muda, kau lebih sering berada di sana dibandingkan di rumahmu."
"Apa Kei melarangku menanam bunga itu di rumah kami?"
Senyum Rayyan sempat membeku, tetapi kemudian menggeleng. "Tidak. Hanya taman di rumah kalian sudah diatur oleh dia. Dan kau tak pernah mengatakan tentang hobimu menanam bunga mawar."
Senyum semringah Leta mulai luntur. Kenapa setiap kali pembicaraan mengungkit tentang Kei, suasana mendadak menjadi tak nyaman?
"Dan hanya bunga mawar," lanjut Rayyan berusaha mencairkan suasana.
"Leta hanya tak terlalu tertarik dengan bunga lain."
"Kenapa bukan tulip?"
Leta mengerucutkan bibirnya, tampak berpikir sejenak kemudian menggeleng.
"Karena tak cukup indah?"
"Semua bunga pada dasarnya cantik."
"Hanya?"
Leta menggeleng. "Hanya tak memiliki alasan tertentu. Leta menyukai mawar, kenapa harus bertanya kenapa tidak lebih menyukai yang lain."
Rayyan membeku dengan jawaban tersebut.
'Kenapa kakak menyukai Leta?'
'Apakah butuh alasan untuk mencintai seseorang?'
'Leta butuh alasan yang lebih besar.'
'Aku mencintaimu, kenapa harus bertanya kenapa tidak lebih menyukai Celin? Wanita yang kuinginkan adalah kau!'
Suara klakson yang keras memecah lamunan Rayyan."Awas, Kak!"
Rayyan seketika membanting setirnya ke samping dan menginjak pedal rem kuat-kuat. "Kau baik-baik saja?"
Leta menenangkan jantungnya yang berdegup kencang.
"Maaf, aku ... pikiranku tiba-tiba ..." Rayyan kesulitan mengatur kalimatnya. Menatap Leta yang masih memegang dadanya.
"Ya, Leta baik-baik saja. Kakak?"
Rayyan mendesah lega dan mengangguk. Menyandarkan kepalanya di jok dan matanya terpejam. Ia pikir semuanya akan baik-baik saja. Tapi kenapa tak pernah terasa lebih mudah. Semakin hari, kenapa semakin sulit melupakan wanita yang dicintainya ini?
Apa yang harus kulakukan, Leta?
***
"Kau pulang dengan Rayyan?" Begitu melihat sang istri yang sibuk di balik meja pantry, pertanyaan itulah yang paling ingin ia tahu jawabannya begitu sampai di apartemen.
Leta meletakkan pisaunya dan menatap ekspresi sang suami yang tampak menyimpan kemarahan. "Darimana kau tahu?"
"Aku bertanya padamu lebih dulu."
"Kau tak mengijinkanku bertanya tapi kau selalu menanyakan banyak hal padaku."
"Tidak banyak dan jawab saja pertanyaanku."
Leta kembali memegang pisaunya, melanjutkan memotong daging ayam di atas talenan. Keningnya berkerut mengamati potongannya yang tampak tidak rata.
"Leta," panggil Kei penuh penekanan.
Leta tak menggubris. Pria itu bertanya karena memang tahu, kan. Lagipula, kenapa Kei harus marah hanya karena ia pulang bersama kak Rayyan, sementara ia menemukan noda lipstik di kemeja pria itu. Bibirnya menipis, tangannya mempercepat gerakan pisaunya yang mengiris daging ayam di meja.
"Leta!"
"Aauwww ..." Leta melepaskan pisauanya dan meringis melihat darah di ujung jarinya. Kei membelalak dan memutari meja.
"Apa kau tidak bisa hati-hati, hah?" bentak Kei melempar talenan dan pisau di meja ke lantai. Laila yang sibuk di depan kompor lekas mematikan kompornya dan mengambil plester yang ada di laci samping kulkas lalu memberikannya pada sang tuan.
Dengan sigap, Kei membawa Leta ke depan wastafel. Membersihkan darahnya dan menempelkan plester di sana.
"Kau sengaja ingin memotong jarimu, hah?"
"Kau yang menggangguku dan sekarang kau marah padaku?" Leta menatap potongan daging ayam yang berserakan di lantai. "Dan sekarang kau membuat pekerjaanku semakin lama."
"Biarkan Laila yang mengurus makan malam."
"Aku melakukannya karena aku ingin."
"Kau akan membantahku?"
Leta menatap ketegangan di wajah Kei. "Apakah setiap hari kita memang bertengkar seperti ini?"
"Apa?"
"Aku lupa, kau tak mengijinkanku bertanya lagi," balas Leta dengan nada yang menjengkelkan. "Ya, aku akan mencari tahunya sendiri."
Kei mendesah dengan kasar. Menatap Leta yang berjongkol di lantai, mulai membereskan semua kekacauan di sana. "Apalagi yang dikatakan Rayyan padamu, hah?"
"Aku hanya ingin melakukan pekerjaanku, Kei. Kau terlihat lelah dan sebaiknya kau membersihkan dirimu. Sepertinya meja makan disiapkan lebih lama, jadi kau bisa ke ruang kerjamu untuk menunggu. Melakukan sesuatu yang menyenangkan untuk dirimu sendiri." Leta membuang semua potongan daging tersebut ke tempat sampah dan mencuci tangannya di wastafel. Sementara Laila membuka kulkas untuk kembali mengeluarkan bahan-bahan.
Kei terpaksa meninggalkan dapur. Menghalangi Leta bertemu Rayyan dan Rosaline memang hal yang mustahil. Tapi ia tak akan membiarkan ingatan Leta yang kembali membuat wanita itu kembali meninggalkannya. Tak akan pernah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top