Peserta 3

Tema : Meraih mimpi.
Genre : Romance.
Sub Genre : Comedy.


Tuna rungu


Memiliki kulit yang putih, mata yang bulat dengan bulu mata yang lentik.Wajahnya cantik. Tapi, manusia tidak ada yang sempurna, ‘kan? Namun, kita bisa berusaha menjadi yang terbaik di antara yang baik. Inilah yang menjadi perjalanan hidupnya kali ini. Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya mampu meraih semua mimpinya dengan keadaannya yang seperti ini.

Laras, merupakan anak yang hidup dengan sebuah mimpi yang ingin ia capai. Mimpinya cukup sederhana, Laras hanya ingin menjadi seorang penyanyi. Ia sadar bahwa kekurangannya ini bukanlah penghalang baginya untuk meraih mimpinya. Laras yakin, ia pasti bisa menjadi seorang penyanyi. Kini kisah perjalanannya akan segeera dimulai.

Kali ini Laras sangat ketakutan, di hadapannya banyak sekali preman kampung yang tengah berkumpul, ia takut jika dirinya di ganggu. Kenapa hari ini ia harus mengambil eskul tambahan? Laras menarik napasnya panjang. Ia harus melewati preman kampung itu. Ia harus cepat pulang. 

Langkah yang di perkuat oleh sebuah tongkat mulai bergerak. Laras sangat takut dan keringat dingin mulai keluar dari  tubuhnya. Gadis itu mengeluarkan suaranya, ia hanya ingin berusaha bersifat sopan kepada para preman tersebut.

“Pe-permisi,” ujar Laras pelan, namun masih bisa terdengar oleh sebagian preman tersebut.
Para preman itu tidak menjawab Laras, mereka hanya tertawa dengan di ikuti kalimat yang sangat menyakiti hati Laras.

“Wah, gila. Bro, si tuli bisa ngomong.”

“Hahaha … gue kira dia juga bisu.”

“Eh, jangan salah. Lo belum tau, ya? Si tuli mau jadi penyanyi, Bro.”

“Hahaha … mau jadi penyanyi? Jalan aja pincang.”
“Nyanyinya sambil ngesot, Bro.”

“Hahaha …. Cantik doang, jalan pincang.

“Jangan lupa. Pincang plus tuli.”

Laras bukanlah gadis yang kuat dengan segala hinaan tentang dirinya itu, ia pun manusia yang punya perasaan. Ia pun ingin dihargai dan dihormati. Tapi, apakah ada kelebihan yang ia miliki untuk di banggakan oleh orang lain? Ia rasa tidak ada. Laras hanyalah gadis biasa dengan dunianya yang hening tanpa suara.

Laras melangkah semakin cepat. Namun, bagi para preman itu gaya berjalan Laras sangatlah aneh sehinnga mereka tertawa. Ingin rasanya Laras menghancurkan alat yang membantunya untuk mendengar ini, lebih baik dunianya hening dari pada ia mendenger hinaan itu. Sudah cukup baginya. Dunia ini terlalu kejam bagi seseorang yang mempunyai keterbatasan. Semua orang ingin terlahir dengan sempurna, namun sebuah keinginan belum tentu di kabulkan, ‘kan?

Air matanya tak henti untuk menetes. Gadis itu kini duduk di sebuah taman yang sangat sepi. Ia ingin menenangkan dirinya terlebih dahulu, Laras tak ingin ibunya  melihat ia menangis. Sudah cukup keterbatasan dirinya yang menjadi beban bagi ibunya itu, Laras tak ingin kelemahannya pun menjadi beban.

Laras melepaskan BTE---alat bantu mendengar, ia ingin dunianya hening sekarang, Laras tak ingin ada yang mengganggu keheningan ini. Namun, tetap saja, jika ada seorang gadis yang duduk sendiri di sebuah taman yang gelap pasti akan menarik perhatian siapa pun yang melihatnya, inilah yang dirasakan oleh Lintang yang tengah berjalan melewati taman ini.

Lintang berjalan mendekat ke arah taman, langkahnya ia lambatkan. Kini pria dengan  mengenakan jaket hitam itu bersembunyi di balik pohon yang terletak tepat di belakang Laras. Pria itu terus mendengarkan apa yang gadis itu gumamkan. Rasa penasarannya semakin memuncak disaat gadis itu menangis semakin keras.

“Apakah aku harus akhiri hidupku, Ya Tuhan? Aku sudah tak kuat lagi ….”

Lintang langsung keluar dari tempat persembunyiannya, ia takut jika gadis ini benar-benar akan mengakhiri hidupnya. “Hei, lo gila, Mbak?!”

Laras seketika langsung terkejut. Sosok pangeran darimana ini? Apakah Laras sudah mati? Jika benar, kapan itu terjadi? Apakah ini mimipi? Jika benar, ia tak mau bangun. Semua pemikiran anehnya seketika muncul di saat melihat betapa tampannya pria yang tengah berada di hadapannya itu.

“Tampan.”

“Hah! Apa?” tanya Lintang bingung.
Rasanya sangat malu sekali, apa yang Laras katakan tadi itu sangat spontan. Laras hanya bisa menundukkan kepalanya.

“Nona, lo denger gue? Woy, lo kenapa bengong, lo---“

“Se-sebentar.” Laras langsung memasang kembali BTE miliknya yang sebelah kanan. Ia ingin tahu, apa yang pria ini katakan. Walaupun, laras tahu, jika dilihat dari ekspresinya, nampaknya pria ini sedang marah. Tapi kenapa?

“Oh, iya, maaf, tadi kamu bicara apa? Bicaramya lebih keras sedikit,” ujar Laras.

“Lo kenapa nangis dan mau bunuh diri? Lo masih waras, ‘kan?”

“Saya masih sehat, kok. Sudah, ya, saya mau pulang.” Laras langsung bangkit dari duduknya itu dengan mengambil tongkatnya, Ia langsung berjalan meninggalkan Lintang.

Laras langsung mempercepat langkahnya, sudah sangat larut baginya. Ia harus cepat sampai ke rumahnya. Jika tidak, pasti ibunya sangat khawatir kepadanya. Tapi, yang menjadi alasannya untuk membuatnya mempercepat langkah ialah rasa malunya sendiri. Laras harap ia tak bertemu dengan pria itu lagi, Ia juga berharap, semoga pria itu tak memanggil namanya apalagi sampai mengejarnya.

“HEY. NONA TUNGGU!”

“Lintang, cepat pulang!” Suara yang membuat Lintang membatalkan niatnya untuk mengejar gadis tersebut.

Lintang berbalik arah, lalu mengikuti ibunya. Lintang terus memperhatikan BTE milik gadis itu yang tadi  terjatuh. Padahal ia hanya berniat untuk mengembalikannya. Tapi, entah mengapa gadis itu berlari seperti orang ketakutan saja. Lintang kembali memperhatikan alat yang berada di tangannya itu. Seketika ia tersenyum lalu tertawa.

“Lo bego banget, Lintang.”


