Membunuh atau Terbunuh

written by realAmeilyaM

***

Aku menoleh ke sisi kiriku, disana ada seseorang yang sedang memperhatikanku dengan tatapan yang mampu membuatku menegang. Aku segera memalingkan wajahku, mencoba menyingkirkan pemikiranku yang tidak-tidak.

Dengan tangan yang bergetar, aku membuka lembar demi lembar novel misteri yang sedang aku baca. Aku menggerutu dalam hati karena aku mulai kehilangan fokus. Tidak, aku sudah kehilangan fokus sejak aku merasakan ada seseorang yang melihatku.

Aku menggaruk tengkukku salah tingkah. Aku masih bisa merasakan tatapannya yang seperti ingin menerkamku hidup-hidup.

Ketakutanku mulai memuncak ketika ia mendekatiku. Refleks, aku bangkit dan segera meletakkan novel tersebut ke tempat semula ia berada.

Sebisa mungkin aku mempercepat langkahku menuju pintu keluar perpustakaan kota ini ketika mendengarkan suara hentakan sepatu yang berlari kecil ke arahku.

Namun, sebuah suara mengejutkanku hingga mampu membuatku membeku di tempat. Suara itu terus-menerus terulang dipikiranku bagaikan radio yang rusak.

"Jangan coba lari dariku, aku selalu ada didekatmu."

"Jangan coba lari dariku, aku selalu ada didekatmu."

"Jangan lari dariku, aku ada didekatmu."

"Jangan lari, aku didekatmu."

"Lari, didekatmu."

***

Malam ini adalah malam yang mencekam bagiku. Bagaimana tidak? Aku selalu memikirkan ucapannya. Apalagi Ayah dan Ibuku sedang pergi ke rumah Pamanku.

Sebenarnya aku merengek kepada mereka untuk membiarkan aku ikut kerumah Paman atau mereka tetap menemaniku di rumah. Tetap saja mereka pergi meninggalkanku.

Jadi, beginilah nasibku. Mengurung diri dikamar dengan mata yang sembab karena menangisi ketakutanku. Aku mengambil ponselku dan meringkuk di gazebo dekat meja belajarku.

Aku segera mengetikkan pesan singkat kepada Rei, kekasihku, untuk datang menemaniku. Setelah beberapa menit pesanku terkirim, ia tak membalasnya.

"Huh! Kebiasaan! Disaat aku memerlukanmu kau menghilang! Dasar lelaki sok sibuk," gerutuku pelan.

Dering ponsel yang mengejutkanku membuatku segera mengernyit melihat deretan nomer yang tak kuketahui.

Aku hanya mendiamkannya, berusaha untuk berpikir jernih dan menganggap bahwa temanku yang menelepon.

Ketika aku hendak mengangkatnya, sambungan telepon segera terputus.

Tak selang beberapa lama, nomer tersebut meneleponku lagi. Segera ku jawab sambungan tersebut dan bertanya siapa yang menelepon.

Tak ada sahutan yang kudengar. Aku hanya mendengar sebuah pintu terbuka dan langkah kaki sepatu hingga pintu tertutup kembali.

Ck, kenapa suaranya sangat jelas, batinku.

"Apa kau menungguku?"

Aku membulatkan mataku. Suara ini, suara yang membuatku ketakutan setengah mati. Suara yang begitu berat dan basah.

"Si--siapa ini?"

"Aku ada didekatmu. Kau ingat?"

"Kau ... jangan menakutiku, bodoh!" Aku menjawabnya dengan lantang. Mencoba terdengar berani. Namun, apa daya, suaraku menciut saat mengucapkannya.

"Kau ... mengatanku 'bodoh'?" Suaranya terdengar menahan amarah. Aku pikir ia menendang sebuah benda kala kudengar suara dentuman seperti kayu.

"Kenapa? Kau pikir aku takut, huh?"

"Aku tahu kau menangis ketakutan. Jadi, tolong, bersabarlah menunggu kedatanganku."

Tuttt Tuttt Tuttt

Aku menggerutu kala sambungannya diputus secara sepihak.

Hei! Apa yang dikatakannya benar?

Aku memejamkan mataku sejenak. Menenangkan diri disaat suasana hatiku sedang kacau.

