Ternyata dia
Written by somenaa
---------------
Mereka datang tanpa pemberitahuan. Bahkan, ayahku yang menjabat sebagai ketua RT pun tidak tahu menahu soal kepindahan keluarga Arif yang notabene warga baru. Mereka menempati rumah yang sudah lama tidak dihuni. Terletak di ujung gang, konon kata warga yang pernah melewati rumah itu pernah melihat sesohok hantu. Aku sendiri belum pernah bertemu, atau mendapati penampakan semacam itu. Tidak, dan jangan sampai. Bukan berarti aku ingin mendapatkan hal itu. Tidak, terima kasih.
"Selamat pagi, Mbak," dia mengucapkan salam untukku. Meski hanya sapaan, bagiku ini cukup aneh karena hal itu tidak terlalu umum di lingkunganku.
Dia terlihat canggung awalnya, "Maaf, Mbak. Apa betul ini rumah bapak RT 2?"
Ya, tadi dia mengetuk pintu rumahku. Aku belum mengenalnya. Belum pernah bertemu, lebih tepatnya. Aku menjawab, "Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"
"Begini, saya Arif. Warga baru disini, Mbak. Beberapa hari yang lalu saya membeli rumah Ibu Slamet yang ada di ujung gang itu. Kemarin saya belum sempat mengurus surat kepindahan. Jadi, rencananya hari ini saya mau mengurus semuanya sekalian, Mbak."
"Oh, begitu. Tapi, maaf banget ya, Pak. Ayah saya sudah berangkat kerja. Mungkin nanti sore Bapak bisa kembali lagi," sahutku.
"Begitu... Ya udah, Mbak. Nggak papa deh! Nanti saja. Makasih," pamitnya.
Ada yang aneh dengan orang baru itu. Bukan masalah sikap atau bagaimana. Entah lah, ada sesuatu yang membuat bulu kudukku berdiri hanya dengan berdekatan dan menatap matanya.
Beberapa hari kemudian tiba-tiba Mami mengatakan sesuatu yang agak ganjil kepadaku,"Kak, kamu tahu nggak?"
"Tahu apa, Mi?" aku penasaran dengan nada suara ibu yang tidak seperti biasanya itu.
Dia melirik ke kanan dan kiri, memangnya kenapa harus melakukan itu? Kurasa tidak ada orang lain disini. "Kamu tahu nggak? Tetangga baru itu, lho..."
Ah, ,mami mah ngomongnya sepotong-sepotong! "Iya, kenapa memnagnya, Mi?" Aku kan jadi geregetan sendiri!
"Ada yang aneh tuh! Masa mereka nggak bikin selamatan rumah baru atau seenggaknya tasyakuran sebagai bentuk perkenalan bahwa dia adalah warga baru disini," jelas Mami.
"Memang apa anehnya sih, Mi?"
"Ih, nih anak!" Mami menjitak kepalaku, yang sontak aku usap. "Aw, sakit!"
"Warga disini udah pada ribut soal itu. Mereka pada bisik-bisik, juga soal nggak disapa, meski bertemu. Itu aneh tahu!"
"Yah, mungkin mereka belum punya duit buat bikin acara, Mi. Kan kemarin duitnya buat beli rumah itu. Kalo soal sapa-menyapa, mungkin juga mereka belum terlalu saling mengenal. Kan belum bikin acara kayak yang Mami bilang tadi. Jadi, kalo mau manggil, terlalu canggung lah." Aku berusaha menjelaskan secara sederhana dan terlogika pada Mami.
Tapi, pada dasarnya Mami mikirnya terlalu rumit, "Ah, percuma deh ngomong sama kamu, Kak!" hanya itu respon yang kudapat darinya.
Wah, mami kabur. Mami gak terima sama jawabanku, mungkin. Yah biarin lah. Aku aja jarang berada di rumah. Ketemu pun cuma sekali itu aja. Aku juga jadi berpikir, "Iya ya, aneh juga."
Minggu malam, aku berjalan kaki melewati depan rumah itu. Lampu teras yang biasanya menyala, kali ini padam. Hanya pantulan berkas dari lampu tetangga yang masih mampu menembus hingga ke halaman depan rumah itu. Serta lampu yang menggantung di tembok samping rumah. Menghadap ke kebun samping yang langsung ke belakang rumah.
Kosong? Gak mungkin! Dalamnya kosong? Memangnya mereka pindah lagi? Aku melongok ke dalam. Melihat apakah ada tanda-tanda kehidupan.
Sret!