***


Laras sudah sangat lelah, ia rasa apa yang ia cari tidak ada di rumah ini, lalu di mana alat itu berada? Tanpa alat itu, Laras rasa ia tak dapat pergi keluar rumah, apalagi sekolah. Tapi, jika hari ini ia tidak berangkat, bagaimana dengan seleksi kompetisi menyanyinya itu? Mimpinya selama ini akan hancur hanya gara-gara alat pendengarannya yang hilang. Tidak, itu tidak boleh terjadi. Ia harus tetap berangkat. Lagi pula Laras masih memiliki BTE sebelah kanannya.

“Ingat Laras. Menyanyi itu yang penting suara, bukan telinga,” gumamnya.

Laras berjalan menuju ruang makan keluarganya itu. Rambutnya ia biarkan terurai panjang ke sebelah kiri, Laras tak ingin ibunya mengetahui hal ini. Dengan menarik napas panjang, ia berusaha untuk tenang, senyumnya ia buat semanis mungkin.

“Ras, cepat makan,” ujar Asih---ibu Laras.

Laras hanya tersenyum dengan mengangguk lalu duduk di bangkunya.

“Bagaimana sekolahmu?”

Lagi dan lagi. Laras hanya bisa mengangguk seraya tersenyum. Kali ini, Laras berusaha untuk memberi sebuah isyarat, bahwa dirinya sedang makan dan tak bisa bicara. Jika ia hanya memakai satu alatnya, pendengarannya sangat buruk sekali, ia hanya bisa mendengar suara yang seolah terpenggal-penggal.
Asih mempercayai alasan itu. Mungkin, ia yang salah.

“Ayolah, Laras, kau harus cepat pergi ke sekolah.” 

Beberapa menit berlalu, akhirnya Laras telah menyelesaikan makannya itu, tanpa pikir panjang lagi ia langsung pamit untuk pergi ke sekolah. Ia harus cepat.


***


Laras berjalan dengan satu tongkatnya seraya menundukkan kepalanya ketika melewati semua murid. Seperti hari biasanya, Laras seakan sampah di sekolah ini yang tidak berharga di mata semua murid di sekolah ini. Walaupun jika di pandangan para guru, Laras merupakan murid yang cukup pandai.

Dunianya sangat hening sekali. Semua murid terlihat tengah berbincang, namun tak jelas. Mereka semua seakan berbisik. Apakah ada yang memanggil? Tapi buat apa? Laras terus melangkah tanpa menghiraukan apapun.

“Hei, Laras.” Suara yang di ikuti oleh tepukan pada pundaknya berhasil membuat Laras berhenti, lalu menatap sosok yang menepuknya tadi.

Ica---sahabat Laras, Ica yang paling mengerti kekurangan diri Laras. Gadis dengan wajah yang manis dan rambut pendek itu merupakan salah-satu anggota jurnalis di sekolah ini. Mading selalu terisi penuh dengan informasi dan tulisan dari Ica. Sehingga Ica memiliki gelar ‘Queen Inform.’ Semua berita terbaru selalu saja hadir menghiasi mading sekolah. Walau masih ada beberapa lagi anggota jurnalis di sekolah ini, tapi, hanya Ica yang paling serimg menempel informasi di mading sekolah ini.

“Coba sini, aku mau lihat.” Ica merapikan rambut Laras yang menutupi wajah gadis tersebut.

Ica mendekatkan wajahnya ke samping telinga Laras. “Mana alatmu?”

“Hilang.”

“KE-MA-NA?” Ica mengeja ucapannya.

“Ngggak tau.”

Ica hanya menggeleng, lalu ia menuntun tangan Laras untuk masuk ke kelas. Hari ini Ica tak akan meninggalkan Laras sendiri. Ia harus menjadi telinga bagi Laras.



***


Laras dan Ica berjalan secepat mungkin. Kompetisi menyanyi itu akan segera selesai. Bagi sekolah ini, disiplin adalah nomor satu, mereka tak memberikan sedikit pun toleransi bagi siapa pun siswa yang telat dalam bidang apapun. Begitupun dengan kompetisi menyannyi ini, walau sudah daftar dan memiliki bakat yang bagus, tapi tetap saja, jika salah-satu kontestan telat semeinit saja, maka mereka akan tetap di diskualifikasi. jika itu terjadi, maka perjuang Laras akan gagal tanpa mencoba terlebih dahulu.
Laras berusaha menggerakan kakinya lebih cepat lagi, walau sangat sakit sekali bila dirasakan tapi ia harus melakukan ini semua. Laras tak boleh menyalahkan kelumpuhannya ini. Ia harus tetap berusaha.

“Guru sekolah sini gila semua! Kenapa mereka nggak mendatangi siswa yang berbakat saja satu per-satu. Ah, aku benci sekolah ini,” Ica masih mengumpat seraya berjalan menuju aula sekolah. Masih ada 15 menit lagi waktu tersisa.
Namun ….

Laras seketika tersandung lalu terjatuh, lututnya sedikit terluka. “Lututku.”

“Kau baik-baik saja?”

Laras langsung bangkit, lalu berjalan pincang dengan tongkat yang masih ia pegang. Laras harus cepat.

“Gila.” Tanpa pikir panjang lagi, Ica berlari meninggalkan Laras yang masih berusaha untuk berlari dengan keadaan yang sekarang ini.

“Ica, Tunggu!” Laras masih berjalan pincang. Ia tak tahu kenapa sahabatnya itu meninggalkannya, apa karena dia sudah kesal dengan kekurangan yang dimiliki oleh Laras? Tapi, itu semua tidak mungkin terjadi, ‘kan?

Laras kembali terjatuh, kali ini ia sudah tak kuat lagi untuk bangkit, kakinya sudah sangat sakit apalagi kaki kirinya ini, rasanya sudah tak sanggup lagi untuk di gerakkan. Kecelakaan lima tahun lalu membuat Laras mengalami ini semua. Kaki kanannya mengalami kelumpuhan yang membuatnya sulit untuk berjalan.

Laras mengurut kakinya sendiri, rasanya sangat sakit sekali. “Apa hari ini aku akan gagal?”
“Ayo, bangun, di sini bukan tempatnya untuk duduk.” Sebuah uluran tangan membuat Laras sedikit terkejut.

Pria itu, apakah dia sekolah di sini, tapi, sejak kapan? Kenapa ia baru melihatnya? Apakah dia murid baru? Tidak, pertanyaan itu tidak penting, yang terpenting ialah, apakah pria ini mengingat ucapan Laras semalam. Ah, jika dia mengingatnya, maka sungguh malu sekali diri Laras.
Tanpa bertanya lagi, Lintang langsung meraih tangan Laras dan membantu gadis tersebut untuk duduk di sebuah bangku.

“Ma-makasih,” ucap Laras dengan pandangan yang masih ia tujukan ke lantai, ia sangat malu sekali.

“Lintang.” Lintang mengulurkan tangannya kembali, setidaknya ini adalah pertemuan yang kedua kalinya dan ia harus memiliki teman di sekolah ini. Gadis ini akan menjadi teman pertama di sekolah barunya ini.

