Taken by TiaraWales
Judul : Taken
Author : TiaraWales
****
□■□
Seorang perempuan berjalan tergesa menuju ke sebuah kamar. Dia segera melangkah menuju boks bayi yang berada di samping tempat tidur berukuran besar. Lalu dia mengangkat sosok mungil yang tengah tertidur pulas di dalamnya.
"Kamu aman sekarang, Sayang. Mereka tidak akan bisa memisahkan kita lagi. Ibu akan membawa kamu pergi dari sini. Kita akan selalu bersama-sama lagi mulai sekarang. Jangan menangis, anak pintar," ucap perempuan itu dengan nada suara keibuan. Lalu sebuah seringai tersungging di bibirnya.
*
*
*
Jarvi Dimitria menatap layar televisi dengan wajah datar. Seluruh stasiun televisi menyiarkan secara langsung pelantikan para Menteri dalam jajaran kabinet Presiden. Jarvi mencari-cari dengan malas sosok yang dikenalnya di antara mereka.
Itu dia. Reza Maulana, menjabat sebagai Menteri Keuangan. Usianya masih muda, belum menginjak kepala empat. Bahkan dia yang termuda di antara jajaran Pembantu Presiden tersebut. Dulu dia mengenal laki-laki itu dengan baik. Laki-laki itu dan istrinya, Tamara Koesnadi.
Mereka bertiga pernah bersekolah di SMA yang sama. Menjalin persahabatan yang unik, lalu bertahun-tahun kemudian berkembang menjadi cinta segitiga yang menguras emosi.
Ting tong!
Suara bel apartemen membuyarkan lamunan Jarvi tentang masa lalu. Jarvi segera beranjak menuju pintu dan membukanya.
Jarvi tidak mempercayai matanya saat melihat tamu di depan pintu apartemennya saat ini.
Dia adalah Tamara.
*
*
*
"Ada perlu apa?"
Jarvi menatap sosok perempuan bertubuh langsing dan menawan yang sedang duduk di hadapannya. Penampilannya yang mempesona tidak bisa menutupi keresahan yang tergambar jelas di wajahnya. Dia berulangkali menatap ke arah pintu, seolah menunggu seseorang menangkap basah dirinya di sini.
Tamara menggigiti bibir bawahnya yang dipoles lipstik warna nude pink, sementara jemarinya saling meremas di pangkuannya.
"Tolong aku, Jarvi. Aku tidak tahu harus meminta bantuan siapa lagi," jawab Tamara dengan suara gugup. Air mata mulai menetes membasahi pipinya yang terlihat jauh lebih tirus dibanding saat terakhir kali Jarvi melihatnya, sepuluh tahun yang lalu.
"Bantuan apa?" tukas Jarvi datar. Meski sebenarnya hatinya terenyuh saat melihat kesedihan di wajah perempuan yang masih dia cintai dan sekaligus dia benci.
Tamara terisak, lalu berkata, "Anakku diculik. Reza mengambilnya dariku. Tolong bantu aku mendapatkannya lagi. Aku mohon."
*
*
*
"Kamu sadar apa yang kamu katakan itu adalah tuduhan serius, Jarvi? Kamu menuduh aku menculik anakku? Gila! Perempuan gila itu pasti menemuimu, bukan?"
Suara Reza terdengar marah. Sinar matanya yang dulu ramah kini begitu menusuk dan angkuh.
Akan tetapi hal yang paling mengejutkan bagi Jarvi bukanlah perubahan cara Reza menatapnya, melainkan sebutan Reza untuk Tamara, istrinya sendiri.
"Kamu menyebutnya apa?" desis Jarvi dengan kemarahan tertahan.
Reza tertawa sinis, "Kamu belum tahu, ya? Dia itu gila, Jarvi. Aku bahkan yakin dialah yang menyembunyikan anak itu. Dia hanya berusaha mencari perhatian," ucapnya dengan seringai mengejek.