Aku melihat sekelebat bayangan hitam melayang di depan teras yang gelap itu. Apa itu? Kelelawar? Tanpa sadar kakiku melangkah memasuki halaman rumah. Mengejar apapun itu. Aku jadi teringat seseorang yang tanpa sadar mengatakan entah pada siapa,"Hati-hati dengan sesuatu yang tidak jelas, bisa saja itu hal buruk atau hal baik."
Aku merasa suhu udara semakin turun. Aneh, tidak biasa untuk ukuran hawa di musim panas yang lebab? Apa bakal turun hujan malam ini? Kurasa tidak. Aku masih bisa melihat bintang di langit meski samar. Di lingkunag perkotaan seperti ini sangat jarang ada momen melihat bintang jelas. Akibat polusi cahaya yang terus menyebar dari lampu di kota yang semakin marak.
Bayangan itu menghilang di pojok kebun. Tepat di bawah lampu. Aku melihat lampu itu berkedip. Ah, sebaiknya aku kembali saja. Disini semakin menyesakkan rasanya.
Aku hendak berbalik arah, ketika pintu belakang menjeblak terbuka. Tampak pria yang dulu pernah bertandang ke rumah pagi hari, "Ada apa, Mbak?"
Aku terkejut, dan mejawab pertanyaan dengan sekenanya saja, "Ah, nggak papa, Pak. Tadi kupikir nggak ada orang di rumah, karena terlihat sepi dan gelap. Barusan aku melihat kucingku berlari ke arah sini. Ternyata udah gak ada."
"Oh, begitu. Nanti juga pulang sendiri kok. Tunggu aja, Mbak," katanya.
"Iya, Pak. Kalau begitu, saya permisi dulu. Mari," pamitku.
"Ya, ya, silakan."
Aku mengangguk, dan sekilas aku melihat kilatan merah memancar dari bola matanya. Aku bergidik, tubuhku menegang seketika. Waspada seolah ada sesuatu yang tidak biasa. Buluk kuduk di tengkukku juga terasa berdiri kaku. Ada ada ancaman yang mendekat.
Aku lirik ke arah pak Arif, seringaian muncul di ujung bibirnya. Geraman lirih pun tak pelak keluar dari mulutnya. Tanpa aba-aba lebih lanjut, aku melangkahkan kaki keluar dari halaman rumah keluarga Arif.
Setelah agak menjauh, aku berlari sekencang mungkin. Bukannya aku takut, tapi aku paling enggan berurusan dengan hal-hal yang berbau seperti itu. Sangat tidak nyaman, bisa terasa hanya dari hawa yang ditimbulkannya.
Sesampai di rumah, mami bertanya, "Kenapa, Kak? Kamu abis lari malem-malem gini?"
"Hah? Enggak juga sih, Mi.." aku menjawab dengan ragu.
"Abis dikejar setan kamu?" Iya, benar, Mi!
Cerita, enggak, cerita enggak. Akhirnya aku menceritakan apa yang tadi kualami kepada mami. Dia terperangah tidak percaya. Aku mengatakannya dengan terbata-bata, karena aku sendiri tidak terlalu mempercayai apa yang aku alami tadi. Juga setelah berlari, jantungku masih bergedup dengan kencang. Meronta ingin keluar dari cangkangnya.
Mami terdiam beberapa saat, seolah habis menelan duri ikan, "Kak, kamu..."
"Apa, Mi?" tanyaku.
Mami melanjutkan, "Apa kamu tahu, beberapa hari lalu pak Arif ijin menitipkan rumah ke bibi Sally. Mereka akan pergi selama beberapa hari. Jadi, nggak mungkin mereka kembali secepat itu. Bibi Sally mengatakan pada mami, mereka bakal pergi selama kurang lebih dua minggu."
Jelas saja aku kaget setengah mati, "Apa?!"
"Iya, jadi kamu..."
"Lalu, yang tadi aku ketemu itu siapa ,Mi?"
"Nah lho.. Penghuni disitu kali, Kak?" mami mengangkat bahunya, ia juga tidak mengerti.
"Nggak mungkin, Mi. Soalnya aku sendiri melihat lampu ruang belakang menyala kok. Mungkin mereka terbangun karena mendengar suara derap kakiku."
"Beneran, lho Kak.. Pak Arif itu sedang pergi kemana gitu selama dua minggu." Aku ngeri membayangkannya.
Keesokan harinya, aku memberanikan diri memasuki halaman rumah Pak Arif. Aku mengendap masuk lewat pintu belakang. Beruntung sepi hari ini. Jika tidak, hampir bisa dipasikan aku bakal digerebek warga atas tuduhan percobaan pencurian.