Demi Om Dedi Combuzer yang gondrong. Laras benar-benar tak mendengar dengan jelas apa yang di ucapkan pria yang berada di hadapannya itu. Tapi, Laras sepertinya mengerti arti dari uluran tangaan tersebut.

Laras langsung menyambut uluran tangan Lintang dengan gemetar. “La-Laras.” Ucap Laras dengan perasaan sedikit cemas, ia harap ia tak salah.
“Oh, iya, ini al---“

“Laras, ayo cepat!” teriakan dari Ica membuat  Lintang menoleh kepadanya, lalu Laras mengikuti arah paandangan pria yang duduk di sampingnya itu.

Ica berhenti di hadapan Laras dan Lintang, napas gadis itu masih tak beraturan. Ia sudah berlari secepat mungkin dan akhirnya perjuangnnya tak sia-sia, Ica berhasil meminta waktu tambahan untuk kompetisi menyanyi itu selama 30 menit lagi.

“Wah, ada cowok, oke, sekarang lo gendong Laras sampe ke aula.”

Lintang memicingkan matanya, apa yang dimaksuud gadis ini? Apakah ia memerintah Lintang?

“Ada apa, Ca?’

Laras tak paham dengan keadaan Ica sekarang, sahabatnya itu terlihat sangat kelelahan,yang paling membuatnya heran ialah, kenapa Ica seperti sedang memarahi Lintang? Apakah mereka berdua pernah berpacaran lalu putus dan sekarang status mereka adalah mantan? Tapi, sejak kapan?
Ica menghiraukan ucapan Laras, kali ini Ica mulai geram kepada pria yang hanya menatapnya bingung, ada apa dengan dirinya itu? Apakah pria ini juga tuli?

“Woy,cepetan, nanti Laras gagal!”

Lintang langsung menangguk, lalu menggendong Laras. Ia langsung berjalan sekuat mungkin menuju aula sekolah ini.

Jantung Laras rasanya sudah tak kuat lagi, jantung ini terasa berdetak sangat kencang sekali. Banyak sekali hal yang ingin ia tanyakan, namun ia malah di abaikan. Laras sudah tidak merasa nyaman lagi, ia ingin tahu kemana ia akan di bawa oleh kedua orang ini? Apakah mereka akan menjebak Laras? Ah, tidak mungkin.

“HEI, BERHENTI KUBILANG!”

Seketika itu, Lintang lansung menghentikan langkahnya, ia sedikit terkejut dengan teriakan dari Laras.

Ica langsung mengrahkan wajahnya kembali menuju telinga Laras. “Kompetisi menyanyi.”
Ica kembali memerintahkan Lintang unttuk berlari , mereka harus cepat sampai aula sekolah.
Ada berbagai pertanyaan dalam benak Lintang, entah apa yang sedang ia lakukan sekarang? Apakah sekarang ia sedang menjadi robot dari seorang perempuan, tapi, entah mengapa, Lintang merasa harus membantu gadis ini. Ketika pertama kali ia melihat Laras, rasa kasihannya sudah muncul. Lintang sangat iba ketika melihat kondisi gadis ini, maka dari itu Lintang membantu gadis ini.


***


Jantungnya sudah berdetak sangat kencang semenjak tubuhnya itu di gendong oleh Lintang, tapi sekarang rasanya lebih gemetar lagi. Kenapa semua juri menatapnya seakan tak yakin kepadanya, Apakah karena ia duduk di sebuah kusri? Laras berusaha menenangkan dirinya sendiri, di ruangan ini hanya ada dirinya dan tiga orang guru seni sekolah ini yang sekarang mereka tengah menjadi juri untuk kompetisi menyanyi di sekolah ini.

Kompetisi menyanyi ini ialah tahapan yang diadakan oleh sekolah dalam rangka mencari penyanyi untuk menjadi perwakilan sekolah di lomba menyanyi tingkat Nasional, bukan hanya itu saja, namun setelah menjadi juara di tingkat Nasional, maka pemenang akan mewakili Indonesia untuk kompetisi di tingkat Internasional.

Laras menarik napasnya panjang seraya memejamkan matanya. “Kamu pasti bisa, Ras,” gumam Laras dengan menatap seraya tersenyum kepada semua juri di tempat ini.

Laras mulai memperkanalkan dirinya dengan berusaha untuk tidak terlihat tegang sama sekali. Kali ini lagu pertama yang ia akan bawakan yaitu lagu dari Melly Goeslaw yang berjudul ‘Bunda.’

Laras memiliki suara yang sangat  lembut dan halus sehingga baginya memilih lagu ini merupakan pilihan yang terbaik.

Beberpa menit berlalu, akhirnya ia telah selesai menyanyikan sepenggal lagu Melly Goeslaw ini, yang paling membuatnya senang ialah ketika menatap wajah para juri yang tengah tersenyum dengan berlinang air mata. Laras membalas senyuman mereka dengan tersenyum manis seraya menunduk hormat. Ia sangat bahagia.

“Baiklah, Laras. Kami sangat terpesona dengan suaramu itu, tapi, kami ingin mendengarkanmu bernyanyi dengan genre yang berbeda. Apakah kau bisa?” tanya salah satu juri kepada Laras.

Laras hanya diam seraya terus tersenyum lalu mengangguk, ia yakin, pasti dirinya akan terpilih untuk mewakili sekolah ini. Pasti!

“Laras? Hei!” ujar juri lain.

Laras mulai memicingkan matanya, ia bisa melihat salah-satu juri tengah mengajaknya untuk berkomunikasi. Tapi, apa yang sedang ia bicarakan? Laras sama sekali tak mengerti. Jika seperi ini Laras sebaiknya memberitahukan kekurangannya itu kepada juri kompetisi ini. Apakah mereka bisa menerimanya?

“Hei! Laras, kau dengar kami?”

Semua juri saling memperhatikan satu sama lain, sesekali mereka berbisik dan membicarakan tentang Laras saat ini yang masih  terdiam di depan mereka.

“Mohon maaf.” Seorang siswa tiba-tiba memasuki ruangan itu. Ia langsung menghampiri Laras yang sekarang tengah duduk seraya menunduk dengan memainkan jari-jari tangannya.

Lintang langsung memberikan sesuatu kepada Laras.”Ini milikmu, cepat pakailah.”

“Hah? Dari mana kam---“

“Pakai sekarang, nanti aku ceritakan.”

Tanpa pikir panjang lagi, Laras langsung memakai alat bantu pendengarannya itu. Seketika semua Nampak bersuara dan kini tatapan para juri seakan berubah. Entah ini kabar baik atau buruk bagi Laras, tapi tatapan mereka sangat membuat Laras ketakutan dan semakin gerogi saja.

“Silakan, bawakan lagu untuk kami dengan genre yang berbeda,” salah-satu juri berkata seraya tersenyum manis.


***


Banyak yang bilang jika kita bersama dengan seseorang dan jantung kita berdetak lebih kencang dari biasanya, itu tandanya kita mencintai orang tersebut. Tapi, apakah itu mungkin? Apakah kali ini Laras sedang jatuh cinta kepada seseorang yang sekarang duduk di sampingnya itu? Jika benar, apakah perasaan ini akan  terbalas? Atau hanya bertepuk sebelah tangan? Entahlah, pemikiran aneh itu saat ini menganggu pikirannya.