Tangan Jarvi mengepal di pangkuannya. Dia sudah akan melayangkan tinju ke wajah rupawan di hadapannya itu, tetapi Reza sudah berdiri dari duduknya.
"Aku tidak bermaksud mengancammu, tapi ini bukan urusanmu. Jadi jangan coba-coba ikut campur, atau kamu akan menyesal," lanjut Reza dengan nada dingin. Lalu laki-laki bertubuh tinggi itu melangkahkan kakinya menuju pintu restoran, meninggalkan Jarvi dengan berjuta pertanyaan di benaknya.
*
*
*
"Jadi, Jarvi itu Detektif?" tanya Suzie, Psikiater Tamara.
Tamara mengangguk, "Karena itu aku meminta bantuannya. Aku yakin dia bisa menemukan Gilby. Sebentar lagi dia akan datang kemari," ucap Tamara penuh harap. Mereka sedang duduk di sebuah kafe siang ini.
"Aku hanya ingin memberi saran, kamu seharusnya melibatkan Reza dalam hal ini," ujar Suzie.
Tamara berdecak kesal, "Aku justru mencurigainya, Suzie. Dia ingin membuatku gila. Dia itu brengsek! Aku menyesal menikahinya. Kamu tahu bukan? Aku hanya batu loncatan untuk karir politiknya. Setelah Gilby kutemukan, aku akan mengajukan gugatan cerai," ucap Tamara penuh kemarahan.
Suzie menatap sahabatnya itu dengan iba lalu berkata, "Aku yakin kalian masih saling mencintai. Bukankah kamu mencintainya?"
Tamara mendengus, "Entahlah. Semakin lama kami semakin jauh. Dia sering berkata kasar dan mengataiku gila. Aku memang mengidap bipolar. Tapi aku tidak akan menculik anakku sendiri."
Suzie kembali menatap Tamara dengan pandangan iba, "Aku bisa memahamimu, Tamara. Memang menyakitkan jika orang yang kita cintai mengatakan hal seperti itu. Tapi kamu harus bersabar. Sekarang fokuskan saja pikiranmu untuk mencari Gilby. Oke?" ucap Suzie lembut.
Pembicaraan mereka terhenti saat seorang laki-laki mendatangi meja mereka.
"Jarvi, silakan duduk," ucap Tamara begitu laki-laki tersebut berhenti di samping meja mereka.
"Maaf terlambat."
"Tidak apa-apa. Kami juga baru tiba. Oiya, perkenalkan, ini Suzie Listianto. Dia sahabatku."
Jarvi menjabat tangan Suzie dan keduanya saling bertukar sapa.
"Jadi, apakah Reza mengatakan sesuatu?" Tamara bertanya dengan nada tidak sabar.
"Ya. Dia mengatakan bahwa kamu yang menyembunyikan anak kalian. Ada apa ini Tamara? Apa kamu membohongiku?" tanya Jarvi dengan suara tajam.
Wajah Tamara memerah, "Dia mengada-ada. Justru dia yang mengambil Gilby dariku!" tukasnya marah.
"Kami akan bercerai, jika itu yang ingin kamu tahu," tambahnya dengan suara pelan,
Jarvi mendengus, "Oh, jadi karena itu kamu berada di rumahku saat dia dilantik? Kupikir kalian pasangan berbahagia," ucap Jarvi sinis.
Tamara menunduk menatap meja. Bahunya bergetar menahan amarah.
"Maaf, Jarvi. Bisakah kita hanya membahas tentang hilangnya Gilby?" Suzie tiba-tiba menengahi.
Jarvi menoleh pada Suzie, lalu bertanya, "Oke. Mengapa kalian tidak melaporkan kejadian ini pada Polisi?"
"Tamara tidak ingin hal ini terendus media. Bagaimanapun juga, Reza baru saja dilantik. Ini tidak baik-"
"Citra politik?" potong Jarvi tajam. Laki-laki itu tersenyum mengejek.