Ah, pintunya tidak dikunci. Aku mendorong pintu itu, yang dipotong menjadi dua. Jadi, sekiranya ada orang di rumah, masih bisa separo dibuka. Sepertinya mereka lupa. Aku terbelalak ketika memasuki ruang belakang. Sungguh aneh, tak ada apapun disini. Kosong, seperti tidak pernah dihuni sama sekali.
Bukankah dulu ada oarang yang lalu-lalang mengusung barang milik keluarga ini? Aku melangkahkan kaki lebih dalam, ke arah ruang tengah. Sama. Tak ada apapun yang bisa dijadikan bukti bahwa rumah ini dihuni. Rumah yang tak terlalu besar ini, tidak mungkin hanya diisi oleh satru orang, kan?
Aku hampir lupa dengan sosok Bu Arif, istrinya. Karena di keterangan dokumen kepindahan, mereka terdiri dari suami, istri, serta satu orang anak, laki-laki. Dan aku belum pernah bertemu mereka-istri serta anak Pak Arif. Hanya si suami saja, Pak Arif sendiri. Apa karena aku jarang berada di rumah? Tapi bukan berarti tidak bertemu mereka, kan?
Ketika sampai di ruang tengah, tubuhku membeku melihat pemandangan tak lazim yang berada di depan ruangan itu. Kamar yang yang tak terlalu besar itu ditempati sesosok Pak Arif. Atau seperti itulah yang terlihat di mataku.
Bayangan kabur berganti ke sosok makhluk hitam, tinggi besar, dan berbulu. Dia seketika menoleh ke arahku, menampakkan seringaiannya yang bergigi tajam. Suara geraman rendah keluar dari dadanya. Aku mundur perlahan, dan menabrak sesuatu yang keras. Tanganku meraba benda itu.
Tembok!
Aku terjepit. Sial. "Halo, anak manis..." suaranya mengalun merdu, sungguh bertolak belakang dengan sosoknya yang menyeramkan.
Aku masih terdiam, sambil berjalan menyamping mencari jalan keluar. Mataku masih terpaku pada mata yang menyala merah darah itu. Terbata kata-kataku, lidahku kelu, seolah udara habis tersedot semua. "Ha-halo... Ku-ak-aku pi-pikir, ng-ngak ada or-orang disini..."
Dia terkekeh, "Ah, ada. Tentu saja ada, Sayang. Apa kamu nggak melihatku, hmm?"
Aku tersenyum kecut. "Aku melihatmu setiap hari. Ah, iya. Aku lupa mengenalkanmu padanya," lirihnya.
"Bu... Ibu..." Dia memanggil seseorang?
Lalu muncul sesosok yang lain dibelakangnya. Rambutnya panjang terurai. Dia mengulas senyum, dan menampakkan taringnya yang tajam. "Ibu, ini anak pak RT itu. Cantik, kan?"
Dia juga terkekeh mendengar kata-kata suaminya, atau sesosok makhluk berjenis genderuwo itu. "Iya, Pak. Cantik. Cocok, ya?"
Please, jangan tanya padaku, bagaimana bisa tahu apa nama makhluk itu. Hanya begitu saja. Dia menatapku dengan mata merahnya, dan bertanya, "Kamu mau, kan jadi menantu kami, nak Bella?"
Aku menggeleng perlahan, masih berusaha mencerna pa yang baru saja ia katakan. Mereka mendekat, dan semakin mendekat ke arahku. Aku hampir mencapai pintu, tapi tanganku segera ditarik oleh salah satu dari mereka. Entah yang mana karena aku sendiri tidak mau tahu.
Yang aku inginkan hanya segera keluar dari rumah terkutuk ini. "Hei, mau kemana, calon menantu kami?"
Aku ingin pulang! Aku harus keluar dari sini! "Le...pas...!" aku terus meronta.
Aku memejamkan mata, berusaha mengingat apa saja yang sudah diajarkan oleh guruku. Bodohnya aku dulu tidak bisa mengingat hal sederhana yang diajarkan oleh ustadzah. Kalau begini tak ada jalan lain. "Aaaarrrgghhh!!! Tolong!!" aku berteriak sekuat tenaga. Tapi, sia-sia saja, karena suaraku tercekat di ujung tenggorokan.
"Sstt..." dia meletakkan ujung jarinya ke bibirku. Aku semakin rapat menutup mataku, "Diamlah, anak manis.." no, no, no....!!!
"Tolong...!!!" dan aku pun tak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya.
.
.
.
Aku merasakan seseorang menggoyang bahuku, "Hei, Nak! Bangun! Kok malah tidur disini sih? Dicari ayahmu lho."
Aku mengerjapkan mata, memandang ke arah si pemilik suara yang memanggilku tadi.
Dia...?!
==FIN==
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top