“Hm … Maaf, kemarin aku nggak kasih alat itu ke kamu langsung.” Kalimat Lintang itu berhasil membuat suasana kaku itu mencair, setidaknya kalimat pembuka itu bisa menjadi kalimat awal bagi Laras untuk membuka percakapan saat ini.

“Tak apa, lagi pula aku sudah tau, pasti kamu kemarin memanggil aku, ‘kan? Tapi, ya, beginilah kondisiku.”

“Aku paham.”

Manis dan sangat rupawan, setidaknya itulah yang terbesit dalam hati Laras. Kenapa Lintang sangat baik juga tampan sekali. Senyumnya itu semakin membuat Laras gerogi.

“Maaf, Apakah kamu sudah lama mengalami gangguan pendengaran?” tanya Lintang.
“Sejak aku umur delapan tahun.”

“Jadi, penyakit kamu ini bisa di obati?”

“Entahlah. Terkadang aku memohon ingin kembali seperti dulu, tapi aku tak tau kehendak Tuhan, ‘kan? Aku hanya bisa berdoa dan berharap saja.”
“Kamu wanita yang kuat, Ras. Maaf, Jika boleh tau, kenapa kamu bisa kena penyakit ini?”

Di iring dengan suara angin sore yang sangat sejuk dan juga berbagai raut wajah bahagia dari berbagai kalangan pengunjung taman ini, Laras mulai menceritakan penyebab ia terkena penyakit ini. Sejak Laras berusia tiga tahun ia sering sekali jatuh sakit, sehingga kedua orang tuanya sangat rutin memberinya obat antibiotik. Inilah penyebab gangguan telinganya muncul, keseringan mengonsumsi ontibiotik ini berimbas pada fungsi pendengaran Laras yang semakin lama menurun, sehingga saat ini ia benar-benar sudah mengidap penyakit tuna rungu.

Pada awalnya, Laras sangat menderita ketika mengidap penyakit ini, dunia seakan sangat kejam pada dirinya. Hinaan yang ia dapatkan setiap hari seakan menjadi bumerang bagi dirinya, dulu ia sering sekali menangis. Namun seiring berjalannya waktu, Laras seakan sudah memiliki tameng untuk semua hinaan itu. Ia tahu jika semua ini telah terjadi padanya dan ini harus ia hadapi bukan di hindari apalagi di takuti.

Entah mengapa Laras menceritakan ini semua kepada Lintang. Baru kali ini pula ia berbincang dengan teman pria seusianya itu, memang Lintang sangat berbeda dari pria lain. Satu hal lagi yang ia rasakan, hatinya selalu berdetak sangat kencang dari biasanya. Apakah ini cinta? Memang, cinta itu datang secara tiba-tiba dan tanpa kita duga sebelumnya, kita bisa saja mencintai seseorang hanya dalam waktu satu detik, tapi, apakah semua perasaan cinta ini akan terbalas?

“Sudah cukup, mari kita pulang.” Lintang mengulurkan tangannya kepada Laras, ia bermaksud untuk membantu Laras berjalan.

Laras hanya bisa mengangguk seraya menerima uluran tangan dari Lintang itu, ia sangat bahagia kali ini.


***


Hari ini ialah hari yang sangat bahagia bagi Laras, pasalnya ia sudah terpilih menjadi  penyanyi yang mewakili sekolah ini. Tersisa satu tahap lagi, yaitu penjurian di puat kota Jakarta. Penjurian itu akan dilaksanakan empat hari lagi. Maka dari itu, sebelum penjurian itu dimulai. Laras sangat rutin melatih suaranya bersama ketiga temannya.
Banyak sekali ilmu yang ia dapatkan dari ketiga temannya itu, terutama dari Kak Jaka---pacar Ica, Kak Jaka merupakan salah-satu peserta yang berhasil lolos sampai tahap semifinal di tingkat Nasional tahun lalu, walaupun ia gagal, tapi tetap saja pengalaman dan juga ilmunya sangat di perlukan oleh Laras.

Untuk masalah penampilan, serahkan saja kepada Ica, karena Ica sering sekali melakukan riset dalam hal apapun sehingga dalam bidang fashion pun ia sudah mengetahui penampilan yang sangat modern dan banyak di minati oleh kalangan remaja pada zaman sekarang. Sehingga Ica bisa menjamin bahwa penampilan Laras akan sangat keren nanti. Sementara Lintang cukup membuat semangatnya menambah.

Seminggu lebih ia terus berlatih dan seminggu lebih pula ia sering menghabiskan waktu sore bersama ketiga temannya itu. Terlebih lagi dengan Lintang, sudah seminggu ini Laras selalu di antar pulang oleh pria tersebut, terkadang di saat  Ica dan Kak Jaka tidak bisa menemaninya untuk berlatih, Lintanglah yang selalu menemaninya, ya, hanya Lintang. Sejak saat itulah Laras sudah meyakini dirinya, bahwa dia mencintai Lintang.

“Oke, untuk hari ini, Kakak rasa sudah cukup kamu berlatih,” ujar Kak Jaka kepada Laras.

“Baik, Kak. Terima kasih,” balas Laras seraya menundukkan kepalanya.

“Akhirnya, yuk, Ras. Kita cari cemilan dulu di sana, gue laper banget.” Ica langsung menarik tangan Laras untuk mengikutinya.

Laras hanya bisa pasrah, lagi pula perutnya juga sudah cukup lapar. “Pelan-pelan, Ca.”

“Eh, maaf. Hehe … Yuk, kita ke sana.”

Laras mulai mengikuti langkah dari sahabatnya itu. Cara berjalan Laras yang di topang oleh sebuah tongkat itu cukup membuat sebagian pengunjung di taman ini memperhatikannya. Tapi, tatapan mereka seakan biasa bagi Laras, walaupun ada sedikit rasa sakit pada hatinya, tapi biarkan sajalah Laras sudah tak mau lagi mempermasalahkan hal ini Sekarang ia telah memiliki tiga orang sahabat yang selalu menemaninya.

“Sudah, Laras nggak akan apa-apa, kok. Tenang saja,”ucap Kak Jaka kepada Lintang yang terus mamperhatikan Laras.

“Hm … aku tau, Kak. Pasti Laras sakit hati, tapi, dia kenapa bisa sekuat itu, ya?”

“Hahaha … jangan dipikirkan, Laras itu gadis yang lebih dari kata kuat. Ya sudahlah, sekarang kita kembali ke sana. Lihat itu.” Kak Jaka menunjukkan tangannya ke suatu bangku taman tempat mereka awal datang.”Mereka lupa membawa tas.”

“Jadi, kita harus menjaganya? Eh, apakah saya harus mengantarkan tas mereka, Kak?”

“Hahaha …. Modus kau. Biar saja, nanti mereka pasti akan kembali, sekarang kita jaga saja tas mereka.”