"Karena itu aku meminta bantuanmu, Jarvi. Aku akan sangat berterimakasih untuk itu," Tamara berkata dengan mata berkaca-kaca.
"Kamu tidak tahu apa yang telah kualami. Suzie adalah saksinya. Aku mohon, percaya padaku," lanjutnya, kali ini air mata menetes di pipinya.
"Kalau begitu beritahu aku, apa yang terjadi?"
Suzie menghela napas berat, lalu berkata, "Tamara mengidap bipolar disorder. Kebetulan aku Psikiater yang menangani Tamara. Saat pertemuan pertama kali, kondisi psikisnya sudah labil. Reza pernah berusaha memasukkan Tamara ke rumah sakit jiwa. Dia ingin memisahkan Tamara dan bayinya."
Pantas saja Reza mengatainya gila, batinnya tercengang. Tiba-tiba muncul perasaan iba di hatinya. Bagaimana bisa Tamara mengidap penyakit mental itu?
Jarvi menatap Tamara yang masih menangis. Perempuan itu terlihat begitu menyedihkan di matanya.
"Dia tidak ingin kami bercerai. Dia ingin menyiksaku, dia menggunakan anak kami untuk menyiksaku," ucap Tamara di antara isaknya.
"Aku tahu dia memiliki perempuan simpanan. Karena itulah dia berubah banyak. Dia bukan lagi Reza yang dulu. Semua berubah sejak dia mengenal perempuan itu," lanjutnya.
"Perempuan itu? Siapa?"
Tamara menggeleng, "Aku tidak tahu. Tapi dia pernah menerorku. Dia mengaku sebagai kekasih Reza," jawabnya.
Jarvi tercenung. Informasi ini membuat Jarvi bisa melihat satu titik terang. Meski Reza mengancamnya, dia bertekad untuk mengusut hal ini. Mungkin alasannya terlalu sentimentil, tetapi jika benar Reza melakukan hal seperti itu terhadap Tamara, Jarvi tidak akan membiarkannya begitu saja.
*
*
*
Tiga hari setelah pertemuan mereka, Jarvi memperoleh kabar bahwa Tamara menghilang. Nomor ponselnya tidak bisa dihubungi. Perempuan itu benar-benar bagai di telan bumi.
"Kapan terakhir kali kamu kontak dengannya?" tanya Jarvi pada Suzie di ruang praktek perempuan itu.
Suzie terlihat cemas, dialah yang pertama kali mengabari Jarvi tentang menghilangnya Tamara.
"Kemarin. Dia meneleponku sambil menangis. Reza berniat mengirimnya ke rumah sakit jiwa lagi. Apa menurutmu, Reza benar-benar melakukannya?"
Jarvi terlihat berpikir, "Jika itu benar, bisakah kamu mengontak rumah sakit jiwa di Jakarta? Kamu punya koneksi bukan?" ujar Jarvi.
"Aku sudah melakukannya. Tapi tidak ada nama Tamara terdaftar di sana. Apa mungkin di luar Jakarta?"
"Bisa jadi. Jarak terdekat adalah Bogor atau Bandung. Dia tidak mungkin membawanya terlalu jauh."
*
*
*
"Sudah kukatakan, jangan ikut campur, Jarvi!"
Reza berkata dengan nada geram pada Jarvi yang menghubunginya lewat nomor pribadinya.
"Kau masih mencintainya? Haha. Itu konyol, Jarvi. Sudah aku katakan, dia itu gila. Kau tidak akan tahan dengannya. Sudahlah, aku tidak akan memberimu informasi apapun. Hentikan dan urus saja urusanmu sendiri!"
Reza segera memutuskan sambungan telepon dan mencabut baterai ponselnya. Dia tidak ingin diganggu lagi. Terutama oleh Jarvi. Dia membenci mantan sahabatnya itu.
Reza menyadari bahwa Tamara dan Jarvi memiliki cinta yang teramat besar di masa lalu. Akan tetapi dia lebih beruntung, karena almarhum mertuanya lebih memilih dirinya untuk puteri mereka dibanding seorang Detektif Swasta seperti Jarvi.