Tiba-tiba saja aku membeku ditempat. Aku mendengar suara itu lagi. Seseorang yang mengumpat karena ia tersandung sebuah ranting.

Aku segera bangkit, mengambil koper hitamku dari bawah lemari dan segera membukanya. Aku memilih pistol biasa dan pisau lipat yang segera kusimpan di sela-sela celanaku.

Ia mengetuk jendela kamarku!

Oh, tidak, tuhan tolong aku!

Dengan gugup, aku berjalan mendekati jendela kamarku. Aku menyingkap tirainya sedikit dan mengintip siapa orang tersebut.

Aku terkejut! Itu orang yang kutemui di perpustakaan kota!

Bagaimana ini? Aku sangat panik sekarang. Mengingat kata-katanya tadi siang.

Aku harus menelepon seseorang! Ya, aku harus melakukannya.

Aku segera meraih ponselku yang tergelatak di gazebo. Aku mencoba untuk menelepon Rei, tapi tak diangkat.

Kuputuskan untuk menelepon polisi. Aku segera memberikan alamatku dan kondisiku saat ini. Akan tetapi, polisi itu menjawab untuk menyuruhku menunggu selama tiga puluh lima menit!

Aku harus pergi dari sini! Penjahat itu tahu kalau aku sedang berada dikamar!

Dengan terburu-buru, aku membuka pintu kamarku yang masih terkunci.

"Hei! Jangan pergi dari kamar! Aku tahu kau akan kemana!"

Aku memukul pintu itu tanpa sengaja dan menyebabkan tanganku memerah dan terasa panas. Tanpa mendengarkan perkataannya, aku mengambil kunci kamarku dan membukanya.

Segera, aku berlari kearah kamar orang tuaku dan mengambil senjata milik ayahku.

Aku tersadar akan sesuatu. Tanpa sengaja, aku menjatuhkan senjata tersebut dan berbalik badan.

Disana, ia tersenyum penuh kelicikan. Pandanganku beralih ke arah tangan kananya.

Pandangan ku mulai kabur akibat air mata yang ingin tumpah dan perutku terasa sangat mual melihatnya.

Aku menutup mulutku tak percaya. Gelang itu. Gelang yang kuberikan kepada Rei.

"Aku ingin memberitahumu sesuatu. Pacarmu itu ...," dia mengangkat tangan kanannya, "tidak bisa membalas pesan dan mengangkat teleponmu."

Aku tidak percaya akan semua ini. Disana, ia menggenggam beberapa jari yang berlumuran darah.

"Itu bukan milik Rei! Itu pasti bukan milik Rei!" Aku berteriak sembari menunjuk ke arah tangannya.

"Kau tidak percaya? Apa aku perlu menunjukkan jantung dan hatinya juga? Hahaha," dia tertawa lepas.

"Apa yang kau lakukan padanya?" Tanyaku pelan.

"Aku hanya menikmati permainan yang kau ciptakan," jawabnya enteng.

Ingatanku segera memperlihatkan memori yang kulupakan.

Ya, disana aku sedang berlutut. Memohon agar permainan yang kubuat bisa kumainkan di kehidupan yang nyata.

Aku menggeleng, "Tidak! Itu bukan aku!"

"Siapa lagi kalau bukan kau? Kau yang menciptakannya dan sekarang harusnya kau bersyukur karena kau bisa memainkan permainan ini didunia nyata!"

"Tapi bukan ini yang kuinginkan! Aku tidak menginginkan seseorang membunuh pacarku!" Suaraku semakin memburuk, tenggorokanku seperti tercekat.

"Kau tahu? Apa yang kita inginkan tidak akan sesuai dengan kenyataan yang akan kau hadapi ...," ia melempar jari-jari Rei ke hadapanku, "dan ini yang kau dapatkan."

Dia berjalan mendekatiku, menggulung lengan bajunya yang telah ternoda oleh darah.

Saat dia tepat berada dihadapanku, aku mengeluarkan pisau lipat yang kusimpan di sela-sela celanaku.

Aku menegakkan kedua bahuku. Rahangku mulai mengeras, tatapan mataku menatapnya tajam.

"Baiklah, aku akan memainkan permainan ini. Karena hanya ada dua pilihan dan aku membenci keduanya," ucapku pelan.

"Membunuh atau terbunuh."

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top