Lintang menggaruk tengkuknya yang tak gatal seraya tertawa kecil. Kali ini ia hanya bisa mengikuti apa yang disarankan oleh Kak Jaka aja.

Lintang masih terdiam membisu sementara Jaka ingin sekali memancing anak ini agar mengakui perasaan yang sebenarnya kepada Laras. Jaka yakin, jika Lintang sangat menyukai Laras, namun ia takut untuk mengungkapkannya.

“Hei, Boy. sejak kapan kau akrab dengan Laras?” tanya Jaka.

“Eh, Kak. Kenapa nanya seperti itu?”

“Hahah …. Kau suka Laras, ‘kan? Tapi, kau malu untuk mengatakannya? Benar tidak?”

“Saya hanya kasihan dan iba, Kak, ya hanya itu yang saya rasakan. Kakak lihat bagaimana kondisinya, dia pincang dan tuli. Bayangkan, Kak, dengan fisik seperti itu dia masih bisa tersenyum, jadi, aku harus membuatnya tersenyum juga, Kak. Tapi itu---”

“Maaf, aku ganggu, ya?”

Jaka dan Lintang  sangat terkejut dengan kedatangan Laras yang secara tiba-tiba. Gadis itu datang dengan senyuman yang menghiasi wajahnya.

Terkadang hati itu memang sangat sulit untuk di mengerti, ia bisa memberikan banyak waktu untuk sebuah kebahagiaan, tapi, ia mungkin meminta imbalan untuk sebuah senyuman. Seminggu lebih rasa cinta menetap di hatinya dengan berbagai macam senyuman dan kebahagiaan yang telah diberikan kepadanya, namun, satu detik ini seakan meruntuhkan sebuah bangunan cinta itu. Hancur berkeping-keping. Sudah, ini telah berakhir. Mungkin Laras yang terlalu menikmati mimpi indah ini, hinga ia lupa jika semua itu hanya sekedar imajinasi.


***



Terkadang lebih baik tidak mendengar sama sekali daripada ketika kita mendengar sesuatu yang sangat menyakitkan bagi diri kita, terkadang keheningan itu menenangkan walau menyakitkan. Laras sering merasakan sakit hati, tapi entah kenapa sekarang rasa sakit hati yang ia rasakan sangatlah berbeda. Apa ini yang namanya patah hati?

Laras berusaha menenangkan hatinya sendiri. sudah  cukup permainan hati ini ia rasakan, kini saatnya ia tersadar bahwa masih banyak mimpi yang harus ia gapai. Masih ada orang yang mengharapkannya untuk tersenyum. Masih ada Lintang yang lain di luar sana, ya, masih banyak. Masih!

“Sudah, Nak. Jangan menangis. Ibu tau kamu kuat.” Asih terus saja mengusap rambut Laras lembut. Anaknya itu sudah menceritakan semuanya. Asih tidak bisa menyalahkan Lintang, karena ia tahu jika perhatian pria tak semuanya cinta melainkan hanya peduli semata. Ingat, hanya peduli bukan cinta!

“Bu, apa Laras pantas dicintai? Apa Laras bisa merasakan cinta?”
“Semua manusia pasti memiliki rasa cinta dan mereka pun  pasti akan dicintai, hanya saja waktunya yang terkadang lama, sayang. Ibu yakin suatu hari nanti kamu pasti bisa merasakaan itu semua.”

Hanya sosok ibunya saja yang selalu setia mendengarkan setiap keluh kesahnya. Walau baru pertama kali Laras menceritakan masalah perasaannya ini kepada ibunya, tapi tetap saja ibunya itu punya seribu kata yang dapat membangun diri Laras. Ibunya sangat hebat, ia mampu menjalankan kehidupannya ini dengan sangat kuat. Di saat sang suami meninggal, ia sudah mulai bekerja mencari nafkah. Ibu yang bisa menjadi ayah.

“Sudah, hapus air matamu, sekarang ibu ingin tau bagaimana kompetisi menyanyimu itu, apakah kamu lolos?”

Memang, seminggu belakangan ini Laras sangat kurang waktu untuk bersama ibunya itu, ia selalu pulang larut malam hanya untuk berlatih bersama teman-temannya, tanpa ia sadari, ibunya sendiri ia lupakan. Tapi, inilah waktunya ia menceritakan semua prosesnya selama ia menjalani kompetisi menyanyi itu. Malam ini akan menjadi malam yang sangat panjang untuk semua ceritanya itu.

Terkadang kita sering lupa akan seseorang yang memberikan kasih sayang hanya demi mengejar sebuah tujuan. Sebuah impian itu bukan hanya kita raih sendiri, tapi diri kita butuh sebuah penopang agar kita semakain kuat untuk mencapai sebuah mimpi. Kita terkadang  terlalu percaya diri hingga kita merasa bahwa diri kita mampu mencapai mimpi itu sendiri. Ingat mimpi kita milik kita, tapi, untuk mencapai itu kita pun butuh bantuan dari orang lain. Entah dalam bentuk tenaga atau ucapan semata.


***


Hari ini ialah hari terakhirnya untuk berlatih bersama teman-temnnya itu. Laras berusaha untuk melupakan kejadian 2 hari yang lalu, ia rasa dirinya bukanlah anak kecil yang selalu menyalahkan orang lain tanpa mencari tahu kesalahan sendiri. laras rasa memang dirinya sendirilah yang terlalu mudah terbawa perasaan. Lintang tak pernah salah. Tak pernah!

Laras melambaikan tanganya kepada Ica dan Jaka yang sudah duduk di salah-satu bangku taman tersebut. Gadis yang berjalan dengan sebuah tongkat yang menopang badannya itu berjalan pincang menuju sepasang kekasih tersebut. Ica berlari mendekat kepada Laras untuk menuntunnya berjalan.

“Ayo, kak. Mulai.” Laras duduk dibangku taman dengan tersenyum ramah kepada Jaka.

“Hm ... Waktu itu---“

“Sekarang aku mau bawa lagu dengan genre jazz, ya, Kak. Supaya beda gitu,” sambar Laras.

Jaka menatap pada Ica yang berdiri di samping Laras, Ica hanya membalas dengan gelengan kepalanya dengan menggerakan mulutnya yang berbicara tanpa suara ‘Lanjutkan.’ Ia tahu jika Laras tak ingin membahas masalah itu.

“Baikalah, mari kita mulai.”

Jangan salahkan jika rasa patah hati itu datang secara tiba-tiba, jangan salahkan pula jika rasa itu pergi dengan meninggalkan goresan luka. Tapi, salahkan rasa cintamu yang kau singgahkan bukan pada tempat yang seharusnya. Memang benar, jika kita merasakan jatuh cinta, maka kita akan merasakan arti dari dua kata tersebut. Nahas, rasa cinta selalu datang membawa senyuman sebelum kata jatuh itu menghancurkan.