Dia menyukai Tamara. Meski tidak benar-benar mencintainya, dia tetap bertahan. Semata demi ambisi politiknya. Almarhum ayah mertuanya adalah politikus besar negara ini.
Karena itu dia tidak menceraikan Tamara meski gangguan mental yang dideritanya membuat Reza malu. Dia bisa saja mengacaukan segalanya. Itulah sebabnya dia mengurung Tamara di suatu tempat.
Dan sekarang dia akan membereskan satu hal lagi. Anaknya.
*
*
*
Perempuan itu mengerjapkan matanya, berharap mendapatkan setitik cahaya. Dia benci gelap. Dia merasa berada di dunia lain saat kegelapan menyelimutinya. Napasnya terengah, seolah dikejar sesuatu, tetapi sedari tadi dia hanya berbaring. Tangannya diikat di kedua sisi tubuhnya.
"Kamu sudah bangun, Tamara?"
Sebuah bisikan membuatnya tersentak. Siapa?
Tamara bergerak gelisah. Dia terus bergerak, berharap ikatan di tangannya melonggar lalu segera pergi dari tempat ini. Dia harus menemukan anaknya. Dia tidak boleh terkurung di sini, sementara anaknya berada entah di mana.
Dia ingin menjerit, tetapi bibirnya terasa kelu. Dia tidak bisa menyuarakan apapun. Padahal tidak ada sesuatu yang menyumpal mulutnya saat ini.
Tuhan, tolong aku, jeritnya dalam hati.
"Kamu harus tidur, Tamara. Istirahatlah. Atau Reza akan menemukanmu lagi. Kamu tidak ingin dia membawamu ke tempat orang sinting itu lagi, bukan?"
Suara itu berbisik kembali, tepat di telinganya. Tamara bergidik. Suara itu, suara yang sama dengan perempuan itu. Perempuan yang menerornya. Simpanan Reza!
"Aku akan membantumu tidur nyenyak, Tamara. Kamu tidak akan bisa lagi mengganggu kebahagiaan kami. Gilby dan aku, kami yang akan berada di sisi Reza selamanya. Mengerti?"
Gilby! Perempuan ini yang menculik Gilby!
Tamara kembali menggerak-gerakkan tubuhnya dengan panik. Air mata sudah meleleh di kedua pipinya, jatuh membasahi bantal. Akan tetapi dia tersentak saat merasakan tusukan tajam di nadinya. Lalu perlahan kesadarannya memudar.
*
*
*
Jarvi menatap ke selembar kertas, sejumlah alamat tercantum di sana. Alamat beberapa properti yang dimiliki Reza. Jumlahnya lebih dari dua puluh.
Jarvi menyusuri alamat-alamat itu satu persatu. Mencari kemungkinan Reza menyembunyikan Tamara di salah satu properti miliknya.
Satu alamat membuatnya tertarik. Sebuah villa pribadi di Lembang. Namun anehnya, kepemilikan villa ini bukan atas nama Reza, bukan juga Tamara. Melainkan seseorang bernama Lee Soo Ji.
Lee Soo Ji? Orang Korea?
*
*
*
Reza mengumpat keras. Bagaimana bisa Tamara berhasil meloloskan diri? Siapa yang membantunya?
Reza meremas rambutnya frustrasi. Urusan di kementrian sudah membuatnya pusing, sekarang masalah ini semakin membuatnya pusing. Bahkan keberadaan anaknya hingga kini masih misteri.
Jika bukan Tamara yang menyembunyikannya, lalu siapa?
Drrrrtt .... Drrrrtt .... Drrrrttt ....
Ponselnya bergetar di atas meja kerjanya.
Reza menatap benda itu dengan kesal. Dia tidak ingin diganggu saat ini. Akan tetapi nama yang tertera di layar membuatnya mengernyit.
Soo Ji?
*
*
*
Laki-laki itu memacu mobilnya dengan kecepatan mengerikan. Dia berusaha untuk segera tiba ke sebuah alamat yang sudah sangat dihapalnya sejak dulu. Sebuah villa yang menjadi saksi perselingkuhannya dengan perempuan itu. Perempuan di masa lalu, yang sudah dia enyahkan dari hidupnya.
Bagaimana bisa dia kembali dari alam baka?
Reza masih mengingat jelas bagaimana dia bertemu dengan Lee Soo Ji. Perempuan Korea yang dikenalnya saat dia mengambil gelar Master di Sekolah Bisnis Harvard. Saat itu dia sudah menikah dengan Tamara.
Mereka menjalin hubungan selama dua tahun, dan Reza memutuskannya segera saat hendak kembali ke tanah air. Namun, perempuan itu mengikutinya dan mengajaknya kembali berhubungan.
Reza tidak menolak hal itu. Dia juga memiliki ketertarikan besar pada Soo Ji. Perempuan cerdas dan menawan. Soo Ji juga tidak keberatan dengan status Reza yang sudah beristri. Mereka menjalani hubungan rahasia selama tiga tahun, hingga malapetaka itu datang.
Soo Ji mengandung, di saat yang sama Tamara juga mengandung. Dan perempuan itu mulai berulah. Dia meminta Reza menikahinya dan meninggalkan Tamara.
Bagi Reza, hal itu adalah ancaman. Karir politiknya bisa hancur karenanya. Akan tetapi Reza masih memiliki hati nurani. Dia membiarkan Soo Ji melahirkan anak mereka, lalu mengambil anak itu dari Soo Ji.
Reza tidak mempertimbangkan bahwa ternyata Soo Ji meneror Tamara, membuat istrinya itu dilanda kepanikan dan penyakit mental yang dideritanya kembali kambuh setelah sekian lama. Lalu tragedi lain menyusul kemudian, Soo Ji membunuh bayinya dan Tamara. Berang dengan tindakannya itu, Reza melenyapkan Soo Ji.
Tanpa diduga, ternyata dia masih hidup. Dia menculik Gilby dan Tamara.
*
*
*
Tamara kembali terbangun dalam kegelapan. Kali ini tubuhnya terasa dingin. Dia begitu kehausan, dan lapar. Apakah perempuan itu ingin membunuhnya perlahan?
Tiba-tiba dia terisak. Dia ingin melihat Gilby untuk terakhir kalinya. Mencium wangi tubuhnya. Memeluk tubuh mungilnya yang menggemaskan. Dia rindu malaikat kecilnya.
Gilby.
"Kamu menangisi siapa, Tamara?"
Suara itu terdengar lagi. Dingin dan tajam. Membuat Tamara tersentak. Dia tidak ingin dibius lagi. Dia ingin tetap sadar. Dia ingin mengenang Gilby di saat terakhirnya.
"Kamu teringat pada Gilby?" bisik suara itu di telinganya.
"Dia aman bersamaku. Dia bayi yang sehat dan pintar. Seperti aku, ibunya."
Aku ibunya!
"Kamu pasti tidak tahu, bukan? Reza memiliki anak bersamaku. Dia seusia dengan anakmu yang sudah mati. Dia adalah Gilby. Anakmu sudah lama mati, Tamara. Aku yang membunuhnya."
Tamara membeku.
Tidak! Gilby anakku!
"Sekarang aku akan mempertemukanmu dengannya di alam baka. Seharusnya kamu bahagia, Tamara. Dia sudah menantikanmu. Bersiaplah."
Tubuh Tamara bergetar hebat. Dia menangis semakin keras. Selesailah sudah. Tamara merasakan perempuan itu bergerak di sampingnya. Lalu dia merasakan tangan dingin itu menyentuh pergelangan tangannya, tepat di nadinya.
Tamara memejamkan matanya. Jarum tajam itu telah menyentuh kulitnya ketika sebuah suara debaman keras memecah sunyi.