Lintang memperhatikan Laras dari kejauhan, ia tahu jika dirinya salah. Kenapa waktu itu ia menceritakan perasaannya saat pertama kali berjumpa dengan Laras? kenapa ia tidak menceritakan perasaannya yang sekarang? Lintang rasa semua kesalah pahaman itu sangat sulit untuk di benahi kembali. Apakah ia harus tetap di sini untuk menghindar? Lintang sangat takut jika kejadian waktu itu terulang kembali. Saat Laras tersenyum, namun di ikuti satu tetes air mata yang keluar. Lintang tak ingin melihat itu kembali.

Lintang memperhatikan semua kegiatan Laras, hingga gadis itu telah selesai melaksanakan latihannya itu. Lintang tersenyum melihat Laras yang sangat bahagia. “Semoga kau tetap bahagia, Ras. Aku yakin, kau pasti berhasil.”

Kali ini Laras tengah duduk sendiri di bangku taman, ia sendiri. Entah mengapa, kali ini Laras hanya ingin sendiri. Suasana di taman ini pun sudah mulai sepi, hanya ada beberpa petugas kebersihan taman yang sibuk membersihkan taman ini.
Laras menghembuskan napasnya dalam. Ia tahu bahwa dirinya harus kuat menjalani ini semua, lagi pula selama ini ia sudah banyak mengalami perjalanan yang lebih sakit dari sekarang ini, ‘kan?


***


Laras berjalan menelusuri gang yang sangat sepi. Sebuah gang ini sudah biasa ia lewati ketika hendak pulang dari taman itu, gang ini hanya bisa dilalui oleh beberapa motor itupun hanya dari lawan arah, gang sempit ini terkadang sangat ramai dilalui oleh sepeda motor ataupun pejalan kaki, tapi, entah mengapa kali ini sangat sepi sekali.

Hari sudah mulai gelap. Gang ini sangat sepi sekali, Laras semakin mempercepat jalannya itu. Ia sangat ketakutan saat ini, ia harus cepat sampai ke halte bus.  Langkahnya semakin cepat ketika ia melewati  seorang pria yang sedang memegang sebuah botol alkohol. Laras terus mempercepat  lagkahnya, rasa sakit pada kaki kanannya mulai terasa, tangannya pun gemetar apalagi jantungnya itu.

“Hei, Pincang, tunggu Abang, bodimu itu … Muach.”

Laras semakin mempercepat Langkahnya hingga ia terjatuh, sekarang apa yang akan terjadi pada dirinya itu? Apakah ini akhir dari semua kehidupannya?

Pria itu  berjalan ke arah Laras dengan membawa sebuah botol alkohol. Demi apapun, Laras sangat tak suka ketika melihat pria itu menatap dirinya.

“Lo pincang, jadi, gak usah lari.”

Laras hanya bisa menahan air matanya itu ketika wajahnya mulai di usap oleh pria itu.

“To-tolong, biarkan aku pergi, Pak. Tolong ….”
Pria itu mendekatkan wajahnya menuju telinga Laras seraya berbisik, “Satu ronde.”

“BANGSAT!” Satu pukulan langsung melesat di rahang pria itu, yang membuatnya terjatuh ke samping  Laras.

Pria bertubuh besar itu mengatupkan rahangnya, giginya bergemeretak, matanya semakin memerah.

Amarahnya sudah tak tertahankan lagi. Pria itu langsung bangkit dan mengarahkan pukulan ke rahang Lintang. Pria itu ingin menghajar Lintang sejadi-jadinya, tapi, ia terlalu menganggap enteng Lintang. Pemuda yang masih duduk di bangku SMA itu sudah belajar karate sejak umurnya 10 tahun,

Lintang mudah mengelak dari serangan pria bertubuh besar itu, bahkan Lintang langsung mengarahkan pukulannya ke ulu hati pria bertubuh besar itu yang membuatnya terhuyung ke belakang.

Pria bertubuh besar itu mengumpat dan langsung mengambil kuda-kuda. Lintang pun berdiri dengan tenang, matanya menatap pria bertubuh besar itu dengan tajam. Lintang memberi isyarat kepada pria itu untuk menyerang jika berani. Pria itu langsung menyerang Lintang dengan mengarahkan tendangannya ke tubuh pemuda itu, namun gerakan Lintang sangat cepat untuk menghindar sehinnga pria itu hanya menendang angina saja. Lintang langsung membalas serangan pria itu dengan mengarahkan pukulannya ke rahang pria irtu dan dengan sangat cepat Lintang langsung menendang arah selangkangan pria itu, sontak pria itu tersungkur lemah.

Melihat kejadian itu Laras menjerit ketakutan, ia menangis. Lintang langsung berjalan menuju Laras.

Ia langsung memposisikan dirinya agar sejajar dengan gadis itu. “Ayo pulang bareng aku, kamu nggak usah takut, di sini ada aku.”

Dengan tangisan yang semakin keras, Laras langsung mengarahkan pelukannya ke Lintang.

“A-aku takut ….”

Lintang membalas pelukan itu seraya tersenyum. “jangan takut, aku ada di sisni."



***


Mobil Lintang berjalan menelusuri jalan dengan sangat tenang, ia ingin lebih lama bersama Laras, sudah dua hari ia tidak bertegur sapa dengan gadis itu, kali ini adalah kesempatan untuk memperbaiki semua itu. Ia harus memperbaiki semuanya. Lintang harus memanfaatkkan kesempatan ini, tapi, apakah ini waktu yang tepat untuk menyatakan ini semua.

Entah mengapa perasaan nyaman ini selalu muncul ketika bersama dengan Laras, rasa iba yang muncul pada saat pertama berjumpa perlahan-lahan menjalar menjadi rasa cinta yang masuk ke dalam sanubarinya, rasa yang sulit di ungkapkan dengan kata, namun, sangat membahagiakan. Kini, membuat Laras tersenyum merupakan hal yang sangat ia inginkan, mejaganya menjadi sebuah keharusan yang ingin ia lakukan, karena kali ini Lintang benar-benar jatuh cinta kepada gadis yang bersamanya itu.

“Maaf, ya, Ras. Waktu itu kamu nggak denger semua penjelasanku,” ucap Lintang seraya menyetir mobilnya.

Sementara itu, Laras masih diam menatap arah depan. Lintang tak menghiraukan itu, karena ia tahu jika gadis itu saat ini masih sangat ketakutan dengan kejadian yang menimpanya. Sebaiknya Lintang melanjutkan ucapannya sekarang.

“Jujur, sejak pertama kali aku bertemu denganmu, aku sangat kasihan melihat kondisimu itu, aku ingin membantumu. Iya, hanya rasa kasihan yang pertama kali muncul pada saat itu. Tapi, entah mengapa rasa iba itu kini telah berubah, rasa iba itu kini telah membuatku bahagia, rasa itu kini membuatku selalu tersenyum bahagia ketika bersamanya. Aku ingin melihatnya selalu tersenyum, aku tak ingin melihat air mata keluar dari matanya, aku berharap untuk membuatnya selalu bahagia.

Gadis itu punya satu mimpi, yaitu menjadi seorang penyanyi, ia ingin membuktikan bahwa pengidap penyakit tuna rungu pun bisa berbicara, bahkan bernyanyi. Seorang pengidap penyakit tuna rungu itu ingin menjadi penyanyi.”