Pintu ruangan terbuka dan seberkas cahaya tiba-tiba menyeruak. Tamara mengerjap dan tiba-tiba kengerian menyambutnya, disusul suara teriakan seorang laki-laki yang berdiri di ambang pintu.
"Hentikan, Suzie!"
*
*
*
Lima bulan kemudian ....
"Kamu yakin ingin mengasuh Gilby? Bukankah dia anak perempuan itu?" tanya Jarvi pada Tamara di rumah baru mereka.
Tamara sudah resmi bercerai dari Reza. Laki-laki itu akhirnya setuju menceraikannya setelah Jarvi dan Tamara mengancam akan melaporkan perbuatan Reza di masa lalu. Percobaan pembunuhan terhadap Suzie Listianto alias Lee Soo Ji.
Perempuan itu berhasil lolos dari maut, lalu kembali ke Korea dan melakukan operasi plastik pada wajahnya. Kemudian dia kembali ke Indonesia untuk membalas dendam. Dia ingin mengambil kembali anaknya yang direnggut oleh Reza. Membuka praktek Psikiater di Jakarta dengan identitas baru dan mendekati Tamara.
Sekarang dia dirawat di sebuah rumah sakit jiwa. Menderita gangguan jiwa setelah kemelut yang dialaminya.
Tamara tidak menyangka, sosok yang telah dianggap sahabat itu ternyata selingkuhan Reza. Sosok yang selalu menyemangatinya untuk bersabar menghadapi perlakuan Reza selama ini.
Akan tetapi sekarang semuanya sudah berakhir. Tamara ingim membuka lembaran kehidupan baru bersama Jarvi. Laki-laki yang masih dicintainya, yang telah dikecewakannya di masa lalu.
"Aku yakin, Jarvi. Aku sudah terlanjur menyayanginya. Dia adalah penyemangat hidupku. Aku berharap kamu juga bisa menerimanya."
Jarvi tersenyum, lalu memeluk Tamara sambil berkata, "Apapun yang kamu inginkan, Tamara."
*
*
*
Suzie duduk termenung di kursinya. Penampilannya berantakan. Rambut acak-acakan dengan wajah yang sembab. Dia menangis sepanjang hari selama berada di rumah barunya. Rumah sakit jiwa.
Menangisi kekasihnya yang tidak pernah mencintainya, dan juga anaknya yang direnggut dari pelukannya. Namun, terkadang dia juga tertawa. Mentertawakan nasibnya yang tidak pernah bahagia. Mentertawakan kekalahannya dari Tamara. Perempuan yang merusak kebahagiaannya.
Hal yang paling menyakitkan, Tamara kini memiliki Gilby. Satu-satunya harapan hidupnya.
"Kamu menangisi apa, Suzie?"
Suara itu membuat Suzie mendongak. Matanya terbuka lebar. Tamara berdiri di hadapannya, dengan senyum lebar di wajahnya.
"Kamu ...," Suzie berdiri tegak dengan tubuh limbung. Bibirnya bergetar, berusaha mengeluarkan kata-kata yang tertahan di tenggorokannya yang kering.
"Kamu mau tahu suatu rahasia, Suzie? Oh, ya. Bukan hanya kamu yang menyembunyikan rahasia besar. Aku juga memilikinya, Suzie."
Tamara berjalan mengitari tubuh ringkih di hadapannya dengan pandangan menusuk. Memberikan aura intimidasi yang menciutkan nyali.
"Kamu pikir kamu sudah membunuh anakku? Tidak, Suzie. Anakku masih hidup. Dia ada bersamaku saat ini," bisik Tamara di telinga Suzie.
Suzie tertawa dingin, "Kalau begitu kamu hanya berhalusinasi," ujarnya parau.
Tamara lalu menempatkan dirinya tepat di hadapan Suzie, lalu menatap perempuan itu dengan sebuah seringai di wajahnya.
"Tidak, Suzie. Anakku memang masih hidup. Karena bayi yang kamu bunuh waktu itu, adalah anakmu."
End.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top