Lintang memberhentikan mobilnya seraya tersenyum menatap Laras. “Sekarang ia hampir berhasil meraih mimpi indahnya itu, bukan hanya mimpinya yang ia berhasil raih, tapi dia pun telah berhasil meraih hati seseorang yang dulu hanya kasihan padanya. Laras Ayu Angraeni, aku mencintaimu. Apakah kamu ingin menjadi pacarku?"

“Kenapa mobilnya berhenti?” tanya Laras bingung.

“Hah! Ma-maksudmu?!”

“Oh, sebentar.” Laras mengambil BTE miliknya, lalu memasangkannya. “Maaf, tadi kamu bilang apa?”
Lintang hanya bisa diam membisu, apa yang baru saja terjadi? Apakah Laras tak mendengar ucapannya tadi? Lalu, apa maksudnya ini. Sudah tiga hari ia merangkai kata-katanya itu, namun semuanya gagal, ya, gagal.

“Lintang, kamu kenapa diem?”

“Heheh …. Enggak, kok, kita jalan lagi aja, ya.”
Sepanjang perjalanan suasana di mobil ini sangat hening sekali, hingga mereka telah sampi di depan gerbang rumah Laras. Lintang hanya diam dan berusaha menenangkan hatinya sendiri, sementara itu Laras menatap Lintang.

“Makasih, ya, Lintang,” ucap Laras yang di balas dengan sedikit senyuman oleh Lintang.

Laras langsung turun dari mobilnya. Ia kini berjalan menuju pintu gerbang rumahnya itu. Sebelum ia masuk, Laras membalikkan badannya seraya tersenyum. Lalu ia mengucapkan terima kasihnya untuk yang kedua kali seraya melambaikan tangan pada Lintang.

Lintang tak pergi, ia kini keluar dari mobilnya lalu berjalan menuju Laras. Hal ini membuat Laras bingung, apakah Lintang ingin berhenti sejenak ke rumahnya? Tapi, rumahnya kini sangat sepi, hanya ada seorang pembantu, ia takut jika warga di sini merasa curiga.

“Maaf, rumahku sepi.”

Lintang tak menghiraukan ucapan gadis itu, ia kini mendekatkan wajahnya kepada Laras. Semantara itu, Laras hanya bisa menelan salifanya seraya memainkan jarinya sendiri. Laras semakin gemetar ia rasa detak jantungnya bisa terdengar oleh Lintang, sehingga ia bisa melihat bahwa Lintang tersenyum dengan sedikit tertawa.

“A-Aada apa?” tanya Laras.

Lintang mendekatkan wajahnya ke samping kiri wajah Laras seraya berbisik, “A-KU CIN-TA KA-MU.”



***


Kompetisi akan segera dimulai, seluruh peserta sudah bersiap-siap menampilkan yang terbaik mereka agar menjadi sang juara yang mewakili kota mereka itu. Penampilan Laras cukup menarik perhatian orang di sana, wajah Laras yang sangat cantik sangat percaya diri dengan rambut yang terikat satu ke belakang, sehingga ia menunjukkan alat bantu mendengarnya itu. Inilah diri Laras, kekurangan bukan menjadi alasannya untuk terus melangkah maju, banyak yang bilang jika pengidap penyakit tuna rungu akan sulit dalam berbicara, tapi, kali ini saatnya Laras untuk membuktikan bahwa dirinya mampu untuk menjadi seorang penyanyi.

“Kau pasti bisa.” Telapak tangan Lintang mengusap lembut punggung tangan Laras.

Laras tersenyum manis dengan sedikit menunduk tersipu malu, ia masih tak percaya jika pria yang sangat di idolakan oleh kaum hawa di sekolahnya itu kini menjadi kekasihnya.

“Terima kasih,” ujar Laras.

“Terima kasih apa?”

“Iya, makasih.”

“Khem … panggilan say---“

“Ih, udah, ah. Aku sebentar lagi tampil. Aku mau siap-siap.” Laras langsung bangkit dari duduknya, lalu berjalan meninggalkan Lintang yang masih tertawa.

Seluruh peserta berjumlah 20 dari berbagai perwakilan sekolah di kota Jakarta ini, Laras sudah berjalan sejauh ini kali ini ia harus berhasil. Ia tak akan membuat semua keluarganya bersedih. Ia berjanji untuk menang dalam kompetisi ini, maka mimpinya itu akan ia gapai.

Beberapa peserta sudah selesai tampil di depan dewan juri, kini telah tiba saatnya untuk Laras  naik ke atas panggung, ia harus bisa. Laras berdiri dengan tangan memegang tongkat, kakinya tiba-tiba gemetar rasanya sangat sakit, ia rasa dirinya kram. Laras berusaha mungkun menutupi rasa sakitnya itu ia lansung berjalan menuju panggung.

Lintang memperhatikan Laras dari monitor yang di sajikan oleh panitia di luar ruangan itu. Lintang terus memperhatikan kekasihnya itu yang masih berjalan menuju teungah panggung. Langkahnya memang sedikit lambat, sehingga beberapa orang yang melihat Laras dari monitor banyak yang membicarakan cara berjalan Laras.

“Dia pincang?”

“Hahaha .... Cantik-cantik masa pincang.”

“Dia juga tuli.”

Lintang sudah tak kuat lagi mendengar ucapan beberapa orang yang berada di belakangnya itu, ingin rasanya ia memukul semua wajah yang berada di belakangnya itu, tapi, ia tahu jika saat ini bukan waktu yang tepat untuk melakukan itu semua, lagi pula mereka semua ialah perempuan.

Laras mulai memperkenalkan dirinya, ingin rasanya ia meminta bangku untuk duduk, tapi ia rasa itu semua akan membuat panitia repot, jadi Laras memutuskan untuk berdiri saja, walau kaki kanannya kali ini benar-benar sangat sakit sekali.

Laras mulai mengeluarkan suara emasnya itu, kali ini ia membawakan lagu ‘Manusia bodoh.’ Seketika suasana menghening di saat lampu panggung mulai meredup, hanya ada satu cahaya yang menyinari Laras, semua mata tertuju padanya. Laras memulai ini semua.

“Dahulu terasa indah …. Tak ingin lupakan ….

Bermesraan selalu jadi, satu kenangan manis tiada

yang salah

Hanya aku manusia bodoh

Yang biarkan semua ini permainkanku

Berulang-ulang kali ….

Mencoba bertahan sekuat hati

Layaknya karang yang dihempas sang ombak

Jalani hidup dalaam buai belaka

Serahkan cinta tulus di dalam tak .…”

Seketika suasana hening, Laras tiba-tiba terjatuh, ia sudah sangat tidak kuat dengan kakinya ini, rasanya sangat sakit sekali. Ia sudah tak sanggup lagi. Seluruh penonton seketika bertanya-tanya apa yang terjadi dengan Lara? Ada penonton yang iba,
namun ada pula yang  menghina.

“Pincang gak cocok di sini …. Hahah.”

“Rumah sakit aja, Mbak!!”

Semua tertawa, ya mereka tertawa, suara tawa mereka sangat kencang sekali. Laras sangat malu sekali, kenapa ia bisa sebodoh ini? kenapa ia ingin mengikuti kompetisi ini? Dia pincang dan pengidap tuna rungu. Dia lumpuh. Laras tak sanggup mendengar semua ini, ia akhirnya melepaskan alat bantu pendengarnya. Ia sudah tak sanggup, lebih baik ia hidup dalam keheningan. Ingin rasanya ia bangkit dari duduknya, namun kakinya mati rasa.

Laras mencoba bangkit dari duduknya, beberapa panitia kompetisi itu menghampirinya namun, bagi Laras ini sangat memalukan, ia tak pernah ingin dianggap lumpuh, ia ingin seperti orang normal lainnya. Laras kini sudah tak kuat lagi menahan air matanya itu, ia sudah tak sanggup lagi.

“Jangan pernah menangis di hadapanku.” Lintang tiba-tiba datang dan langsung menggendong Laras. Lintang langsung membawa Laras pergi dari atas panggung itu. Ia tak ingin melihat gadisnya itu di permalukan lagi, cukup kali ini saja.



***

Lintang mengusap lembut wajah Laras seraya berkata,”Terus seperti ini, ya?”

“Kenapa?”

“Aku suka.”

“Hah?! Kamu suka melihat aku di hina? Kamu suka melihat ak---“

Satu kecupan lembut dari Lintang tepat mengarah ke pipi Laras, perlakuan itu membuat Laras sangat malu, Laras langsung diam dengan pipi yang mulai memerah.

Lintang mengusap lembut pipi Laras. “Aku suka menghiburmu, aku ingin selalu menjadi orang pertama tempat kamu bersandar. Aku menginginkan itu, Laras.”

“Ih, Lintang kamu udah pacaran berapa kali, sih? Gombalan kamu basi banget.”
Lintang menutup wajahnya sendiri dengan telapak tangannya, ia kemarin sudah mencari gombalan-gombalan maut para pemain drama Korea, tapi, kenapa gombalan itu tidak mempan kepada Laras? Apakah wajahnya kurang mendukung untuk menyampaikan kata-kata rayuan maut itu?

“Kamu merusak jiwa romantis aku, Laras.”

“Wah! Maaf, oke, ayo ulang lagi.”

“Gak.” Lintang berlaga seperti anak kecil ia melipatkan kedua tangannya di depan dada dengan membuang muka.

“Wah, kamu benar-benar marah, ya?” ujar Laras, yang dibalas oleh anggukkan Lintang.

“Yakin …,” Laras menggantungkan kalimatnya, ia berpikir, apakah kata-kata ini harus keluar dari bibirnya? Tapi, ia ingin mencobanya, Laras menarik napasnya.”Sayang, kamu marah?”
Ingin rasanya Lintang berlarian dan meloncat girang akhirnya kalimat itu keluar juga. “Ulangi coba.”

“Gak.” Laras langsung menundukkan pandangannya, ia sangat malu sekali.

“Ayolah, S-A-Y-A-NG,” goda Lintang dengan tersenyum manis.

“Ih, Lintang udah, ah. Ayo kita pulang.”

“Hehehe … nggak mau nunggu pengumuman dulu?”

Laras menunjukkan layar ponselnya, “Aku gagal. Ini 10 finalis yang menang.”

Lintang menatap Laras dalam, “Kamu nggak apa-apa?”

Laras tersenyum sangat manis kepada Lintang, ia ingin menunjukkan bahwa dirinya kuat. Lagi pula ini hal yang biasa, tak semua mimpi haarus kita raih, ‘kan? Laras berharap suatu hari nanti mimpinya akan tercapai, jika tidak, ia yakin pasti Tuhan telah menyiapkan mimpi yang lebih indah unuk Laras. Semoga.

“Yuk, kita pulang, kamu mau aku gendong lagi?” tanya Lintang dengan sedikit tertawa.

“Idih, modus.” Laras langsung berjalan meninggalkan Lintang.

Lintang sekerika memegang punggung dan tangan Laras, ia tahu jika Laras masih merasakan sakit pada kakinya itu. “Aku sayang kamu, bukan mau modus.”

“Ih, jangan sebut kata sayang lagi, ah. Linu tau.”

“Ya udah, aku benci kamu.”

“Tau, ah.”

Lintang menuntun Laras dengan tawa yang masih kencang, ia sangat suka melihat wajah pacarnya seperti itu, wajahnya sangat lucu sekali. Lintang tak pernah memperdulikan kekurangan yang dimiliki oleh Laras, baginya, kekurangan gadis itu hanya salah-satu cara Tuhan untuk membuatnya sempurna. Aku mencintaimu Laras.

“Tunggu!” 

Laras dan Lintang langsung berbalik, mereka dapat melihat salah-satu juri dari kompetrisi tadi, Laras mengenalnya, dia adalah salah-satu seniman music yang sudah mencetak penyanyi sukses dan terkenal. Ia pula merupakan salah-satu pencipta lagu, bagi Laras, dia ialah juri yang paling berpengalaman dan hebat.

Hengki Diantaraa Sudirga, Kini dia melangkah mendekat kepada Laras dan Lintang wajahnya sangat ramah sekali. Walau sebagian rambutnya sudah memutih, tapi wajahnya masih terlihat sangat muda. Ia merupakan seniman dengan berbagai prestasi.

“Hai, langsung saja. Saya tau, jika kamu gagal dalam kompetisi ini, tapi, maukah kamu mencoba untuk menyanyikan salah-satu lagu saya? Saya yakin kamu bisa menjadi seorang penyanyi yang terkenal.”

Laras tak percaya ini, apakah ini sebuah mimipi? Gadis itu hanya diam dengan pandangan kosong, ia sangat tak percaya ini semua.

“Bagaimana, Nona. Apakah kau mau?”

“Mau, Pak,” sambar Lintang.

“Wah, baiklah. Sampai jumpa besok.” Pak Hengki mengulurkan tangannya.

Lintang langsung menerima jabatan tangan Pak Hengki dengan sangat cepat. Lintang mengetahui bahwa Laras kali ini sangat terkejut dengan apa yang terjadi padanya itu.

“Sudahlah, mimpimu sudah kau raih, Laras.”

“Apa ini mimpi?”

Lintang langsung mencubit lengan Laras, yang membuat gadis itu sedikit menjerit.

“Nyata.”

Sebuah mimpi bukanlah sekedar harapan semata, apalagi hanya imajinasi saja, tapi, sebuah mimpi ialah suatu keinginan yang harus kau raih, tapi ingat, jangan pernah kau merasa kecewa dengan apa yang telah kau dapatkan nantinya, tak semua mimpi akan kau dapat dan raih. Tapi, yakinlah, apa yang kau lakukan sekarang akan kau tuai di masa mendatang. Baik dan buruknya dirimu sekarang akan menuntukan masa depanmu nanti. Tetaplaah berusaha menjadi yang terbaik, tapi jangan pernah merasa paling baik. Be the best, but never feel  the best.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top